Anda di halaman 1dari 3

Ia rela banting tulang siang malam demi mencukupi semua kebutuhan

biaya hidup kami. Bahkan, ia rela meminjam uang di bank dengan


bunga 6% per bulan untuk modal membuka usaha kecil-kecilan. Kami
tinggal bersama nenek di sebuah desa yang letaknya agak jauh dari
kota. Setiap hari pun aku harus menempuh perjalanan menggunakan
bus kota untuk menghemat pengeluaran ongkos. Seringkali terbesitlah
sebuah pemikiran untuk mencari pekerjaan sambilan sehabis pulang
sekolah agar penghasilanku dapat sedikit membantu ibu. Lagi pula jam
sekolahku berakhir hanya sampai jam dua belas saja. Jadi, aku harus
merahasiakan rencana ini dari ibu karena ia akan marah jika
mengetahui ini.

“ Bu, besok aku akan pulang jam 5 sore,karena ada kelas


tambahan di sekolah.” Aku pun berkata bohong untuk hal ini karena
aku sangat ingin membantu ibu.

“Iya ra, besok ibu siapkan bekal nasi untuk makan siangmu. Belajar yang
rajin ya nak.” Jawab ibu.

“ Ya Allah maafkan aku, aku merasa bersalah terhadap ibu.” (dalam


hatiku) Aku pun menatapi ibu yang masih bekerja hingga larut malam
seperti ini. Aku tahu jika batin ibu selalu menangis memikirkan nasib
anak-anaknya. Tapi, percayalah bu anakmu ini kelak akan menjadi
orang sukses di masa depan.

“ Zahra! Masuk dan tidurlah, ibu akan menyusul setelah kue ini
sudah jadi. ”Seru ibu dengan intonasi yang lembut. “Iya bu, selamat
malam.” jawabku sambil menuju ke kamar.

***
Keesokan harinya ketika di sekolah kami bertiga membawa bekal
makanan untuk mengganjal perut ketika istirahat dan menikmatinya di
taman. Kemudian kami murojaah hafalan dan bercerita sambil
bermuhasabah diri. Aku bercerita mengenai rencanaku sehabis pulang
sekolah nanti dengan berbisik-bisik kepada mereka berdua.

“ Li, Fa, aku ingin membantu ibu ku dengan bekerja paruh


waktu sehabis pulang sekolah. Tapi, aku bingung ingin bekerja dimana?
Kalian tahu tidak tempat yang menerima pekerja paruh waktu dan
masih sekolah.”

“ Sebenarnya sangat sulit mencari lowongan seperti itu ra,


tetapi kau tenang saja. kami akan selalu berusaha membantu karena
kita adalah teman.” Kata Syifa menghibur.

Pulang sekolah pun tiba, Ali dan Syifa langsung menghampiriku


dan membawa secarik kertas berwarna biru.

“Apa itu?” tanyaku, “ itu… ini… anu… adalah brosur yang baru aku
temukan di pohon dekat pos satpam tadi.” Sahut Ali dengan terbata-
bata.

“ Ohhhhh, boleh kulihat sebentar?”. Tanpa ragu kutarik brosur itu dari
tangan Ali.

Ternyata ada sebuah toko muslim yang membutuhkan pekerja paruh


waktu yang letaknya kurang lebih 500 m dari sekolah. Tetapi aku harus
pergi sendiri ke sana karena Syifa sudah di jemput oleh ayahnya,
sedangkan Ali harus menemui bu Lena karena ia adalah ketua kelas di
kelasku.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari


arah belakang setelah 10 menit Ali dan Syifa meninggalkan diriku.
Kemudian segera ku percepat langkahku karena tinggal 2 persimpangan
jalan lagi yang harus ku tempuh untuk menuju toko Muslim tadi.

2
“ Zahra…” seperti suara seseorang yang pernah aku dengar
(dalam hati) dan aku langsung menghentikan langkah kaki sejenak
setelah mendengar suara itu karena seperti tidak asing lagi bagiku.
Sekarang tubuhnya berdiri tepat di sampingku dan ternyata dia adalah
kak Hanafi.

“ Mau kemana kamu? Kenapa buru-buru sekali? Apakah rumahmu di


sekitar sini?“ tanyanya bertubi-tubi.

“ Saya cuma ingin pergi ke sebuah toko di sana kak, saya hanya ingin
mengejar waktu soalnya nanti keburu sore. Rumahku berada jauh dari
sini kak.” Jawabku gugup.

“ Berarti kita searah nih, btw kamu temannya Ali kan? Kamu mau tahu
tidak rumahnya? Kakak kasih tahu ya, Itu rumahnya cat warna putih
dan hitam ( sambil menunjuk sebuah rumah) dan di sebelah kanannya
itu rumah kakak.” Kata kak Hanafi dengan ramah.

Anda mungkin juga menyukai