Anda di halaman 1dari 5

Senduku di Ramadan Ibu

Entah sudah berapa kali alarm diatas meja itu berbunyi. Berkali kali juga ku coba membuka mata namun tetap
saja, rasanya masih ingin memejam lebih lama. Dengan mata yang masih memerah, ku ganti jarum alarm kearah
setengah tiga.

Masih jam dua pagi, pikirku. Padahal tadi malam memang sengaja ku pasang alarm itu lebih awal agar bisa
bangun lebih pagi lagi. Namun tetap saja aku malas untuk beranjak dari tempat tidur. Dasar aku. Aku kembali
menarik selimut hangatku dan menata bantal untuk kembali memejam walau hanya beberapa menit saja. Belum
sempat lima menit terpejam, aku mendengar suara piring terjatuh dari arah dapur. Pecah, itu sudah pasti. Tanpa
pikir panjang aku langsung menuju sumber suara.

"Ibu...!" Teriakku yang melihat ibuku terjatuh dan meringis kesakitan. Aku mencoba membantu Ibu untuk
bangun, lalu kuantar Ibu menuju kamar. Ibu tersenyum.

"Ibu tidak apa apa, Nak."

"Pasti ibu belum sehat. Ibu tidak boleh capek, nanti sakit ibu bisa kambuh lagi." Kataku sambil membaringkan
beliau diatas kasur.

"Biar aku yang masak sahur malam ini ya, Bu." Ibu mengangguk dan kembali terbaring. Lantas memandang
anak gadisnya ini yang berlalu dan menghilang dibalik pintu.

Aku bergegas menuju dapur, membersihkan pecahan piring dan memasak seadanya sesuai bahan masakan yang
masih tersedia.

"Bahan masakan hampir habis. Apa Ibu belum sempat belanja ya?" Ucapku seakan berbicara dengan kulkas.
Aku menelisik kulkas lebih dalam, melihat isinya yang kian berkurang.

Selang bebarapa lama aku berkutik dengan bahan dapur, semua masakan tersedia dan tertata rapih diatas meja
makan.

"Sudah selesai, Nak?" Tanya ibu yang tiba-tiba ada disampingku.

"Sudah, Bu." Jawabku lalu pergi berlalu.

"Mau kemana, Nak?" Tanya Ibu.

"Membangunkan Fika, Bu."

"Dia sudah bangun." Jawab ibu. Yang sudah kupastikan beliau masih merasakan kesakitan. Aku membantu Ibu
untuk duduk di kursi biasanya. Sembari menyentongkan nasi piring Ibu, Ibu terus memandangiku.

"Sabil, maafkan Ibumu ini ya, membuatmu terbebani karena Ibu yang sakit-sakitan ini."

Aku menelisik mata Ibu lebih dalam. Kulihat sorot mata Ibu yang terlihat lebih layu. Ada kesedihan di dalam
saja. Lantas aku tersenyum.

"Ibu bicara apa? Aku tak pernah merasa terbebani. Ku rasa pengabdian ku pada Ibu takkan pernah terbayarkan
sampai kapanpun." Aku melihat setetes air mata jatuh di pipi Ibu.

"Apa Ibu rindu Ayah?" Tanyaku berusaha lebih berhati-hati. Namun, kulihat lagi air mata ibu menetes. Aku
merasa bersalah karena menanyakan hal yang pasti akan membuat Ibu sedih. Kuhapus air mata beliau. Ibu
kembali tersenyum. Namun aliran diatas pipi itu semakin deras. Mataku ikut memanas. Tak kuat lagi kutatap
wajah Ibuku. Rambutnya kian memutih. Wajahnya ditumbuhi banyak keriput. Hatiku sakit, seperti terkena palu
godam. Sakit rasanya melihat Ibu yang merasakan kesedihan.

"Ibu hari ini beneran mau puasa?" Kata Fika yang kemudian terduduk disamping Ibu.

"Iya, Nak. Kan sudah hampir selesai bukan, puasany. Ini puasa hari ke berapa?" Tanya Ibu.

"Sudah 26, Bu." Jawabku.


"Apa Ibu bisa puasa dangan kondisi seperti ini?"

"Insya Allah bisa, Nak."

"Kalo emang ibu nggak kuat, jangan dipaksakan ya, Bu."

"Iya Nakku. Ibu sudah faham kok."

Kami bertiga menyantap sahur dengan lahapnya. Aku semakin merasakan kesedihan Ibu yang sudah dipastikan
beliau rindu sahur bersama Ayah seperti bulan puasa ditahun-tahun sebelumnya.

'Bu, doakan anakmu ini supaya tak mengecewakanmu.' Kataku dalam hati sambil melirik Ibu dan Fika yang
masih menikmati makanannya

****

Pagi hari. Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui kaca jendela.

"Selamat memulai hari. -Sabila Faradisa, 26 Ramadan 1441 H." Aku selalu menulis memo untuk memulai
hariku. Menempelkan tulisan itu dibelakang pintu lemari dan menggantinya sebulan sekali.

"Fika, hari ini kamu ikut Kakak belanja, ya." Kataku pada Fika yang tengah merapikan kamar tidurnya.

"Hari ini kita belanja dapur sekalian kebutuhan lebaran besok."

"Iya, Kak. Fika selesaikan ini dulu setelah itu siap-siap."

Setelah mendapat persetujuan dari Fika aku berniat untuk bergegas mandi. Kulihat Ibu sedang duduk di kursi
kesukaan Ayah. Memegang foto Ayah yang tengah mengenakan baju tentara. Memandangi wajah Ayah dalam
foto dengan tatapan penuh rindu.

Dulu Ayah seorang tentara. Beliau mendapatkan tugas dinas di perbatasan Indonesia bagian timur. Tepat satu
tahun yang lalu, Ayah dikabarkan meninggal saat ikut mendamaikan perang antar saudara didaerah pedalaman.
Ayah terkena panah yang didasarkan oleh penduduk setempat. Panah itu sudah diberi racun. Kata teman Ayah,
beliau masih merasakan kesadaran sebelum dibawa ke klinik terdekat. Dan setelah beliau diperiksa dokter,
beliau koma beberapa hari hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir dbulan Ramadan, dua hari sebelum
lebaran.

Aku selalu menangis kala mengingat hari itu. Saat mobil ambulan masuk ke pekarangan rumah dan orang-orang
mengeluarkan jasad Ayah dalam peti yang ditutupi bendera merah putih. Ibu memelukku, menenangkan aku dan
Fika. Sanak keluarga dan kerabat menangis sejadi-jadinya. Kupandang wajah Ibu yang basah akan air mata.
Aku tahu Ibu ingin terlihat tetap tegar, namun tubuhnya menolak. Lantas pingsan.

Ibu kemudian dibawa ke kamar. Kusuruh Fika menemani Ibu dan aku kembali menyambut jasad Ayah.

****

Kriiiiiiing.... Telepon rumah berbunyi. Kuangkat gagang telepon dan mulai berbicara dengan orang dibaliknya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikukussalam, Bang Faris ya?"

Mendengar dibalik suara adalah anak pertama Ibu, beliau langsung mendekat dan meminta gagang telepon yang
aku pegang. Aku memberikannya, lalu melanjutkan tujuanku pagi ini untuk mandi.

Tak kurang dari lima belas menit aku keluar dari kamar mandi. Ibu berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya kini
terlihat lebih manis dengan senyum lebar di bibirnya.

"Abangmu pulang lebaran kali ini." Ucap Ibu disertai senyum khasnya. Aku selalu berdoa kala melihat
senyuman Ibu. Semoga aku bisa menikmati senyuman ini ditiap hariku. Satu doa yang tak pernah lupa disetiap
hariku.
"Benarkah, Ibu?" Tanyaku kegirangan.

"Iya nak, benar. Jadi hari ini kamu belanja lebih banyak ya. Biar nanti dibantu adikmu."

Aku menjawab dengan anggukan, lantas bersiap-siap untuk pergi.

Abangku, Bang Faris berprofesi sama dengan almarhum Ayah. Tentara. Impian yang sejak dulu dicita-citakan
lelaki beristri itu kini menjadi nyata. Dan mendengar Bang Faris pulang kerumah adalah hal yang jarang sekali
terjadi. Oleh karenanya, itu adalah sebuah kebahagiaan lain dihati Ibu. Dan tentu sudah pasti jika Ibu akan
menyambutnya dengan senang dan antusias. Semoga saja bisa membuat Ibu lebih senang.

Kukeluarkan sepeda motor yang biasa kugunakan untuk pergi ke kampus lalu kupanaskan mesinnya sebentar.
Sebelum akhirnya aku dan Fika pergi berbelanja.

Jalanan terlihat padat merayap. Para pemudik ramai memenuhi jalanan kota hingga menimbulkan kemacetan
dibeberapa jalan. Aku dan Fika berkeliling, menyusuri pasar besar dan mendapati satu setel baju disalah satu
butik terkenal di kotaku. Kulihat baju dengan warna kesukaan Ibu yang terlihat simpel tapi elegan dan enak
dipandang. Sesuai kriteria Ibu.

"Gimana menurut Kakak?" Fika memegang baju itu. Aku mengangguk memberikan isyarat persetujuan. Kami
sepakat untuk memberikannya pada Ibu. Membayarnya dengan uang tabungan kami berdua.

Setelah dirasa semua keperluan sudah lengkap. Kami bergegas pulang. Aku tertawa tatkala melihat Fika duduk
kesusahan diatas boncengan motor. Fika memang sudah SMA. Namun menurutku sikapnya masih sama seperti
anak SMP.

"Yang berat ditaruh didepan saja, Fika."

"Iya ya, Kak. Orang motor kakak kan matic, bukan yang bergigi"

"Emangnya kelinci, bergigi."

"Kakak juga bergigi." Fika meringis.

"Kamu juga bergigi."

"Berarti motor kakak ompong dong."

"Kamu tuh." Kataku sembari tertawa lantas menyalakan mesin motor dan melaju menuju rumah.

****

Sesampainya dirumah, aku melihat beberapa orang ramai didalam rumah. Aku dan Fika beralih pandang. Kami
butuh penjelasan. Tuntutku. Aku melihat paman yang berjalan kearah kami

"Ada apa, Paman?" Fika terlihat ingin tahu.

"Ibu kalian." Jawab Paman cemas sambil menunjuk arah rumah. Tanpa berpikir dua kali aku dan Fika langsung
berlari menuju tempat dimana ibu berada. Aku melihat Tante Febri yang memberikan air minum pada Ibu. Ibu
meminumnya lantas terbatuk lantaran melihatku dan Fika berlari masuk.

"Ibu kenapa?" Tanyaku

"Tadi Bi Ijah kerumah Tante. Memberitahu jika Ibumu terjatuh di lantai. Makanya Tante sama Paman kesini
untuk membawa Ibumu masuk ke kamar. Kalian dari mana saja?" Tanya tante Febri.

"Kami dari pasar, Tan. Belanja. Hanya itu saja." Jawab Fika penuh kekhawatiran aku memandang kearah Bi
Ijah. Meminta penjelasan.

"Tadi Ibu membersihkan jendela, Mbak. Sudah Bibi cegah, tapi memaksa. Katanya biar tubuhnya ndak kaku.
Maaf Mbak, Bibi ndak tau kalo Ibu bakalan pingsan." Jawab Bibi penuh ketakutan.
Aku melirik ke arah Ibu. Ibu menggeleng. "Bukan salah Bi Ijah, Nak. Memang Ibu yang ingin. Ibu ingin
menyambut kedatangan Abangmu dengan kerja tangan Ibu sendiri."

"Tapi kan ada Bi Ijah, Bu. Ibu belum membaik. Sekarang Ibu makan ya. Nggak puasa kan? Sabil buat masakan
dulu buat Ibu. Setelah itu Ibu minum obat dan kembali beristirahat."

Empat hari lagi lebaran. Namun kondisi Ibu semakin memburuk. Sore ini Ibu kembali pingsan. Sudah dua kali
beliau pingsan hari ini. Aku semakin khawatir. Ibu semakin lemah. Kuputuskan meminta tolong pada Paman
untuk membawa Ibu ke rumah sakit.

Berkali-kali Ibu menolak, dengan alasan ingin menunggu Bang Faris pulang. Namun Paman memaksa Ibu agar
mau periksa ke rumah sakit.

"Kan Faris bisa kerumah sakit menjenguk Mbak. Nggak seharusnya Mbak seperti ini. Sama saja Mbak
menyiksa diri jika terus-terusan seperti ini."

Itu adalah kata terakhir yang diucapkan Paman setelah dibujuk berkali kali hingga akhirnya Ibu mau dibawa ke
rumah sakit.

Aku tak tau separah apa sakit Ibu kali ini. Beliau masuk ruang ICU lebih dari 24 jam dan tanpa sadarkan diri.
Aku bingung. Kelimpungan. Apa aku harus memberitahu Bang Faris? Apa itu tidak menjadikannya semakin
bertambah cemas? Akhirnya kuputuskan untuk tidak memberi kabar Ibu kepada Bang Faris.

****

Dua hari menjelang lebaran. Ibu tersadar dari tidur lamanya. Melihat mata Ibu mengerjap aku mendekatinya.

"Ibu.." kupanggil beliau.

Ibu menoleh. Meminta diambilkan air hangat. Kuambilkan. Lalu membantunya untuk minum.

"Bagaiman kondisi Ibu sekarang?"

"Alhamdulillah, Nak. Sudah merasa lebih baik." Jawab Ibu dengan suara yang sangat lirih. Bahkan suara itu
takkan terdengar jika aku tak mendekatkan telingaku padanya.

"Ibu mau pulang." Kata ibu tiba tiba. Aku mendekat.

"Ibu belum sehat. Kalo Ibu benar benar sudah sehat, Ibu pasti akan pulang." Ibu terdiam. Menatap lekat langit-
langit ruangan seperti sedang menerawang jauh entah kemana.

"Assalamualaikum" Seseorang datang dari balik pintu.

"Waalaikumussalam" Jawabku dan Ibu bersamaan.

"Bang Faris....!" Bahkan karena waktuku semua untuk menjaga Ibu sampai lupa jika hari ini Bang Faris pulang.

"Ibu." Ucap abang Faris memeluk Ibu.

"Kamu sehat?" Tanya Ibu.

"Seharusnya Faris yang bertanya keadaan Ibu. Alhamdulillah, Faris sehat jasmani dan rohani. Kenapa sakit Ibu
kambuh lagi?" Tanya Bang Faris.

"Ibu sudah sehat, Nak. Sebentar lagi mau pulang. Kamu sendirian?"

"Sama istri ku, Bu. Dia nggak bisa masuk karena bawa bayi."

"Bayi? Kamu sudah punya anak? Kenapa selama ini kamu gak memberitahu Ibu jika isrimu hamil?"

"Maaf, Bu. Faris hanya ingin memberi kejutan pada Ibu."

"Cewek apa cowok, Bang?" Tanyaku penasaran.


"Ada deh, ntar kamu lihat aja sendiri. Pastinya nggak malah ganteng sama Ayahnya."

"Hah, ganteng? Cowok dong!"

"Duh, keceplosan." Bang Faris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kami bertiga tertawa.

"Permisi, saya akan memeriksakan kondisi Ibu. Jika memang sudah sehat, maka Ibu diperbolehkan pulang."
Kata dokter cantik yang biasa memeriksa Ibu.

Alhamdulillah, Ibu diperbolehkan pulang dengan beberapa catatan. Akhirnya Bang Faris membawa Ibu pulang
saat itu juga. Ibu terlihat sangat senang. Aku pun merasakan senang dalam hatiku. Diakhir Ramadan kali ini
keluargaku berkumpul meski tanpa Ayah.

****

Sebulan sudah kami menjalankan ibadah puasa. Mengisi bulan penuh berkah ini dengan hal baik meski ada
beberapa hal yang membuat ibu terpaksa membatalkan puasa ramadannya. Menu makanan buka puasa kali ini
sangatlah bervariasi. Istri Bang Faris memang pandai memasak. Di lengkapi dengan jus buah yang menggoda
perut membuat kami ingin segera menyantap makanan tersebut. Sementara Ibu, Bang Faris, dan dedek kecil
tengah tertawa, bermain diruang tengah.

Allahu Akbar Allahu Akbar........

Adzab maghrib berkumandang. Kami sekeluarga berbuka besama. Disertai canda dan tawa.

****

Aku tak pernah tau jika hari itu adalah hari terakhirku berbuka besama dengan Ibu. Malam lebaran sakit Ibu
kambuh lagi. Malah lebih parah. Bang Faris mencoba memanggil dokter. Ibu berkali-kali menolak. Namun
Bang Faris terlihat makin cemas. Lebaran kali ini lebih buruk dari tahun kemarin saat aku kehilangan sosok
Ayah. Tahun lalu aku masih punya Ibu untuk menaruh rasa sedih. Namun sekarang dua kebahagiaanku hilang.
Ibu menyusul Ayah dengan rasa cinta yang sama.

Malam lebaran yang seharusnya diisi dengan kebahagian atas kemenangan menjalankan ibadah di bulan suci
ramadan berganti dengan kesedihan. Malam lebaran yang biasanya dihiasi kembang api dan lantunan takbir
berganti dengan tangisan.

Selamat jalan Ibu. Tak dapat lagi kulihat senyum indahmu di setiap hariku.

Selamat jalan Ibu. Selamat bertemu dengan Ayah. Aku mencintai kalian.

****

Anda mungkin juga menyukai