Anda di halaman 1dari 5

BAB 2

Sekolah

Assalamu’alaikum!” suara pertamaku di ruang pendaftaran sekolah MA Tahfidz.

“Wa’alaikumussalam.” Sahut seorang Bapak yang berperawakan seperti guru. “Perlu apa ya,
dik?”

“Mau tanya pak?”

“Silakan, ada apa ya?”

“Ini benar ruang pendaftaran untuk sekolah di sini?”

“Ia benar, adik mau daftar?”

“rencananya sih, ia pak,“

“Terus?”

“Ya, mau daftar pak”

“Loh, tadi bilangnya masih rencana?”

“Ia, ini prakteknya,”

“Hadeh, mau daftar kok masih bertele-tele, bilang aja mau daftar gitu.” Wajah senyum si
Bapak terlihat masam.

“Sini kalau mau daftar,” suruhnya.

Kulangkahkan kaki dengan senyum khas seorang Rain, penuh percaya diri. Sampai di depan
si Bapak, ku pegang sisi di sandaran kursi, lalu aku menariknya agar dia mendekat padaku. Kududuki
kursi tersebut lalu menghadapkan wajahku pada si Bapak. Saat itu, aku dan si bapak hanya berbatas
meja tempat komputer sekolah beroperasi.

Kupangku tas selempang yang kubawa, lalu merogoh isinya berharap berkas yang ku bawa
tidak ada yang ketinggalan. Kuperbaiki pangkuanku atas tas tersebut, agar aku lebih leluasa dalam
mengacak-acak isi tas tersebut. Kupegangi dengan tangan kananku selempang tas yang mengait ke
bahuku agar dapat menahan tas tidak meluncur mulus ke lantai. Sejurus kemudian, berkas berhasil
kumuntahkan semua dari dalam tas ke meja si bapak. Syukurlah tak ada yang ketinggalan.

Kuperhatikan si bapak masih sibuk dengan komputer yang ada di depannya. Entahlah,
kurasa dia sedang membuat formulir atau mengerjakan tugas lain.

“Ini pak ... berkas pendaftaran,” kugeser berkas yang telah ada di atas meja mendekat ke si
Bapak.

Konsentrasi si Bapak lantas berubah menghadap ke berkas yang kuberikan. Bapak itu
membuka berkas yang ku bawa, lalu dia membaca satu persatu berkasku dengan teliti. Kemudian
bapak itu menghadap kembali ke arahku.

“Oh, ia baik dik. Sana isi formulirnya!” sambil sesekali membetulkan posisi kacamatanya. Si
Bapak itu lalu menunjukkan bangku kosong di belakangnya.

“Disanakah saya bisa dapat formulirnya?” tanyaku kebingungan.

MIMPI RAIN
“Ya, di sana, buka laci yang ke dua, di dalamnya sudah di sediakan formulirnya.” kembali si
bapak membetulkan kacamatanya yang selalu melorot.

Aku pun berdiri dan menuju ke bangku kosong di sana. Kuselempangkan tas pada bahuku,
berjalan menuju bangku. Kurogoh laci yang si bapak tunjuk tadi. Lalu ku keluarkan satu kertas berisi
formulir.

Sesaat kemudian, si bapak tadi berkata “mana orang tuamu dik?”

“Ada pak,” jawabku sambil menoleh ke arahnya.

“Kok tidak diajak, kalau kamu bingung ngisi itu gimana nanti?”

“Orang tua saya perempuan pak,” aku kembali melanjutkan pekerjaanku.

“Yang laki-laki kemana?”

“Ada di kuburan pak,”

“Hus, kamu itu, kalau bicara jangan sembarangan. Kalau orang tua kamu lagi kerja, walaupun
itu cuma pekerja di kuburan, jangan lantas bilang kalau orang tua kamu ada di kuburan. Kalau
sampai terjadi beneran, baru tau rasa kamu.”

“ekhm ... ” aku berdeham simbol dari sindiran.

“Sudah mati beneran pak,”

“Oh, Maaf dik, bapak gak tau.”

Aku diam tak merespon. ‘Kurasa Si Bapak sekarang sedang merasa tidak enak karena aku
tidak merespon. Siapa suruh mengartikan kalau Ayahku pekerja kuburan. Tapi memang salahku sih,
aku yang tidak langsung memberikan kejelasan tentang status Ayahku.’ Batinku.

Setelah beberapa menit keheningan melanda, akhirnya aku buka suara.

“Ini pak, sudah selesai!”

“Oh, gak ada yang dibingungkan dari formulirnya? Apakah semuanya sudah jelas dan
benar?” Bapak itu terlihat keheranan.

“Jarang ada anak seusia kamu dapat menyelesaikan itu tanpa bertanya.”

“Ah, itu cuma formulir pak, bukan ujian, emang gak sulit.”

“Ia juga sih ... “ untuk kesekian kalinya, si Bapak itu kembali membetulkan kacamatanya.

“Oh, ia dik. Ujian tes masuk akan dilaksanakan besok pagi. Jangan telat, ok.” Kata si Bapak.

“Siap Bapak, saya memang bukan Siswa TELAT-DAN.” (baca: teladan)

“Oalah, ia, ia. Ada-ada saja kamu tong.” Gurau si Bapak.

Garing ...

Tapi tetap aku memberikan ketawa menawan khas seorang Rain walau terlihat aneh, sebab
memang lawakannya yang garing. Ketawanya menjadi kurang alami.

MIMPI RAIN
Setelah beberapa saat aku bercengkrama dengan si bapak, aku izin untuk mengundurkan diri
dari pentas ruangan. Aku izin untuk pulang.

Sebelum pulang, aku sempat menanyakan nama Si Bapak. Ternyata, nama beliau adalah
Suprianto, dipanggil Pak Toto, beliau baik.

Kulitnya yang hitam walau tak sampai legam, membuat pesona angkernya semakin nyata,
menakutkan. Kepalanya botak, tapi cuma tengahnya saja. Alisnya seakan-akan mengisyaratkan kalau
dia suka marah. Kacamata yang tebal membuat semakin lengkap nilai untuknya menjadi guru killer.
Tapi, buku tetap tidak bisa dinilai dari sampulnya. Ternyata setelah aku semakin mengenalnya, dia
baik hati, suka bercerita, murah senyum.

.......

“Assalamu’alaikum!! Spada!! Sepeda!! Ada orang nggak sih, di rumah?” kataku sambil lalu
mengetuk pintu. Tak sabaran ku menanti, kudobrak pintu rumahku. Darah berceceran dimana-mana,
“Ummi!! Ada apa dengan Ummi?”

Dengan segenap tenaga Ummi menjawab, “Awas di belakangmu!” dan.....

'Ah, tidak, itu cuma hayalanku saat ini.’

Kini aku melangkah dengan santai melewati pinggir jalan raya, masih dengan setelan hem
putih yang tadi kupakai saat pendaftaran sekolah. Tas selempang yang sedari tadi membebani
bahuku, kini semakin santai bergoyang seirama dengan langkahku. Kumenengadah meresapi
teriknya matahari yang membasuh wajahku, sambil sesekali aku tersenyum menghayalkan banyak
hal. Tentang sesuatu yang lucu, menyeramkan atau hal lain yang akan sedikit menghilangkan rasa
lelahku.

Sekolah MA Tahfidz Sumenep, tidak begitu jauh dari rumahku. Kira-kira jaraknya kurang
lebih setengah kilo meter. Sebenarnya, aku bisa menunggangi sepeda, tapi aku lagi ingin untuk
menikmati keadaan. Jadi, aku berjalan saja.

Langkah demi langkah sudah kutempuh, hingga sampailah di sebuah rumah di pojokan jalan
kecil—kusebut pojokan jalan kecil, sebab memang tak ada jalan tembus setelah rumahku. Ternyata
lelah juga berjalan, setelah lama tak berolahraga. Liburan kelas akhir yang lama membuatku menjadi
ahli rebahan. Untuk anak seumur diriku, aku termasuk orang yang introvert, kurang suka bergaul.
Jadi, liburanku mentok di kamar dan dapur.

Rumahku beratapkan genting, beralaskan keramik tak begitu mahal. Ya, ialah, walaupun aku
keluarga yang kurang berkecukupan, tapi rumahku tetap berbentuk rumah. Terlihat tak begitu
megah dan besar, bisa dikatakan sebenarnya itu rumah biasa, tidak jelek dan tidak mewah juga.

Ku injakkan kakiku di halaman depan rumah yang di batasi pagar gedung, tingginya seperut
orang dewasa. Ada gerbang masuk yang lebarnya kurang lebih dua meter. Gerbangnya polos tak
berhiaskan apapun, cuma gerbang saja, tak pakai lambang keraton, ukiran bunga atau semacamnya.
Katakanlah itu gerbang biasa.

Terlihat dari gerbang masuk halaman rumahku, ummi sedang menjemur pakaian.

“Assalamu’alaikum!”

“Waalaikumussalam,” Ummi menghadapkan kepala dan mengalihkan pandangannya


menuju padaku, “Rain, kau sudah pulang nak?”

MIMPI RAIN
Nah, ini anehnya Ummi, kan sudah jelas aku ada di rumah. Berarti pulang ‘kan?. Kalau aku
masih ada di sawah, berarti belum pulang. Entah mungkin itu sapaan darinya. Tapi kalau menyapa
pakai kata lain, ‘kan bisa?. Seperti “Oh, anakku Rain sudah pulang,” kan bisa pakai bahasa itu. Aku
memang suka kritis pada hal sepele. Entah kenapa saat kritisku muncul, tak bisa ku hilangkan, selalu
tetap berada di kepalaku, melayang-layang.

“Ia Mi, Rain udah pulang.”

“Mandi gih, Ummi cium bau semur jengkol basi di sini.”

“Ih, Ummi, itu bukan bau Rain.” Sangkalku.

“Ah, dari tadi harum cucian, datang kamu cuciannya jadi bau. Lantas ini bau apa kalau bukan
kamu?.”

“Ketiak Rain Mi, ” tak menunggu jawaban dari Ummi, aku terkekeh sambil langsung masuk
ke dalam rumah.

“Mandi Rain!” setengah berteriak Ummi menyuruh.

“Oke Mi ... Tenangkan jiwa Ummi, aku pasti mandi!”

Sampai di dalam rumah, aku bertemu dengan Dina, adik perempuanku. Dia berada di ruang
tengah sedang menonton televisi masih dengan seragam sekolahnya. Dina saat ini baru selesai
tamat SD. Jadi, seragam yang dia pakai saat ini adalah seragam SMP. Sekolahnya sama denganku di
waktu SMP, SMP El-Haromain. Sekolah Dina sudah lebih dulu mengadakan tes masuk. Jadi saat aku
asik libur, Dina sudah masuk untuk melakukan tes masuk sekolah.

“Dina bau!” godaku padanya saat lewat di depannya dengan cepat.

“Kakak juga bau, baunya tingkat dewa!” teriak Dina saat aku sampai di ruang sebelah. Aku
cekikikan di ruang sebelah.

.........

Detik jam dinding berdetak, jam menunjukkan setengah tujuh pagi. Aku sudah sedari tadi
siap untuk masuk tes pertama untuk masuk MA. Seragam atasan putih, celana abu-abu serta sepatu
putih berpinggiran hitam bermerk homy pad tanpa tali siap menemaniku ke sekolah. Sembari duduk
di meja makan, aku mengunyah nasi dengan lauk telur dadar dan kuah sup buatan Ummi. Uh,
nikmatnya tanpa batas, ku rasa tak bisa ditukar dengan mobil Avanza, sebab memang tak akan ada
yang mau menukarkan mobilnya.

Usai makan, aku berpamitan pada Ummi untuk berangkat sekolah. Dengan sepeda motor
Beat hitam, peninggalan ayahku, aku mengantarkan adikku terlebih dahulu ke SMP. Baru aku
langsung menuju ke sekolah.

Sementara itu, kakak Perempuanku—Dila—sekarang dia telah lulus kuliah dan sedang
menikmati masa menganggurnya di rumah, sambil membantu Ummi di rumah dan menemaninya
kala tak ada aku dan Dina.

MIMPI RAIN
Gerbang sekolah MA Tahfidz Sumenep memang tidak sebesar gerbang Kampus Universitas
Madura. Tapi, wibawanya gerbang itu yang membuat ku berdecak lumayan kagum. Ku pikir,
halamannya yang tak cukup luas menandakan bahwa sekolah ini tidak untuk bermain bola atau
permainan yang lain. Aku rasa sekolah ini memang hanya tempat untuk belajar. Keren. Terbaik.

Aku memasuki halaman sekolah dan terjadilah yang namanya canggung. Biasa, siswa baru di
tengah-tengah masyarakat sekolah yang asing semua bagiku. Hanya pak Toto yang ku kenali dari
jauh, selainnya tak ada yang ku kenali.

Aku berjalan-jalan sambil lalu melihat-lihat per kelas, berharap ada namaku di pengumuman
depan kelas. Sok keren adalah keahlian ku saat bersama orang yang tak ku kenal. Banyak siswa di
situ yang kurasa sedang mencuri pandang padaku. Baik itu siswa atau Tawinya pun sama. ‘Tak
pernah lihat orang keren mungkin’ pikirku.

“Dek!” suara dari sampingku terdengar. Aku pun menoleh.

“Ia kak?” ternyata seorang siswa, kakak kelasku.

“Kamu Siswa baru yang ikut tes, ya?” tanyanya.

“Lah, kok tahu?”

“Orang asing bawaannya beda, kamu celingak-celinguk, nunduk, terus cari kelas yang ada
pengumumannya ... Siswa senior gak mungkin melakukan itu.” Jelas kakak kelas tersebut.

Oh tidak, ternyata sejelas itu diriku. Ku kira, aku sudah berkamuflase dengan rakyat sekitar,
ternyata salah.

“Ia kak, maaf dimana tempat tes kak?” tanyaku agar lebih tidak canggung.

“Nah, saya ingin bilang perihal itu. Untuk kelas tes masuk, akan dilakukan daring,” sambil
lalu menyodorkan kertas ke arahku, dia berkata “ini prosedur dan tata cara daring untuk
mengerjakan tesnya. Di situ sudah tertera link yang harus kamu kunjungi,”

“Oh, ia kak. Makasih banyak kak.”

“Ia, sama-sama. Ngomong-ngomong, rambut kamu tuh ada jaring laba-labanya.”

Dengan sigap aku langsung meresponnya dengan pembersihan rambut sekaligus wajah,
mengecek kalau-kalau ada belek di mataku, dan mengucap terimakasih sekali lagi untuk si kakak.

Aku pun langsung berpamitan untuk segera pulang kepada si kakak untuk mengerjakan tes
masuk. Di perjalanan pulang aku masih terpikir tentang semua perhatian siswa dan siswi tadi,
jangan-jangan karena jaring laba-laba itu. Ah, tak apalah, yang penting aku masih keren terlihat,
walau dengan jaring laba-laba yang ada di atas kepalaku.

MIMPI RAIN

Anda mungkin juga menyukai