Anda di halaman 1dari 9

“Haus Akan Kasih Sayang”

Oleh : SHARON PANGEMANAN

Remaja dalam masa pertumbuhan, sehingga banyak


keinginan yang ingin dilakukan, namun jangan lupa semua
ada batasnya dan masa-masa sekolah adalah hari terindah
sebelum menuju dewasa. Maka nikmatilah hari-hari itu.
............................

Sore ini matahari terasa tak bersinar bahkan sang cakrawala mulai berwarna gelap hingga
terdengar rintik hujan. Kota ini selalu penuh dengan hiruk-pikuk asap serta suara kendaraan
yang berlalu-lalang, walaupun sudah malam banyak orang di kota ini selalu kerja bagai roda.
Misalnya orang tuaku, ya orang tuaku. Aku tersadar dari lamunanku dan beranjak berangkat
ke rumah sebelum hujan semakin turun deras.

Mengingat rumah, mungkin bagi orang lain rumah adalah tempat dimana kita bisa
melepaskan seluruh keluh-kesah sebagai remaja, namun bagiku rumah hanya sebatas benda
mati tanpa ada kehangatan didalamnya. Sesampainya di rumah. Aku melihat Ibuku yang
sedang tersenyum manis sambil memandangiku dengan tangan yang penuh kotoran habis
memasak dan Ayah yang duduk di teras sambil menyeruput kopi, rumah itu terasa sangat
hangat dengan berbagai candaan dan kegiatan antara Ibu dan Ayah. Namun lagi-lagi itu
semua hanyalah khayalan dalam pikiranku yang tak mungkin terkabul. Rumah ini selalu sepi
bahkan bunga yang ada di halaman rumahpun nyaris mati.

Aku masuk ke rumah dengan langkah kaki yang besar menuju kamar tidurku, mencoba
untuk tidak memedulikan keadaan rumah yang sudah tak pantas kusebut rumah. Hidupku
berjalan tanpa ada kehidupan didalamnya, kosong bahkan sangat kosong, Aku selalu hidup
layaknya benda mati. Saat malam hari Aku selalu berusaha menelpon kedua orang tuaku,
walaupun kutahu ujung-ujungnya tak diangkat dan dikemudian hari pasti alasannya sama
dengan hari-hari sebelumnya. "Elena, kami lagi sibuk, kalau ada yang mau dibicarakan
diketik saja.'' alasan itu selalu sama setiap harinya sampai membuatku muak. Entah dengan
cara apalagi Aku menarik perhatian mereka, dengan prestasi saja tidak mereka responi, apa
Aku harus berbuat nakal?.

Padahal Aku hanya ingin mendengar suara mereka yang sudah lama tak kudengar,
mungkinkah mereka lupa? kalau di sini, di rumah ini, masih ada Aku yang butuh kasih
sayang mereka. Aku menatap nanar gawai yang sedang kugenggam, ingin sekali kuberkata.
Aku merindukan kalian, namun hal itu hanya sampai dimulutku. Aku hanyalah seorang anak
yang tak bisa berkata-kata dalam mengutarakan isi hati. Mereka yang membuatku ada, tapi
sepertinya mereka juga yang tak menginginkanku.

"Sudahlah tak ada gunanya Aku memikirkan hal itu" ucapku dan melanjutkan tidur.

Di pagi nan cerah ini, sang sinar baskara masuk ke dalam kamarku, rasanya terasa hangat
dengan berbagai suara aktivitas yang kudengar dari luar rumah. Namun hari ini entah kenapa
Aku merasa beda dengan hari sebelumnya. Aku bergegas bangun dari tidurku dan segera
bersiap untuk ke sekolah, Aku selalu berjalan pergi ke sekolah sebab ini sudah menjadi
rutinitasku. Karena menurutku jarak sekolah dengan rumahku hanya berpaut beberapa
kilometer, tanpa sadar Aku sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah yang menjulang
tinggi ke atas. Aku menatap gedung itu yang sudah penuh dengan siswa-siswi yang baru saja
tiba. Lonceng sekolah berbunyi, Aku berlangkah masuk ke dalam sekolah dengan bisik-bisik
yang menyerangku dari segala arah.

"Heh, itu Si Nakal."

"Diw, tukang bolos."

"Pantes nakal, keluarganya aja gak peduli."

Tak heran lagi mendengar mereka memanggilku Si Nakal, ini sudah menjadi seperti
kebiasaan waktu Aku masuk sekolah. Sebab keberadaanku di sekolah tak pernah jauh dari
kata bolos dan bullying. Dipanggil guru atau dilaporkan kepada guru adalah hal yang biasa
bagiku saat ini. Lagi pula, perkataan mereka tentangku hanyalahku anggap angin lalu. Aku
jadi semakin malas berada di sekolah. Sekolah bagiku sekarang hanya membuang waktu
apalagi ini hari senin, hari yang paling membuatku tak ingin belajar dan solusiku satu-satunya
adalah bolos. Ya bolos!.
Aku berjalan menyusuri lorong mengendap-endap, agar tak ketahuan oleh guru atau murid
yang lewat. Tujuanku saat ini pergi ke belakang sekolah yang telah menjadi tempat untuk
Aku bisa keluar dari sekolah ini. Namun ada siswa satu kelas denganku yang mendapatiku
sedang memanjat tembok sekolah.

“Hey, Kamu bolos?” Ucapnya.

Diriku menjadi tegang, tak kusangka ada orang lain di belakang sekolah ini. Aku menoleh
ternyata dia si Dewi, murid satu kelas denganku dan yang paling sering kutindas.

“Awas kamu laporin ke guru.” kataku mengancamnya.

“Tapi Elena, bolos itu gak baik” ucapnya pelan.

“Ini hidupku, gak usah banyak ngomong dan sampai ketahuan oleh guru, Aku akan
semakin kasar menindasmu” ucapku tegas.

“Iya, maaf Elena.”

“Pergi dari sini Dewi!!”

Langkah kakinya sudah semakin jauh dari pendengaranku. Pagi-pagi begini sudah
membuatku kesal, namun lagi-lagi ada suara yang menggangguku saat ingin melanjutkan
memanjat.

“Kamu ngapain di sini? ini jam belajar. Ibu lihat-lihat kamu semakin nakal ya, sini ikut
ibu.”

Aku mengela nafas berat “Pasti Dewi nih yang laporin guru” batinku.

“Aaa, baik bu” kataku sambil berusaha turun dari tembok.

Walaupun Aku terkenal dengan kenakalanku, namun Aku tetap mempunyai prinsip harus
menghormati orang yang lebih tua. Kami berjalan melewati lorong demi lorong menuju
ruang wakasek, dengan suara bisik-bisik yang lagi-lagi kudengar.

"Dia gak kapok apa ya keluar masuk terus ruang wakasek."


"Si Nakal berulah lagi nih."

"Gak cocok banget jadi perempuan."

Sesampainya di ruang wakasek, Aku langsung disuruh masuk. Ruangan ini terlihat
nyaman dengan dekorasinya yang bagus dan beberapa bunga yang terawat, padahal terakhir
kali kumasuk ruangan ini sangat berbeda dengan sebelumnya. "Direnovasi mungkin" pikirku.

"Elena, silakan duduk" kata gurunya padaku.

Aku langsung duduk tanpa membalas perkataan sang guru.

“Elena ada apa denganmu? Kamu awal masuk sekolah tidak begini. Kamu selalu rajin
bahkan sering ikut lomba, kamu berprestasi nak. Namun kenapa kamu sekarang sudah berani
bolos dan membully. Nak denganmu begini, tak akan pernah menyelesaikan setiap masalah
yang kamu alami, kamu hanya membuat dirimu semakin jatuh dan tak tahu jalan untuk
keluar. Dirimu saat ini hanya menjadi satu dari banyaknya remaja yang akan menghancurkan
negara kita, kamu pasti telah belajar bahwa kemenangan dan kemerdekaan yang sedang kamu
nikmati dan cicipi sekarang tak akan bisa untuk bertahan lama dengan kondisi masyarakat
didalamnya yang jauh dari kata mau berubah. Ibu harap kamu mau berubah Elena” ucap sang
guru dengan nada lembut dan harapan yang begitu besar.

Aku sadar, bahkan Aku tahu apa yang kuperbuat sekarang. Namun begitulah Aku, hanya
duduk diam dan tidak meresponi perkataan sang guru. Aku selalu berpikir dengan prestasi
saja tak dapat membuat orang tuaku meresponiku. Hanya dengan kenakalan mereka mau
berbicara denganku meski hanya beberapa kali dan sering memarahiku sehingga
mengeluarkan kalimat yang kasar. Namun Aku begitu senang bisa mendengar suara mereka,
sebab hanya dengan begitu mereka mau meresponiku.

"Ibu dengan berat hati harus memanggil orang tuamu dan usahakan kali ini orang tuamu
datang. Ibu tak mau lagi mendengar banyak alasan darimu."

Ya, sudah tak heran lagi pembicaraan ini berakhir dengan pemanggilan orang tua, tapi
Aku tak peduli. Karena mau dengan cara bagaimanapun mereka tetap tak akan datang,
mungkin mereka lagi asyik dengan dunianya sendiri. Aku memilih tetap diam dan tak
meresponinya sampai kudengar.
"Baiklah kamu silakan keluar dari ruangan ibu dan masuk ke kelas sekarang! jangan lupa
memanggil orang tuamu besok."

Aku langsung keluar dari ruangan itu dan melanjutkan pergi ke kelas, namun dalam
perjalanan Aku melihat Dewi yang sedang berjalan dengan berbagai buku di tangannya. Aku
mengingat kejadian tadi pagi dan berpikir Dewilah yang melaporkanku. Aku
menghampirinya dan berkata. ''Pulang sekolah ikut Aku." Dia hanya mengangguk dan Aku
melanjutkan jalan pergi ke kelas, dikelas Aku tak benar-benar mendengarkan setiap materi
yang diajarkan, Aku hanya duduk diam berharap kelas ini cepat berakhir. Jujur saja, Aku iri
setiap kali melihat kedekatan murid-murid dikelasku. Tapi Aku sadar tak ada yang mau
berteman denganku, lebih tepatnya mereka takut padaku.

Lonceng sekolah berbunyi pertanda jam pulang telah tiba, Aku langsung bangun dari
dudukku dan berjalan keluar kelas sambil menunggu Dewi. Setelah beberapa menit kutunggu
dia. Dewi berjalan keluar kelas. Aku langsung menariknya menuju gang kecil dekat sekolah
yang jarang dilewati oleh orang, gang ini sudah sangat tidak terawat dengan sampah yang
berserakkan dan rumput-rumput liar yang mulai tumbuh.

"Kamu yang laporin Aku ke guru tadi pagi!" kataku, sambil mendorongnya.

"Gak Elena, aku gak ngelaporin kamu" katanya, dengan badan yang hampir bergetar takut.

''Ttapi memang bu...bukan aku."

Aku mengambil air di tasku dan langsung menuangkan dikepalanya. Aku sudah terlanjur
emosi dan tak mau berbuat lebih kasar lagi, sehingga Aku langsung pergi dari gang itu dan
meninggalkannya dengan badan yang sudah merosot ke bawah sambil menangis. Aku
mengambil gawai yang berada di sakuku, berniat untuk memesan ojek online, sebab Aku
sudah terlalu lelah untuk berjalan. Namun ada pesan masuk mengenai penjualan obat
terlarang yaitu, ganja. Awalnya Aku tak berniat ingin membelinya, tapi saat kubaca kembali
obat itu bisa menimbulkan rasa kebahagiaan, Aku ingin membelinya. Aku ingin merasakan
kebahagiaan dari obat itu, sehingga Aku memesannya dan menyuruhnya bawa ke rumahku.

Tin..tin

"Mba Elena ya?"


Suara klakson motor berbunyi, dan ternyata itu ojek pesananku, "Ehh iya pak." Tanpa
berlama-lama Aku langsung naik dan kami langsung berangkat menuju rumahku.
Sesampainya di rumah Aku melihat ada paket di depan pintu rumahku, Aku membukanya
dan ternyata isinya adalah obat yang kupesan tadi. Tak kusangka obat itu sudah sampai, Aku
langsung menaruhnya di tas sambil berjalan ke kamarku. Lagi-lagi rumah ini kosong, entah
sampai kapan mereka tak akan pulang.

Hari sudah malam dan rasanya terlalu cepat, Aku jadi teringat pemanggilan orang tua.
Mungkin tak ada salahnya untuk mencoba menelepon mereka, namun ternyata percuma,
mereka tetap tidak mengangkatnya, Aku memilih untuk mengirim pesan saja. Keesokannya
Aku kira mereka sudah membalas pesanku, tapi harapanku sirna, mereka hanya membacanya
tanpa dibalas.

Air bening mulai keluar dari mataku dan terus mengalir di pipi. sampai kapan mereka tak
menganggapku ada? Aku segera menghapus air mataku dengan kasar dan bersiap ke sekolah.
Hari-hariku selalu sama dengan sebelumnya berangkat sekolah, pulang dan berulang begitu
terus. Aku teringat obat yang kubeli kemarin. Aku berniat mengambil dan meminumnya, tapi
kupikir kembali, hari ini Aku harus sekolah dan pasti akan menghadap guru wakasek, jadi
Aku mengurungkan niatku untuk meminumnya dan menaruh kembali ke dalam tas sekolah
sambil melanjutkan rutinitasku berjalan ke sekolah.

Sampai di sekolah Aku melihat banyak siswa berlalu-lalang entah melakukan apa, namun
dalam perjalanan menuju kelas. Aku bertemu dengan Ibu Gina (Ibu Wakasek)

"Elena orang tuamu datang kan?"

"Aaa itu Bu..." sebelum kumenyelesaikan kalimatku suara dari toa speaker terdengar.

"Selamat pagi semua, dimohon kepada seluruh siswa untuk ke aula sekolah sekarang
dengan membawa seluruh perlengkapan kalian, baik itu tas sekolah, gawai dan lain
sebagainya.

"Elena kamu ke ruang aula saja dulu" kata Bu Gina padaku.

"Baik Bu" kataku dan mulai berjalan menuju ruang aula sekolah.
Ruangan aula ini sudah penuh dengan banyak siswa-siswi yang bertanya-tanya, mengapa
mereka dikumpulkan di ruangan ini, begitu juga denganku, karena kami jarang sekali
dikumpulkan bersama-sama apalagi ini seluruh murid. Suara dari mikrofon terdengar
menggema di seluruh ruangan ini.

"Selamat pagi semua, jadi kami dari pihak kepolisian akan mengadakan pemeriksaan
mengenai obat-obat terlarang dan mohon kerja samanya dari kalian. Namun sebelum itu ada
beberapa hal yang ingin kami sampaikan. Kalian pasti mengerti kenakalan yang sering terjadi
saat ini bukan hanya merusak diri kalian sendiri namun negara juga bisa terkena imbasnya.
hal itu juga dapat disebabkan oleh era globalisasi kita pada saat ini yang bisa membawa
dampak positif maupun negatif. Sebab di era globalisasi ini banyak arus budaya yang masuk
dan dapat mempengaruhi cara pergaulan maupun tindakan kalian, sehingga semakin kalian
melanggar norma yang ada, semakin negara ini tak akan bisa berkembang, karena pada saat
ini generasi mudalah yang bisa membuat negara kita berkembang dan hancur. Diharapkan
juga kepada kalian semua untuk bisa menjaga diri, terutama negara kita."

Suara tepuk tangan menggema di ruangan ini, namun tidak denganku. Mukaku sudah pucat
dan berkeringat dingin mendengar adanya pemeriksaan obat terlarang. Aku terlalu bodoh
menyimpan obat itu dalam tas sekolahku. Inginku berdiri dan pergi dari ruangan ini, tapi
pemeriksaannya sedang berlangsung dan saat ini giliranku "Astaga bagaimana ini, kamu
bodoh, bodoh Elena" Aku semakin takut saat pihak kepolisian sedang membongkar tasku.

"Nama kamu siapa?" tanyanya menatapku tajam.

"Elena pak" kataku semakin takut.

"Kamu mengonsumsi obat ini? kamu tahu tidak obat ini dapat merusak sarafmu bahkan
bisa menjadikanmu depresi dan halusinasi,” ujarnya sambil menunjukkan obat itu.

"Tidak Pak, beneran Aku belum pernah meminumnya" kataku dengan suara nyaris
bergetar.

Semua murid di ruangan ini memandangiku dengan berbagai tatapan dan bisik-bisikkan
dari mereka yang semakin terdengar jelas olehku. Aku menangis, Aku sangat takut sekarang,
suara mereka bagaikan monster di telingaku.
Bip...bip...bip

Aku terbangun dari tidurku dengan air mata yang mulai jatuh dan nafas yang tak beraturan.
Mimpi itu terasa sangat nyata bagiku, Aku mengambil gawai yang sudah berbunyi dari tadi.

"Elena kamu gak sekolah? ini udah mau masuk" kata Dewi yang barusan meneleponku.

"Iya ini Aku lagi siap-siap" kataku bohong.

"Oh yaudah" kata Dewi dan langsung mematikan telponannya.

Sebenarnya Aku tak terlalu dekat dengan Dewi, kami hanya sering bertukar sapa, namun
Aku tak terlalu memedulikannya.

Aku segera bersiap untuk ke sekolah, di dalam perjalanan Aku lagi-lagi memikirkan
mimpiku, namun tak sadar ternyata kakiku telah membawaku sampai di sekolah, Aku
langsung berlari saat melihat satpam mulai menutup pagar sekolah. Aku menyusuri lorong
demi lorong dan langsung berlari kearah Dewi yang sedang berjalan sendirian.

“Dewi maaf, maaf” Kataku, saat mengingat bagaimana keadaan Dewi dalam mimpiku.

“Elena kamu kenapa sih jadi aneh banget akhir-akhir ini, mulai dari kamu sering bolos,
tidak mendengarkan materi dari guru, Aku tahu kok aku gak dekat denganmu, tapi setidaknya
kamu mau cerita kalau ada masalah. Karena dengan kamu begini bukan hanya dirimu yang
kena imbasnya tapi negara kita juga, dan tanpa kamu sadari banyak yang menyayangimu.
Terutama satu Pribadi yang lebih menyayangimu dengan tulus.”

Aku terharu mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Dewi. Aku sadar, Aku
tak perlu untuk berubah hanya untuk menarik perhatian kedua orang tuaku, karena
sesungguhnya masih banyak orang yang menyayangiku dengan tulus dan Aku akan belajar
dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat menunjukkan pada mereka, bahwa Aku bisa
mandiri tanpa kehadiran mereka dihidupku.

……………….
Kenakalan hanya membuat suatu bangsa menjadi mundur,
sebab semakin berkualitas generasi mendatang maka semakin
maju juga negara kita.

Sharon Angel Pangemanan

Anda mungkin juga menyukai