Anda di halaman 1dari 17

CHAPTER 1

Aku hanyalah seorang gadis biasanya, tetapi teman-temanku bilang aku cukup beruntung.
Mereka mengatakan betapa beruntungnya menjadi diriku. Faktanya miris, mereka menilai
kesempurnaan melalui objek material keluargaku.
“Terlahir dari keluarga berkecukupan bahkan bergelimang harta.” ucap salah satu dari
mereka. Setiap hari terasa jenuh dan lelah mendengar mereka begitu memuji keluargaku.
Pertama kali aku bahagia mereka selalu memuji akan kesempurnaanku tetapi lambat laun aku
mulai tersadar. Bahwa kesempurnaan itu bukan dari diri ini, akan tetapi dari material keluargaku.
Hingga disuatu hari aku bertemu seorang gadis lusuh yang selalu berdiri di depan gerbang
sekolah. Datang pagi hari pulang membersamai para siswi di sekolah ini, karena rasa ingin
tahuku akan sosok gadis lusuh itu akhirnya selepas pelajaran berakhir aku memberanikan diri
menghampirinya.

“ Hai,” sapa ku pertama kali padanya. Gadis itu menoleh penuh keterkejutan bahkan
sempat melarikan diri dari ku sebelum berhasil kucekal tangan kirinya.
“Tidak perlu takut, aku bukan penjahat.” Melihat gadis itu begitu takut padaku,
aku menjadi merasa bersalah.
“Kenalin namaku Hulya.” Aku menyodorkan tangan
kananku sembari tersenyum lebar, gadis itu tampak ragu-ragu membalas sodoran tanganku.
“Na..namaku Hani” senyuman terbit
dibibir pucatnya, dia buru-buru melepas tangannya dariku dan menundukkan kepalanya sembari
menarik-narik ujung bajunya yang lusuh. Aku mengulas senyum kepadanya bahkan tawa kecil
mulai keluar dari mulutku entah kenapa lucu sekali tingkah gadis ini, seakan aku adalah majikan
yang siap memarahinya karena dari tadi gadis ini hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Kenapa menunduk terus dari tadi? aku teman mu
bukan majikanmu,” mendengar kata teman, gadis itu mengangat kepalanya dan kutatap kedua
mata birunya terlihat banyak kesedihan yang disembunyikan dan secercah harapan yang
mengelinang di kedua mata biru indah itu. “Sebelumnya boleh kita ngobrol
dulu? capek berdiri disini, ayo!” aku menuntunnya menuju kursi di depan sekolah, sembari
menunggu ayah yang akan menjemputku agak terlambat dari biasanya.
“Hmm, sebenarnya dimana kamu tinggal? Aku sering sekali melihatmu di depan gerbang
sekolah kami” akhirnya kuberanikan untuk menanyakannya. Dia menoleh dan tersenyum
padaku,
“Rumahku disana di bawah pohon besar itu dekat jembatan, aku tinggal bersama nenek disana.”
Jawabnya sembari menunjuk-nunjuk rumahnya yang terlihat dari sini. Rumah kecil di sudut
sana, rapuh dan membuatku meringis pelan dalam hati. Ternyata masih banyak gadis
seumuranku yang tinggal di tempat seperti itu, pantas saja aku tidak tahu. Teman-temanku
berasal dari kalangan atas setiap berkunjung kerumah mereka, hanya ada kemewahan di
dalamnya sedangkan ini dari luar saja sudah rapuh tak layak pakai apalagi di dalam rumah
tersebut.
“Nenekku jualan di dekat sekolah mu, di sana” Hani menunjukkan tempat neneknya berjualan.
“Oh, itu nenekmu?” tanyaku memastikan, Hani mengangguk mantap. Tak percaya,sungguh.
Nenek-nenek yang selalu berjualan di depan gerbang sekolahku adalah nenek dari gadis lusuh
ini.
“Lalu kenapa kamu disini? Maksudku kenapa kamu pergi ke sekolah?” sebelum Hani
menjawab pertanyaanku bunyi klakson yang sangat familiar terdengar keras tampak tak sabaran.
Ku toleh ternyata itu adalah mobil ayahku.
“Sayang, ayo segera masuk ke mobil!” teriak ayah dari dalam mobil melalui kaca
yang setengah terbuka.
“Aku pulang dulu Hani kita lanjutkan obrolannya besok ya, sampai
jumpa.”Aku segera berlari menuju pintu samping kemudi, sebelumnya aku melambaikan
tanganku berpamitan kepada Hani. Dia tersenyum dan membalas lambaian tanganku.

“Ayah harus segera kembali ke kantor lagi setelah ini, ada rapat mendadak” ucap ayah
setelah mobil mendarat mulus di halaman rumah luas nan megah. Aku mengangguk sembari
tersenyum manis.
“Hati-hati ayah!”aku mencium tangan nya kemudian ayah mencium keningku sebelum
aku turun dari mobil, perlahan mobil ayah mulai keluar dari halaman rumah.
“Haruskan aku bilang ke bunda jika ayah kembali ke kantor?” tanyaku
sedikit berteriak . “Tidak perlu, ayah sudah izin ke bunda,” aku mengangguk lalu
melenggang masuk kedalam rumah. Belum sampai di ruang tengah tercium aroma harum
makanan sangat menusuk ke lubang penciumanku. Aku memicingkan kedua mata saat melihat
siapa yang tengah berkutat di dalam dapur.
“Nenek!” aku berhampur memeluk nenek yang
tengah memasak di dapur. Nenek sempat kaget kemudian tersenyum sembari mengelus kepalaku
yang tengah memeluknya dari belakang. “Cucu nenek sudah pulang,”
“Hm, nenek sejak kapan disini? Kenapa tidak
memberitahu sebelumnya?” “Sudah sejak tadi nenek kesini, kalo nenek
kasih tau nanti bukan..apa ya namanya itu” “Hehe.. surprise nenek,” sambungku yang
masih saja memeluknya erat. “Oh iya, dasar anak zaman sekarang apa-
apa dibahasa inggris-in.” Jawabnya masih sibuk memotong berbagai daging. Kedua tangannya
yang sudah keriput itu masih saja lihai memotong berbagai bahan-bahan masak di dapur.

Tiba-tiba dari pintu depan terlihat kakak yang tergopoh-gopoh membawa berbagai
macam belanjaan penuh dikedua tangannya. Hah, sudah pasti itu barang-barang branded yang
sangat di bangga-banggakannya. Aku memutar mataku jengah melihat kebiasaan kakak yang
sulit dinasehati.
“Lho darimana saja kamu, Nak?” tanya bunda yang tengah turun dari tangga
menghampiri kakak yang kesusahan membawa belanjaannya.
“Biasalah bun, shopping” jawab kakak melengking tepat di kata
shopping sembari menatapku. Bunda hanya memutar matanya jengah berlalu meninggalkannya
menuju tempatku dan nenek yang kini masih saja kupeluk tubuh rapuh itu melepas kerinduan
selama 3 bulan lamanya tidak bersua.
“Hulya, sana mandi dulu kasian nenek kamu peluk-peluk
gitu nanti malah jatuh siapa yang repot.” Ucap bunda mengambil alih mengaduk sup yang masih
dimasak, “Iya deh bun, padahal Hulya masih kangen sama nenek,”
ujarku manja yang kini berpindah memeluk lengan kanan nenek. Bunda yang gemas denganku
langsung menggiring tubuhku menuju kamar, huh melihat banyak tangga membuatku langsung
malas. Aku pun berjalan lesu menapaki satu persatu anak tangga ini. Tepat ketika aku ingin
memutar knop pintu kamarku, kulihat kakak yang tengah berbicara sendiri di kamarnya. Rasa
keingintahuanku semakin menjadi ketika kakak tiba-tiba tertawa renyah bersama suara
perempuan yang nampak terdengar semakin jelas. Akhirnya kuberanikan berjalan mengendap-
endap menuju pintu kamar kakak. “Coba lihat deh bibi, cantikkan bajunya. Kata pegawai di
tokonya ini baju keluaran baru dibuat oleh desainer baju ternama di kota ini, harganya pun tak
kalah mahalnya dengan baju bibi yang dibeli kemarin.” Ucap kakak terlihat tengah melakukan
video call dengan sang bibi yang tinggal di New York. Aku hanya mampu mengelus dadaku
sembari mengucap istighfar melihat tingkah kakak yang setiap hari setiap waktu setiap tempat
tak pernah bosan membicarakan kemewahannya ke siapa lagi kalau bukan bibi Ana yang tengah
berlibur ke New York. “Kakak kapan mau berubah,” gumamku sembari menatap
langit-langit kamar.

Malam telah tiba, suara tawa renyah terdengar menggelegar di seluruh sudut ruangan.
”Hulya, dimakan dulu itu makanannya tertawanya nanti lagi sayang.” Ucap ayah ditengah
keseruanku bersama nenek dimeja makan.
“Maaf ayah terbawa suasana nih, nenek bisa aja membuat lelucon gila itu,” jawabku kemudian
melanjutkan makan yang sempat tertunda karena asyik tertawa mendengar nenek bercerita lucu.
”Sudah- sudah lanjut nanti saja, makannya dihabiskan dulu.” Nenek ikut bersuara sembari
membantuku memasukkan makanan ke mulutku.
“Hmmm, pelan-pelan nenek” keluhku dengan mulut penuh makanan. Nenek hanya tersenyum
dan terus menyuapiku layaknya anak bayi yang dipaksa ibunya untuk makan.

Malam semakin larut, bahagiaku semakin menjadi karena seminggu ini nenek akan
menginap di rumah ayah. Berarti aku punya waktu banyak yang bisa kuhabiskan bersama sang
nenek tersayang. Tepat di malam pertama nenek tidur disini, beberapa jam lalu aku sempat
membujuknya untuk tidur menemaniku di kamar. Melepas kerinduan akan pelukan, belaian dan
cerita seru nenek yang sering beliau berikan ketika aku masih kecil. Karena perusahaan ayah
yang semakin berkembang maka kami terpaksa pindah ke kota agar ayah lebih mudah meng-
handle perusahaan dan menjalin kerjasama dengan perusahaan besar lainnya. Sejak itulah
keseruanku dan waktuku bersama nenek harus terputuskan, tetapi kami masih sering melakukan
video call ataupun telepon biasa untuk melepas kerinduan.

“Nenek aku ada ada cerita baru untuk nenek” ucapku memecah keheningan diantara kami yang
tengah tiduran melepaskan penat di atas kasur empuk sejak setengah jam yang lalu.
“Bukannya setiap hari kamu pasti ada cerita baru ya?” sahut nenek sembari mengelus surai
hitamku yang sengaja ku gerai.
“Tapi ini beda Nek,”
“Jadi akhir-akhir ini aku sering menjumpai seorang gadis lusuh yang setiap hari selalu berdiri di
depan gerbang sekolahku, dan selepas kelas berakhir aku mencoba mendekatinya. Kami
bercerita singkat disana karena tiba- tiba ayah datang menjemputku.” Aku menarik napas dalam-
dalam sebelum melanjutkan ceritaku pada nenek.
“Gadis itu bernama Hani..”

Flashback on
“Hmm, sebenarnya dimana kamu tinggal? Aku sering sekali melihatmu di depan gerbang
sekolah kami” akhirnya kuberanikan untuk menanyakannya. Dia menoleh dan tersenyum
padaku,
“Rumahku disana di bawah pohon besar itu dekat jembatan, aku tinggal bersama nenek disana.”
Jawabnya sembari menunjuk-nunjuk rumahnya yang terlihat dari sini. Rumah kecil di sudut
sana, rapuh dan membuatku meringis pelan dalam hati. Ternyata masih banyak gadis
seumuranku yang tinggal di tempat seperti itu, pantas saja aku tidak tahu. Teman-temanku
berasal dari kalangan atas setiap berkunjung kerumah mereka, hanya ada kemewahan di
dalamnya sedangkan ini dari luar saja sudah rapuh tak layak pakai apalagi di dalam rumah
tersebut.
“Nenekku jualan di dekat sekolah mu, di sana” Hani menunjukkan tempat neneknya berjualan.
“Oh, itu nenekmu?” tanyaku memastikan, Hani mengangguk mantap. Tak percaya,sungguh.
Nenek-nenek yang selalu berjualan di depan gerbang sekolahku adalah nenek dari gadis lusuh
ini.
“Lalu kenapa kamu disini? Maksudku kenapa kamu tidak pergi ke sekolah?” sebelum
Hani menjawab pertanyaanku bunyi klakson yang sangat familiar terdengar keras tampak tak
sabaran. Ku toleh ternyata itu adalah mobil ayahku.
“Sayang, ayo segera masuk ke mobil!” teriak ayah dari dalam mobil
melalui kaca yang setengah terbuka.
“Aku pulang dulu Hani kita lanjutkan obrolannya besok ya,
sampai jumpa.”Aku segera berlari menuju pintu samping kemudi, sebelumnya aku melambaikan
tanganku berpamitan kepada Hani. Dia tersenyum dan membalas lambaian tanganku.

Flashback off

“Lalu apa yang membuatmu tertarik untuk menghampiri gadis itu?” tanya nenek seusai
mendengar ceritaku.
“Entah kenapa gadis itu hm maksudku Hani dia begitu menarikku untuk berkenalan lebih jauh
dengannya, Nek. Dari sorot matanya aku bisa melihat dia begitu memendam sebuah kesedihan
yang mendalam tetapi anehnya ada sebuah harapan kecil di sudut matanya” Jelasku.
“ Ya sudah ajak dia berteman saja, kamu akan lebih paham tentangnya jika kamu berteman
dengan gadis itu” Ucap nenek.
“ Haruskah kami benar-benar berteman ,Nek?” tanyaku penuh bimbang. Pasalnya ketika
percakapan siang tadi bersama Hani, aku hanya berniat mencairkan suasana dengan mengatakan
‘temanmu’. Tapi seketika mendengar saran nenek aku menjadi lebih bingung.
“ Iya, ajak dia berteman denganmu” ujar nenek yang tengah sibuk berpindah posisi tidur lebih
nyaman. Aku masih termenung dalam posisiku sembari melihat wajah nenek yang sudah
memejamkan kedua matanya. Pasti nenek lelah. Aku pun menarik selimut yang sedikit tersibak
untuk menyelimuti tubuh rapuh itu agar semakin hangat karena malam yang larut, dingin
semakin terasa.

Di tengah malam ini, aku semakin tenggelam akan saran nenek


“Haruskah kami benar-benar menjadi teman?” gumamku dalam hati.
Pagi ini suara gaduh terdengar mendominasi kamar sampingku, sudah kuduga kakak pasti
membuat masalah baru lagi.
“Bisa gak kamu kalau mau belanja barang-barang mahal itu izin dulu ke bunda, bukan malah
seenaknya akhirnya jadi berantakan gini kan” Bentak bunda yang terdengar hingga sampai
kamarku. Itulah kebiasaan kakakku setiap pagi selalu mendapat omelan dari ayah dan bunda,
entah barang semahal apa yang dia belikan hingga selalu kena marah.
“Jika kamu begini terus lebih baik bunda bilang ke ayah untuk segera menikahkanmu” ancam
bunda. Kakak mengangat kepalanya tak percaya menatap bunda yang sedang mengancamnya
dengan tatapan penuh kemarahan.
“Bunda tega ya, tiap hari aku juga selalu beli barang-barang gini ayah dan bunda diam saja
kenapa sekarang malah memarahinya? itu uang aku sendiri bun, lebih tepatnya ayah yang
memberikan sendiri ke rekeningku, sekarang aku tanya apa salahku?” ucap kakak sembari
mengambili barang-barang mahalnya yang jatuh berserakan di lantai kamar.
“Tentu saja salah” tegas bunda
“ Ayah bermaksud memberikan uang itu untuk kamu gunakan dengan sebaik-baiknya, baru dua
hari yang lalu tapi sekarang sudah ludes uangnya. Kamu bisa gak sih nak berubah?berhenti
menghubungi bibi Ana mulai sekarang, bunda akan langsung bilang ke Bibi Ana.” Ucap bunda
kemudian berlalu meninggalkan kakak yang terpaku dengan tatapan kebencian , menatap
kepergian bunda. Seketika kakak berteriak keras sembari kembali melempar tas berisi barang-
barang mahalnya.

Pagi ini setelah ayah mengantarkanku ke sekolah, aku mulai mencari keberadaan Hani.
Biasanya jam segini dia sudah berada di depan gerbang sekolah kenapa dia belum datang..
“Mungkin nanti dia datangnya” gumamku sembari melangkah menuju ruang kelas.

“Hulya…” teriak Sana temanku, aku menoleh dan melemparkan senyum kepadanya.
“Besok Jessy akan mengadakan pesta di rumahnya, kamu mau datang?” tanya Sana yang sudah
duduk di kursi depanku.
“Hmm, Sepertinya aku harus izin ke ayah dan bunda dulu” ucapku. Sana hanya mengangguk
paham, dia kembali beranjak dari duduknya menuju sisi kelas yang terdapat anak gerombolan
jessy tengah mengobrol seru disana.

Menunggu kelas pagi dimulai, sedari tadi aku hanya menulis buku kecil dihadapanku.
Sekelebat aku kepikiran perihal pagi ini tadi, sejujurnya melihat kakak yang setiap hari selalu
kena marah membuatku sedikit kasihan padanya. Pernah di suatu saat aku ingin menghampiri
kakak menenangkannya dan membujuknya untuk berubah baik. Tetapi, hal itu kuurungkan
karena mengingat hubunganku dengan kakak tidak semulus hubungan kakak beradik pada
umumnya, untuk sekedar bercerita dan tertawa bersamanya pun tak pernah kami lakukan. Jalan
pikir kami berbeda walaupun kami terlahir dari darah yang sama tidak bisa dipungkiri bahwa
kami memiliki pemikiran yang jauh berbeda. Oleh karena itu,dari pada hubungan kami menjadi
lebih panas lagi, aku tak ingin mencampuri urusan kakak sejak saat itu.

“Hulya besok mau kan datang ke pestaku?” tanya Jessy tiba-tiba datang menghampiriku
dan Sana yang tengah duduk di taman sekolah. Setelah kelas pagi berakhir aku memutuskan
untuk menuju taman bersama Sana, menikmati udara segar pagi menjelang siang ini.
“Aku izin dulu ke ayah dan bunda ya, Jess” jawabku tak lupa dengan senyum ramahku
“Tumben sekali izin ke ayah bunda, biasanya selalu jawab ‘iya aku akan datang’ ” ucap Jessy.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Sebenarnya ada sesuatu yang membuatku menolak
ajakan Jessy. Kami sudah sangat dekat sejak kecil, untuk pergi ke rumahnya pun sebenarnya tak
perlu izin ke ayah bunda karena keluarga kami sudah berteman baik. Tetapi semenjak
percakapanku dengan nenek malam tadi membuatku harus segera bertemu dengan Hani. Agar
teman-temanku tak curiga padaku terpaksa aku mengatakan hal itu pada jessy tak ingin
membuatnya bersedih karena tolakanku.

Sejak pagi tadi aku belum melihat Hani, kemanakah gadis itu? Dia tidak terlihat datang
ke sekolah ini. Tiba-tiba aku mengingat satu hal, segera aku berlari menuju warung depan
sekolah.
“Tutup?” melihat warung milik neneknya Hani sepi membuatku kebingungan.
“Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Hani dan neneknya” tanyaku dalam hati. Kegelisahan
mulai menghantui diriku, perasaan buruk membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Kelas terakhir
akan segera dimulai aku tak punya banyak waktu lagi akhirnya aku segera kembali menuju kelas.
“Setelah kelas berakhir aku akan mencari kerumahnya”

Aku berlari menuju kelas seiring dengan berbunyinya bel yang sangat nyaring. 1 jam
lebih 20 menit semenjak pelajaran dimulai aku hanya memandang keluar jendela sambil
mengetuk-ngetuk bulpen ke meja. Pikiranku hanya satu “ Kemana perginya Hani dan
neneknya?” hingga satu tepukan halus di bahu membuatku menoleh mencari tahu siapa yang
menyadarkanku dari lamunan kosong sejak tadi.
“Kau tak ingin pulang?” tanya Sana yang sudah berdiri sembari menenteng tasnya. Aku sedikit
terkejut tak menyadari kelas sudah berakhir bahkan ruang kelas sudah mulai sepi.
“Ah iya…kamu duluan saja, aku mau mampir kesuatu tempat setelah ini” kataku sambil
berberes.
“Kau kenapa? semenjak pelajarannya Mrs. Kelly kulihat kamu banyak melamun” heran Sana
“Ah tidak, aku baik-baik saja” jawabku sembari tersenyum menyakinkan Sana bahwa aku baik-
baik saja.
“ Baiklah aku duluan ya, Assalamualaikum”
“Iya,Waalaikumussalam hati-hati Sana” aku melambaikan tanganku berpamitan
dengan Sana yang pulang lebih dulu. Setelah selesai berkemas aku segera berlari keluar kelas
memburu waktu yang telah berlalu dengan cepat. Sasaranku hanya satu yaitu rumah Hani.

“Assalamualaikum Hani…” aku menggedor-gedor pintu yang terbuat dari kayu rapuh itu,
atap yang pendek membuatku sedikit membungkuk. Suasana rumah yang sepi menandakan
bahwa Hani dan neneknya tidak ada di rumah.
“Pak, apakah bapak tau dimana orang yang tinggal di rumah ini?” tanyaku kepada seorang bapak
tua yang sedang melintas.
“Tidak nak,” jawab bapak itu singkat kemudian pergi meninggalkanku yang tengah
kebingungan. Tanpa berpikir panjang aku segera bertanya-tanya ke banyak orang di sekitar
rumah Hani. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui keberadaan hani dan neneknya. Aku tak
menyerah hingga tujuan terakhirku jatuh pada ibu- ibu yang berjualan di pinggir jalan dekat
rumah Hani.
“Tadi pagi aku sempat melihat nenek dan gadis itu keluar dari rumahnya dengan
membawa banyak barang, aku pikir mereka akan pindah soalnya sekitar 3 hari yang lalu ada
beberapa orang dengan pakaian hitam tampak datang ke rumah itu, sepertinya menagih biaya
rumah. Karena sempat juga aku mendengar lelaki itu marah-marah.” Jelas seorang ibu yang
berjualan di di pinggir jalan.

Aku segera kembali ke rumah Hani, duduk di kursi kecil depan rumahnya memandang
seluruh sudut rumah kecil nan rapuh itu membuat hatiku sangat teriris di kala mengingat setiap
ucapan dari ibu penjual beberapa menit yang lalu. Di kehidupan ini, kali pertama aku mendapati
kejadian seperti ini. Seorang gadis seusiaku yang hanya tinggal bersama sang nenek di rumah
kecil, temboknya terbuat dari kayu-kayu yang nampak dirangkai hingga ada beberapa sudut yang
berlubang, membuatku berpikir entah bagaimana jika aku yang tinggal di rumah ini. Setiap
malam aku akan merasakan dingin yang luar biasa ditambah rumah yang letaknya tak jauh dari
kerumunan jalan pastinya sangat sulit untuk menikmati malam yang syahdu, tidur nyenyak pun
pasti juga sulit sekali. Tiba- tiba setetes air turun dari kedua kelopak mataku, mencoba menahan
rasa sakit dihati yang sangat bergejolak. Aku menangis, menangisi kehidupanku.
“Belum sempat aku mengenal lebih jauh tentangnya tapi dia malah sudah pergi”
“inikah kesedihan yang terlihat di mata indah Hani ketika awal kali kami bertemu?” tanyaku
dalam hati masih mencoba untuk menahan tangis yang kian deras tak terbendung.

Hari semakin sore, sejak beberapa jam yang lalu aku masih tak bisa menahan
kekecewaan dalam diriku untuk makan siang saja rasanya tak berselera. Tiba-tiba terdengar
seseorang masuk ke dalam kamarku, kudapati nenek berjalan mendekat sembari membawa
senampan makanan dan segelas susu.
“Nenek, kenapa nenek melakukan ini?” segera aku bangkit dari dudukku dan mengambil
nampan yang dibawa nenek untukku.
“Sejak siang tadi cucuku yang paling cantik ini belum makan, nenek pikir kamu sedang diet tapi
sepertinya tidak, semalam saja makanmu sangat banyak” ucap nenek sembari mengelus
rambutku penuh sayang. Aku tertawa mendengar ucapan nenek,
“Terima kasih banyaaakk nenekku tersayang, aku akan makan kalo gitu.” Aku menyambar
sepiring nasi dengan sayur sop yang masih mengepul, memakan dan sesekali menggigit sepotong
daging ayam sebagai pelengkap. Sesekali aku juga menyuapi nenek untuk ikut makan
bersamaku, tawa dan canda menemani makan siangku yang sudah sangat terlambat. Disela-sela
makan aku tampak memikirkan sebuah ide bagaimana aku bisa mengenal Hani lebih jauh.

Aku mencoba untuk berpikir positif dan lebih dewasa lagi, keinginan kuat dan rasa
penasaran akan sosok Hani masih bergelantungan dalam pikiranku. Gadis itu seperti memiliki
sesuatu yang sangat berpengaruh dalam hidupku, entah perasaan apa yang tengah aku temukan
ketika melihatnya. Suatu saat nanti aku yakin kami pasti akan bertemu lagi.

“Ayah dengar dari direktur Sam, putrinya yang bernama Jessy akan mengadakan pesta,
kau diundangkan sayang?” tanya ayah yang duduk disampingku memperhatikan laptop yang
tengah dipangkunya sejak pulang dari masjid menunaikan sholat isya’nya.
“Astagfirullah, ayah aku hampir lupa. Iya Jessy mengundangku ke pestanya besok tapi aku
sedang tak ingin datang.” ucapku memelan tepat dikata terakhir.
“Tumben,” timpal ayah. Aku menoleh dan langsung menyandarkan kepalaku dibahu kiri ayah,
sembari memilin ujung piyamaku.
“Aku…sebenarnya ada yang ingin aku katakan pada ayah,” ucapku tiba-tiba, ayah menoleh
menatapku penuh keseriusan begitupun aku.
“Ayah…jadi” belum sempat kuselesaikan kalimatnya, terdengar suara keras benda terjatuh.

“Tidak!!...” teriak kakak dari kamarnya, aku dan ayah bergegas menuju kamar kakak
yang terletak di lantai dua. Sebuah laptop terjatuh ke lantai, kepingan kecil terlihat berserakan
mengotori lantai kamarnya. Aku menghampirinya berinisitaif membantu membersihkan laptop
yang sudah terpecah belah. Belum sempat kusentuh kepingan kecil itu sebuah tangan tiba-tiba
mendorongku kuat hingga aku terjatuh cukup keras.
“Pergi kamu anak ingusan! Jangan menyentuh laptop mahalku! hiks..hiks” teriak kakak langsung
mencegah dan mendorongku.

Ayah yang berada di belakangku langsung membantuku berdiri. Ibu dan nenek yang
mendengar kegaduhan langsung menghampiri kami.
“Apa yang kamu lakukan sampai laptop yang ayah belikan beberapa hari yang lalu sampai bisa
hancur seperti ini?” tanya ayah penuh ketegasan,
“Aku tengah mencoba baju baruku, tapi tanpa kusadari ketika akan mengambil dan ingin
menatanya, lenganku menyenggol meja dan…” jelas kakak pelan masih sibuk membereskan
pecahan laptopnya.
“Ayah tidak akan membelikan laptop baru lagi.” Ucap ayah sebelum beranjak pergi dari kamar
kakak.
“Ayah!!, laptop sangat penting untukku” teriak kakak, berlari keluar kamar mengejar ayah.
Belum sampai di ujung pintu bunda mencekal lengan kiri kakak dan mendorongnya kasar.
“Ayah dan bunda sudah peringatkan kepada kamu kan? Inilah akibattnya jika kamu banyak
menentang kami, sudah 20 tahun kak, ingat itu kamu bukan anak kecil lagi!” tegas bunda.

Bunda dan nenek segera pergi dari kamarnya, tinggal lah aku dan kakak. Ku langkahkan
kedua kaki ku berniat untuk menenangkan Kak Oza,
“Kak, kakak bisa meminjam laptopku dulu saja” ucapku sembari tersenyum tulus pada kak Oza.
Dia menatapku tajam mendekat dan mencekal kedua tanganku.
“Aku tidak butuh belas kasih dari anak ingusan seperti dirimu,” ucapnya penuh penekanan. Aku
meringis pelan merasakan kedua tanganku diremas kuat kak Oza.

Cerita singkat Oza Aiyla Filiz

Anak perempuan tertua dari keluarga Filiz, 20 tahun menjalani hidup penuh kemewahan
membuatnya terlena akan kenikmatan dunia. Menjadi seorang mahasiswi di salah satu
universitas ternama di kota ini, menempuh semester 5 dan akan menlanjutkan karirnya di benua
Eropa tepatnya New York tempat bibi Ana berada. Semenjak kecil dia terdidik dibawah asuhan
bibi Ana itulah sebabnya Oza menjadi lebih bebas, Ayah dan Bunda berkali-kali bahkan setiap
hari selalu menasihatinya, tapi apalah daya Allah maha membolak-balikkan hati. Ayah dan
bunda terkadang merasa gagal dalam mengasuh Oza, tidak pernah menyangka putrinya akan
bersikap seperti itu.

Faktor pergaulan juga menjadi salah satu penyebabnya, semua temannya juga merupakan
anak CEO ternama di berbagai kota, Oza merupakan tipe teman yang sangat pemilih ia hanya
akan berteman sesuai derajatnya, salah satunya yang tidak ia sukai adalah bertemu bahkan
bergaul dengan orang kampungan.

Aku mendekati ayah yang sedang kembali duduk dikursi tadi, tangan kanannya tengah
memijat pelipisnya sesekali terdengar hembusan napas kasar. Aku memberanikan diri
menyentuh pundaknya dan duduk disamping ayah. Ayah menoleh manatapku dan tersenyum
tipis. Aku bisa merasakan apa yang tengah ayah rasakan, akhir-akhir ini ayah lebih sering
mendiamkan sikap kakak mungkin ada rasa lelah ketika menghadapi sikap bebas dalam diri kak
Oza yang sulit dikendalikan.
“Ayah, ini sudah sangat malam lebih baik ayah segera beristirahat dan tidur” ucapku
penuh tulus, “Iya, kamu juga segera tidur besok masih sekolah kan?” aku mengangguk
tersenyum, ayah beranjak dari duduknya berjalan lemas menuju kamar.
“Hah…” aku menghembuskan napas yang terdengar menyedihkan setelah
merebahkan tubuh ramping ini di atas ranjang empuk, melepas segala kejadian tempo hari.
Bermula ketika tak medapati sosok Hani sampai sikap kakak, hari ini penuh kejadian yang
membuatku kecewa, sulit untuk berpikir dan fokus hingga tanpa sadar dengkuran halus terdengar
mengisi kesunyian malam.

“Kamu benar-benar tidak akan datang Hul?” tanya Jessy begitu tiba di ruang kelas,
“Maafkan aku Jess, aku sedang ada urusan nanti malam mendadak dan tidak bisa aku
tinggalkan” ucapku penuh rasa bersalah menolak ajakan temanku Jessy, dia mengangguk paham.
“Yah, kok gitu sih Hul urusan apasih ampe gak bisa ditinggal?” rengek Sana tepat disampingku.
“Aku janji deh, cuman nanti malam aja aku izin gak datangnya. Besok-besok kalo ada pesta atau
acara lagi aku pasti datang kok,” ucapku meyakinkan Sana yang tengah cemberut.
Siang ini matahari tampak semangat memancarkan sinar panasnya, rasa haus
menggiringku menuju kantin membeli minuman dingin untuk menghilangkan rasa haus
bercampur panas siang ini. Belum sempat tanganku membuka lemari kulkas yang terletak di
samping kasir ada sebuah tangan yang lebih dulu membukanya terkesan kasar dan terburu-buru.
“Auhh, I’m sorry beb” ucapnya padaku, menyadari sikapnya yang membuatku terkejut.
“Iya, tidak apa-apa” balasku sembari tersenyum kearahnya kemudian mengambil minuman yang
kuingankan dan langsung membayarnya. Lona nama gadis yang bertemu dengan ku tadi, gadis
yang terkenal sangat fasih berbahasa inggris itu dulu sempat membuatku iri. Namun, tidak lagi
dia memiliki sikap yang diluar dugaanku ketika awal kali kami menjadi teman. Lona berbeda
kelas denganku tapi dia adalah sahabat dekat Jessy tentu saja aku mengenalnya. Sikapnya yang
sangat arogan dan egois, ah membuatku miris tampangnya yang sangat sempurna tapi tidak
dengan kepribadiannya.

Sepulang sekolah aku, Sana, dan Jessy pergi ke suatu kafe langgangan kami, dua hari
yang lalu sempat ada kabar kalau kafe ini sedang launching varian rasa baru. Tentu saja kami tak
ingin ketinggalan untuk mencobanya, menunggu sambil bercerita di tempat duduk favorit kami.

“Nanti malam bakal ada banyak tamu undangan, teman-teman ayah yang di luar negeri akan
datang menghadiri pesta ku” cerita Jessy dengan raut muka yang tak dipungkiri bahagia sekali,

“Aku bahkan sampai sekarang belum nentuin gaun apa yang akan kupakai nanti,ahh hampir
lupa”keluhnya.
“Aihh…buat apa bingung-bingung pake gaun yang mana, kamu mah apa sih yang gak cocok”
ucapku menggodanya, Jessy tertawa terpingkal-pingkal berbeda dengan Sana yang terkejut
menatapku.
“Kamu bisa aja deh”
“Iyuhh…gak kuat aku” keluh Sana sambil memutar matanya jengah, tiba-tiba saja kami bertiga
tertawa bersama bahkan sangat kencang hingga membuat kami sorotan pengunjung lain. Tak
lama pesanan kami pun datang.

Menikmati secangkir kopi bertoping krim coklat memiliki cita rasa yang sangat beda
apalagi dipadukan dengan beberapa camilan yang kami pesan. Mengobrol bersama teman dekat
membuat hatiku menjadi jauh lebih baik, tawa canda, cerita lucu bahkan menyedihkan kami
ceritakan bersama sampai tak terasa semua minuman dan makanan diatas meja telah ludes habis
masuk ke perut semua.

4 bulan telah berlalu

Aku berdiri tepat di depan mading sekolah, ada pengumuman baru tentang acara akhir tahun
yang rutin diadakan oleh sekolahku. Banyak sekali acara dan lomba yang tertera di lembaran
kertas berukuran folio itu, tetapi ada satu lomba yang membuatku tertarik dan sejenak berpikir.

“Registrasi berada di ruang OSIS, paling lambat besok” ucapku pelan setelah membaca catatan
kecil yang tertulis paling bawah di pengumuman itu. Segera aku berlari menuju ruang OSIS,
diluar dugaan banyak sekali siswi yang mengantri disana pasti akan banyak juga saingan
dilomba nanti. Seketika semangat dalam diriku luruh begitu saja. Pasalnya aku sama sekali
belum pernah mengikuti lomba yang sangat ku inginkan itu. Aku berjalan berbalik arah dari
ruang OSIS tersebut berjalan gontai menuju ruang kelasku yang berada di lantai 2.

Bel pulang sekolah berbunyi kencang

Aku berjalan sendiri menyusuri lorong sekolah, masih memikirkan tentang lomba itu entah
mengapa aku menjadi tidak percaya diri akan kemampuanku. Rasa takut akan kurangnya
pengalaman bersaing dalam suatu perlombaan membuatnya menjadi salah satu ketidakpercayaan
ini muncul dalam diriku.

Lamanya melamun tanpa kusadari ada seseorang yang menyentuh pundakku ketika aku sudah
berada di depan gerbang sekolah. Mengangkat kepalaku untuk melihat siapa orang itu. Kedua
mataku membulat sempurna, terkejut segera saja kupeluk tubuh rapuh yang tengah berada
dihadapanku.

“Hulya” panggilku dalam keadaan memeluk erat si gadis yang beberapa bulan lalu menghilang
tanpa kabar. Dalam pelukanku aku menangis, tiba-tiba saja air mata ini lolos tanpa perizinanku.
Mungkin efek rasa sedih dan rindu yang begitu menyeruak. Kurasakan tangan rapuh itu
mengelus punggungku mencoba menenangkan diri ini yang tengah menangis.

Beberapa menit berlalu, perlahan kuurai pelukan hangat ini setelah tangisanku berhenti. Hani
menuntunku menuju kursi kecil yang terletak di samping pintu keluar, kami duduk bersisihan
dan terdiam cukup lama.

“Bagaimana kabarmu?” pertanyaan yang aku dan Hani ucapkan secara bersamaan sontak
membuat kami saling bersitatap.

“Kamu pergi kemana saja? aku mencarimu” tanyaku memulai pembicaraan kami.

“Maafkan aku, kami harus pergi dan tidak bisa kembali sebelum membayar tagihan” jawabnya
lirih, masih sama seperti dulu kedua tangan gadis rapuh itu memilin ujung bajunya tampak
gugup.

“Lalu dimana kalian tinggal sekarang?”

“Aku dan nenek sudah kembali kerumah lama, kami sudah membayar tagihannya”

Aku mengangguk paham, kami berdua kembali terdiam. Rasa canggung masih ada di pertemuan
kedua kami, lama tidak berjumpa dan belum mengenal lebih dalam satu sama lain membuatku
bingung harus mengobrol apa padanya padahal sebelumnya banyak sekali yang ingin kutanyakan
padanya tiba-tiba saja menjadi lupa ketika bertemu dengannya.

Anda mungkin juga menyukai