Anda di halaman 1dari 22

Fall

2014

Perbandingan Unsur Ekstrinsik:


Pengunyah Sirih dan Ular Randu Alas
Nabila Prihandina Purwanto

Bahasa Indonesia

08

CERPEN I: PENGUNYAH SIRIH


Mulut Sukro senantiasa memerah. Bibir, gigi, dan lidah lelaki setengah baya
itu mengundang perhatian orang lantaran memerah. Ludahnya merah segar.
Kebiasaannya mengunyah sirih, sebagaimana dilakukan para wanita zaman dulu,
membekaskan warna memerah di mulutnya. Tapi menjelang dini hari, di bawah pohon
trembesi, bukan hanya mulutnya yang memerah. Sekujur tubuhnya memerah,
melelehkan darah. Luka-luka tubuhnya menganga. Darah mengucur kental, merembes
di berbagai bagian tubuh dan wajah.
Tak lagi terdengar Sukro mengerang. Orang-orang kampung berhenti
melampiaskan kemurkaan: menganiayanya dengan kayu, batu, dan senjata tajam.
Tubuh Sukro terkulai. Seseorang memeriksa detak nadi lelaki setengah baya itu. Tak
berdenyut. Tubuhnya tak bergerak. Tapi kebencian orang padanya masih tersungkup
sumpah serapah, Ayo, tampakkan kesaktianmu, Sukro! Mana buktinya kalau kamu
kebal? Hiduplah kembali!
Seekor sapi yang dicuri Sukro berdiri di dekat pembantaian tubuh lelaki
setengah baya itu. Pemilik sapi diam-diam meninggalkan bawah pohon trembesi,
menjauhi lelaki-lelaki beringas pembantai Sukro. Menuntun sapinya, mencari jalan
setapak pulang. Orang-orang lain mengikuti jejaknya. Keriuhan orang di bawah
pohon trembesi, dekat kuburan tua, dalam gelap dini hari, surut seketika. Senyap.
Udara yang murni, segar, mengapungkan anyir darah yang meleleh di sekujur tubuh
Sukro.
Tinggal tubuh Sukropencuri ternak ituyang tergeletak di bawah pohon
trembesi, dekat kuburan tua dengan makam keramat di atasnya. Di sekelilingnya
terserak potongan kayu, bambu, batu-batu, dan ceceran darah di rerumputan gersang.
Tak ada gerak. Tak ada napas. Angin mati. Begitu cepat orang-orang menelusuri jalan
setapak di rerumputan, melintasi lereng bukit cadas yang tandus, keras, dan senantiasa
dikeruk buldoser, diangkat dengan truk ke daerah-daerah yang jauh sejak fajar rekah,
sepanjang cahaya matahari tercurah ke bumi hingga jauh larut malam.

Masih terlentang tubuh Sukro, melelehkan darah kental. Dari liang-liang luka,
darah merembes. Di tempatnya tergeletak, orang-orang tak menyisakan jejak
pembantaian. Seekor sapi yang dicuri Sukro telah dibawa pulang pemiliknya, jauh
meninggalkan kuburan tua dan makam keramat di sisi bukit cadas yang hampir rata
dengan tanah.
Dari kejauhan Pak Lurah memandangi pembantaian Sukro. Membuang muka.
Geram. Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit
cadas yang digempur. Mencari jalan pulang. Tak ingin dilihat orang.
***
Tubuh Sukro merasakan getar panas telaga api tanpa tepi. Tubuh-tubuh serupa
bayangan, tinggi besar, menyeret tubuhnya yang ringan ke telaga api. Menyiksanya.
Mengayun-ayun tubuhnya, hendak menceburkannya ke telaga api. Sukro berteriakteriak. Meronta-ronta. Tapi lelaki-lelaki bertubuh bayangan itu menyekapnya paksa.
Lidah api yang terjulur-julur, serupa debur ombak mengisap tubuhnya. Cahayanya
berkilau-kilau dengan warna merah besi berkarat, pekat panas, menyerap tubuhnya
untuk menyatu ke dalamnya.
Membebaskan diri dari gelombang api yang menjalar, Sukro beringas.
Ketakutan, Sukro meronta dari sekapan lelaki-lelaki bertubuh bayangan, tinggi besar,
yang memburunya. Menjauhi telaga api. Menghindari siksa. Memasuki kembali
tubuhnya yang terkapar di bawah pohon trembesi. Ia terbangun, merintih, menggeliat
pedih memandangi kuburan tua. Tak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya. Lumpuh.
Tanpa kekuatan. Terus merintih. Tubuhnya pedih. Tubuh yang tak berbentuk. Tubuh
yang remuk. Hanya suara rintihannya yang terdengar lirih. Napas tersengal. Mata
berkedip-kedip.
Tak seorang pun mendengar suara rintihan Sukro, ketika pagi rekah. Deru alat
berat mengeruk tanah mulai meratakan bukit cadas di sisi kuburan tua. Gemuruh.
Truk-truk tanpa muatan berdatangan dan meninggalkan bukit cadas dengan sarat
beban batu cadas. Deru truk menenggelamkan suara rintihan lelaki setengah baya itu.
***

Lelaki muda buta itu baru saja selesai memijat Pak Lurah, melintasi jalan
setapak di celah bukit cadas dan kuburan tua. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya,
mencari jalan yang akan dilaluinya. Telinganya yang peka mendengar suara rintihan
seseorang yang tergeletak di rerumputan dekat kuburan tua. Lelaki muda buta itu
mencari sosok tubuh yang merintih dengan ujung tongkatnya. Berjongkok. Meraba
tubuh Sukro yang berlumur darah. Ia membersihkan darah yang meleleh, memijat
sekujur tubuh Sukro, bergemeretak tulang-tulang yang patah diluruskannya.
Sirih, sirih, rintih Sukro. Lelaki buta itu usai sudah memijat sekujur tubuh
Sukro, yang disangka telah mati. Terdengar Sukro meminta sirih. Lelaki pemijat itu
pulang. Memetik daun-daun sirih. Kembali lagi dia dan memberikannya segulung
daun sirih untuk dikunyah-kunyah lelaki setengah baya yang terkapar itu.
Menahan nyeri tubuh, lelaki setengah baya yang hampir sekarat itu bisa
mengunyah-ngunyah daun sirih, pelan, sesekali terhenti. Tidak sampai lumat. Masih
tampak sebagai lembaran-lembaran daun sirih yang lentur. Ia meminta lemah,
Tempelkan daun sirih ini pada luka-lukaku.
Terus-menerus Sukro mengunyah daun sirih. Tidak lumat benar. Lembarlembar daun sirih yang lembek setelah dikunyahnya, dilekatkan lelaki buta pada
sekujur tubuh yang menganga luka. Lelaki buta itu selesai menempel lembar daun
sirih lembek ke liang-liang luka di tubuh Sukro. Ia tersenyum tenang setelah tak
terdapat lagi liang luka yang dibiarkan mengucurkan darah.
Lelaki buta pemijat itu bimbang sejenak. Merenung. Dan ia memutuskan
untuk meninggalkan Sukro berbaring sendirian di bawah pohon trembesi. Ia
menjenguk lelaki setengah baya yang terkapar itu pada sore hari. Mengantar makan,
minum. Tapi Sukro masih belum bisa menelan makanan. Ia meminta minum. Hari
kedua barulah lelaki yang terluka parah itu bisa makan beberapa suap. Hari ketiga ia
bisa bergerak lebih leluasa. Hari keempat ia tergagap-gagap bangun. Hari kelima ia
berdiri tertatih-tatih. Hari keenam ia berjalan terseret-seret. Hari ketujuh ia
meninggalkan pohon trembesi.
Sore hari lelaki buta datang dengan makanan, minuman, dan pakaian bersih.
Sukro sudah tak ditemukannya di bawah pohon trembesi.

Aku di makam keramat, seru Sukro, kemarilah!


Lelaki buta itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan setapak ke
kuburan tua, dan menemukan rumah papan makam keramat. Ia merasa lega, Sukro
sudah bisa berjalan, meski terseret-seret. Tapi ia cemas bila pencuri ternak itu
dimusuhi orang-orang kampung.
Kukira kau tak perlu lagi menolongku, kata Sukro, di sini banyak buahbuahan dan tanaman yang bisa kumakan setiap hari. Aku akan tinggal di kuburan tua
ini. Kabarkan pada istri dan anakku, mereka tak perlu mencariku.
***
Pelan-pelan lelaki buta itu melakukan perjalanan ke sudut desa, mencari
rumah Sukro, dan menemukan rumah yang terpencil di bawah rumpun bambu itu
kosong. Istri dan kedua anak Sukro sudah meninggalkan rumah. Lelaki buta itu tak
mengerti, kapan rumah itu ditinggalkan. Ia hanya bisa merasakan kesunyian dan
kekosongan di dalamnya. Ia bisa mencium aroma tungku perapian yang telah lama tak
digunakan memasak. Ia tak mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah yang terkunci.
Ia menenteramkan hatinya sendiri. Ia tahu tetangga-tetangga Sukro
memandanginya dengan tatapan curiga. Tapi ia tenang-tenang saja. Ia tetap dengan
tongkatnya. Mencari jalan kembali ke rumah. Ia merasa telah selesai menolong Sukro,
pencuri ternak yang teraniaya di bawah pohon trembesi dekat kuburan tua.
***
Sukro tak pernah meninggalkan makam keramat, kecuali subuh dini hari dan
lepas maghrib lelaki setengah baya itu menyusuri jalan setapak ke sungai. Tertatihtatih. Terpincang-pincang. Kaki kanannya terseret-seret. Sepanjang hari ia
membersihkan makam. Berkebun di sekeliling kuburan tua. Ia memakan umbi dan
buah-buahan dari kuburan itu. Terdapat pohon sirih menjalar subur di samping
makam keramat. Ia senantiasa memetik dan mengunyah daun-daun sirih.

Sesekali memang peronda malam mengelilingi kuburan tua. Menyorotkan


lampu senter ke makam keramat. Di situlah Sukro tidur. Makam keramat itu selama
ini tak pernah dikunjungi orang. Kini banyak orang diam-diam mengintai curiga.
Meski belum seorang pun berani mendaki kuburan tua dan menjenguk Sukro
ke dalam makam keramat, orang-orang yang lewat kadang sekilas memandangi
makam keramat itu dengan curiga. Bila menyapukan pandangan ke kuburan tua,
tatapan mereka penuh selidik, dendam, dan kebencian. Mereka tak pernah berani
menatap kuburan dan makam keramat itu terlalu lama, takut bila Sukro diam-diam
menebar ancaman pada keselamatan ternak-ternak mereka. Tubuh Sukro tak pernah
mereka lihat dengan jelas. Hanya suara cangkul dan sabit yang terdengar. Kadang
terlihat kepulan asap. Ia tengah membakar ubi dalam gemeretak ranting kering dan
kayu bakar di sudut kuburan tua.
***
Masih pagi ketika Pak Lurah turun dari mobil mewah, bersama seorang
cukong dari kota, yang licin kepalanya, berpandangan dingin di balik kacamatanya.
Mereka memandangi kuburan tua yang bersih, tak lagi terlihat kesan angker, rimbun,
dengan pepohonan liar. Makam keramat itu pun tampak bersih. Menjalar pohon sirih
yang segar pada sebatang pohon jambu biji, dengan daun-daun hijau segar.
Pabrikku akan didirikan dari daerah bekas bukit cadas hingga mencapai
kuburan tua ini, kata cukong itu. Perkara ganti rugi makam dan penggusuran
kuburan, kuserahkan padamu.
Lelaki setengah baya itu, lurah desa ini, mengerutkan kening. Mengisap rokok.
Dan melihat kekayaan di balik bukit cadas dan kuburan tua yang bakal terjual untuk
pabrik. Tapi ia segera berkerut. Di makam keramat itu tinggal Sukro. Sesaat ia
tersenyum.
Serahkan semua ini padaku. Ini bukan hal yang sulit, Pak Lurah
meyakinkan. Dalam seminggu, semua akan beres.

Mereka kembali naik ke dalam mobil. Tak terlihat asap. Mobil itu pelan-pelan
meninggalkan jalan berumput yang menghubungkan kuburan tua, bukit cadas yang
rata dengan tanah, dan desa.
Dari balik celah papan makam keramat, sepasang mata Sukro memandangi
gerak-gerik mereka dengan curiga. Meradang. Sepasang mata yang memendam rasa
nyeri penganiayaan. Sepasang mata manusia yang bersembunyi dalam kekeramatan
makam, kesunyian, dan alam kematian. Sepasang mata yang terkucil berbulan-bulan,
dalam ancaman dan kecurigaan.
***
Kegaduhan itu terjadi di kuburan tua, menjelang dini hari. Obor-obor, senter
berpancaran di gundukan tanah makam yang bersih, dikelilingi kebun. Wajah-wajah
berkilatan. Menampakkan kebencian, kedengkian. Orang-orang berteriak, terus
mendaki kuburan tua, Maling! Maling! Maling!
Orang-orang susul-menyusul memburu maling ternak. Mereka garang
membawa parang, sabit, pentungan, dan senter. Dari empat arah orang-orang desa
memburu, mendaki kuburan tua. Kerumunan orang murka terhenti di dekat makam
keramat. Sesosok tubuh lelaki berlumur darah tergeletak di sisi makam keramat,
diinjak kaki Sukro, yang terus-menerus mengunyah sirih, dan diludahkan pada tubuh
lelaki yang diinjaknya.
Lelaki ini mencuri ternak kalian! seru Sukro. Tanyakan padanya, siapa
yang menyuruhnya mencuri sapi membawanya kemari!
Tak jauh dari tubuh yang tergeletak, seekor sapi yang dicuri, sedang dipegang
ujung talinya oleh seseorang. Dari gelap kuburan tua mendaki Pak Lurah, berseru,
Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!
Berkacak pinggang, Sukro seperti menantang siapa pun yang mengepungnya.
Tak seorang pun yang berani menangkapnya. Bulan sabit memucat, dan kelelawarkelelawar hinggap di sela dahan trembesi, mencari tempat berlindung. Orang-orang
tergeragap, serupa kelelawar-kelelawar yang memerlukan dahan untuk berlindung.

Pak Lurah berseru garang, merenggut ujung tali pengikat sapi, dan membentak,
Sukro inilah pencuri sapi. Tangkap dia!
Ludah sirih yang disemburkan Sukro ke mata kiri sapi, cuah, memedihkan,
dan mengejutkan binatang itu. Mata kiri sapi yang pedih, gelap, telah membangkitkan
kemarahannya. Binatang itu menyeruduk Pak Lurah. Merobek lambung. Menginjakinjaknya. Tak terkendali. Mengamuk. Sapi itu memburu orang-orang di kuburan tua.
Orang-orang berlari. Takut bila mereka terobek tanduk sapi.
***
Menjelang fajar lelaki muda pemijat mendaki jalan setapak kuburan tua. Ia
telah mendengar kegaduhan semalam. Tubuh Pak Lurah yang berlumur darah baru
saja diselamatkan orang-orang desa. Kini ketika kegaduhan itu reda, lelaki muda
pemijat mencari-cari Sukro, dan tersenyum mendengar suara lelaki itu, Kemarilah!
Rawat pencuri sapi ini dengan pijatanmu! Hentikan aliran darahnya dengan daundaun sirih ini!
Lelaki pencuri sapi itu tergeletak penuh luka dalam perkelahian dengan Sukro.
Ia terluka parah setelah diinjak-injak sapi yang dicurinya sendiri. Lelaki setengah
baya pencuri sapi itu mengerang kesakitan ketika lelaki buta memijat sekujur
tubuhnya.
Ini orang suruhan Pak Lurah yang mencuri sapi dan membawanya ke
kuburan. Dia memfitnahku! ujar Sukro sambil mengunyah daun sirih. Jangan kau
benci dia. Rawatlah seperti kau merawatku dulu.
Pandana Merdeka, Desember 2009

ANALISAUNSUREKSTRINSIKPENGUNYAHSIRIH

Pengunyah Sirih adalah salah satu cerita pendek karya S. Prasetyo Utomo
yang dimuat dalam Kompas. S. Prasetyo Utomo adalah seorang dosen dari IKIP PGRI
Semarang dan telah lebih dari dua puluh tahun berkarya, baik dalam bentuk puisi, esai
sastra, maupun cerita pendek.
Pengunyah Sirih menceritakan mengenai Sukro, lelaki setengah baya yang
senang mengunyah sirih. Suatu saat, Sukro tertimpa musibah, seluruh anggota
kampungnya mengejar dan menggebuki Sukro dikarenakan ulahnya yang mencuri
seekor sapi. Sukro yang sudah tidak sadar ditinggalkan oleh warga dibawah pohon
trembesi dekat makam keramat, ketika Sukro bangun dari ketidaksadarannya, seluruh
tubuh Sukro yang berlumur dengan luka dan darah membuatnya mengerang
kesakitan. Suara Sukro-pun didengar oleh tukang pijat buta. Untuk berhari-hari
tukang pijat tersebut merawat Sukro hingga ia kembali pulih, pada akhirnya, Sukro
tidak lagi kembali ke kampungnya, ia memutuskan untuk tinggal dikuburan keramat.
Dalam cerita Pengunyah Sirih, terdapat beberapa unsur ekstrinsik. Unsur yang
pertama adalah unsur budaya. Unsur budaya adalah unsur yang mengungkit kebiasaan
atau tradisi yang ada pada suatu daerah. Berhubung S. Prasetyo Utomo lahir di Jogja
dan besar di Semarang, maka budaya Jawa dalam cerpen Pengunyah Sirih terlihat
sangat jelas. Salah satunya adalah tradisi menyirih yang tidak lagi asing disekitar
pulau Jawa. Menyirih adalah salah satu budaya untuk mengunyah sirih agar dapat
menghilangkan rasa kantuk, mengobati mimisan, obat batuk, bau mulut dan
sebagainya. Dalam cerita Pengunyah Sirih, sang tokoh utama, Sukro, sering sekali
mengunyah sirih hingga bibirnya merah (Kebiasaannya mengunyah sirih,
sebagaimana dilakukan para wanita zaman dulu, membekaskan warna memerah di
mulutnya) dan ia juga memakai daun sirih sebagai obat tradisional yang biasa
dipakai oleh masyarakat Indonesia. Berhubung daun sirih mempunyai banyak khasiat,
Sukro memanfaatkannya untuk mempercepat penyembuhan luka dan memar hasil
pukulan warga (Masih tampak sebagai lembaran-lembaran daun sirih yang lentur. Ia
meminta lemah, Tempelkan daun sirih ini pada luka-lukaku.).

Terdapat juga unsur agama dalam cerpen Pengunyah Sirih. Unsur agama
adalah unsur-unsur dari cerpen yang berkaitan dengan ajaran dari agama tertentu.
Berkaitan dengan cerita pendek ini, dalam salah satu paragraf pengarang
menggambarkan neraka seperti yang digambarkan oleh agama islam (Tubuh Sukro
merasakan getar panas telaga api tanpa tepi. Tubuh-tubuh serupa bayangan, tinggi
besar, menyeret tubuhnya yang ringan ke telaga api.). Dalam agama islam, neraka
dikenal sebagai Jahannam, tempat dimana pengikut Tuhan yang telah melakukan dosa
kecil maupun besar. Dalam cerita ini, Sukro telah mencuri sebuah sapi, maka ketika ia
tidak sadarkan diri, Tuhan menunjukan sedikit gambaran neraka kepadanya.
Gambaran neraka yang digambarkan oleh S. Prasetyo Utomo adalah telaga api yang
tanpa ujung. Gambaran tersebut berkaitan dengan ilustrasi neraka dalam Al Quran:
"Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi gunung".(QS.
Al-Mursilat : 32). Kemudian, Sukro-pun diseret oleh tubuh-tubuh serupa bayangan
yang tinggi besar, menurut agama Islam, salah satu siksaan neraka Jahanam yang
termasuk paling ringan adalah diseretnya umat manusia berdosa dan dilemparnya
kedalam api neraka oleh malaikat. Maka dari itu, bayangan tinggi-besar yang dilihat
oleh Sukro adalah bayangan malaikat.
Unsur sosial juga berperan penting dalam cerita. Unsur sosial disini
mempunyai arti sebagai unsur-unsur dalam cerita yang berkaitan dengan hubungan
sosial antar masyarakat. S. Prasetyo Utomo mengaitkan keadaan sosial di Indonesia
dalam cerpennya Pengunyah Sirih. Seperti apa yang diketahui, hubungan antar
masyarakat di Indonesia masih sangat didasari oleh derajat sosial setiap individu,
contoh, seseorang yang mempunyai pangkat lebih tinggi atau yang menurut
masyarakat lebih penting akan mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan orang
awam. Begitulah yang dialami oleh orang suruhan Pak Lurah dalam cerita ini. Pak
Lurah dan orang suruhannya sama-sama terkena musibah, mereka berdua terluka
parah akibat injakkan seekor sapi, namun yang diurusi oleh warga hanyalah Pak
Lurahnya saja (Tubuh Pak Lurah yang berlumur darah baru saja diselamatkan orangorang desa Lelaki pencuri sapi itu tergeletak penuh luka dalam perkelahian dengan
Sukro ).

S. Prasetyo Utomo juga menggambarkan warga kampung dalam cerita


Pengunyah Sirih hampir sama seperti masyarakat-masyarakat yang ada di Indonesia.
Seperti halnya warga kampung dalam cerita, masyarakat Indonesia juga buta dan
mudah sekali dimanipulasi oleh orang-orang yang derajatnya lebih tinggi. Sama
dengan pada cerita ini, warga kampung selalu percaya dan mengikuti perkataan Pak
Lurah (Pak Lurah, berseru, Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!.
Berkacak pinggang, Sukro seperti menantang siapa pun yang mengepungnya).
Unsur terakhir yang tersirat didalam cerita adalah unsur moral. Moral adalah
pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan budi pekerti, dengan ini moral
adalah ajaran yang baik dan buruk mengenai sebuah perbuatan. Mural dapat dibagi
menjadi dua, moral murni, yaitu moral yang ada pada diri manusia, atau bisa disebut
sebagai hati nurani, dan moral terapan, moral yang diajarkan oleh adat, lingkungan,
dan sebagainya. Dalam cerita Pengunyah Sirih, S. Prasetyo Utomo mengangkat moral
murni yang ia harapkan untuk dipunyai setiap individu. Sukro mempunyai moral
murni yang baik, ia adalah seorang tokoh yang tidak pendendam dan selalu berbuat
baik kepada orang yang telah menolongnya, seperti tukang pijat yang buta itu. Pada
akhir cerita, orang suruhan Pak Lurah yang ikut campur dengan rencana pemfitnahan
Sukro mendapat perawatan dari tukang pijat buta akibat permintaan Sukro (Dia
memfitnahku! ujar Sukro sambil mengunyah daun sirih. Jangan kau benci dia.
Rawatlah seperti kau merawatku dulu.) ini menggambarkan moral baik Sukro yang
ingin sang pengarang sampaikan kepada pembacanya.

CERPENII:ULARRANDUALAS
Tersembunyi kisah rahasia pada sebatang pohon randu alas tua. Tak seorang
pun berani menebangnya. Seabad sudah pohon randu alas itu berumur. Aku menduga,
pohon randu alas yang menjulang kokoh di tepi jalan pertigaan menuju perumahan
tempat tinggalku berumur lebih dari seabad.
Sejak aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh sebesar sekarangempat
rentangan tangan orang dewasarindang dan menggugurkan daun-daun kering
kekuningan pada musim kemarau. Umurku kini enam puluh dua, sudah beberapa
tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak, rimbun dedaunan,
dan dianggap angker.
Seekor ular bersarang di rongga lapuk pangkal pohon randu alas yang
menganga serupa gua. Bila diintip ke dalam gelap rongga pangkal pohon itu, tampak
sepasang mata ular berkilau mengancam. Sepasang mata seekor ular yang siap
mematukku, suatu saat bila aku terlena.
Sebatang pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon randu alasmungkin sisa
hutan jambu yang ditebang habis untuk lahan perumahan. Dari dua cabang pohon
jambu terjulur beberapa ranting dan bergelantungan buah-buah yang selalu ranum.
Tak jauh dari pohon jambu, tumbuh pohon melati liar, bermekaran bunga-bunga putih
mungil. Tercium lembut wangi tiap pagi.
Untuk

cucu

kesayanganku, Aini,

kupetik

buah-buah

jambu

ranum

kesukaannya dan bunga-bunga melati yang dijadikannya sebagai mainan. Menjelang


siang ia pulang sekolah taman kanak-kanak bersama teman-temannya, beramai-ramai
makan buah jambu, dan bermain-main kembang-kembang melati yang kupetik.
Berada di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa cemas. Dalam
mimpiku enam tahun silam, seorang nenek keriput dengan tongkat kepala ular,

mengutukku, Kau tega melukai ular penunggu randu alas. Tiba waktunya nanti, pada
umurmu yang ke-62, ular itu akan mematukmu!
***
Gairah untuk memetiki buah-buah jambu yang ranum, dengan merenggut
ujung ranting dan menjulurkan tangan meraih buah-buah itu, menggetarkan tubuhku.
Kutukan perempuan tua penunggu randu alas itu, yang datang dalam mimpi, sudah
saatnya terjadi. Aku mesti menjemput takdirku. Bila memang harus mati dipatuk ular,
biarlah aku merasakan sakit patukan ular yang dulu pernah kucederai, dan melata ke
arah rongga pangkal randu alas, dengan ceceran darah di rerumputan.
Aku tak sengaja melukai ular itu. Cangkul yang kuayunkan untuk
membersihkan rerumputan di bawah pohon randu alas dan meratakan tanah tak
kusadari merobek daging seekor ular. Ular itu melata ke arah rongga pangkal pohon
randu alas. Aku merasa tak bersalah. Kuteruskan mengayunkan cangkul,
membersihkan rerumputan dan meratakan tanah.
Pohon jambu biji kubiarkan tumbuh di bawah pohon randu alas. Ada pula
pohon melati yang masih kecil, yang tak kucabut. Kubiarkan tumbuh liar. Kuratakan
tanah dan terus kutimbuni agar lebih tinggi. Akan kuundang tukang batu untuk
mendirikan sebuah kios sederhana. Di kios itu aku akan menjual barang-barang
kelontong dan kebutuhan sehari-hari.
Malam harinya aku bermimpi, nenek bertongkat kepala ular, menatapku
dengan murka. Wajahnya bengis, sepasang matanya mengancam. Ia mengutukku.
Ular penunggu pohon randu itu bakal mematukku pada ulang tahun ke-62. Begitu
tegas kutukan nenek bertongkat kepala ular, seperti hadir dalam kehidupan sehari-hari
dan bukan terjadi dalam mimpi.
Mimpi burukku tak menghentikan pembuatan kios kelontong. Tiap pagi aku
membuka kios, melayani pembeli, hingga malam larut. Mula-mula jarang orang
berbelanja ke kiosku. Tapi lama-kelamaan, berdatangan pula orang-orang berbelanja.
Kau tak takut akan digigit ular penunggu pohon randu? tanya Lik Man,
lelaki setengah baya, pencari rumput untuk kambing-kambingnya. Ia dulu menjual

ladang jambu miliknya, yang didirikan perumahan, dan memilih pindah ke daerah
perkampungan, dengan tanah yang luas. Di rumah baru, ia masih bisa bercocok tanam
dan memelihara kambing. Ia paling sering mencari rumput di bawah pohon randu
alas. Di sini rerumputan tumbuh subur, dan dalam waktu sebentar, ia sudah
memanggul segulung rumput, yang diikat erat, diletakkan di bawah pohon jambu. Ia
meneguk kopi di warung Yu Warso dan membeli rokok di kiosku. Di warung Yu
Warso itu ia biasa ngobrol dan baru pulang menjelang siang.
Kau selalu merumput di bawah pohon randu. Tak takut digigit ular?
Sejak muda dulu aku selalu mencari rumput di sini. Tak pernah kulihat ular
itu. Yang selalu kutemukan cuma kulit ular, menjalar di rerumputan. Kau pernah
melihat ular itu?
Aku pernah melukainya dengan cangkulku.
Hati-hatilah! Lik Man meninggalkanku.
***
Tak seorang pun melihat Lik Man. Menjelang siang ia membawa sabit ke
bawah pohon randu dengan rokok mengepul di bibirnya. Matahari sudah bergeser dari
puncak pohon randu alas. Biasanya Lik Man meninggalkan bawah pohon randu alas,
memanggul gulungan rumputnya pulang, setelah minum kopi dan makan pisang
goreng di warung Yu Warso. Anak lelaki Lik Man mulai mencari ayahnya. Ia sempat
menyapaku, sebelum menyusup ke dalam semak-semak.
Dari bawah pohon randu alas, kudengar ia memekik, Ayah meninggal!
Kudapati Lik Man terbujur kaku, masih menggenggam sabit. Mulutnya
berbusa. Kaki kirinya melepuh biru kehitaman darah beku. Terlihat dua titik bekas
patukan ular. Darah ular berceceran di rerumputan, lenyap di rongga keropos pangkal
pohon randu alas. Sabit Lik Man, secara tak sengaja, mungkin telah melukai ular
penunggu pohon randu alas dan ular itu menggigitnya.
***

Melintasi pertokoan senja hari, di trotoar, sepulang dari belanja untuk


keperluan kios kelontong, kulewati seorang penjual obat oles yang menggelar tikar,
dengan ular dalam kotak kayu. Sama sekali orang lalu lalang tak menghiraukannya. Ia
menawarkan obat oles untuk menyembuhkan penyakit kulit. Tak seorang pun datang
mendekat. Lelaki setengah baya bersorban putih, berjenggot, masih duduk dengan
tenang. Aku sempat memandanginya, sambil menanti bus kota di halte.
Lelaki setengah baya bersorban itu melambai ke arahku.
Kemarilah! panggilnya.
Aku bimbang untuk mendekat. Sepasang matanya seperti menuntunku untuk
menghampiri dan berjongkok di depannya. Dia memintaku untuk menjulurkan tangan
kiri dan membuka telapak tangan. Ia baca garis telapak tangan itu.
Kau perlu kekebalan, kata lelaki penjual obat bersorban, sambil mengelus
jenggotnya. Suatu hari kelak kau akan dipatuk ular.
Teringat ular penunggu randu alas yang pernah kulukai, kutukan perempuan
tua bertongkat ular dalam mimpi, dan kematian Lik Man yang dipatuk ular, aku
merasakan degup dada yang mengencang.
Kau dapat memberiku kekebalan?
Kalau kau yakin, insya Allah, tubuhmu akan kebal dipatuk ular, lelaki
setengah baya berjenggot itu meyakinkan. Aku mengangguk. Meminum segelas air
putih darinya. Pergelangan kaki kananku diolesi minyak dan seekor ular dari dalam
kotak kayu dikeluarkannya. Aku memejamkan mata. Begitu cepat terasa patukan dua
gigi ular pada pergelangan kaki.
Kau akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu mengejang, sulit
digerakkan. Tak lama. Kau akan segera pulih seperti sediakala.
***
Berjingkat-jingkat aku meraih buah-buah jambu. Masih kuingat kutukan
perempuan tua bertongkat kepala ular. Pada hari kelahiranku yang ke-62, seekor ular

akan mematukku. Aku sama sekali tak takut dengan patukan ular itu. Mungkin aku
akan benar-benar dipatuk ular, sebagaimana enam tahun silam perempuan tua
berambut memutih dengan mata murka itu mengutukiku dalam mimpi. Aku tak perlu
ragu memetiki buah jambu yang ranum. Juga nanti akan kupetiki kembang-kembang
melati untuk Aini.
Kalaupun seekor ular mematukku, tukang obat di trotoar pertokoan itu telah
memberiku kekebalan. Gigitan ular tukang obat yang tak kukenal itu memang
menyebabkan pandanganku berkunang-kunang, kaki kanan mengejang kaku. Darah
seperti membeku. Tapi tak lama. Pandanganku kembali terang dan kaki kananku
segera dapat kugerakkan. Kuberikan selembar uang dari dompetku, yang diterimanya
dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Tiap kali aku berbelanja untuk keperluan
kios kelontongku, selalu kucari dia. Tapi tempat ia menggelar tikar, obat-obat oles,
dan kotak ular selalu kosong.
Harus kusambut hari ini, pagi ke-62 umurku, saat kutukan perempuan tua
dalam mimpi itu akan terjadi. Kalau benar seekor ular itu mematukku pagi ini,
mungkin seperti kata lelaki setengah baya bersorban penjual obat, aku akan kebal.
Tubuhku hanya merasakan sengatan patukan ular itu, mata berkunang-kunang, bagian
yang dipatuk akan terasa mengejang. Tak lama. Setelah itu aku akan leluasa bergerak
seperti sediakala. Tapi kalau penjual obat itu berdusta, ketika ular penunggu pohon
randu alas mematukku, tubuhku akan segera kaku seperti Lik Man.
Buah-buah jambu yang ranum terus kupetiki. Teringat aku pada cucuku, Aini,
yang tinggal serumah denganku, akan pulang sekolah, aku bergairah memetiki buahbuah jambu. Ia suka membagi-bagikan buah jambu pada teman-temannya dan bahagia
dipuji sebagai putri yang baik hati.
Aku meraih ujung ranting pohon jambu, meloncat, agar dapat menarik ranting
itu dan memetik beberapa buah jambu ranum. Kakiku menginjak seekor ular. Ular itu
menggeliat, mematuk kaki kananku. Aku tak sempat memekik. Terjatuh. Merasakan
patukan ular yang menyengat. Mataku berkunang-kunang. Kaki kananku mengejang.
Mungkin aku akan segera bangkit dengan tubuh segar bugar seperti sediakala,
tanpa luka dan rasa sakit. Mungkin tubuhku akan segera terbujur kaku, tergeletak di

rerumputan, di bawah pohon randu alas, pohon jambu, dan bunga melati. Tapi, aneh,
dalam pandanganku yang berkunang-kunang, kulihat Lik Man sedang merumput.
Wajahnya bahagia sekali. Di seberangnya kulihat lelaki setengah baya bersorban
penjual obat. Wajahnya tenang, penuh keyakinan, dan sepasang matanya teduh.
Dari jauh, samar-samar kudengar suara Aini memanggil-manggilku dengan
suara yang riang, penuh harapan, Kakek, mana buah-buah jambuku? Petikkan juga
bunga-bunga melati untukku!
Pandana Merdeka, April 2011

ANALISAUNSUREKSTRINSIKULARRANDUALAS
Ular Randu Alas juga sebuah cerita pendek karya S. Prasetyo Utomo. Cerpen
ini menceritakan seorang kakek berumur 62 tahun yang hidup didekat sebuah pohon
randu alas tua. Dahulu, kakek tersebut pernah dikutuk oleh seorang nenek dengan
tongkat berkepala ular kalau pada ulang tahunnya yang ke 62, kakek akan dipatuk
oleh ular karena ulahnya yang tidak sengaja menyakiti ular yang hidup di pohon
randu alas tua. Setiap hari kakek pun hidup dalam ketakutan sampai pada akhirnya ia
bertemu dengan lelaki setengah baya penjual obat, yang memberikannya obat untuk
membuat sang kakek kebal dengan gigitan ular pada ulang tahunnya yang ke 62.
Namun dihari kakek berumur 62 tahun, kakek tidak sengaja menginjak ular di pohon
randu alas, ular tersebut mematuknya dan kakek pun terjatuh.

Pada cerita Ular Randu Alas terdapat beberapa unsur ekstrinsik, diantaranya
adalah unsur moral, budaya, sosial dan psikologi. Unsur moral yang tergambar pada
cerita ini hanyalah moral murni, yaitu moral yang ada dalam diri sendiri atau bisa
disebut sebagai hati nurani. S. Prasetyo Utomo menggambarkan tokoh utamanya,
sang kakek, sebagai seseorang yang mempunyai nilai moral yang baik. Kakek dalam

cerpen adalah seseorang yang penyayang, ia sangat menyayangi keluarganya,


terutama cucunya, hal ini didapatkan oleh sang penulis dari gambaran seorang kakek
pada umumnya, seorang kakek yang sangat mencintai cucunya (Untuk cucu
kesayanganku, Aini, kupetik buah-buah jambu ranum kesukaannya dan bunga-bunga
melati yang dijadikannya sebagai mainan.).

Unsur ekstrinsik berikutnya adalah budaya. S. Prasetyo Utomo mengangkat


budaya masyarakat Indonesia yang cendurung percaya akan hal-hal gaib. Seperti
dalam cerita, pohon randu alas sudah ada sejak lama, karena pohon tersebut adalah
pohon yang sangat tua, maka warga yang tinggal kampung sekitar pohon tersebut
menyebutnya sebagai pohon yang angker. Tempat tinggalnya makhluk-makhluk gaib
dan binatang-binatang menyeramkan seperti ular (Umurku kini enam puluh dua,
sudah beberapa tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak,
rimbun dedaunan, dan dianggap angker.). Selain itu, S. Prasetyo Utomo juga
mengangkat budaya pengobatan alternatif. Obat alternative bukanlah hal asing lagi
dimata masyarakat Indonesia. Sebab obat alternatif telah dipelajari secara turun
temurun. Baik pengobatan secara herbal, menggunakan orang pintar atau
menggunakan doa-doa yang berkaitan dengan agama. Dalam cerpen ini sang kakek
berusaha diobati oleh orang pintar agar ia dapat kebal terhadap gigitan ular pada
umurnya yang ke 62 (Kau dapat memberiku kekebalan? Kalau kau yakin, insya
Allah, tubuhmu akan kebal dipatuk ular,). Namun pengobatan tersebut gagal,
peristiwa ini juga menyampaikan opini sang pengarang bahwa ia tidak percaya akan
budaya obat alternatif.
Terdapat juga unsur sosial pada cerpen karya S. Prasetyo Utomo ini. S.
Prasetyo Utomo mengungkit hubungan masyarakat yang saling peduli satu sama lain.
Ia berusaha menggambarkan hubungan yang menurutnya ideal dalam bermasyarakat
agar dapat hidup dengan rukun. Hubungan antar warga pada tempat tinggal Kakek
pada cerpen Ular Randu Alas dapat dikatakan rukun. Dapat dilihat dari percakapan
Kakek dengan pencari rumput, Lik Man. Dalam cerita, Lik Man mengingati Kakek
untuk selalu berhati-hati dengan ular yang tinggal di pohon randu alas tersebut, ia
peduli akan ketakutan kakek atas patokan ular itu. (Aku pernah melukainya dengan
cangkulku. Hati-hatilah! Lik Man meninggalkanku.)

Unsur terakhir adalah psikologi, unsur psikologi adalah unsur yang berkaitan
dengan keadaan psikologis tokoh-tokoh dalam cerita. S. Prasetyo Utomo pengangkat
keadaan psikologis orang yang dikendalikan oleh ketakutannya sendiri. Ketakutan
adalah salah satu dari emosi dasar manusia, namun jika ketakutan tersebut berlebihan,
manusia akan selalu memikirkan hal yang akan mengancamnya, dan ketakutan
tersebut berubah menjadi paranoia. Karena diliputi kekhawatiran yang berlebih
manusia tersebut dapat merasa tidak nyaman. Begitu yang dirasakan Kakek pada
cerpen ini, sang Kakek menyimpan perasaan bersalah pada awalnya karena telah tidak
sengaja melukai seekor ular, namun perasaan bersalahnya berubah menjadi perasaan
takut karena ia merasa seorang nenek tua dalam mimpinya telah mengutuknya.
Kutukan tersebut menghantui sang Kakek sehingga Kakekpun merasa sangat was-was
akan pohon randu alas tua itu. Namun, karena hanya itu yang ada dipikiran kakek,
ketakutan kakek menjadi kenyataan dan pada akhirnya ia digigit ular. Dengan ini
dapat diketahu bahwa sang penulis sangat percaya akan kekuatan pikiran manusia,
bila hal itu yang selalu dipikirkan, maka tidak heran kalau hal tersebut menjadi
kenyataan.

PERBANDINGANUNSUREKSTRINSIKPENGUNYAH
SIRIHDANULARRANDUALAS
Kedua cerpen ini adalah sebuah karya dari S. Prasetyo Utomo. Karena ditulis
oleh pengarang yang sama, maka terdapat beberapa persamaan unsur ekstrinsik.
Diantaranya adalah persamaan dalam unsur budaya. Baik dalam cerpen Pengunyah
Sirih ataupun Ular Randu Alas, sang penulis mengungkit budaya obat alternative
dikalangan

masyarakat

Indonesia.

Dalam

Pengunyah

Sirih

sang

penulis

menggambarkan khasiat sirih untuk penyembuhan luka dan memar (Tempelkan daun
sirih ini pada luka-lukaku.), dan begitu juga pada cerpen Ular Randu Alas, namun,
berbeda dengan Pengunyah Sirih yang memakai herbal untuk pengobatan alternatif,
cerita Ular Randu Alas memakai orang pintar untuk pengobatan (Pergelangan kaki
kananku diolesi minyak dan seekor ular dari dalam kotak kayu dikeluarkannya. Kau
akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu mengejang, sulit digerakkan. Tak
lama. Kau akan segera pulih seperti sediakala.).

Persamaan yang lain ialah unsur moral dalam kedua cerpen tersebut. S.
Prasetyo Utomo lebih memfokuskan nilai moral murni yang baik dalam kedua cerpen.
Sang tokoh utama dalam cerpen Pengunyah Sirih mempunyai sifat yang tidak
pendendam dan selalu ingat siapa yang ada disisinya saat ia terjatuh, dan tokoh utama
dalam cerpen Ular Randu Alas mempunyai sifat yang penyayang. Dengan dua nilai
moral yang dikembangkan oleh S. Prasetyo Utomo maka pembaca dapat
meneladaninya dan membangun nilai moral murni yang baik.
Walaupun kedua cerpen ini ditulis oleh pengarang yang sama, namun, tidak
semua unsur ekstrinsik dari kedua cerpen tersebut juga sama. Terdapat beberapa
perbedaan yang tertara dalam cerpen.
Perbedaan pertama adalah unsur sosial dalam kedua cerpen. Di dalam cerpen
Pengunyah Sirih terdapat perbedaan derajat sosial, yaitu derajat Pak Lurah yang
terlihat lebih tinggi daripada derajat warga, dengan inilah unsur sosial dalam cerita
Pengunyah Sirih berkembang, Pak Lurah yang derajatnya lebih tinggi dibanding para
warga (Masih pagi ketika Pak Lurah turun dari mobil mewah) dapat membuat
warga-warga kampung percaya kepadanya, dengan kepercayaan tersebut, Pak Lurah
pun dapat dengan mudah memberikan instruksi kepada warga (Dari gelap kuburan
tua mendaki Pak Lurah, berseru, Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!).
Berbeda dengan Ular Randu Alas, dalam cerpen ini, tidak ada perbedaan kelas sosial,
dan hubungan masyarakat digambarkan oleh sang pengarang menjadi sangat damai
dan tentram (Ia meneguk kopi di warung Yu Warso dan membeli rokok di kiosku. Di
warung Yu Warso itu ia biasa ngobrol dan baru pulang menjelang siang.). kutipan
tersebut menggambarkan salah satu kegiatan warga dalam cerpen Ular Randu Alas.
Kutipan tersebut membuktikan kenyamanan penduduk kampung dalam cerpen Ular
Randu Alas, sebab kata tidak baku (ngobrol) dalam kalimat dapat menggambarkan
keakraban warga dengan orang-orang yang sedang berada di warung Yu Warso.
Perbedaan kedua adalah nilai kepercayaan pada cerpen tersebut. Dalam cerpen
Pengunyah Sirih, dapat dilihat adanya unsur agama, dengan adanya penggambaran
neraka, maka kepercayaan dalam cerpen tersebut mengarah kepada kehidupan lain
yang ada di akhirat. Namun, berbeda dengan cerpen Ular Randu Alas, cerpen ini
mempunyai nilai kepercayaan yang berlawanan dengan cerpen Pengunyah Sirih.

Unsur kepercayaan dalam Ular Randu Alas tidak didasari oleh agama, melainkan
takhyul. Pohon yang menua selalu saja dijadikan hal yang menakutkan oleh
masyarakat, seperti contoh, pohon yang menua akan selalu dikaitkan dengan hal-hal
angker, padahal semua orang tahu bahwa pohon adalah akar kehidupan. Kepercayaan
akan takhyul juga dapat dilihat dari kepercayaan Kakek terhadap mimpinya (Berada
di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa cemas. Dalam mimpiku enam tahun
silam, seorang nenek keriput dengan tongkat kepala ular, mengutukku) dan orang
pintar yang mengobatinya secara alternatif.
Dalam perbandingan ini dapat disimpulkan bahwa, walaupun beberapa cerpen
dikarang oleh pengarang yang sama, pasti terdapat perbedaan pada unsur-unsurnya.
Perbedaan ini ada agar pengarang dapat menyampaikan amanat yang berbeda pada
setiap cerpen dan juga agar pembaca tidak bosan dan dapat menambah wawasan.
Pengunyah Sirih dan Ular Randu Alas adalah sebuah cerpen dari pengarang yang
sama, namun ketika dibandingkan, perbedaan kedua cerpen tersebut lebih tertara
dibandingkan persamaannya, ini karena jalan cerita, dan amanat yang pengarang ingin
sampaikan berbeda.

Anda mungkin juga menyukai