Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TEORI RESEPSI SASTRA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I

 NURDIANAH
 AMINAH
 BERLIANA
 ITA TIARA
 SUPRATMAN

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


(STKIP) YAPIS DOMPU
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


     Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya
yaitu yang disebut karya sastra. Sastra boleh juga disebut karya seni karena didalamnya
mengandung keindahan atau estetika. Sedangkan ilmu sastra adalah ilmu yang menyelediki
karya sastra secara ilmiah atau bisa disebut bentuk dan cara pendekatan  terhadap  karya  sastra
dan gejala sastra. Dalam ilmu satra terdapat disiplin ilmu yaitu teori sastra, sejarah sastra dan
kritik sastra. Tiga disiplin ilmu tersebut merupakan merupakan pilar utama yang tidak dapat
dipisahkan dalam ilmu sastra. Ketiga bidang tersebut saling membutuhkan dan saling
melengkapi untuk menggali kedalaman sastra. Seperti halnya Kritik sastra yang memiliki peran
besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh
karena itu, teori resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra. 
      Dalam kritik sastra terdapat beberapa pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan ekspresif,
pendekatan mimesis, pendekatan objektif dan pendekatan pragmatic. Khususnya pendekatan
pragmatig, dimana pendekatan pragmatig yang memberikan perhatian utama terhadap peranan
pembaca. Dan pendekatan pragmatiglah yang berhubungan dengan salah satu teori modern yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra. Seperti halnya menurut
Teeuw (dalam Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi
pragmatik. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan
sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. .
Karya sastra sangat berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada
kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan
makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca
yang memberikan nilai. Dan tanpa adanya pembaca, karya sastra tersebut hanya akan menjadi
artefak.
        Salah satu teori yaitu teori resepsi sastralah yang saya anggap cocok untuk mencoba
menggali kedalamanya sastra dengan pembacanya. Teori resepsi sastra ini yang akan saya
uraiakan pada makalah ini. Dimana dalam pembahasannya akan dijelaskan mengenai teori
resepsi sastra, seperti halnya mengenai teori itu sendiri, sejarah teori, tokoh yang terlibat dalam
teori ini, substansi dan metode kerjanya.

B.     Rumusan Masalah 
Ada 6 masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.      Apa yang dimaksud dengan teori resepsi sastra?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan teori resepsi sastra?
3.      Bagaimana konsep teori resepsi sastra?
4.      Siapa saja tokoh teori resepsi sastra?
5.      Bagaimana penerapan teori resepsi sastra?
6.      Apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra?

C.    Tujuan
Ada 6 tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini.
1.      Mendeskripsikan yang dimaksud dengan teori resepsi sastra
2.      Mengetahui sejarah perkembangan teori resepsi sastra
3.      Mengetahuionsep teori resepsi sastra
4.      Mengetahui tokoh teori resepsi sastra
5.      Mengetahui penerapan teori resepsi sastra
6.      Mendeskripsikan apa saja kelebihan dan kelemahan metode penelitian resepsi sastra
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Teori Sastra


Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan
sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial
(Sastriyani 2001:253).
Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau
penyambutan pembaca (Ratna dalam Rahmawati 2008:22). Dalam arti luas resepsi diartikan
sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya
dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode
tertentu (Ratna dalam Walidin 2007).
Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang
didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam Pradopo
2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik. Karya sastra sangat
erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan kepada kepentingan pembaca
sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari
karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.
Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan penelitian resepsi
terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang
berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi
terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap
periode.

Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis
berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian
rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks
pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra
sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang
merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan
permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan
permasalahan baru.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan
sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial.
Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang
diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan
sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan
respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang
pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna
2009: 165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak
dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan
seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi benar saat teori resepsi
dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan
dengan strukturalis, postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu
ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam
mempertimbangkan genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif.
Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah
sastra, perlu direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan
kecenderungan lain dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
B.     Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning
(1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang
karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum
Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di
Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu,
dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal
termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi
dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus,
1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca
yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil
pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan
Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat
suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui
kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua
hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat
kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga
oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus
merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya
melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang
keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.

C.    Konsep Teori Resepsi Sastra


Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz
dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian
dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun
keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan
imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang
terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang
terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada
adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b)
karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan
oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).

D.    Tokoh Teori Resepsi Sastra


Teori Dalam membahas teori resepsi sastra, kita akan menemukan beberapa tokoh pemikir
teori tersebut, seperti Hans Robert Jausz. Jausz adalah tokoh utama dalam ilmu sastra yang
menekankan peranan pembaca. Pendekatan tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan
Vodicka. Jauss merupakan seorang ahli dalam bidang sastra Perancis abadpertengahan dari
Universitas Konstanz. Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss beranggapan bahwa
karya sastra lama merupakanproduk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa
sekarang,dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk
menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep yangterkenal: Horizon Harapan
yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap
sebuah objek literer.Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu
yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra(genre). Fokus
perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis
sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Pada tahun 1967 Jausz menggegarkan dunia ilmu
sastra tradisional di Jerman Barat. Jausz mempunyai latar belakang sebagai peneliti sastra dan
sejarah sastra abad pertengahan di Eropa Barat. Menurutnya, penelitian sejarah sastradi Eropa
Barat menemui jalan buntu. Pada abad ke-20 menurut Jausz ada dua aliran yang menentangnya,
aliran pertama yaitu pendekatan sastra kaum Marxis. kalangan Marxisme lebih menekankan pada
sisi fungsi sosial karya dari pada nilai estetik karya tersebut dalam kajianya. Aliran kedua yaitu
aliran formalis Rusia yang dianggap terlalu mementingkan nilai estetik karya dari pada nilai
fungsi sosialnya. Berbagai survai mengenai pendekatan dalam penelitian sastra, dahulu dan
sekarang. Jausz mengemukakan gagasannya yang baru, setidaknya dalam rangka ilmu sastra
tradisional: menurut Jausz para peneliti sastra, juga dalam aliran marxis dan formalis, telah
melupakan atau menghilangkan factor terpenting dalam proses semiotic yang disebut
kasusastraan, yaitu pembaca. Justru pembacalah yang merupakan faktir yang hakiki dalam
menentukan dalam sastra.
1.      Wolfgang Iser.
Berbeda dengan Jauz, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal
ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi
antara keduanya. Iser (1987: 27-30) memberikan perhatian pada hubungan antara teks dengan
pembaca, dalam hubungan ini kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca.
Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi
pembaca yang dicptakan oleh teks. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang
memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca
yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan
cara tertentu. Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser
menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra.
Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna
dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi
tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam
karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung),
pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau
gembira, suka atau benci, dll. Hal itu tidak terlepas karena Iser (Ibid.: 182-203) juga
mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, di mana pembaca
secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong mengandaikan teks bersifat
terbuka, penulis seolah – olah hanya menyediakan kerangka secara global sehingga pembaca
secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi.
2.      Jonathan Culler
Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca.
Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang
menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki
penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu
harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja
mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama. Konvensi dalam sastra jelas bersifat
terbuka dan beragam sesuai dengan genre yang dimaksudkan oleh penulisny

E.     Penerapan Teori Resepsi Sastra


Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan
pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori
bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut
Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya
melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.
Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi,
konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca atas
karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar belakang
sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman, dan usia pembaca.
1.      Penerapan Metode Resepsi Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang
menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai responden
berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan
cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun
teknik kuasioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi
penelitian eksperimental.
Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam
pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim
2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa kendala
saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya dalam
pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan oleh Dini Eka
Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang meneliti resepsi masyarakat atas
cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug
Kuwu (2008).
Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan metode
penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas cerita Bledhug Kuwu
dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu zaman. Penelitian yang dilakukan
Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan.
Hasil penceritaan ulang dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita
yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden
dalam penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu
periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi sinkronis.
Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra maupun para
mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang menjadi penghambat
dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.

2.      Penerapan Metode Resepsi Diakronis


Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang
dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode
waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam
beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-
teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi diakronis
dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media
massa maupun dalam jurnal ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat
dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan.
Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah
dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun
penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.(Chamamah
dalam Jabrohim 2001: 162-163).
Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang berupa kritik
sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli sastra, misalnya Yusro
Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon
Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan
Bawuk Karya Umar Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra
Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad
Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia Kontemporer (2007).
Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam
Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai respondennya. Penelitian ini
menggunakan metode diakronis karena karya sastra yang digunakan muncul pada kurun waktu
yang berbeda. Karya sastra turunan yang digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941),
Wedhatama Kawedar (1963), dan Wedhatama Jinarwa (1970).
Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca dapat
memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai dengan apa yang
dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta teks turunan ini telah meresepsi
Serat Wedhatama dengan tujuan untuk memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman
selanjutnya.
Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian yang
dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah dan Bawuk
karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah
dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang
berupa kritik sastra yang berupa artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca
yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun
1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis.
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok tanggapan pembaca
atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu tanggapan positif dan negatif.
Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini adalah pembaca ideal. Pembaca ini
melakukan pembacaan terhada karya sastra secara mendalam, karena ada tujuan lain dari proses
pembacaan itu.
Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel yang
berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di
Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan pembaca ideal
sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap tanggapan pembaca
dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam penelitiannya Sastriyani juga
membandingkan tanggapan antara Madame Bovary dengan Belenggu. Dari proses penelitian
diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame
Bovary di Indonesia.

F.     Kelebihan dan Kelemahan Metode Penelitian Resepsi Sastra


Masing-masing metode dalam penelitian mempunyai kelebihan dan kelemahan. Begitu juga
dalam penelitian resepsi sastra. Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis,
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis mempunyai
beberapa kelemahan dari segi proses kerjanya, karena termasuk penelitian eksperimental.
Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat
mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai
sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.
Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan
pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit
beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa
sekarang, karena terbentur masalah waktu.
Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau eksperimental ini antara lain (1) reponden
dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu; (2) penelitian
resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau
ulasan mengenai karya sastra; dan (3) dapat dilakukan pada karya sastra populer. Pada penelitian
resepsi diakronis, peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan,
penyaduran, maupun penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian
dengan menggunakan karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra
lama, karya sastra tradisional, maupun karya sastra dunia.
Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain, seperti teori
intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung
penelitian resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan.
Kelebihan lain dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti dalam mencari data,
yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus
bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya
peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan objek
penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya
oleh peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian tanggapan atas Belenggu, Madame
Bovary, Sri Sumarah dan Bawuk.
Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual,
peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut. Dalam
bidang puisi, peneliti yang menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan Mohamad
akan merasa kesulitan dalam mencari teks Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan
oleh peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad dan Subagiyo Sastrowardoyo,
bahkan untuk beberapa puisi modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.
BAB III
PENUTUP

Ada berbagai macam teori sastra yang diterapkan dalam menganalisis suatu karya sastra,  
dan di sini terfokus hanya pada teori resepsi sastra. Teori resepsi sastra yang bisa didefinisikan
sebagai pengolahan teks, cara – cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat
memberikan respons terhadapnya. Teori resepsi sastra merupakan teori yang memfokuskan
pembaca pembaca sebagai subjek yang aktif dalam menanggapi dan memaknai sebuah karya
sastra, dalam memaknai karya sastra tiap orang akan berbeda dengan orang lainnya, dan bukan
hanya tiap orang akan tetapi tiap periode juga berbeda dalam memaknai karya sastra.  Sehingga
perbedaan itulah yang memunculkan akan adanya cakrawala harapan dan tempat terbuka. Dan
ini dari estetika resepsi yakni bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapatkan resepsi
atau tanggapan para pembacanya. Menurut jauss (1974: 12-3) apresiasi pembaca pertama
terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan – tanggapan
yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan
ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974:14).
     Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai landasannya,
maka bisa dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan metode sinkronik dan
diakronik. Di mana sinkronik merupakan penelitian terhadap karya sastra dalam kurun waktu
yang sama atau era yang sama, dan biasanya karya sastra yang diteliti yaitu karya sastra yang
lagi meledak atau buming pada saat itu dan peelitian ini tergolong penelitian eksperimental
dimana tidak ada bukti tertulis mengenai respon dari pembaca. Sedangkan metode diakronik
yaitu sebuah metode penelitian terhadap karya sastra dalam beberapa periode. Periode yang
dimaksud di sini yakni dalam perjalanan waktu. Metode diakronik ini bisa diterapkan pada karya
sastra yang memiliki sejarah. Umumnya penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan
pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal
ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastriyani, Siti Hariti. 2001. Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di
Indonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 3/2001, hlm. 252-259. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.

Walidin, Muhammad. 2007. Seksualitas dalam Novel Indonesia


Kontemporer. http://mwalidin.blogspot.com/2007/12/seksualitas-dalam-novel-indonesia.html,
diakses 1 Mei 2014 jam 22.05 WIB

Anda mungkin juga menyukai