Anda di halaman 1dari 6

Agonia Senja

Cerpen: Novieta Tourisia

KAMI melanggar peraturan. Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang


apartemen adalah pukul delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami
justru baru menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya
tidak bisa berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun
saya dari sisi depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha
menciptakan keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam
ketakutan yang ada.

Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Menyelam dengan bebas pada


kedalaman dua koma lima meter hingga membuatnya kesal bukan kepalang.
Sudah capek-capek menuntun sampai tiga puluh meter jauhnya, ternyata yang
dituntun mahir berenang, bahkan menyelam hingga nyaris menyentuh dasar
kolam. Maka ia menantang saya menyelam dalam kolam renang berukuran
olimpiade ini bolak-balik tanpa jeda, dan menerima tantangannya tanpa berpikir
dua kali.

***

IA tidak menyadari, saya tak sedikit pun berusaha memenangkan perlombaan ini.
Saya terlalu menikmati air kolam yang hangat beradu dengan dingin menusuknya
sang bayu. Saya mengayun kedua tangan dan kaki seirama dengan roda waktu,
seolah saya diciptakan sebagai makhluk air bernama penyu bermata sayu.

Ketika ia telah jauh mendahului saya, tiba-tiba saya berhenti. Sesuatu yang hilang
seperti menyeret saya ke belakang serupa jalinan memento, membuat penasaran
akan rasanya kematian. Semakin penasaran karena degup jantung tak juga
menemukan titik pemberhentian. Saya tak berkedip hingga tiga puluh detik
pertama, menanti. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan,
masih menanti. Saya segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung
menuju alam bawah sadar. Saya dapat mencium aroma kematian: serupa wangi
sedap malam yang membusuk, sebagai pengiring dayang-dayang langit berlentera
kelam. Saya kesurupan, dirasuki setan malam nan pendiam.

Seperti tersadar akan pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya
lantas menarik lekas-lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. Ia
mengangkat lalu merebahkan saya di atas gazebo pinggir kolam berkelambu sutra
abu-abu. Bertanya: apa, kenapa, bagaimana, atas nama apa. Apa dan apa dan apa
dan hanya ada apa. Tidak apa-apa, jawab saya. Ia diam tetapi saya tahu ia bicara,
tidak melalui kata-kata yang lahir dari suara.

Semilir angin semakin merengkuh saya jauh dari realita menuju kedamaian
imitasi. Pelukan tak lagi terasa hangat, malah kelewat panas seperti hendak
melebur saya untuk dijadikan santapan tengah malam. Akan tetapi dan terus-
terusan hanya ada tetapi, saya ingin, ingin, dan semakin ingin dipeluk oleh ia
tanpa harus dilepaskan, tanpa harus lagi-lagi kedinginan. Demi Tuhan. Keinginan
saya untuk dipeluk semakin menjadi-jadi, semakin tak tertahankan, semakin sulit
dilawan. Dan demi setan saya malah hanya bisa diam, bungkam, bahkan tak
mampu berdeham.

Mungkin dingin bisa saja membuat saya ngilu, tapi tak seharusnya menjadikan
saya bisu. Sekarang saya benar-benar sekarat. Rasanya mau mampus saja buru-
buru, tanpa harus dihibahkan kelu seperti itu. Kenapa, kenapa, kenapa, saya
bertanya. Tidak akan terjadi apa-apa, semoga saja, saya meyakinkan diri, dan
mencari doa.

Doa. Datanglah melalui tarian angin mahagemulai. Bisikkan mantra penyuci jiwa
lewat telinga dan biarkan ia meranggas di jantung nan rapuh ini tanpa perlu
dilukai. Kan kunikmati sayat demi sayat pada permukaannya hingga ruh dan raga
sama-sama terkulai. Datang, datanglah, walau tengah malam ini saja. Beri
kesempatan agar hati ini mendorong mulut untuk melayangkan suara kepadanya
atas nama rasa. Izinkan diri menyampaikan keinginan untuk dipeluk oleh ia, sang
pelindung nan setia melagukan kasih penidur, sebagai penawar rasa sakit akan
ketidakabadian. Ajarkan jiwa ini menerima segala yang sepatutnya diterima,
meski lewat sebait doa.

***

SAYA yakin Dia di Atas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya
akan kiriman surga bernama doa. Sebab kengiluan tak lagi ada, digantikan bara
hangat yang berembus lewat napasnya pada mulut saya. Ia melukis lengkung lidah
mesra di dalamnya, sembari dihantui kepanikan akan degup jantung saya yang
meski tak lagi ngilu namun semakin melemah dan memberi getaran kecil seolah
memohon ampun untuk segera diakhiri. Jantung saya berbicara, mewakili pita
suara yang sungguh tak sanggup melahirkan kata. Detik itu pula saya percaya,
segalanya akan mati sia-sia sekali pun cinta sebagai peran utama. Saya tahu,
keabadian selalu tamat secara berkala dan sudah semestinya saya siap digantung
koma.

Sepertinya saya memang sengaja disiksa; tak diizinkan hidup secara utuh, mati
pun perlu sertifikasi. Terlebih karena seumur hidup dapat dihitung dengan jari
seberapa sering saya berdoa demi kebaikan. Ingatan hilang dihantam sunyi. Nyeri
membebat kepala hingga meruntuhkan kapabilitas memori. Nyeri itu turut
mengendap di setiap persendian, membuat saya terbujur kaku. Saya mati rasa,
namun berada di ambang ketidaksadaran justru menguatkan saya untuk tetap
bertahan, meski kekuatan itu terletak pada titik tengah kelemahan. Mungkin ini
yang dinamakan fase kematian. Sakit yang menegarkan, perih yang
membebaskan. Seperti dibuai akan panorama duniawi ketika naik gondola raksasa
yang putarannya senantiasa mendebarkan.
Ia yang saya cintai masih terus berusaha menciptakan keajaiban, menjemput
kehidupan agar kembali menyulut ruh saya yang perlahan memadam. Saya merasa
kalut, sebab ruh saya tak mau hidup kembali untuk mencicipi manis cinta yang
justru perih di dada karena ketulusannya tak akan mampu terbayarkan oleh saya,
manusia pesakitan dengan berjuta obsesi akan kematian. Saya yakin ia akan
bahagia justru tanpa saya, tanpa halusinasi saya yang berlebihan, dan tanpa harus
dibuat tersiksa karenanya.

Tersirat dalam benak yang mulai redup ini untuk menghisap cintanya terlebih
dulu sampai habis, sampai ia tak sudi lagi memberi satu keping di antaranya,
sampai ia muak dengan perasaannya sendiri, sampai akhirnya tidak memedulikan
saya bersama jasad kaku ini di sini. Namun rasanya percuma. Sebab hingga detik
ini ia tak putus-putus mentransfer doa dalam lirih bisikan melalui telinga saya
sembari mengatakan agar tetap bertahan menguatkan diri dan senantiasa
menyadari bahwa ia selalu berada di sisi saya.

***

SAYA memang digantung koma, namun bukan berarti tak lagi tersisa air mata.
Tetesan itu menyeruak keluar dari lingkar mata serupa guratan pada cabang
pepohonan. Saya menangis bukan untuknya, melainkan diri sendiri. Jika harus
saya hitung satu demi satu pengkhianatan yang telah saya lakukan di belakangnya
tanpa pernah sekali pun ia ketahui hingga hari ini, akan ada lebih dari sepuluh
nama yang tertera di dalamnya, lebih dari sepuluh cerita yang nantinya terbaca,
dan lebih dari sepuluh hati yang tercabik dan meluka, bagian yang tersulit untuk
diobati dengan penawar apa pun kecuali hati itu sendiri.

Saya pengkhianat, tapi saya mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap


balasan namun pada kenyataannya cinta saya kepadanya kalah telak oleh cinta
yang ia berikan kepada saya. Tak akan pernah mampu saya mengimbangi
perasaannya yang sudah berada di puncak dari segala tingkat. Saya pengkhianat,
tapi saya tak pernah meninggalkannya. Ada magnet yang menarik saya dan kutub-
kutubnya memompa lembut jantung hati ini untuk terus berdegup setiap kali saya
bersamanya. Saya pengkhianat, tapi saya takut dikhianati. Mungkin karena itu tak
henti-hentinya saya menyiksa diri dengan berkhianat ke sana kemari, menikmati
perih luka pada jiwa-jiwa yang dikhianati, mengais habis kebahagiaan mereka.
Saya pengkhianat, tapi pada akhirnya saya tak mendapatkan apa-apa. Saya
kehilangan hampir segalanya, dan bukan tak mungkin segera kehilangan ia juga.

Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan
menjauh dari jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih
malah membuat saya tersiksa seperti ini. Atau seharusnya saya tak pernah
berkhianat kepada siapa pun, sehingga tak perlu ada balasan semacam ini. Atau
seharusnya ia tak mencintai saya lebih dari cinta yang saya berikan, sebab kini
jurang perbedaan kadarnya terlihat kian membesar. Selalu ada ''seharusnya''.
Seharusnya selalu ada.
Saya sempat mengira astana dasamuka mengirimkan musikalisasi dari gending
lembah ngarai sebagai lagu pengiring kematian saya, namun suara samar-samar
itu terdengar semakin jelas dan bukan gending lembah ngarai yang mendamaikan,
melainkan sirine ambulans putih dengan lampu merah nyalang di atasnya. Ruh
saya marah. Ia menghujat orang-orang yang berkerumun di sini dan menganggap
saya sebagai tontonan cuma-cuma. Ia mengamuk pada dayang-dayang langit
berlentera kelam yang tak datang membawanya ke astana dasamuka untuk
dibunuh dan dilahirkan kembali. Ia mencabik jantung saya yang degupnya tak
juga berhenti sedari tadi.

Saya ingin merengkuhnya ke dalam jasad ini kembali, agar kami menyatu lagi dan
kelak membenahi segala sesuatu yang telah kami hancurkan hingga porak
poranda. Namun ia tak sudi dan malah berteriak lantang tepat mengena di ulu hati
saya. Ia tahu, jika ia kembali bersatu dengan jasad ini, saya hanya akan
menyiksanya perlahan-lahan dengan menjadi makhluk Tuhan yang terpuji. Tidak
akan ada lagi pengkhianatan dan dusta yang kelak melahirkan dosa. Adapun ia
terlahir sebagai pendosa sejati. Dosa adalah sumber kehidupannya. Ia akan
mengupayakan segalanya untuk bisa memenangkan peperangan dengan jasad saya
yang menginginkan kebaikan dan membutuhkan penyucian diri, karenanya saya
pasti akan kalah. Di sinilah kali terakhir saya diberi kesempatan untuk
memberdayakan akal pikiran sebagai manusia. Saya diberikan pilihan: berperang
dengan ruh sendiri selama jasad ini menopangnya kembali demi pembersihan
jiwa, atau mengizinkan ruh itu mendapatkan kehendaknya untuk terlepas dari
jasad saya selamanya.

Akhirnya pilihan saya jatuh pada pilihan kedua. Sebab walau bagaimana pun, saya
pasti kalah dan ia selalu menang. Jika saya terus-terusan berperang dengannya
tanpa ada titik temu di bibir pintu, saya yakin, ketika suatu saat nanti kesalahan
kami terulang kembali, jasad ini telah membusuk bahkan sebelum saya
menyadarinya. Saya tak ingin itu terjadi. Saya juga sadar, ruh ini telah berusaha
membebaskan diri dari saya sekian lama, namun saya tak pernah peduli, sebab
saya mencintai lelaki itu, dan untuk mencintai seorang manusia dengan ruh dan
jasad yang saling melengkapi, saya harus tetap hidup dan tidak boleh mati.

Saya terharu bahwa pada detik-detik menjelang babak akhir kehidupan ini, masih
ada hati yang mencintai saya, yang tidak semata-mata menginginkan saya, meski
ia tak berhasil menolong saya. Air mata tak lagi berupa cairan, ia telah menyatu
dengan angin, sehingga kekasih saya tak tahu betapa pedih yang saya rasakan saat
harus meninggalkannya, sebelum saya sempat mengatakan maaf dan mengecup
kelopak bibirnya untuk terakhir kalinya.

***

SAYA pasrah. Ruh saya menari-nari gemulai, menyeringai lebar dengan lidah api
yang terjulur dari mulutnya. Ia akan dilahirkan kembali nun jauh di sana, di astana
dasamuka. Sementara jasad yang selama ini menjadi topangannya, tempat saya
merelakan tubuh ini berkhianat ke sana kemari pada tubuh-tubuh yang juga
pengkhianat oleh sebab hasrat ruh yang melewati batas, harus rela juga ketika
pada akhirnya hanya akan berakhir di kotak kayu pengap dan panjangnya pas-
pasan yang dinamakan peti mati.***

Catatan: agonia: rasa sakit yang amat sangat

Analisis Cerpen
Sinopsis:
Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang apartemen adalah pukul
delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami justru baru
menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya tidak bisa
berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun saya dari
sisi depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha
menciptakan keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam
ketakutan yang ada. Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Saya
kesurupan, dirasuki setan malam nan pendiam. Seperti tersadar akan
pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya lantas menarik lekas-
lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. Ia mengangkat lalu
merebahkan saya di atas gazebo pinggir kolam berkelambu sutra abu-abu. Dan
demi setan saya malah hanya bisa diam, bungkam, bahkan tak mampu berdeham.
Saya pasrah.
Tema
 Tema yang digunakan merupakan dasar dari rasa sakit yang tidak bisa
diungkapkan.
Tokoh yang ada di dalam cerpen:
 Saya
 Ia atau dia
 Dia atau Sang Pencipta
 Ruh dari tokoh Saya
Latar
 Tempat: kolam renang, apartemen, tengah palung, gazebo pinggir kolam.
 Waktu: malam hari
 Suasana: mencekam dan tegang
Alur
 Menggunakan alur campuran, dimana dimulai dengan perkenalan
kemudian kembali ke masa lalu dan kembali ke masa depan.
Sudut Pandang
 Menggunakan sudut pandang orang pertama, dimana pelaku utama
menceritakan dirinya dengan kalimat “Aku” menjadi tokoh utama.

Nilai kehidupan yang terdapat dalam cerpen:


Cerpen diatas paling banyak menceritakan nilai sosial dan nilai moral, dimana
seorang tokoh “saya” berkhianat kepada “dia” sehingga menimbulkan rasa sakit
yang begitu dalam bagi dirinya sendiri. Dikutip dalam:
“Saya pengkhianat, tapi saya takut dikhianati.”
Selain itu, percobaan bunuh diri dengan menyelam juga merupakan nilai sosial
yang ada. Dikutip dalam:
“Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan
menjauh dari jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih
malah membuat saya tersiksa seperti ini.”
Nilai moral yang ada yaitu ketika tokoh “saya”merasakan dosa yang begitu besar
kepada Sang Pencipta (Tuhan) karena pengkhianatan yang dilakukan, bahkan
untuk dimaafkan sekalipun mungkin tidak bisa. Dikutip dalam:
“SAYA yakin Dia di Atas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya
akan kiriman surga bernama doa”
Amanat
 bersikap baik kepada sesama dan tidak melakukan hal yang akan
menyakiti hati orang lain. Karena, ketika kita menyakiti hati orang lain
secara tidak langsung diri kita menyakiti diri sendiri yang kemudian
menimbulkan dosa dan hubungan tidak baik antar sesama.

Anda mungkin juga menyukai