Langit masih gelap. Hanya lampu dan cahaya bulanlah yang menerangi
alam sekitar. Matahari masih bersembunyi di peraduannya. Dingin udara pagi nyata
terasa di ujung saraf krause-ku. Saat itu, aku bangkit dari kasur dengan perasaan
yang sama seperti hari kemarin.
Sekarang semua itu berbeda. Perasaan hatiku ketika bangun tidur berbeda
180 derajat. Aku tak bisa mendapatkan inspirasi seperti itu lagi. Hal ini terjadi tepat
setelah aku selesai rawat inap di rumah sakit. Sebagai gantinya, aku selalu
mendapatkan mimpi. Kisah dalam mimpiku itu berbeda dari cerita yang aku tulis
sebelumnya. Namun, tetap saja aku tuliskan mimpi itu di dalam lembaran-lembaran
cerita yang baru ketika pagi tiba.
Siangnya, aku berpakaian rapi dengan setelan jas hitam yang menyelimuti
tubuh. Berjalan pergi dari rumah untuk berkunjung ke suatu tempat untuk pertama
kalinya. Serangkaian bunga mawar berwarna merah darah ku genggam dengan erat
di tangan kananku. Aroma bunga nan harum itu begitu jelas tercium di indera
penciumku. Di bawah pohon-pohon yang menggugurkan daunnya, aku terus
melangkahkan kaki dengan menyimpan api kecil di dalam hati ini. Sesaat itu, aku
putuskan untuk mengenakan earphone-ku untuk mendengarkan melodi-melodi
indah yang sekiranya dapat menenangkan jiwa. Terus iringan melodi itu menemani
perjalananku hingga sampai di tujuan.
“Tidak salah lagi, ini adalah ruangan tujuanku.”, kataku dalam hati.
Dengan wajah yang merah aku berdiri dan berjalan mendekati salah satu sisi
tembok ruangan ini. Pukulan keras sengaja ku lemparkan ke tembok itu. Bendungan
air mata akhirnya melepaskan air mata yang ditampungnya. Hatiku kehilangan
kesabarannya. Mataku tidak kuat lagi melihat wanita itu hanya berbaring dengan
kedua tangannya yang mengepal menjadi satu di dadanya. Wanita itu adalah orang
yang begitu ku sayang. Saat ini, dia masih hidup, tetapi dia tidak ada bedanya
dengan benda mati. Hanya diam dan tak bergerak. Membuat rasa bersalahku makin
menjadi-jadi. Terus ku luapkan amarahku ini ke tembok yang tidak bersalah itu.
Pukul dan terus ku pukul tembok itu tanpa ampunan. Hingga perawat tadi masuk
ke ruangan dan menemuiku kembali. Aku sangat yakin, suara dari benturan
pukulaku dengan tembok inilah yang memanggilnya. Saat itulah, dia
menghentikanku. Dengan lembut, dia meredakan api yang ada di dalam hatiku.
Saat itulah aku rasa diriku seratus persen waras, tetapi hatiku memaksa
untuk menggila. Terus hatiku memaksaku dengan memberikan alasan dari semua
ini adalah ‘dia’.
Keesokan harinya, aku putuskan untuk tidak berkunjung lagi ke ruangan itu.
Karena kejadian itu, terpikir dalam benak pikiranku untuk tidak ke ruangannya
sebelum emosiku dapat terkontrol kembali. Aku hanya takut jika kejadian yang
tidak diinginkan terjadi di tempat itu. Dalam ruangan lima kali lima inilah, aku
berbaring sendiri sembari melihat fotonya. Melihat senyumannya nan indah.
Membuat hatiku sangat tenang. Di sisi lain, hatiku juga berteriak. Meneriakan
semua penyesalan ini. Bagaimana pun, saat ini dia berbaring seperti itu karena
kelakuan bodohku.
Semua itu terjadi karena percobaan bunuh diriku. Saat itu, aku berdiri di
samping tebing yang tinggi. Di dasar tebing itu hanya ada laut dengan ombak-
ombak marah yang menerpa tebing. Saat itu aku bertanya kepada langit, “Mengapa
aku harus hidup dikehidupan yang mengerikan ini?”. Lalu, ingatan masa lalu
kembali terputar di kepalaku. Tentang masalah dalam hidupku. Pertengkaran orang
tua, beban ekonomi, bullying, dijauhi oleh orang sekitar, dan selalu disakiti oleh
saudara sendiri. Hingga pertanyaan kedua muncul. “Apakah aku hanya akan
menjadi tokoh yang selalu disakiti?”
Beberapa menit aku menunggu jawaban dari langit, tetapi tidak ada. Aku
melompat saat itu juga tanpa basa-basi. Tetapi tidak semudah itu. Tangan seseorang
menarik tanganku dengan sekuat tenaga. Orang itu adalah wanita itu. Sahabat
dekatku sejak masa sekolah. Tetapi kekuatannya tidaklah cukup. Alhasil, kami
jatuh bersama-sama. Hanya saja, tubuh wanita itu di bawah untuk melindungiku
ketika sampai di dasar. Lalu, pandanganku menjadi gelap. Aku kehilangan
kesadaran saat itu. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku mendengar kata ‘hidup’
dari wanita itu. Cerita itulah yang terus menghantui mimpiku hingga tulisan-
tulisanku. Tetapi cerita itulah jugalah yang menghetikan niatan bunuh diriku.
Malam itulah, aku mulai berubah. Walaupun itu hanya sekecil biji.
Saat itu aku sedang duduk di sebelahnya. Kondisinya seperti biasa, tidak
ada yang berbeda. Hembusan napas, denyut nadi, tekanan darah, semuanya tidak
ada yang berbeda. Lalu, suara muncul. Bukan dari televisi atau pun handphone-ku.
Imajinasiku juga tidak dapat membuat suara seperti itu saat ini. Ku cari-cari sumber
suara itu. Hanya dalam waktu sekejap, aku menemukan sumbernya. Sumber suara
itu tidak jauh dari tempatku duduk. Mulutnya. Beberapa kali mulut itu bergerak
seirama dengan suara yang muncul.
“Tunggu...”, aku berdiri dengan terkejut. Membuat kursi yang aku duduki
terjatuh. “Apakah dia berdoa untukku?”
Saat itu, aku menggenggam kepalan tangannya dengan erat. Aku berusaha
menahan air mata. Tidak bisa. Tetesan demi tetesam air mataku menetes di
tubuhnya. Sekarang aku menyadarinya, masih ada orang yang peduli dengan
keberadaanku. Dan, masih ada orang yang berdoa orang sepertiku ini.
Terus ku menangis hingga malam ini aku tidak pulang seperti biasanya.
Menunggu hingga air mati benar-benar habis. Walaupun begitu, saat pulang pun
aku masih membawakan rasa sedih yang mendalam. Tidak dapat dihindari lagi,
setiap jamnya aku akan mengingat doanya itu dan membuatku kembali menangis.
Dari semua ini sudah jelas, dia memiliki perasaan kepadaku. Perasaan itu
begitu nyata adanya, tetapi tidak kusadari sedari dulu. Doa-doanya kepadaku itu
sudah membuktikannya. Sikapnya kepadaku saat masih sadar. Dan yang paling
utama, ketika dia mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkanku dari
kebodohanku sendiri. Perasaan yang tak kusadari itulah yang membuatku hidup
sampai detik ini.
Malam itu juga, aku duduk di bawah ratusan sinar bintang. Menyatukan
tanganku dan mengepalkannya. Lalu berdoa dengan khidmat ke arah langit.
Berharap doaku kepada Tuhan di malam yang cerah ini terkabulkan.
***