Anda di halaman 1dari 4

SEBUAH HARAPAN UNTUK MASA DEPAN

Semilir angin malam menjatuhkan lamunanku dalam setumpuk buku yang tersusun rapi di
atas meja belajar. Pikiranku menjalar kemana-mana hingga membuatku bimbang akan tugas
yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Pena yang sejak tadi tergenggam erat, masih pada
posisinya. Aku berusaha mengumpulkan niat hingga tak sadar malam semakin larut.

Tiba-tiba aku tersadar dari labirin mimpi. Kemudian aku membuka jendela dan membiarkan
angin menghempas kenangan pahit yang masih bertengger dalam ruangan kecil ini. Aroma
tanah yang khas mengingatkanku pada kampung halaman. Beberapa hari yang lalu aku
mendengar tangis ibu pecah dalam telepon.

“Nak kamu harus belajar yang baik. Kalau kamu punya waktu minggu depan kamu balik dulu
ke kampung karena ada hal yang ingin dibicarakan oleh ayahmu.” Ungkap ibu dengan
menghela nafas berat. Aku yakin keluarga dirumah tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ibu
menunjukkan ketegarannya padaku malam itu. Beliau menyimpan luka yang begitu
mendalam, namun hati ibu sangat baik untuk disakiti oleh lelaki yang kurang bertanggung
jawab. Ibu telah salah memberikan kepercayaan kepada ayah.

Setelah beberapa lama menatap langit aku tersadar, air mataku terus berlinang. Aku langsung
bergegas ke kampus karena hari ini ada ujian kompetensi dan aku belum menguasai seluruh
materi yang akan diujiankan. Lembaran catatan mulai kupahami sampai waktu ujian tiba.

“Clarin, apakah kamu sudah selesai?” Ungkap seorang wanita yang berdiri di depanku.
Suaranya terdengar begitu jelas namun aku masih belum bisa bangkit dari lamunanku. Tiba-
tiba aku merasakan bajuku ditarik oleh seseorang. Ternyata ia adalah Gadis yg berusaha
menyadarkanku.

“Kamu kenapa sih Clarin? Ujian sudah selesai dari tadi dan kamu masih terdiam seperti ini.
Emangnya ada masalah apa? Cerita dong.” Ocehan Gadis. “Aku tidak apa-apa. Lapar nih,
kantin yuk.” Ajakku mengalihkan pembicaraan.

Kehidupan ini sangatlah pahit dan kita harus bisa bertahan. Aku teringat terus dengan orang
tua yang sebentar lagi akan berpisah. Untuk apa hidup kalau orang yang aku sayang tidak
sayang lagi denganku? Orang yang kujadikan penyemangat hidup tak mampu lagi
mengalirkan semangat dalam diriku. Apakah aku tak pantas menjadi anak yang bisa
mempertahankan kedua orang tuaku? Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku dan tak
satupun kutemukan jawabannya.

“Clarin aku dapat pesan nih. Katanya kamu di panggil oleh Ibu Rosa sekarang di ruangnya.”
Ya Tuhan, ada masalah apa lagi ini? Aku segera ke ruang guru. Aku menemui Ibu Rosa
duduk sendiri di mejanya. “Sebentar lagi deadline lomba Essay akan ditutup. Apakah kamu
sudah mengirimkan karya?” Tanya ibu. “Karyanya sudah selesai saya buat tapi belum saya
kirim bu. Saya akan mengirimnya sebentar.” Jawabku. Ibu mengangguk pelan. “Baiklah. Apa
kamu punya masalah lain? Karena akhir-akhir ini ibu liat kamu sering sekali melamun, dan
hasil ujianmu tidak begitu bagus.” Spontan aku terbelalak mendengar perkataannya. Apa
yang sebenarnya terjadi denganku? Mengapa aku seperti ini? Disaat aku ingin menapaki
tangga kesuksesan, kerap kali aku disodorkan oleh banyak rintangan. Ya Tuhan kuatkanlah
diriku.

Aku menghela nafas berat saat ingin menjawab pertanyaan Ibu Rosa. Sungguh hatiku begitu
rapuh hingga tak kuasa menahan gejolak ini dan air mataku pun menetes. “Aku tidak tahu
harus berbuat apa bu. Sepertinya hidupku akan sia-sia saja. Bagaimana mungkin aku bisa
tegar seperti dulu bu, jika orang tuaku akan berpisah? Aku sebisa mungkin menyembunyikan
masalah ini agar tak ada orang yang susah karena diriku.”

“Jangan terlalu larut dalam kesedihan nak. Semua masalah tidak bisa kamu selesaikan jika
kamu hanya berdiam ditempat, melamun memikirkannya. Bangkitlah nak, karena saat ini
bukan saatnya untuk berdiam diri tanpa tindakan. Tindakan pertama yang kamu harus
lakukan adalah tanamkan dalam hatimu bahwa kamu bisa bahagia. Ibu akan membantumu.”
Seketika kerisauhan akan berbagai kejadian yang muncul mulai terkikis. Ibu Rosa adalah
salah satu guru kimia yang sangat baik, beliau selalu memberikan solusi atas masalah yang
dihadapi oleh muridnya. Sikapnya yang tenang membuatku merasa aman saat berada didekat
beliau.

Hari ini cuaca begitu cerah, aku berharap kecerahan ini tak sirna hingga aku tiba dirumah.
Dalam perjalanan pulang, aku melihat anak kecil sedang tertawa lepas bersama orang tuanya.
Aku sangat rindu dengan suasana yang seperti itu hadir dalam keluarga kecilku. Mobil yang
aku kendarai melaju dengan cepat. Ketika tiba dirumah, aku melihat ponsel, terdapat lima
panggilan tak terjawab, dan sebuah pesan. “Clarin, ibu akan berkunjung ke rumah kamu
sebentar lagi karena ibu ingin memberikanmu beberapa pembekalan sebelum persentasi
Essay nanti.” Betul-betul kacau. Aku tak bisa mengambil keputusan secepat ini. Disaat aku
harus mengurus keluarga, aku juga harus mengejar prestasi akademik. Beberapa menit
setelah aku selesai membersihan rumah, ada yang mengetuk pintu. Aku membukanya dan
terlihat wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Dia adalah Ibu Rosa. “Ibu maaf aku tak bisa
fokus dalam pembekalan ini, kita ambil waktu lain saja. Karena sekarang aku tidak bisa
fokus. Mohon pengertiannya bu.” Ungkapku pusing. Seketika handphoneku bergetar dan
sebuah pesan dari seseorang yang tidak aku kenali.

“Clarin kamu tak usah kesini nak. Ibu tidak apa-apa jika memang itu yang terbaik buat
keluarga kita, ibu tak keberatan dan semuanya ibu serahkan pada Tuhan.” Sedikit kesal dan
berlari masuk ke kamar. “Aku benci Ayah dan Ibu!” Isak tangisku tiada henti. Apakah orang
tuaku memiliki sifat kedewasaan? Mengapa mereka tidak memikirkannya dengan matang-
matang? Mengapa mereka tidak mengurungkan egonya masing-masing? Aku tersadar bahwa
tingkat kedewasaan seseorang tidak dilihat dari banyaknya usia orang tersebut tetapi dari cara
mereka berinteraksi dan mengambil keputusan.

“Ibu minta maaf bukannya ibu mau ikut campur dalam urusan keluargamu. Kamu tenang
dulu yah. Doakan keluargamu disana. Ibu yakin keputusan yang diambil oleh orang tuamu
adalah yang terbaik. Kamu punya Tuhan, serahkan semua kepada-Nya.” Ibu Rosa
memelukku dan menyeka air mataku. Harapanku sangat besar jika mereka terus bersama.
Aku sangat sayang sama ibu dan ayah. Mereka mendidikku sangat baik hingga aku bisa
seperti sekarang ini. Aku sadar, aku tak bisa menyimpan kebencian kepada mereka. Sejahat
apapun orang tua kepada anaknya, tak sepantasnya seorang anak membenci ataupun
menyimpan dendam kepada orang tua mereka.

“Clarin kamu dengarin Ibu yah. Maukah kamu berjanji kepada dirimu dan kepada Allah
untuk bertaubat? Jangan pernah resah, bimbang, dan ragu dalam kebaikan. Tinggalkanlah
keburukan rin.” Teriakan Ibu Rosa dari balik pintu. “Ibu yakin kamu bisa berubah jadi lebih
baik.”

Aku pecaya aku bisa bahagia. Dengan tekad yang kuat, aku mencoba bangkit dari
keterpurukan ini. Seminggu telah berlalu dan kabar terakhir yang kudengar bahwa mereka
membatalkan gugatan cerainya. Sedikit lega dan penuh percaya diri. Tepat di hari ini, aku
akan berangkat ke Jogja untuk melakukan persentasi. “Berikan yang terbaik. Kamu pasti bisa
jadi juara. Tetap tenang dan percaya diri.” Ungkap Ibu Rosa sebelum aku memasuki ruang
persentasi.
Clarin Pratama. Begitulah nama lengkapku disebut oleh panitia lomba untuk bersiap
melakukan persentasi. Satu jam telah berlalu setelah aku persentasi, Ibu Rosa selalu
memberikanku semangat hingga pengumuman tiba. Aku sangat berharap agar bisa jadi juara.
Jantungku berdetak tak karuan, keringan dingin menjulur di wajah pucatku. Ibu Rosa
menggenggam tanganku seakan memberi isyarat agar aku bisa tenang. Kami mendengar
secara saksama pemenang yang disebut oleh panitia. “Juara 2 diraih oleh Clarin Pratama dari
SMA Negeri 1 Maros.” kegembiraan yang tak terkalahkan. Aku langsung memeluk Ibu Rosa
dan tanpa sadar air mataku menetes. Aku berlari ke panggung dan berdiri di hadapan peserta
lainnya. Aku sangat berterima kasih kepada Ibu Rosa yang senantiasa dan tanpa lelah
membantu dan mendidikku dengan baik hingga aku bisa meraih juara.

Alamat : Jl. Cendana No. 21 Maros

Alamat e-mail : masyithahrachmat30@gmail.com

Nomor Telepon : 0853-9646-8370

Anda mungkin juga menyukai