Anda di halaman 1dari 9

BAHAN AJAR (HAND-OUT)

A. Identitas Mata Kuliah

Nama Mata Kuliah: Telaah Naskah dan Kritik Teks Sks :3


Kode MK : IND1.62.4009
Bahan Kajian Telaah Naskah: Identifikasi naskah:deskripsi judul, nomor, dll.
Pertemuan ke- :4
Prodi : Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Dosen Pengampu : Dr. Nurizzati, M.Hum

B. Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mata Kuliah

Berpikir kritis dalam menelaah/mengidentifikasi naskah:deskripsi judul, nomor,


dan tempat penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran naskah.

C. Materi

TELAAH NASKAH:

1. Deskripsi judul naskah,


2. Deskripsi nomor naskah
3. Deskripsi tempat penyimpanan naskah
4. Deskripsi asal naskah,
5. Deskripsi keadaan naskah
6. Deskripsi ukuran naskah

D. Uraian Materi 4

TELAAH NASKAH
Telaah naskah adalah kegiatan bagian pertama dalam penelitian filologi. Telaah
naskah ini disebut juga kodekologi, yaitu bidang ilmu filologi yang meneliti seluk-beluk
naskah. Tujuan akhirnya adalah deskripsi fisik naskah. Meskipun bidang ini terkait erat
dengan telaah teks, hasil kerja telaah ini dapat dianggap selesai sebagai target pertama
penelitian naskah lama, yaitu dokumentasi kekayaan (inventarisasi) pernaskahan
nusantara dalam bentuk gambaran umum.
Ada dua tahap kegiatan penelitian filologi yang termasuk ke dalam bidang
kodekologi (telaah naskah), yaitu inventarisasi naskah dan deskripsi naskah. Berikut
dijelaskan satu per satu.
1. Tahap Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah adalah kegiatan mengumpulkan dan mendaftarkan naskah
yang dilaksanakan dengan metode observasi dan kepustakaan. Kegiatan observasi untuk
mengumpulkan naskah dilaksanakan dengan berkunjung ke perpustakaan atau ke
museum. Dengan memanfaatkan katalogus naskah lama, naskah dikumpulkan dan
menghimpun semua naskah sejudul yang tercatat di dalam katalogus tersebut, juga
naskah-naskah sejudul yang tersimpan di berbagai perpustakaan dan museum di seluruh
dunia, karena naskah nusantara tersebar di 25 negara di dunia.
Observasi naskah juga dilakukan ke tengah-tengah masyarakat pemilik tradisi
naskah dengan mengunjungi komponen masyarakat yang diperkirakan menyimpan
naskah yang kita teliti. Komponen masyarakat yang diperkirakan masih menyimpan
naskah lama antara lain, keturunan bangsawan tradisional, keturunan pemerintah
radisional, pemuka-pemuka adat, pemuka-pemuka agama, ahli pengobatan tradisional,
seniman kesenian tradisional, dan pegawai di bidang kebudayaan tradisional. Upaya ini
dilakukan agar naskah yang akan diteliti terkumpul semuanya dan naskah yang diteliti
memiliki kesaksian yang lengkap serta sejarah penurunan teks bisa disusun dengan
lengkap. Dengan demikian, hasil penelitiannya menjadi lebih terpercaya.
Kegiatan observasi disempurnakan dengan mendaftarkan semua naskah yang
terkumpul dengan mengurutkan pendaftaran berdasarkan umur naskah. Karena naskah-
naskah yang berumur lebih tua diasumsikan berada di luar negeri, terutama Eropah,
pendaftaran naskah diawali dengan mencatat data penting naskah yang tersimpan di
perpustakaan atau museum yang ada di Eropah itu. Selanjutnya baru diikuti dengan
mendatarkan data penting naskah yang tersimpan di dalam negeri.
Contoh: judul naskah yang diinventarisasi oleh Edi S. Ekadjati dengan
judul“Cerita Dipati Ukur”. Naskah ini disimpan di berbagai tempat. Yang paling
banyak adalah di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Teknik mendaftarkannya
adalah sebagai berikut.
a. Leiden, Belanda
1) Naskah Lor. 7399 (2)
2) Naskah Lor. 7399 (5)
3) Naskah Lor. 7858
4) Naskah Lor. 7905
5) Naskah Lor. 6455
6) Naskah Lor. 7915
7) Naskah Lor. 7442
8) Naskah Lor. 6499
9) Naskah Lor. 7813
10) Naskah Lor. 8605
11) Naskah Lor. 8609 ©
b. London, Inggris
1) Naskah Add. 12320
2) Naskah IOL Jav. 36 (B)
c. Jakarta, Koleksi Museum Nasional
1) Naskah Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa
2) Naskah Sajarah Bandung … dst. (Ekadjati, 1980:2)
2. Pendeskripsian Naskah
Pendeskripsian naskah untuk kepentingan telaah naskah dilakukan sesuai
dengan teori seluk beluk naskah (kodikologi). Menurut Hermansoemantri (1986)
dalam buku teksnya “Identifikasi Naskah”, ada 18 butir tentang kondisi fisik
naskah yang harus dijelaskan secara rinci, yaitu judul, nomor, asal, tempat
penyimpanan, keadaan, ukuran, tebal, jumlah baris tiap halaman, huruf, aksara,
tulisan, cara penulisan, bahan, bahasa, bentuk teks, umur, identitas pengarang atau
penyalin, asal-usul naskah yang ada di masyarakat, fungsi sosial naskah, dan
ikhtisan teks. Berikut diuraikan satu per satu.

a. Judul Naskah
Naskah-naskah nusantara cukup banyak yang tidak memiliki judul, terutama
yang sudah sangat tua (Hermansoemantri, 1986:2). Judul tidak ditemukan lagi baik
pada halaman depan atau pada awal teks yang lazimnya menyebutkan judul teks,
atau pada halaman terakhir dalam kolofon yang juga sering kali mencantumkan
judul. Sering kali halaman depan atau awal teks itu sudah rusak atau hilang. Karena
itu, peneliti harus memberi judul naskah tersebut berdasarkan fakta-fakta yang
mendukung untuk penentuan judul tersebut.
Ada tiga upaya yang bisa dilakukan filolog untuk memberi judul naskah,
karena judul merupakan identitas pertama yang menjadi pedoman filolog menelaah
naskah.
(1) meneliti bagian teks yang menyebutkan judul naskah itu; biasanya judul
naskah lama itu tertulis pada kalimat pertama atau bagian permulaan, atau
tersurat pada kata tertentu halaman pertama teks. Hal seperti ini dapat dilihat
pada contoh berikut.
(a) “Ini hikayat Carita Raja Banjar dan Kota Waringin…”, sebagaimana
tersurat pada awal teks.Naskah ini kemudian diberi judul “Hikayat Banjar”
(Ras dalam Hermansoemantri, 1986:4). Hal yang sama terlihat pula pada
contoh berikut.
(b) “Ini hikayat cerita zaman dahulu kala. Sekali peristiwa seorang miskin
laki-bini berjalan berkeliling negeri antah Berantah menari razkinya…”.
Judul naskah ini dapat diambil dari kata “hikayat” dan “miskin”, yaitu
“Hikayat Si Miskin”.
(2) kalau filolog tidak menemukan judul yang pantas untuk teks pada halaman
pertama, dia dapat membaca dan menemukan judul pada halaman terakhir
naskah, karena kadang-kadang penulis naskah mencantumkan judul pada
halaman terakhir atau pada kolofon. Lihat contoh berikut.
“…Maka kemudian daripada itu tamatlah hikayat daripada ceritera Raden
Andakan Panurat namanya, pada sebelas hari bulan Desember, pada malam
Isnain jam pukul dua. Kepada waktu itulah habis tersurat kepada tahun 1825
(Robson dalam Hermansoemantri, 1986:4). Judul naskah tersebut tersurat
pada bagian akhir teks.
(3) bila pada bagian awal dan akhir naskah tidak ada petunjuk tentang judul
naskah, peneliti harus membaca naskah dan memperhatikan fokus penceritaan
atau informasi. Fokus penceritaan atau informasi dalam naskah lama ada dua
hal, yaitu peristiwa dan latar yang diceritakan dan tokoh yang diceritakan.
Filolog bisa memberi judul naskah dengan nama tokoh yang menjadi pusat
penceritaan, seperti Hikayat Hang Tuah, Babad Walangsungsang, Babad
Dipanagara, wawacan Abdul Kadir Jailani (Hermansoemantri (1986:5); atau
menjadikan peristiwa dan latar cerita sebagai judul naskah, seperti pada
naskah Babad Cirebon, Babad Mataram, Carita Parahyangan, Sejarah
Sukapura. contoh:
(a) Babad Cirebon atau Sajarah Cirebon, pemberian judul ini didasarkan pada
latar tempat peristiwa terjadi, yaitu di Gunung Jati, Cirebon;
(b) Wawacan Babad Walangsungsang atau Babad Walangsungsang atau
Walangsungsang saja ditetapkan sebagai judul naskah sesuai nama tokoh
utama cerita, yaitu Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi Raja Pajajaran
yang telah menganut agama Islam (Hermansoemantri (1986:6).
Problema tentang judul sebenarnya telah terjadi di dalam proses penyalinan
naskah disebabkan tidak ditemukannya judul naskah. Pemberian judul naskah
oleh para penyalin naskah untuk teks yang sama kadang-kadang berbeda.
Penyalin yang satu memberi judul dengan nama tokoh ayah atau ibu; penyalin
yang satu lagi dengan nama anak laki-laki atau nama anak perempuan yang
mendapat porsi penceritaan yang sama-sama dari pengarang. Kasus ini ditemukan
pada naskah/teks Syair Selindung Delima (nama anak perempuan) judul lain:
Syair Seri Bunian (nama ibu) dan Syair Indra Laksana (nama anak laki-laki).

b. Nomor Naskah
Naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan dan museum diberi nomor
tertentu dan dicantumkan di dalam katalog naskah. Gunanya adalah untuk kerapian
koleksi dan keteraturan penempatan naskah. Selain itu, juga berguna untuk
memudahkan menemukan kembali naskah bersangkutan sewaktu-waktu kalau
diperlukan.
Cara penomoran naskah berbeda antara satu perpustakaan atau museum
dengan perpustakaan atau museum yang lain. Menurut Hermansoemantri (1986:7),
penomoran naskah yang ada sementara ini adalah: (1) nomor naskah dilengkapi
dengan nama pemilik asal, penghibah, dan kolektor naskah, misalnya Tubingen
Schoemann V, 1; (2) nomor naskah dilengkapi dengan identitas perpustakaan atau
museum tempat naskah itu disimpan; misalnya NL(S) 1886 yang maknanya,
National Library of Singapaure; (3) nomor naskah dilengkapi dengan nama
perpustakaan atau museum dan identitas bahasa naskah, misalnya BG Mal.116
(Batavia Genotschap Maleis); (4) nomor naskah dilengkapi dengan identitas
kolektor dan bahasa naskah yang bersangkutan, contohnya, Rylanda Mal. Ms. 5
(Koleksi John Ryland, bahasa Melayu (Malay), Manuscript (Ms.) no. 5).

c. Tempat Penyimpanan Naskah


Naskah-naskah nusantara umumnya tersimpan di perpustakaan-
perpustakaan; baik di perpustakaan Negara, perpustakaan daerah, universitas,
maupun di perpustakaan milik suatu badan atau lembaga tertentu. Tempat
penyimpanan naskah yang lain adalah museum, tersimpan di bagian naskah, baik
museum nasional maupun museum di daerah, seperti Museum Asia Afrika di
Bandung, Museum Sang Nila Utama di Provinsi Riau, Museum Adityawarman di
Padang.
Naskah-naskah milik pribadi sebagai peninggalan leluhur yang dianggap
benda keramat tidak disimpan di sembarang tempat. Ada masyarakat yang
menyimpan naskah itu di dalam kotak khusus, kemudian meletakkannya di atas
langit-langit rumah atau bangunan khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka.
Di Daerah Ulakan Pariaman naskah Biografi Syekh Burhanuddin disimpan di
sebuah lemari kaca yang berlapis dua; naskah itu disimpan di lemari kecil yang ada
di dalam lapisan dalam. Naskah itu tidak boleh disentuh oleh orang lain; orang lain
hanya boleh melihat dari luar. Sebagai bentuk rasa simpati terhadap pengunjung
yang ingin melihat dan membaca isi naskah tersebut, ahli waris yang mendapat
kepercayaan menjaga naskah itu membuat salinannya. Salinan itulah yang
diperbolehkan dilihat dan dibaca pengunjung. Jika pengunjung menginginkan
bentuk reproduksi, naskah salinan tersebut boleh difoto kopi.

d. Asal Naskah
Yang dimaksud dengan asal naskah adalah dari mana satu naskah berasal,
baik naskah yang tersimpan di perpustakaan atau museum atau naskah sebagai
milik pribadi. Naskah yang tersimpan di perpustakaan atau museum menurut
Hermansoemantri (1986:11) berasal dari: (1) hibah dari pemilik atau kolektor
naskah; (2) pembelian dari pemilik naskah secara pribadi; (3) salinan dari naskah
induk milik pribadi atau salinan dari naskah induk milik perpustakaan/museum
lain; (4) pengembalian atau penyerahan dari perpustakaan atau museum suatu
Negara seperti naskah-naskah nusantara yang tersimpan di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda, dikembalikan bentuk reproduksinya (mikrofilm atau
digital) ke pemerintahan Indonesia (disimpan di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia).
Naskah-naskah milik pribadi di tengah-tengah masyarakat berasal atau
diperoleh dari antara lain: (1) warisan, harta pusaka, atau peninggalan dari
leluhurnya; (2) pembelian dari seseorang; (3) pemberian dari seseorang; (4) titipan
dari seseorang yang tidak diambil lagi; (5) salinan, terjemahan, saduran,
pentranskripsian dari naskah milik orang lain, dan pentranskripsian dari naskah
milik perpustakaan atau museum.

e. Keadaan Naskah
Mendeskripsikan keadaaan naskah adalah menjelaskan, menguraikan, dan
menggambarkan secara rinci keadaan wujud fisik naskah. Biasanya digunakan
istilah utuh, tidak utuh, baik atau rusak. Naskah yang dikategorikan utuh adalah
naskah yang keadaannya sempurna seperti semula, lengkap, tidak ada yang hilang,
dan keadaannya baik tidak ada yang rusak. Naskah yang dikategorikan rusak adalah
naskah yang lembaran-lembarannya rusak, sobek, jilidannya terlepas, atau lapuk
karena dimakan waktu/umur naskah itu sendiri.
Keadaaan naskah di dalam katalogus naskah biasanya dicantumkan dengan
sebutan: masih utuh (lengkap) atau tidak utuh (tidak lengkap), sebagian
lembarannya hilang; masih baik atau sudah rusak, kokoh atau lapuk, biasanya
disebut juga masid berjilid atau tidak. Bila deskripsi dibuat untuk kepentingan
penelaahan dan penyuntingan teks, keadaan naskah harus dijelaskan sejelas-
jelasnya (Hermansoemantri (1986:17). bila naskah itu tidak utuh lagi atau rusak
harus dijelaskan lembaran-lembaran yang mana atau bagian mana yang hilang, atau
rusak yang tidak bisa dibaca. Hal ini erat kaitannya dengan proses penyuntingan
yang membutuhkan sumber kesaksian untuk membantu lancarnya bacaan suntingan
teks yang disajikan. Naskah tunggal yang sudah sangat rusak dan dalam keadaaan
tidak lengkap sulit diedisikan, baik dengan penerapan metode kritik diplomatik,
maupun metode kritik standar.

f. Ukuran Naskah
Ukuran naskah yang perlu diidentifikasi adalah ukuran lembaran naskah dan
ukuran ruang tulisan atau teks. Ukuran lembaran naskah adalah ukuran panjang dan
lebar lembaran naskah, baik bahan naskahnya dluwang (kertas kulit kayu), bambu,
lontar, maupun kertas. Ukurannya dinyatakan dengan centimeter (cm) dan biasanya
dimulai dengan ukuran ke lebarnya diikuti dengan ukuran ke panjangnya.
Misalnya, 17,5 x 22 cm (ukuran bahan kertas); 15,5 x 21,5 cm (ukuran bahan
dluwang); 4 x 52,5 cm (ukuran bahan lontar).
Ukuran ruang tulisan atau teks adalah ukuran panjang dan lebar ruang
tulisan atau teks pada satu lembar atau halaman naskah. Ukurannya juga dinyatakan
dengan centimeter (cm). Misalnya: 11.5 x 16,5 cm (ukuran bahan kertas); 9,5 x
16,5 cm (ukuran bahan dluwang); 3 x 46,5 cm (ukuran bahan lontar). Dalam
katalogus naskah atau dokumentasi hasil pendataan naskah kedua ukuran tersebut
ditulis berdampingan dimulai dari ukuran lembaran bahan naskah diikuti dengan
ukuran ruang teks dan diantarai oleh garis miring, misalnya 17.5 x 22 cm / 11,5
16,5 cm (Hermansoemantri (1986:18).

DaftarPustaka

Hollander, J.J. de. 1984. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu (Terjemahan T.W.
Kamil dari Handsleiding bij de Boefing der Malaische, tahun 1893, Edisi
ke 6). Jakarta:Balai Pustaka.

Hermansoemantri, Emuch. 1986. “Identifikasi Naskah”. Bandung: Fakultas


Pascasarjana Unpad.

Maas, Paul. 1958. Textual Criticism (Penerjemah dari bahasa Jerman Barbara
Flower). Oxford: The Clarendon Press.

Nurizzati. 2019. Ilmu Filologi: Teori dan Prosedur Penelitiannya. Malang: IRDH.

Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta
Yayasan Media Alo Indonesia.
Pamuntjak, M. Thaib Gelar Sutan. 1935. Kamus Bahasa Minangkabau Bahasa
Melayu Riau. Batavia: Balai Pustaka.

Soebadio, Haryati. 1975. “Penelitian Naskah Lama Indonesia”. Buletin Yaperna,


Nomor 7 Tahun II. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai