Anda di halaman 1dari 4

BAB 5

Perih

Tenggelam jauh ke dalam, mengarungi hitamnya gelap gulita. Sedikitpun, tak ada cahaya
bernaung di sana. Kadang berwarna tua pekat, kemudian buram dan menjauh. Terus menjauh
sampai warna itu terasa bercampur dengan gelap dan perlahan menghilang.

Beberapa waktu kemudian, aku melihat terang. Lantas, kupandanginya lekat-lekat dengan
lama. ‘Kurasa, terang itu hanya fatamorgana’ pikirku. Bersamaan dengan itu, terang itu lalu mulai
meredup.

Tiba-tiba aku sadar akan mataku yang terpejam. Kucoba untuk membukanya sekuat
kemampuanku.

Kurasakan kelopak mataku yang begitu berat, malah sangat berat. ‘Ada apa ini? Apakah ada
perekat di mataku? Ataukah ada beban di atas kelopak mataku? Akh!! Gimana sih, caranya
membuka mata?’. Begitu beratnya, sampai kemampuanku sudah terasa mengangkat bendera putih
tanda tak kuasa untuk melawan.

Hanya keajaiban yang dapat mengangkat kelopak mataku, kurasa. Jadi, kupasrahkan semua
ini kepada Yang Maha Memiliki Keajaiban, aku mengharap Dia mengerti tentangku yang sudah
menyerah untuk membuka mataku.

Semakin lama, aku semakin merasakan kehadiranku dalam kehidupan. Pikiranku mulai bisa
menerawang ke segala arah. Namun, ujung rambut sampai pangkal kakiku masih tak dapat
kugerakkan dan kurasakan. Aku merasa lupa cara menggerakkan seluruh tubuhku. Aku juga lupa,
mengapa aku bisa berada di keadaan ini.

Karena memang hanya otakku yang bekerja dengan baik, aku lantas searching dalam otakku
tentang masa laluku. Termasuk juga di dalamnya, aku mencari tutorial menggerakkan tubuhku.

Otakku yang kurasa dapat bekerja optimal, membuatku bisa rileks dalam mencari segala
ingatan. Bak perahu yang berjalan di atas lautan yang tenang airnya, kuarungi lautan penuh
ingatanku dengan kedamaian dan ketenangan. Tapi, lautan tetaplah lautan, tak terasa ombak
pikiranku mebuatku berlabuh pada suatu pulau mimpi.

Di tempat itu, terdengar gemuruh dengungan yang berasal dari mimpi-mimpiku. Bagai
perang di tanah lapang, suara berisik, teriakan serta suasana yang mencekam menyelimuti tempat
itu. Kurasa itu mimpi burukku.

Saat itu juga, rasa takut semakin menjalar memenuhi setiap ruang pikiranku. Rileks serta
kedamaian yang sedari tadi menjadi gelar pada otakku, kini sirna sudah. Pikiranku mulai kewalahan
dalam mengatur ingatanku.

Seketika, slide-slide gambar tantang mimpi-mimpi pahit ku tiba-tiba bermunculan. Merasuki


pikiranku, membuat pikiranku bagai bulan di malam hari. Niatnya mengendalikan terang saat
matahari tiada, tapi apa daya gelap lebih berkuasa.

Rasa sakit yang teramat sangat, menghinggapi seluruh bagian dari diriku. Sakit sekali. Perih
tumbuh bersahutan, saling menguatkan hingga menjadi kekhawatiran yang besar dalam diriku.

Aku berusaha berteriak, tapi aku masih lupa caranya. Lantas, aku hanya bisa pasrah dengan
keadaan.
Rasa itu, semakin lama semakin perih, pedih dan menyakitkan. Entah mungkin karena naluri
pikiranku yang merasa sangat terancam, tiba-tiba aku mendengar suaraku berteriak pelan. Entah
sebab pendengaranku yang masih tidak dapat sepenuhnya berfungsi atau karena memang pita
suaraku yang tidak bisa lantang, yang jelas suara itu sangat pelan, pelan sekali, sampai aku sendiri
hampir tidak dapat mendengarnya.

Sedetik kemudian, ragaku yang semula tidak dapat kurasakan, kini mulai menggeliat.
Kelopak mataku yang semula sangat berat, kini dapat ku buka walaupun tak sepenuhnya. Demikian
pula pendengaranku, kini semakin menjadi jelas.

Bersamaan dengan itu semua, bayang-bayang menakutkan dari mimpi pahitku, kini semakin
sirna. Tapi, rasa takut yang sempat menyelimutiku, kini masih terasa menghantui.

Perlahan, ku coba melebarkan pandangan dan mempertajam pendengaran. Kulihat, tepat di


arah pandanganku, sinar lampu yang menyilaukan.

Kuangkat tanganku yang saat itu terasa semakin ringan. Dengan tangan itu, kuhalau sinar
lampu yang mengganggu pandangan. Jadilah tanganku sebagai naungan untuk mataku yang silau
karena lampu.

Dari bawah bayang-bayang tanganku, aku menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan.


Suasana ruangan itu terasa sepi, tak ada bunyi sama sekali. Mungkin, hal itu akibat pendengaranku
yang belum pulih atau ruangan itu yang memang sepi.

Sebagian cat di ruangan itu berwarna putih, sebagian lain berwarna biru. Di pintu yang
kuduga itu adalah pintu masuk ruangan, bertengger kain biru yang kurasa, itu adalah tirai penutup
untuk ruangan ini.

Kuarahkan pandanganku ke tengan yang kupakai untuk menghalang silaunya lampu. Kulihat,
tanganku telah berhiaskan selang infus. Secara naluriah, aku lantas menhikuti jejak selang infus itu,
sampai aku menemukan sumbernya. Tepat di atas kepalaku, bertengger sumber penyuplai infus ke
tubuhku.

‘Oh, aku sakit’ batinku pada diri sendiri. ‘Tapi, di mana Ummi dan yang lain?’ aku mulai
merindukan Ummi.

Kucari keberadaannya. Sekali lagi, kutebarkan pandanganku. Saat itu, aku mulai menyadari
bahwa tempat ini adalah salah satu ruangan di rumah sakit. Bau obat khas rumah sakit yang semakin
kurasakan, membuatku yakin kalau ini memang benar-benar rumah sakit.

Kuputar bola mataku, berharap Ummi dapat kutemui. Tapi nihil, tak ada orang di ruangan
itu. Tak menyerah dengan melihat, aku mulai mencari keberadaan seseorang dengan
pendengaranku.

Beruntunglah aku, saat ku tajamkan pendengaran, aku menemukan suara dengkur


mengalun tepat di samping bawah ranjang yang kutiduri.

‘Tidak salah lagi, tak ada yang dapat mendengkur selucu Dina.’ Pikirku. Aku yakini, Dina
tengah istirahat di sana.

Kutebarkan pandangan lagi, kutemukan jam dinding yang bertengger. Kutajamkan


penglihatanku. Benar saja, jam menunjukkan jam 00.45. ‘Berarti, ruangan ini sepi karena
penduduknya sedang tidur’ pikirku.
Rasa perih masih terasa menyerang kepalaku. Walaupun tak seperih yang kurasakan saat
aku berada di entah dunia mana tadi, tapi rasa perih ini tetap mebuatku tak nyaman. Kuatur
nafasku, berharap sakit yang kurasakan akan sedikit berkurang.

Kugerakkan tanganku menyentuh kepalaku, kurasakan ada kain yang tak asing bagiku
membalut sebagian kepalaku. Semakin kuperlebar perjalanan tanganku menyentuh kepala. Tidak
salah lagi, saat ini aku tengah bermahkotakan perban. Dari itu, kupikir lengkaplah syarat dan
rukunku sebagai orang yang sedang sakit parah.

Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Tetapi, hal itu terlalu pahit kurasakan.
Ada semacam trauma pada otakku saat aku mengorek memory pada masa laluku, rasa takut muncul
dari diriku saat otakku berusaha mengingatnya.

‘Ada apa denganku?’ Seraya merasakan perih yang tetap setia menemani kepalaku, aku
bertanya-tanya tentang diriku saat ini.

Tak sia-sia tanganku telah mencapai pelipis kepalaku, aku lantas menyuruhnya untuk
memijat kepalaku. Perintahku pada tanganku langsung disambut oleh sensor motorik yang memang
sudah tersedia dalam otakku. Tanganku seketika itu juga memijat pelan pelipisku, berharap akan
semakin menghilangkan rasa perih yang masih kerasan di kepalaku.

Sayangnya, rasa perih ini tak kunjung mereda, bahkan semakin bertambahnya waktu,
semakin jelas pula eksistensinya. Dia terus membuatku merasa tidak nyaman dengan keadaanku. Dia
sangat suka bertengger di kepalaku.

‘Akh!! Perih! Aku sekarang sedang bersama sakit, maukah kau membantuku? Aku ingin
engkau menyampaikan kepada sakit, suruh dia pulang! Jangan berlama-lama bermain denganku,
sebab mimpiku indah tanpanya ... . Sakit! Pulanglah engkau, ajaklah perih bersamamu, aku sedang
ingin bermimpi, mimpi yang indah ... .

Ya Allah! Aku malu padamu atas dosa-dosa yang kuperbuat, aku malu padamu jika
memohon sesuatu selain ampunan dari-Mu Yang Maha Agung. Oleh karena itu ...

Wahai Yang Maha Memiliki Segalanya, kuyakini mimpi indahku adalah milik-Mu dan Engkau
pasti tahu bahwa aku sedanng membutuhkan mimpi indahku. Maka dari itu, ampunilah segala dosa-
dosa hamba-Mu ini.

Wahai Yang Maha Mengerti, kuyakini engkau pasti mengerti apa yang kusampaikan kepada
sakit dan perih tentang mimpi indahku. Maka dari itu, ampunilah segala dosa-dosa yang kulakukan di
setiap detiknya. Hamba pendosa bersimpuh menghadapmu. Amin ... .’ Dengan sungguh-sungguh aku
berdo’a dalam hatiku.

Di malam ini, aku menjadi saksi bahwa Allah mengabulkan segal do’a-do’a hamba-Nya.

Beberapa saat setelah aku berdo’a, aku merasakan kedamaian serta ketentraman yang
teramat sangat. Sakit dan perih yang semula menyiksaku, kini semakin menjadi teman baikku.
Kehadiran sakit dan perih kunikmati sepenuh hati. Aku tidak lagi merasa risih dengan adanya
temanku itu.

Walaupun adanya sakit dan perih tetap terasa, tapi aku merasakan keindahan, ketenangan
dan ketentraman yang tak dapat kutukar dengan jagad raya. Begitu adilnya Tuhan yang walaupun
Dia membuat sakit dan perih itu tidak menghilang, tapi dia menghadirkan keindahan. Keindahan
yang mengalahkan rasa sakit dan perih yang tadinya tidak nyaman terasa.
Keindahan telah tersedia sebagai bumbu dari kehidupan yang manis. Keindahan juga
merupakan bentuk termanis dari kebahagiaan yang dapat mengalahkan segala rasa dalam hidup.
Maka dari itu, mimpi memerlukan keindahan untuk menjadikannya sebagai kehidupan yang
membahagiakan.

Demikianlah, saat keindahan telah mencapai puncaknya, aku mulai memejamkan mataku,
aku memasrahkan segalanya kepada Tuhan Alam Semesta, pemberi keindahan dalam mimpi yang
sempurna. Kuharapkan mimpi indah itu, darimu Allah.

.....

Anda mungkin juga menyukai