Surat ini tak kan mungkin bisa dikirimkan. Takkan mungkin sampai di tanganmu. Lihat, dia tetap kutulis untukmu. Kau yang sedang berbahagia dalam suasana pengantin baru. Akan tetap terkenang peristiwa yang satu itu, kau datang bersama calon suamimu dan seorang penghulu yang begitu terburu-buru kuatir tertinggal kereta rejeki. Tentu saja kau tahu, tak ada keberatan padaku, kau memilih seorang suami untuk dirimu sendiri, juga aku percaya kau akan ingat pesanku pada calon suamimu sebelum kau menikah didepanku. Anak ini anakku yang pertama, anakku yang kusayangi. Dahulu neneknya berharap dia jadi seorang dokter. Ternyata dia akan menjabat sebagai istrimu. Jadi, setelah nanti sebentar kalian menikah, jangan sekali-sekali anakku dilarang atau dihalangi jika dia mau meneruskan pelajarannya. Kedua, tak aku ijinkan anakku dipukul atau disakiti. Ketiga, anak ini kau pinta padaku untuk diperistri secara baik-baik. Kalau suatu hal kau tidak menyukainya lagi, kembalikan pula dia secara baik-baik padaku. Dan sejak itu kau tak pernah datang menjenguk aku lagi. Maaf, aku tak dapat lagi mengingat tanggal dan bulannya, malah nama suamimu aku tak dapat mengingat sesuku pun, apa pula pekerjaan dan pendidikannya. Walhasil, semua itu terserah padamu. Kau sudah memilih, juga memilih tanggung jawab. 1969 kau tinggalkan RTC Salemba, pamit untuk memulai hidup sebagai seorang istri. Beberapa kali kau masih melihat ke belakang sebelum pintu raksasa itu mengantarkan kau lepas ke jalan raya. Orang yang setelah pernikahan itu menjadi suamimu, beberapa kali masih membungkuk memberi hormat. Dan waktu pintu raksasa itu kembali tertutup, habislah sudah basa-basi. Kau memasuki bulan madu, aku juga pergi ke pembuangan. Bagaimana harus dinilai, karunia atua kutukan? Bila orang tidak dapat membebaskan diri dari waktu yang tiga dimensi, lalu, kini, dan depan. Dulu, di penjara bukit duri, pernah aku belajar menyanyi lagu yang dibuka dengan kalimat, rest a happy long somewhere. Lambang dari hari depan untuk setiap orang. Dengan pimpinan sang harapan, dengan keringat sebagai lambang jerih payah sendiri, dengan masa ini sebagai titik tolak, dengan masa depan sebagai pesangon, ia bergerak menungging ke rest a happy long somewhere. Orang tak tahu pasti, maka juga disusul oleh in a just a brair away. Betapa indah kadang lagu-lagu itu, jika suasana tepat, dan syarat pun tidak disibuki oleh tetek bengek. Somewhere, anakku, dan where to, kau negeri bahagia di mana kau sesungguhnya. Orang dididik untuk percaya, negeri tujuan memang kebahagiaan itu. Dan kepercayaan yang diperoleh secara mudah, bisa juga hilang dengan mudah. 16 agustus 1969, kau berbulan madu di Happy Land yang sudah jelas. Aku ke Happy Land Somewhere. Konon ke pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali. Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus. Kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan kapal Ajri 15, sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia. Untuk dapat naik ke kapal lebih dari 35 ton bobot mati ini, kami harus datang ke pelabuhan Sodong di Nusa Kambangan, ditentang pelabuhan Cilacap Wijaya Pura. Tiada akan kututup mata kepalaku, juga tidak mata batinku, kapal ini akan membawa kami bersama masa depan dalam impian. Dalam kepercayaan itu, pulau Buru bukan The Happy Land Somewhere. Dia hanya stasiun perantara. Juga untuk itu, dibutuhkan kepercayaan. Kapal mulai bersuling, lambat-lambat meninggalkan Sodong dan Wijaya Pura. Kehidupan hutan dan gunung-gunung Nusa Kambangan nampak mulai bergerak, dan pantai putihnya makin lama makin menghilang dari jangkauan mata. Bila pandangan dilepaskan ke selatan, hanya kebiruan samudra Hindia yang terbentang tanpa batas, sampai ke kaki langit. Bila ke utara, yang nampak adalah tebing-tebing terjal pantai selatan Jawa. Jangan dengarkan nafas mesin kapal bobrok yang terengah-engah ini. Kami sedang berlayar, seperti nenek moyang dulu di jaman migrasi untuk menemukan daratan dan kehidupan baru. Kesadaran sajalah yang membikin diri tahu, kami sedang ada di perairan tanah air sendiri. Negara maritim dengan 13.000 pulau. Kata orang, setiap di antara pulau itu adalah juga milik kami. Juga setiap cangkir dari perairan antara dua samudra itu, Hindia dan Pasifik, itu ajaran klasik di sekolah. Lebih nyata dapat dipegang adalah ucapan Peltu Marzuki di RTC Salemba: “Kalian tak punya hak apa-apa selain bernafas.” Dan ternyata sudah sekian dari kami, hak untuk bernafas pun dirampas. Ajaran klasik ternyata bisa bermuka dua. Bukan hanya laut, juga seluruh isinya. Seluruh bumi dan isinya juga langit, garis lurus sampai akhir tata surya kita. Antara kenyataan dengan janji, sudah tidak ada Status Quo. Kami berlayar dengan pintu besar dari jeruji besi dan dikunci. Dalam sekapan, dalam tiga ruang besar di bawah dek, memandang langit pun tidak ada hak. Jangankan memiliki atau ikut memiliki, seperti orang-orang Cina yang diculik dalam kapal Kapitan Bonteku, seperti tawanan- tawanan culikan Cina lain, dalam kapal-kapal tokoh imajiner yang diangkut ke Hawaai. Seperti nasib empat juta penduduk Afrika dalam kapal Inggris dan Amerika menyeberangi Atlantik dibawa ke benua baru. Sekiranya kapal ini tenggelam, kami akan mati bersama delapan ratus orang ini dalam sekapan. Dengan semua pintu terkunci dari luar. Ah, ya… apa salahnya mati? Setidak-tidaknya, kami masih bisa memberikan sesuatu pada dunia. Cerita sensasi, dan bagaimana pertanggungan jawab akan kembali menjadi bola voli. Berapa saja jumlah dan jenis makluk telah punah dari muka bumi? Dan tak ada yang meributkan, berapa saja semut yang telah mati terinjak-injak setiap detik? Berapa pula serangga lain tumpas kena semprotan insektisida? Siapa meributkan? Juga hati ini tak pernah ribut. Jangan menyesal mengapa punya impian, merasa cukup dengan yang sudah ada. Sejak peristiwa 1965 itu, aku telah kehilangan semua dan segala. Lebih tepat, semua dan segala ilusi. Untukku sendiri sudah aku miliki semua sebagaimana sewaktu bayi sudah kumiliki semua dan segala untuk hidupku sebagai bayi. Dan seperti bayi-bayi selebihnya, modal untuk berkomunikasi hanyalah suaraku. Jeritan, raungan, keluhan, rengekan. Dan bila modal komunikasi itu dirampas, ah ya, siapa yang bisa rampas hak untuk berdialog dengan diri sendiri? ya, sayang sekali aku tak dapat saksikan perayaan perkawinanmu. Hadiah perkawinanmu pun hanya catatan semacam ini, dan tak akan sampai ke tanganmu pula. Empat tahun belakangan ini, aku hanya mengikuti tudingan telunjuk orang untuk meninggali sel-sel beton atau kayu. Biar begitu, tidak benar kalau tidak pernah ingat padamu. Di mana kau tinggal sekarang? Bagaimana kehidupanmu dengan suamimu? Aku tak tahu. Biar tahu pun, apalah gunanya bagimu? Tapi empat tahun bukan waktu pendek untuk hidup manusia. Umur kadal pun tak sampai sepanjang itu. Di selku, di penjara, di tanggerang, lalat berhasil kutangkap. Kukurung dalam plastik. Ia mati tua dalam tiga setengah hari. Empat tahun tanpa tahu duduk perkara, sungguh suatu kemewahan berlebihan. Seperti lapisan tebal bedak. Pada muka buruk seorang nenek tua renta, entah berapa kali kapal kami dilewati kapal-kapal lain. Mungkin dari kejauhan jadi tontonan yang mengibakan. Penderita kusta dari lalu-lintas kehidupan yang sehat dan cerah. Setiap saat dalam kesadaranku terdengar nafasnya yang terengah-engah dan persendian-persendiannya yang berderak-derak. Dua kali nafasnya tak terdengar, dan gigilan mesin-mesin yang menggeletari kulit bajanya padam. Seribu tahun yang lalu pun nenek moyang telah menjelajahi perairan ini. Pasti cerita guru sekolah itu bukan omong kosong. Dengan perahu-perahu buatan tangan sendiri, dan pasti lebih bersih dari Ajri 15. Sekali lagi, pasti para guru sekolah itu bukan jual koyo. Perahu layar Bugis, Makasar, dan Madura sampai saat ini pun lebih tertib. Sekalipun, dan justru tidak dibiayai uang negara. 16 agustus 1969, kutinggalkan kau berbulan madu di Jawa. Aku menuju ke Happy Land Somewhere. Sepuluh jam sebelum mancal, baru kami ketahui Happy Land Somewhere itu konon pulau Buru di Maluku. Besok, 17 agustus 1969 keberangkatan kami, hadiah ulang tahun RI, hadiah bagi mereka yang tak jemu-jemunya meyakinkan diri sendiri, juga kami, bahwa kami adalah penghianat, pemutar balik pancasila, dan selalu tanpa pernah membuktikan tuduhan, mereka sudah menyeburkan tabir asap. Harus tahu sendiri, merasa sendiri, karena itu introspeksilah. Mawas diri, beriman, beragama, bersembahyang, berdoa. Ada yang berdoa memang. Ada yang berharap kapal ini tenggelam dihantam angin timur. Dan kami mampus dimakan hiu. Itu dari golongan yang menganggap, yang mati tak akan bisa bicara lagi. Anggapan jaman batu berpermatakan pesona kriminal. Memang kami sudah setengah atau seperempat hidup, tanpa hak sipil dan tanpa makan cukup. Tapi kami semua sudah membuktikan lolos berkali-kali dari lubang jarum kematian. Pada punggung masing-masing tergendong kantong takkan pernah lepas seumur hidup penuh sesak dengan lambang-lambang pengalaman indrawi dan batini. Kristalisasi energi yang tak bakal mampus lebih abadi dari daging dan tulang. Bahkan dari gading yang tak kenal retak pun. lambang-lambang itu akan terus bicara dengan bahasanya sendiri.