Anda di halaman 1dari 6

LAUNG HATI

(Karya Faza Bagus Fauzan)

Langit masih gelap. Hanya lampu dan cahaya bulanlah yang menerangi
alam sekitar. Matahari masih bersembunyi di peraduannya. Dingin udara pagi nyata
terasa di ujung saraf krause-ku. Saat itu, aku bangkit dari kasur dengan perasaan
yang sama seperti hari kemarin.

Langkah kaki terus dilangkahkan untuk mencapai ke tempat yang kutuju.


Aku duduk di dahan pohon yang sekiranya cukup kuat untuk menopang beratku.
Mataku menatap ombak yang terus bergoyang-goyang di laut. Hidungku
menghirup bau khas dari laut. Telingaku mendengarkan melodi-melodi musik nan
indah. Lidahku merasakan pahitnya kopi hitam yang kubawa. Semua ini terasa
membosankan, tetapi inspirasi selalu datang disaat yang seperti ini. Inspirasi yang
nantinya akan aku torehkan dengan tinta hitam di lembaran kertas putih. Itulah
kebiasaan yang aku lakukan hingga matahari sudah terbit secara keseluruhan. Dari
kebiasaan yang tidak biasa itulah, aku menghasilkan karya-karya baru dan
mendapat sebutan ‘Penulis Embun Pagi’.

Sekarang semua itu berbeda. Perasaan hatiku ketika bangun tidur berbeda
180 derajat. Aku tak bisa mendapatkan inspirasi seperti itu lagi. Hal ini terjadi tepat
setelah aku selesai rawat inap di rumah sakit. Sebagai gantinya, aku selalu
mendapatkan mimpi. Kisah dalam mimpiku itu berbeda dari cerita yang aku tulis
sebelumnya. Namun, tetap saja aku tuliskan mimpi itu di dalam lembaran-lembaran
cerita yang baru ketika pagi tiba.

Siangnya, aku berpakaian rapi dengan setelan jas hitam yang menyelimuti
tubuh. Berjalan pergi dari rumah untuk berkunjung ke suatu tempat untuk pertama
kalinya. Serangkaian bunga mawar berwarna merah darah ku genggam dengan erat
di tangan kananku. Aroma bunga nan harum itu begitu jelas tercium di indera
penciumku. Di bawah pohon-pohon yang menggugurkan daunnya, aku terus
melangkahkan kaki dengan menyimpan api kecil di dalam hati ini. Sesaat itu, aku
putuskan untuk mengenakan earphone-ku untuk mendengarkan melodi-melodi
indah yang sekiranya dapat menenangkan jiwa. Terus iringan melodi itu menemani
perjalananku hingga sampai di tujuan.

Sesampainya di lokasi, seorang perempuan berpakaian serba putih mulai


memandu ke arah yang ku inginkan. Perempuan itu adalah perawat yang tempo lalu
merawatku di rumah sakit ini. Kehadiranku di sini sudah diketahui olehnya,
walaupun aku tidak memberi kabar apapun kepadanya. Bahkan tujuanku ke mari
pun sudah diketahui olehnya. Terus, dia mengarahkanku hingga suatu tempat. Lalu
tibalah saat ketika perawat itu meninggalkanku sendiri di depan pintu ruangan itu.
Dia sudah tahu semuanya. Setelah aku melewati pintu ini, dia tidak boleh ikut
campur urusan yang ada. Karena urusan itu bersifat privasi.

“Tidak salah lagi, ini adalah ruangan tujuanku.”, kataku dalam hati.

Ketika ku buka pintunya, ruangan serba putih terpapar di depanku. Tidak


ada suara apapun, hanya ada keheningan. Tidak ada sambutan apapun ketika aku
masuk ke dalam ruangan itu. Saat aku duduk dan menaruh bunga-bunga tadi ke
dalam vas, keadaan sekitar tidak berubah. Begitu pula suasana hatiku saat ini.
Dalam dinginnya udara dan suasana ini, aku duduk terdiam. Sudah. Hanya seperti
itu selama berjam-jam lamanya. Sampai mulailah api yang ada di dalam hati ini
tersulut hingga terbentuk api yang sangat besar. Aku marah.

Dengan wajah yang merah aku berdiri dan berjalan mendekati salah satu sisi
tembok ruangan ini. Pukulan keras sengaja ku lemparkan ke tembok itu. Bendungan
air mata akhirnya melepaskan air mata yang ditampungnya. Hatiku kehilangan
kesabarannya. Mataku tidak kuat lagi melihat wanita itu hanya berbaring dengan
kedua tangannya yang mengepal menjadi satu di dadanya. Wanita itu adalah orang
yang begitu ku sayang. Saat ini, dia masih hidup, tetapi dia tidak ada bedanya
dengan benda mati. Hanya diam dan tak bergerak. Membuat rasa bersalahku makin
menjadi-jadi. Terus ku luapkan amarahku ini ke tembok yang tidak bersalah itu.
Pukul dan terus ku pukul tembok itu tanpa ampunan. Hingga perawat tadi masuk
ke ruangan dan menemuiku kembali. Aku sangat yakin, suara dari benturan
pukulaku dengan tembok inilah yang memanggilnya. Saat itulah, dia
menghentikanku. Dengan lembut, dia meredakan api yang ada di dalam hatiku.
Saat itulah aku rasa diriku seratus persen waras, tetapi hatiku memaksa
untuk menggila. Terus hatiku memaksaku dengan memberikan alasan dari semua
ini adalah ‘dia’.

Keesokan harinya, aku putuskan untuk tidak berkunjung lagi ke ruangan itu.
Karena kejadian itu, terpikir dalam benak pikiranku untuk tidak ke ruangannya
sebelum emosiku dapat terkontrol kembali. Aku hanya takut jika kejadian yang
tidak diinginkan terjadi di tempat itu. Dalam ruangan lima kali lima inilah, aku
berbaring sendiri sembari melihat fotonya. Melihat senyumannya nan indah.
Membuat hatiku sangat tenang. Di sisi lain, hatiku juga berteriak. Meneriakan
semua penyesalan ini. Bagaimana pun, saat ini dia berbaring seperti itu karena
kelakuan bodohku.

Semua itu terjadi karena percobaan bunuh diriku. Saat itu, aku berdiri di
samping tebing yang tinggi. Di dasar tebing itu hanya ada laut dengan ombak-
ombak marah yang menerpa tebing. Saat itu aku bertanya kepada langit, “Mengapa
aku harus hidup dikehidupan yang mengerikan ini?”. Lalu, ingatan masa lalu
kembali terputar di kepalaku. Tentang masalah dalam hidupku. Pertengkaran orang
tua, beban ekonomi, bullying, dijauhi oleh orang sekitar, dan selalu disakiti oleh
saudara sendiri. Hingga pertanyaan kedua muncul. “Apakah aku hanya akan
menjadi tokoh yang selalu disakiti?”

Beberapa menit aku menunggu jawaban dari langit, tetapi tidak ada. Aku
melompat saat itu juga tanpa basa-basi. Tetapi tidak semudah itu. Tangan seseorang
menarik tanganku dengan sekuat tenaga. Orang itu adalah wanita itu. Sahabat
dekatku sejak masa sekolah. Tetapi kekuatannya tidaklah cukup. Alhasil, kami
jatuh bersama-sama. Hanya saja, tubuh wanita itu di bawah untuk melindungiku
ketika sampai di dasar. Lalu, pandanganku menjadi gelap. Aku kehilangan
kesadaran saat itu. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku mendengar kata ‘hidup’
dari wanita itu. Cerita itulah yang terus menghantui mimpiku hingga tulisan-
tulisanku. Tetapi cerita itulah jugalah yang menghetikan niatan bunuh diriku.

Namun, itu tetap menjadi penyesalan yang dibawa olehku sendirian.


Hingga disuatu malam, diakhir bulan pertama aku hidup tanpa niat bunuh
diri, aku melangkahkan kaki keluar setelah sekian lama mengurung. Aku duduk di
kursi taman yang ada di belakang rumahku. Sendirian di taman indah yang sudah
begitu lama tidak terawat ini. Menikmati begitu tenang dan segarnya malam.
Melihat angkasa yang dipenuhi oleh kilauan-kilauan cahaya bintang yang sudah
menempuh ribuan tahun perjalanan. Lagi-lagi aku mendengarkan lagi yang sama
dengan lagu yang ku dengarkan saat berjalan ke ruangannya saat itu. Perlahan-lahan
mata ku pejamkan, saat itulah aku merasakan keberadaannya di sebelahku. Aku
merasakan tenang saat itu.

“Aku tidak bisa seperti ini terus-terusan.”, ucapku ke arah langit.

Malam itulah, aku mulai berubah. Walaupun itu hanya sekecil biji.

Keesokan harinya, tepat di awal bulan ke-dua, aku mulai kembali


mengunjunginya. Setiap harinya, aku membawa rangkaian bunga mawar merah
yang menjadi kesukaannya. Ku ganti bunga di vas setiap harinya. Setiap pagi ku
buka gorden kamar untuk membiarkan cahaya matahari masuk dan menerangi
tubuhnya. Bercakap dengan perawat mengenai perkembangan kesehatannya.
Bertemu dengan tamu, keluarga, dan saudara dekat dari wanita ini. Menunggui
dirinya di setiap jam hingga matahari benar-benar terbenam. Terkadang, aku
berbicara dengannya untuk memperbaiki perasaan hati yang terkadang memburuk
seketika. Mengenai pekerjaanku sebagai penulis, sering sekali aku membawa
pekerjaan itu ke ruangan ini. Bagaimana pun, aku tidak dapat meninggalkan
tanggung jawabku.

Bulan ke-tiga, bulan ke-empat, bulan ke-lima, dan seterusnya, kulakukan


hal yang sama setiap harinya. Terus menerus hingga itu menjadi sebuah kebiasaan
baru bagiku. Hingga suatu keajaiban muncul tepat di bulan ke-sebelas.

Saat itu aku sedang duduk di sebelahnya. Kondisinya seperti biasa, tidak
ada yang berbeda. Hembusan napas, denyut nadi, tekanan darah, semuanya tidak
ada yang berbeda. Lalu, suara muncul. Bukan dari televisi atau pun handphone-ku.
Imajinasiku juga tidak dapat membuat suara seperti itu saat ini. Ku cari-cari sumber
suara itu. Hanya dalam waktu sekejap, aku menemukan sumbernya. Sumber suara
itu tidak jauh dari tempatku duduk. Mulutnya. Beberapa kali mulut itu bergerak
seirama dengan suara yang muncul.

“Ai... hiduplah... bahagia...”, begitulah suaranya.

Tangannya mengepal menjadi satu. Aku mengingatnya. Di tempat ibadah,


waktu itu kami duduk bersebelahan. Dengan mengepalkan kedua tangannya di
depan dada, dia memejamkan kedua matanya. Kesungguhan. Ketulusan.
Keseriusan. Saat itu, aku seperti melihat seorang dewi yang sedang memohon
kepada Tuhannya. Diam dalam posisi seperti itu selama beberapa menit. Setelah
selesai, dia membuka matanya. Menghadap ke arahku dan melemparkan senyuman
yang luar biasa indahnya kepadaku.

“Tunggu...”, aku berdiri dengan terkejut. Membuat kursi yang aku duduki
terjatuh. “Apakah dia berdoa untukku?”

Saat itu, aku menggenggam kepalan tangannya dengan erat. Aku berusaha
menahan air mata. Tidak bisa. Tetesan demi tetesam air mataku menetes di
tubuhnya. Sekarang aku menyadarinya, masih ada orang yang peduli dengan
keberadaanku. Dan, masih ada orang yang berdoa orang sepertiku ini.

“Berhentilah berdoa untukku. Ku mohon, berdoalah untuk dirimu sendiri.”,


kataku kepadanya dengan menangis tersedu-sedu. Berharap dia dapat
mendengarkan diriku dari alam bawah sadarnya.

Terus ku menangis hingga malam ini aku tidak pulang seperti biasanya.
Menunggu hingga air mati benar-benar habis. Walaupun begitu, saat pulang pun
aku masih membawakan rasa sedih yang mendalam. Tidak dapat dihindari lagi,
setiap jamnya aku akan mengingat doanya itu dan membuatku kembali menangis.

Dari semua ini sudah jelas, dia memiliki perasaan kepadaku. Perasaan itu
begitu nyata adanya, tetapi tidak kusadari sedari dulu. Doa-doanya kepadaku itu
sudah membuktikannya. Sikapnya kepadaku saat masih sadar. Dan yang paling
utama, ketika dia mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkanku dari
kebodohanku sendiri. Perasaan yang tak kusadari itulah yang membuatku hidup
sampai detik ini.
Malam itu juga, aku duduk di bawah ratusan sinar bintang. Menyatukan
tanganku dan mengepalkannya. Lalu berdoa dengan khidmat ke arah langit.
Berharap doaku kepada Tuhan di malam yang cerah ini terkabulkan.

‘Jika perasaannya memberikan kehidupan kepadaku.

Maka ku mohon Tuhan, biarkan perasaanku ini menghidupkannya.’

***

Anda mungkin juga menyukai