Anda di halaman 1dari 6

SEBUAH KISAH DI CANDIPURO

BUDI DARMA, CERPEN, JAWA POS

Sebuah Kisah di Candipuro

Cerpen Budi Darma (Jawa Pos, 26 April 2020)

TERCERITALAH, ratusan tahun yang lalu, Layang Seto dan Layang Kumitir berusaha menjegal
Damarwulan untuk merebut kepala Menakjingga dari tangannya. Kalau keduanya berhasil
merebut kepala Menakjingga dan mempersembahkannya ke istana Majapahit, mereka akan
mendapat kedudukan tinggi. Tapi jika mereka gagal, sebagai ganti kedudukan tinggi, mereka
mendapat siksaan yang luar biasa pedih. Upaya pembegalan terjadi di Candipuro, sebuah desa di
Lumajang.

Sementara itu, pada suatu hari di akhir 1950-an, terjadi pembunuhan oleh seorang istri bernama
Bik Rimang. Dia membunuh suaminya. Jemprot namanya. Semasa hidupnya, Jemprot sangat
suka membodoh-bodohkan istrinya. Bahkan, Jemprot juga tidak segan menyiksa istrinya di
hadapan banyak orang dengan alasan yang dibuat-buat.

Itu awalnya, dan awal ini berlanjut: Jemprot suka membawa pelacur ke rumahnya. Jemprot lalu
memaksa istrinya menyaksikan dirinya bermain kuda-kudaan dengan pelacur. Dan istrinya
bukan hanya diam, tapi juga gemetaran karena Jemprot mengancam akan membunuh manakala
istrinya menolak untuk menyaksikan permainan kuda-kudaan itu.
Asal-usul Bik Rimang tidak jelas. Tapi tercatat, ketika kecil dia diajak orang tuanya sebagai
penyabit rumput untuk pakan ternak di beberapa desa di Banyuwangi.

Pernah dia diterjang penyakit mengerikan dan tidak ada satu dukun pun yang mampu
menyembuhkan dia. Penyakit apa, tidak jelas, tapi mungkin juga penyakit otak miring.

Pada waktu ibunya putus asa karena mafhum bahwa malaikat Izrail segera datang untuk
mengakhiri hidup anaknya, tanpa sadar mulut ibunya terbuka, melantunkan nyanyian dengan
suara lembut. Sesaat kemudian Bik Rimang kecil bangkit, menari mengikuti irama nyanyian
ibunya. Tanpa sadar ibunya juga bangkit mengikuti gerak anaknya. Dan, ketika anaknya berjalan
ke dapur, dia juga mengikutinya ke dapur. Dengan gerak tarian yang sangat lembut, Bik Rimang
kecil mengambil celurit, berlagak akan menebas kepalanya sendiri, lalu berteriak keras “Saya
gila!” kemudian roboh.

Tepat pada saat berteriak “Saya gila!” Bik Rimang kecil dengan sangat mendadak merasa sehat
dan jatuh terguling bukan karena sakit, tapi karena terkejut.

Mula-mula semua orang mengira dia tidak akan tahan hidup lama. Tapi, ternyata mereka,
termasuk ayah dan ibunya, tidak lama kemudian meninggal. Sebelum cukup umur, Bik Rimang
kecil sudah menjadi anak yatim piatu. Mau tidak mau, dia harus sanggup mematahkan semua
rintangan dan hambatan dengan cara mengembara dari satu desa ke desa lain, disusul ke desa
lain pula, semuanya di daerah Pandalungan.

Waktu berjalan terus. Dan seperti semua orang, dia tidak merasa bahwa tubuhnya sedikit demi
sedikit berubah. Tapi akhirnya dia merasa buah dadanya sedikit demi sedikit berkembang, suara
kanak-kanaknya memudar, sampai akhirnya seluruh tubuhnya merasa sakit tapi tidak parah,
perasaan malas menyelinap ke tubuhnya, dan perut pun terasa kejang. Pada suatu malam, dia
kedatangan ibunya dalam mimpi, dengan dibayang-bayangi ayahnya.

Keesokan paginya dia tahu bahwa masa datang bulan pertama kali dalam hidupnya telah tiba.
Dia teringat kembali kata-kata ibunya dulu soal makna datang bulan, yaitu pantangan-pantangan
yang tidak boleh dilanggar. Perempuan yang sedang mengalami datang bulan dianggap sebagai
makhluk kotor, makhluk yang tidak suci lagi. Tidak boleh masuk langgar, tidak boleh masuk
masjid, tidak boleh melewati makam orang-orang keramat, dan juga harus menjauh dari tempat-
tempat angker.

Ibunya juga berkata mengenai makna lain datang bulan. Yaitu tanda bahwa tubuh perempuan
sudah siap untuk dijadikan istri. “Kalau ada laki-laki baik hati menginginkan kamu, terimalah dia
dengan rasa hormat. Kamu akan menjadi istrinya. Dan sebagai istri, bagaikan tanah garapan,
kamu harus siap dibajak. Dari situlah kamu akan melahirkan anak, Rimang.”

Tidak lama kemudian, pemilik penggilingan padi, Pak Jasman namanya, datang menemui Bik
Khodriah, seorang janda tua tanpa anak, untuk meminang Bik Rimang buat anaknya, Jemprot.
Pak Jasman tahu Bik Rimang hanyalah perempuan kelas rendah dan asal-usulnya gelap. Tapi,
sikap dan kemampuan Bik Rimang memantapkan keputusannya untuk menjadikan Bik Rimang
sebagai menantunya. Bukan hanya itu. Pernah beberapa kali Pak Jasman minta Bik Rimang
untuk membersihkan rumahnya. Pak Jasman sengaja menjebak Bik Rimang dengan uang di atas
meja dan Bik Rimang sama sekali tidak berminat untuk mengambilnya. Berbagai jebakan lain
pernah dilakukan oleh Pak Jasman. Dan dengan penuh keyakinan, Pak Jasman menyimpulkan
bahwa Bik Rimang benar-benar jujur, tidak mau mengambil apa pun yang bukan haknya.

Istri Pak Jasman sudah lama meninggal, sementara keluarga jauh Pak Jasman dan juga keluarga
jauh istrinya sudah lama tidak pernah berhubungan lagi. Sebab keretakan hubungan keluarga
tidak lain karena sikap ugal-ugalan Jemprot. Entah mengapa, Pak Jasman dan istrinya tidak
mempunyai anak.

Diam-diam Pak Jasman mengangkat seorang bayi sebagai anak angkatnya, tidak lain karena bayi
itu bertampang priyayi. Siapa orang tua bayi ini, tidak ada yang tahu. Dan mengapa bayi ini oleh
orang tuanya dibuang di dekat sumur tua yang sudah lama tidak pernah dipakai karena
tempatnya terpencil, tidak ada yang tahu. Dan juga tidak ada yang peduli. Pak Jasman dan
istrinya memberi nama bayi itu dengan nama priyayi, sesuai dengan tampangnya. Riyanto, itulah
namanya.

Sejalan dengan bertambahnya umur, sedikit demi sedikit tampang priyayi Riyanto berubah
menjadi tampang orang kebanyakan. Makin tambah umurnya, makin jelek wajahnya. Bukan
hanya itu. Makin dewasa Riyanto, makin menjengkelkan sikapnya. Dan, ketika sekian banyak
orang dengan nada jengkel mengganti nama Riyanto menjadi Jemprot.

Kebiasaan Jemprot adalah minta uang dari ayahnya, kemudian menghilang. Mula-mula
menghilang hanya selama beberapa hari, kemudian menjadi beberapa minggu, lalu menjadi
beberapa bulan. Bukan hanya itu. Setiap kali dia datang di desa-desa sekitar, orang-orang selalu
mengusirnya.

Jangan heran, ketika Pak Jasman mendatangi Bik Khodriyah untuk meminang Bik Rimang, hati
Bik Khodriyah benar-benar terguncang.

Pak Jasman dan Jemprot datang ke pondok Bik Khodriyah, menyembah-nyembah, dan
bersumpah bahwa Jemprot akan menjadi orang baik. Luluhlah hati Bik Khodriyah, demikian
pula hati Bik Rimang.
Sumpah sekadar sumpah, tidak ada maknanya apabila sumpah itu tidak diikat sumpah pocong
dengan sanksi barang siapa melanggar sumpahnya akan dilaknat Tuhan. Setelah ada kesepakatan
dengan tokoh-tokoh penting dan banyak orang, sumpah pocong pun dilaksanakan. Pak Jasman
dan Jemprot dibungkus kain kafan layaknya “mayyit” yang akan segera dikubur. Ada tiga nama
dalam kematian. Yaitu, begitu mati, seseorang dinamakan “jasad”. Setelah disembahyangi dan
didoakan, “jasad” dinamakan “jenazah” Setelah “jenazah” siap dimasukkan ke liang lahad,
dinamakan “mayyit”.

Dalam keadaan seperti akan dimasukkan ke liang kubur itulah Pak Jasman melantunkan
sumpahnya, diikuti Jemprot. Orang-orang heran, mengapa Jemprot berubah sama sekali. Dia
tidak menunjukkan sikap berandalan seperti biasanya. Tentu saja, setelah upacara selesai, Pak
Jasman dan Jemprot tidak dimasukkan ke liang lahad, tapi dibebaskan dari kedudukannya
sebagai “mayyit” dengan syarat akan celaka apabila sumpah yang telah diikrarkan hanya
berhenti di mulut belaka.

Sumpah pocong berjalan dengan lancar dan Bik Khodriyah serta tetangga-tetangga lain pun
meminta Bik Rimang untuk menerima pinangan Pak Jasman. Bik Rimang tidak mempunyai
pilihan lain, kecuali mengangguk. Pernikahan pun berlangsung. Dan, dalam waktu kurang dari
satu bulan kemudian, Pak Jasman meninggalkan dunia fana untuk selama-lamanya. Sikap asli
Jemprot pun lahir kembali, bahkan lebih memalukan dan sangat menjijikkan.

Sering dia membawa pelacur ke rumahnya, lalu diajaknya main kuda-kudaan. Pelacurnya tidak
pernah sama. Setiap kali Jemprot membawa pelacur lagi, pasti pelacur baru. Dan, Bik Rimang
mau tidak mau harus menyaksikan suaminya main kuda-kudaan. Sebab, kalau menolak, sehabis
main kuda-kudaan pasti Jemprot menyiksanya. Siksaan bisa memakai tangan kosong, gada besar
yang terbuat dari kayu jati, bisa juga memakai palu dari besi baja.
Pada suatu hari, ketika Jemprot mengancam akan membunuh istrinya apabila tidak mau
menyaksikan Jemprot main kuda-kudaan, istrinya hanya menunduk. Permainan kuda-kudaan pun
dimulailah. Mula-mula istrinya merasa lemah, keringat dinginnya membasahi tubuh, pandangan
matanya menjadi gelap. Lalu, dengan mendadak dia merasa mendengar bisik-bisik sebuah lagu,
sama dengan lagu dari ibunya dulu. Tubuh Bik Rimang merasa kuat, tapi pandangannya tetap
gelap. Tanpa diketahui Jemprot karena terlalu asyik dengan permainannya, Bik Rimang menari,
berjalan ke dapur, mengambil celurit, dan dengan gerakan tari yang sangat indah, celurit itu
dilayangkan ke kepala Jemprot. (*)

Budi Darma. Adalah guru besar Universitas Negeri Surabaya. Penulis serbabisa kelahiran
Rembang, Jateng, tersebut merupakan pelopor teknik kolase dalam karya sastra. Dua novel yang
identik dengan Budi Darma adalah Orang-Orang Bloomington dan Olenka.

Anda mungkin juga menyukai