Anda di halaman 1dari 9

DIRINDUKAN PENDUDUK LANGIT

Kedua orang tuaku, hari-harinya sibuk dengan urusan dunia. Katanya, “Demi kamu,
Nak!”

Alasannya dapat aku terima, karena sejak aku mengenal dunia, tak ada yang kurang,
dunia bak surga. Kasih sayang, kebutuhan, keinginan, semua di luar batas dari angan-
angan anak kecil pada umumnya.

Seperti kala teman-temanku hanya bisa jalan-jalan di alun-alun kota,

Ayah, Ibuku, mengajakku ke Singapura, Spanyol, Winna.

Namun, semua berubah seketika tatkala Ayah, Ibu mulai sibuk dengan pekerjaannya.
Ayah sebagai pimpinan perusahaan dan Ibu, menjadi bagian di dalamnya. Sementara
Mbak Ipah yang biasa membantu Ibu membereskan rumah harus pulang kampung
untuk menikah. 

“Nak, kamu sudah SMP, tidak usah cari asisten lagi, kita mengurus diri sendiri saja!”
kata Ibu ketika Mbak Ipah memutuskan resign.

Semua pekerjaan rumah aman, karena memang tidak ada pekerjaan yang harus
dikerjakan. Setiap hari Sabtu ada pihak laundry yang akan membawa baju kotor kami.

Jika rumah, taman sudah mulai kotor, Ayah akan menghubungi GoService.

Urusan makan, Ibu tidak perlu repot-repot mengotori dapur dan meja makan. 

“Nak, siang kamu go food saja ya, Ibu pulang pukul 21.00,” pesan Ibu melalui chat
WhatApps.

Aku hanya bisa menjawab, “Iya, Bu.”

Semua serba go, go. Sebetulnya aku ingin protes, bukan makanannya saja yang aku
butuhkan, tetapi keberadaan Ibu saat pulang sekolah.

Kesepian? Ya … Namun, tak bisa mengatakannya kepada Ibu dan Ayah.

***

“Nisa, aku mau pindah pesantren,” kata Nur teman satu bangku.

“Oh ya? Boleh aku ikut denganmu, mondok juga, bilang orang tuamu ya, kita
berangkat bareng.”
Nur tampak bingung dengan keputusanku yang tiba-tiba, setelah aku yakinkan, dia
setuju dan menjanjikan orang tuanya akan mendukungku. 

Orang tuaku, mereka tidak sibuk mengurus sekolahku, katanya aku sudah besar, bisa
memilih mana yang baik dan benar. 

“Mana yang harus Ayah tanda tangani,” tanyanya saat aku meminta izin mondok.

Beruntung aku berteman dengan Nur dan keluarganya. Bahkan Uminya selalu
menasehatiku, seperti kala itu ketika aku mengeluh tentang kesibukan ibu.

“Mereka orang tuamu yang patut kamu sayangi dan hormati, saat ini mereka
mencintai dunia, kamu doakan semoga ayah dan ibumu suatu saat mencintai akhirat
juga.”

Sekarang aku sudah ada di pondok bersama Nur. Ayah, Ibu, belum sekali pun
menjenguk. “Rindu ayah ibumu ya, Nis?” tanya Nur.

“Mereka tidak merindukanku,” ujarku pendek.

“Belum,” sanggah Nur.

“Mereka merindukan materi,” ujarku lagi.

“Doakan mereka ya!” saran Nur sambil mengelus pundakku.

Langit semakin gelap, satu persatu mulai tampak bintang tersenyum pada kami yang
setia menanti kehadirannya. Kami pun tertawa, “Lihat, cantik sekali!” teriakku.

“Ssst jangan berisik, seiisi kamar nanti keluar,” tegur Nur pelan sambil mendorong
badanku pelan. 

“Kenapa kamu ingin pesantren, Nur? kalau aku kan hanya mencari keramaian di
tengah-tengah kesepian dalam keluarga,” tanyaku.

Nur tersenyum memandangku dalam, “Kamu belum tahu cita-citaku ya?” 

“Kenapa balik tanya, lagian kapan kamu cerita tentang cita-cita?” gerutuku. 

“Lihat ke langit, Nis, suatu hari nanti ketika aku meninggalkan Abah, Umi, kamu, dunia
ini, ingin penduduk langit menyambutku dengan senyum karena mengenalku dengan
baik. Semoga dengan aku belajar Al-Qur’an dan menghafalnya di pesantren, aku bisa
mewujudkannya,” tuturnya sembari terus menatap langit dan sejuta bintang.
“Aku juga ingin memakaikan mahkota kepada kedua orang tuaku di akhirat kelak yang
sinarnya lebih bagus dari sinar matahari,” tuturnya lagi.

Mendengar itu, aku teringat kepada Ayah Ibu yang berusaha mencari makhota dunia
untukku. Apakah aku adil jika membenci dan menghindar dari mereka dengan cara
pesantren?

“Nur, aku akan meluruskan niat pesantren di sini, juga ingin memakaikan mahkota
kepada Ayah dan Ibu. Bantu aku mewujudkannya ya!” pintaku.

Nur memeluk pundakku, “Kita belajar besama, Insya Allah orang tua kita akan
bahagia.”

Sekarang semua berawal dari pondok pesantren, bukan dari rumah mewah di tengah
ramainya hiruk pikuk kota yang menyesakkan. 

Kami kembali menikmati kebesaran Tuhan yang tiada terukur. Aku pun ingin menjadi
salah satu yang dirindukan penduduk langit.

Kisah Tukang Kayu


Seorang tukang kayu yang sangat terampil telah menjadi tua dan siap untuk pensiun.
Dia kemudian memberitahu bos kontraktor tentang rencananya untuk meninggalkan
bisnis pembangunan rumah dan ingin menjalani kehidupan yang lebih santai.

Bos kontraktor tersebut menyesal melihat pekerjanya yang baik pergi dan bertanya
apakah dia dapat membangun satu rumah lagi sebagai bantuan pribadi.

Tukang kayu tersebut menyetujuinya, namun dia memastikan bahwa ini akan menjadi
proyek terakhirnya.

Karena ingin segera pensiun, tukang kayu tersebut tidak terlalu memerhatikan
pembangunan proyek terakhirnya karena hatinya sudah tidak ada dalam pekerjaan.

Dia melakukan pekerjaan dengan buruk dan hanya menggunakan bahan-bahan


berkualitas rendah. Hal ini sangat disayangkan untuk mengakhiri kariernya.

Setelah pekerjaan selesai, tukang kayu menelepon bosnya dan menunjukkan hasil
rumahnya. Bos tersebut kemudian menyerahkan beberapa kertas dan kunci pintu pada
tukang kayu sambil berkata,  “Ini rumahmu, hadiahku untukmu.”
Tukang kayu itu sontak kaget saat mengetahui bahwa dia sedang membangun
rumahnya sendiri. Jika dia tahu itu akan menjadi rumahnya, dia akan membuatnya
menjadi lebih baik daripada rumah lain yang pernah dia bangun.

Cerita tentang tukang kayu ini sama halnya seperti kita sebagai umat manusia. Apabila
kamu menginginkan membangun rumah yang bagus di surga, maka kamu perlu
menaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Contoh Cerpen Horor – Bus Desa Jangdul

Aku Lin ji. Hal yang terindah bagiku adalah hari pertama di sekolah baru. Penyebab
kepindahanku ke desa ini karena suatu pekerjaan orangtuaku.

Aku duduk di sebuah halte yang tampak tua. Aku menunggu bus itulah kebiasaanku
ketika di kotaku sebelumnya. Aku selalu pergi ke sekolah dengan transportasi bus.
Bagiku itu terasa menyenangkan. Walaupun orang-orang menganggapnya itu adalah
hal yang paling biasa. Bahkan ada yang merasa bosan. Tetapi aku tidak.

Aku belum tahu apa-apa tentang Desa ini. Dan bahkan aku belum mempunyai teman
seorang pun. “Kuharap aku mendapatkannya nanti!”, batinku dalam hati.

Aku melihat arlojiku sekilas. “Kenapa Desa ini begitu hening ya?” aku bertanya kepada
diriku sendiri. Aku mendesah pelan.

Di kejauhan, aku melihat asap mengepul. Asap itu terlihat dari asap kendaraan. Apakah
itu bus? Aku menerka-nerka warna bus yang tampak dimataku. Yap! Rupanya bus
berwarna hijau. Aku lekas-lekas bangkit dari kursiku, dan mendanti-dantinya. Bus pun
datang. Lin ji tersenyum cerah melihat bus yang ia terka-terka.

Buru-buru aku menaikinya. Di dalam bus, terlihat kursi-kursi kosong. Tanpa satupun
penumpang yang didapati oleh matanya. Tanpa pikir panjang, aku pun memilih kursi,
dan sempat ketika mobil hendak berjalan. Dan itu membuatku berhasil sedikit
terhuyung dibuatnya.

Sempat terpikir olehku, bus ini kelihatan berbeda dengan bus-bus pada umumnya.
Sudah kosong, berkarat, lapuk, per kursinya sudah mencuat, kain kursinya robek-
robek, baunya menyengat hidung lagi! Apa ada bangkai tikus ya di belakang? Mungkin
karena ini ya, semua penumpang pada tidak mau menaiki bus lagi..

Di tengah lamunanku, aku mendapati seorang gadis yang kelihatannya sebaya


denganku. Begitupula dengan seragam sekolahnya. Jelas sekali dia juga berada di
sekolah yang sama denganku. Seraya mengatur posisi dudukku. Aku bangkit dan
memilih duduk di sebelah gadis itu.
Aku mendapati gadis itu yang tengah menatap keluar jendela. Sontak gadis itu
terkejut. Ia menatap mataku. Lalu aku mengedarkan senyuman hangatku kepadanya.
Ia malah lebih terkejut dan wajahnya seakan tidak percaya bahwa aku ada di sini.

“Hai, namaku Park Lin Ji, aku anak baru dari kelas 5-3. Senang bertemu denganmu!”
ucap Lin ji, seraya mengulurkan tangannya kepada gadis itu untuk bersalaman. Dengan
ragu, Gadis itu membalas uluran tanganku. Aku menggerak-gerakkan tanganku ke atas
dan ke bawah. Aku merasakan tangannya begitu dingin. Ia pun tersenyum kepadaku
dan aku membalasnya dengan senyuman pula.

“Itu kelasku..” jawabnya pelan. “yah, kelas 5-3!”


Sontak mataku membelalak, aku benar-benar terkejut bercampur gembira.
“wah, syukurlah kalau begitu! Tadinya kuharap begitu, dab ternyata benar..” teriakku
antusias. “Oh ya, bangku di sebelahmu kosong apa tidak?”
“Kosong? Kursikulah yang kosong,” gumamnya pelan. Hampir-hampir tidak bisa
kucerna kata-katanya.
“Heh?” tanyaku bingung.
“Apa kau tahu?” tanya gadis itu.
“Tahu apa?” tanyaku lagi.
“Desa ini.”
“Desa?” aku bertanya sekali lagi. Aku mengangkat alis.
“Ah! Lupakan saja!” serunya sambil tersenyum memperhatikan rok kotak-kotaknya.
Aku pun tersenyum bingung.

Bus pun mulai melambat gerakan jalannya, dan berhenti di halte dekat sekolah.
Pertanda saatnya turun bagi kami berdua. Aku pun buru-buru turun dan memasuki
gerbang sekolah. Tanpa sadar gadis tadi sedari tadi tidak ada di sampingku. Apa aku
meninggalkannya?

Teng.. teng.. teng..


Lonceng sekolah berbunyi, aku buru-buru masuk ke ruang guru dan menemui Wali
kelasku. Di sana aku diajak masuk ke kelas 5-3. Aku mengekori Wali kelasku dari
belakang, layaknya anak baru biasanya. Sesampai di kelas 5-3, Bu guru atau bisa juga
disebut Wali kelasku, menyuruhku untuk masuk dan memperkenalkan diri.

Aku pun memperkenalkan diri, walau sedikit canggung. Dan usai itu aku pun
dipersilahkan duduk oleh wali kelasku di tempat kursi yang kosong, tepatnya di
sebelah Ha jin. Tak lama kemudian, suara riuh di kelas pun terdengar. Sapa menyapa
menghujan Lin ji.

Sepulang sekolah, aku selalu pulang lebih awal. Aku tidak ingin membuang-buang
waktuku di sekolah setelah jam pelajaran sekolah berakhir. Seperti biasa aku selalu
menunggu bus dan menaiki bus. Orangtuaku sibuk dan tidak bisa mengantarkan dan
menjemputku sepulang sekolah, layaknya orangtua para murid biasanya.

Bus pun datang. Seperti biasanya kosong, dan hanya ada aku. Bahkan tidak ada gadis
itu.

Keesokan harinya, seperti biasa aku menunggu bus di halte yang tampak lebih tua dari
biasanya. Tanaman rambat menjalar ke tiang halte. Aku mendengus pelan. Lagi-lagi
halte kali ini kosong, sunyi dan sepi. Jalanan basah habis hujan semalam menambah
keheningan dan dingin.

“Apakah desa memang seperti ini? Sangat begitu sepi dan hening? Aku serasa di kota
mati tanpa kegiatan orang-orang,” gumamku risau. Aku termenung cukup lama.
Sampai-sampai bus sudah sampai di hadapanku. Aku pun naik setelah di klaksonkan
oleh pak sopir.

Seperti biasa, aku menemukan gadis itu dan berbincang-bincang akur.

“Apa aku meninggalkanmu kemarin? Sehabis turun dari bus?” tanyaku khawatir.
“Ah, tidak! Kau tidak meninggalkanku kok! Tenang saja,” ucapnya menenangkan.
“Lalu, Kenapa aku tidak menemukanmu di sekolah kemarin, dan juga aku tidak
menemuimu di kelas!” ucapku bingung. Dan dipikir-pikir juga mengherankan.
“Tenang, aku gak bolos kok!” tangkasnya cepat. Takut aku mengira yang tidak-tidak.

Bus pun berhenti dan menurunkan kami. Juga, bahkan aku tidak mendapati gadis itu
lagi. Dia menghilang lagi.

Akhirnya waktu pulang sekolah pun datang. Itulah dimana seisi kelas mengatakan
surga bagi mereka.

Hari ini aku mengantarkan jurnal kelasku dulu kepada wali kelasku. Akibatnya agak
telat pulang dari yang lain.
“Boleh kutemani?” tawar Ha jin teman sebangkuku.
“Tentu!” ucapku dengan senang hati. Kami pun bejalan beriringan menuju ruang guru.
“Sehabis ini kita pulang bersama ya? Soalnya jauh selalu pulang duluan sih, kita kan
searah!” kata Ha jin sedikit memohon.
“Boleh! Kita naik bus ya!” kata Lin ji.
“Naik bus?” tanya Ha jin sedikit gemetar.
“Yah, tentu saja!” ucap Lin ji sedikit ragu-ragu. “Memang kenapa?”
“Kau perlu tahu, bahwa desa ini, punya tragedi beberapa bulan yang lalu.” ucap Ha jin
lirih.
“Hah? Yang benar saja!” ucapku tidak percaya. “Terus? Bagaimana?”
“Nantilah, kuceritakan! Kita serahkan ini dulu ke wali kelas!” timpal Ha jin.
Jurnal pun sudah diberikan kepada wali kelas kami.

“Begini, sebenarnya terjadi kecelakaan 3 bulan yang lalu. Kecelakaan itu


mengakibatkan salah satu dari murid kelas kita yang meninggal dunia. Dan katanya,
arwahnya masih bergentayangan di dalam bus itu. Juga, pembawa sopir yang
sebenarnya ayah dari anak yang meninggal dunia itu. Kau tahu, semua bus tidak lagi
diberlakukan si desa ini. Hanya saja ayahnya masih tidak rela akan kematian anaknya.
Begitu ceritanya.”
“Omong-omong nama anak itu siapa ya?” tanya Lin ji.
“Bentar, aku lupa. Besok akan kukabari namanya. Rasanya ada di catatan harianku”
kata Ha jin.
Akhirnya mereka pulang bersama dengan jalan kaki. Mereka pun sempat membeli es
krim di persimpangan jalan.

Keesokan harinya, Li jin sedikit terlambat dan harus buru-buru secepat mungkin agar
tidak terlambat ke sekolah. Pada awalnya ia tidak berminat untuk naik bus lagi karena
cerita Ha jin kemarin.

Karena tak punya waktu lagi, Li jin pun nenaiki bus itu kembali. Tanpa sadar gadis itu
kembali berada di dalam bus dan kursi yang sama. Dengan was-was, aku pun
menberanikan diri untuk bertanya siapa nama gadis itu sebenarnya. Dan tanpa
disadari sedari awal ia tidak pernah mengetahui siapa nama gadis itu sebenarnya.

“Hmm, oh ya nama kamu siapa ya?” tanyaku berusaha untuk setenang-tenang


mungkin.
Tiba-tiba ponselku berdering dari dalam sakuku. Aku merogohnya dan mendapati yang
meneleponku adalah Ha jin!

“Ha jin!! Aku sudah tahu nama gadis itu, namanya Min ra!” teriak Ha jin dari seberang
telepon.

“Namaku MIN RA!!” kata gadis bus itu.

Sekelebat pikiranku kacau, aku benar-benar terjejut dan tidak bisa menguasai hatiku
yang kinu sudah ingin meloncat. Aku serasa berada di film horor. Aku sudah terlanjur
tegang sedari tadi. Dan kakiku sudah kelu untuk membebaskan diri. Aku mendobrak-
dobrak pintu bus dan nihil. Pintu tidak terbuka.

Tiba-tiba aku merasa pundakku dipegang oleh tangan yang dingin.

“Jadi sekarang kau tahu siapa aku?” ucap suara itu.

“AAAAAAA!!!!!”

Anda mungkin juga menyukai