Anda di halaman 1dari 27

RANGKUMAN PSIKOLOGI SASTRA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Sastra


Dengan dosen Pengampu Helmi Wicaksono,S.Pd.,M Pd

Disusun Oleh kelompok 1 :

CHORNELIA PUTRI (21901071009)


FANI SUSANTI (21901071024)
SAFIRA IMRO‘ATUL JANNAH (21901071119)

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MARET 2021

1
KATA PENGANTAR

Dalam penyusunan makalah ini, banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu dengan rasa hormat mengucapkan rasa terima kasih atas dukungnnya kepada semua
pihak untuk penulisan makalah ini.
Setiap sesuatu pasti ada kekurangannya, oleh karena itu sangatlah terbuka atas kritik dan
saran mengenai makalah ini, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Malang, Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................5


1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................5
1.3 Tujuan..............................................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sastra sebagai representasi kenyataan.............................................................................7


2.2 Sastra sebagai cerminan kepribadian...............................................................................9
2.3 Ruang lingkup Psikologi Sastra......................................................................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpilan.......................................................................................................................20

3.2 Saran................................................................................................................................20

DAFTAR RUJUKAN

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan akan dibahas tiga hal. Ketiga kajian tersebut yaitu latar belakang,
rumusan masalah, tujuan. Adapun pembahasan sentang ketiga hal tersebut adalah sebagai
berikut:
1.1 Latar belakang
Psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang digunakan untuk mendekati
(mengkaji) suatu karya sastra dari sudut pandang (Noor,2004:92). Psikologi dan sastra
merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda, tetapi keduanya memliki titik kesamaan,
yaitu berbicara tentang manusia dan saling berinteraksi. Dengan demikian,kesamaan,
yaitu berbicara tentang manusia dan saling berinteraksi. Dengan demikian jelaslah antara
psikologi dan sastra mempunyai keterkaitan. Hal ini dikarenakan karya sastra dianggap
dapat membantu seorang pengaranng dalam hal mengentalkan kepekaan pada
kenyataan,mempertajam kemampuan pengamatan dan memberikan kesempatan
menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya.Hubungan karya sastra dengan
aspek kejiwaan yang muncul di dalamny aperllu di cermati. Sastrawan memperlakukan
kenyataan dan dunia dengan tiga cara, yakni manipulative,artifisial,dan interpreatif
(Siswanto,2008:46).
Menurut Endaswara (2011:96), psikologi sastra adalah kajian sastra yang
memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa,
dan karya dalam berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis,
akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa
drama maupun prosa. Sastra adalah representasi jiwa manusia untuk memahami jiwa
yang lain. Sastra adalah dunia yang tak banyak didekati oleh manusia sebab sastra
memang seperti itu. Mitos menunjukkan bahwa sastra adalah sesuatu yang kurang
penting. Mempelajari sastra adalah mempelajari sesuatu yang kurang menghasilkan. Jika
dibanding dengan mempelajari ilmu hukum, ilmu ekonomi, ataupun ilmu administrasi,
memang sastra kalah tanding dengan ilmu-ilmu tersebut. Sastra tidak menawarkan

4
kesuksesan di dalamnya. Sastra tidak mewarkan ilmu praktis di dalamnya. Sastra
menawarkan ilmu kebudiluhuran, ilmu humaniora, dan ilmu tentang kemanusiaan.
Dengan begitu, sastra memang memiliki jalan sendiri dalam hal fungsinya sebagai karya
yang estetis.
Sastra sebagai ilmu humaniora memiliki berbagai macam aliran sebagai wilayah
kajian, mulai dari filsafat, psikologi,sosiologi, antropologi, dan religi. Psikologi
merupakan bagian dari studi sastra yang di dalamnya mengaji masalah psikologis
manusia (tokoh) yang terdapat dalam karya sastra, baik dalam perspektif karya,
pengarang, dan juga pembacanya. Melalui pemahaman terhadap para tokoh,misalnya,
masyarakat dapat memahami perubahan,kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan
lain yan terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan psike.
Psikologi sastra didalam telaah sastra yang diayakini mencerminkan proses dan
aktivitas kejiwaan dalam menelaah suatu karya karya psikologis hal penting yang harus
dipaghami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang menampilkan para tokoh
yang terlibat dengan masalah kejiwaan. Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal
.Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya
dituangkan dalam bentuk conscious (Endraswara, 2003;96). Kedua telaah psikologi sastra
adalah kajian yang menelaah cerminan psikologi dalam diri para tokoh yang disajikan
sedemikian rupa oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya
terlibat dalam cerita. Karya-karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan
psikologi karena karya sastra menmpilkan berbagai problema psikologis.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penyusunan makalah ini, tentu saja diperlukan rumusan masalah. Di antaranya
sebagai berikut:
1.2.1 Sastra sebagai representasi kenyataan ?
1.2.2 Sastra sebagai cerminan kepribadian ?
1.2.3 Ruang lingkup Psikologi Sastra ?

5
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka ada beberapa tujuan yang di dapat. Antara
lain:
1.3.1 Untuk mengetahui bahwa sastra merupakan representasi kenyataan.
1.3.2 Untuk mengetahui bahwa sastra bisa digunakan sebagai cerminan kepribadian.
1.3.3 Untuk mengetauhi sampai mana ruang lingkup Psikologi Sastra.

6
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam pembahasan pada bab II akan dijelaskan tentang Sastra sebagai representasi
kehidupan, Sastra sebagai cerminan kepribadian ,dan Ruang linngkup Psikologi sastra dalam
enjelaskan hakikat Psikologi Sastra. Adapun hal-hal yag berkaitan dengan Hakikat Psikologi
Sastra yang akan dijelaskan didalam makalah ini,.
2.1 Sastra Sebagai Representasi Kehidupan
Karya sastra sebagai representasi kehidupan nyata juga memuat aktivitas yang
berkecenderungan untuk bertindak yang dapat mempengaruhi tingkah laku dari seluruh proses
psikologi seperti belajar, minat, pemahaman dan sebagainya yang pada akhirnya akan
menimbulkan sikap. Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap menentukan bagaimana
individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan.
Sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak, bereaksi, berpersepsi, berpikir serta merasa
dalam menghadapi suatu situasi atau objek yang menyangkut masalah emosional.
Dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan presepsi lain. Tafsir
psikologi akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca sering berimajinasi lain ketika
menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan sastra akan berpengaruh pada efek pembaca. Dalam
hal tersebut dapat dilihat bahwa pengolahan teks dalam karya sastra yang disampaikan
pengarang akan memberikan pemahaman kepada pembaca tergantung dengan kondisi kejiwaan
pembaca sebelumnya. Sehingga kondisi kejiwaan pada pembaca akan menghasilkan dampak
yang berbeda-beda.
Resepsi pembaca secara psikologi pasti akan terjadi. Penerimaan nilai sastra biasanya justru
berasal dari aspek psikologi. Dengan modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus
dalam diri pembaca. Oleh sebab itu pembaca yang bagus tentu meladeni aspek-aspek penting
dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang membentuk sikap dan perilaku, akan
diinternalisasikan dalam diri pembaca (Endraswara, 2008:155). Berdasarkan penjelasan tersebut
terlihat bahwa resepsi pembaca masuk ke dalam pembahasan psikologi sastra.

7
Psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas
kejiwaan. Sastra itu wakil jiwa dalam simbol bahasa. Simbol yang mewadahi jiwa hingga sastra
itu menarik. Sehingga dapat dilihat bahwa psikologi sastra lahir dari pengekspresian endapan
pengalaman yang telah lama ada dalam jiwa dan telah mengalami prosses pengolahan jiwa
secara mendalam melalui imajinasi. Hal ini yang menyebabkan adanya keterkaitan manusia
dengan sastra. Menurut Wellek dan Warren (dalam Endraswara, 2008:64) psikologi sastra
diuraikan dalam bentuk esai kritis yang panjang yang mempunyai empat kemungkinan
pengertian, yaitu: a) studi pemahaman kejiwaan psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai
pribadi; b) studi proses kreatif dari karya sastra; c) studi tipe dan hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra; d) studi dampak sastra pada kondisi kejiwaan terhadap pembaca.
Dalam teori Wellek dan Warren ini memang ada perbedaan dengan para ahli yang lainnya,
terlihat dari studi proses karya sastra dan hukum yang diterapkan pada karya sastra. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra ini lahir karena adanya hubungan antara
sastra dengan penciptaan karya sastra yaitu pengarang sebagai penulisnya, kemudian kejiwaan
tokoh yang ada dalam karya sastra, dan penerima karya sastra yaitu pembaca sebagai dampak
dari karya sastra itu sendiri.
Psikologi sastra merupakan kajian sastra yang pusat perhatiannya pada aktivitas kejiwaan baik
dari tokoh yang ada dalam suatu karya sastra, pengarang yang menciptakan karya sastra, bahkan
pembaca sebagai penikmat karya sastra. Hal tersebut dikarenakan karya sastra merupakan
cerminan psikologis pengarang dan sekaligus memiliki daya psikologis terhadap pembaca maka
dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra sebagai representasi kehidupan adalah proses
terbentuknya karya sastra didasari oleh psikologis dari penulis karya itu sendiri karena hal itulah
yang akan mempengaruhi hasil karya sastra yang biasanya di ungkapkan menggunakan kode-
kode oleh penulis yang makna sesungguhnya hanya penulis itu sendiriyang mengetahui
meskipun ada pembaca yang mencoba menganalisis karya sastra itu tetapi tetap saja penulis itu
sendiri yang mengetahui makna dari karya sastra yang ditulis,kita ebagai pembaca hanya bisa
menikmati karya sastra tersebut dan menerka-nerka makna yang tersirat di dalam karya sastra
karena karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan pemikiran pengarang yang
berada dalam situasi setengah sadar atau subconcius setelah mendapat bentuk yang jelas
dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar atau concius dalam bentuk penciptaan karya
sastra.Mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama,

8
yang berada di alam bawah sadar, kepada tingkat kedua yang berada dalam keadaan sadar.
Disamping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh, perlu pula
mendapat perhatian dan kajian yaitu aspek makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam
karya sastra.Karya yang bermutu, menurut pendekatan psikologis, adalah karya sastra yang
mampu menyajikan simbol-simbol, wawasan, perlambangan yang bersifat universal yang
mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dan lain-lain.Karya
sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu
menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakikat kehidupan manusia itu
adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Oleh karena itu kebebasan individu
penulis sangat dihargai, dan kebebasan mencipta juga mendapat tempat yang istimewa (Semi,
1993:77-78).
2.2 Pendekatan Sosiologi Sastra Sebagai Representasi Kemiskinan dalam Novel Jatisaba 

Jatisaba merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang kehidupan sebuah


kampung bernama Jatisaba dengan sekelumit persoalannya. Jatisaba ini adalah nama sebuah
Dusun, di Desa Katangmangu, Kroya, Cilacap, yang merupakan daerah asal pengarang, yaitu
Ramayda Akmal. Dari hasil analisis representasi kemiskinan terhadap unsur-unsur intrinsik pada
novel Jatisaba, maka dapat diketahui bahwa novel ini merepresentasikan kondisi kemiskinan di
Cilacap. Namun, lebih luasnya lagi, kemiskinan-kemiskinan yang dimunculkan dalam novel ini
juga merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia yang sampai hari ini masih terbelenggu
dengan persoalan kemiskinan. Hasil analisis tersebut didukung dari hasil studi pustaka yang
peneliti lakukan dengan ditambah wawancara narasumber terkait.
Kemiskinan yang muncul dalam novel ini yaitu kemiskinan pendidikan,kemiskinan harta,
kemiskinan moral, dan kemiskinan agama. Pencerminan tersebut dapat dilihat dari setiap unsur
yang membangun cerpen ini, yaitu tokoh dan penokohan, plot, latar, tema, sudut pandang, dan
bahasa. Dari unsur-unsur tersebut misalnya, kita menemukan sikap tokoh Sitas yang
mencerminkan kemiskinan. Hal ini dapat terlihat dari analisis tokoh Sitas yang meliputi latar
belakang tokoh, analisis fisik, dan analisis mental tokoh. Selain itu, gambaran latar suasana yang
telah peneliti analisis pada bagian sebelumnya juga menggambarkan kemiskinan yang terjadi di
Jatisaba. Pertama adalah gambaran kemiskinan pendidikan direpresentasikan oleh tokoh Sitas
yang menjadi symbol dari warga Jatisaba yang memiliki pendidikan yang rendah. Melalui
analisis latar sosial, yaitu masyarakat Dulbur, pengarang juga memberikan gambaran bahwa

9
kemiskinan masih mendominasi kehidupan masyarakat pedesaan. Dalam analaisis gambaran
kemiskinan pendidikan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kemiskinan tersebut
merepresentasikan rendahnya pendidikan masyarakat kita, terutama masyarakat yang berada dan
tinggal di lingkungan terpencil. Hal ini tergambar dari data yang diperoleh bahwa pendidikan
masyarakat Cilacap masih sangat rendah. Bahkan warga Cilacap masih banyak yang buta huruf.
Kedua adalah gambaran kemiskinan harta yang juga direpresentasikan oleh tokoh Sitas. Sitas
kembali menjadi simbol masyarakat Jatisaba yang serba kekurangan dari segi finansial atau
ekonomi. Pengarang banyak melalakukan penggambaran ini melalui tingkah laku dan status
sosial tokoh Sitas. Selain itu, sama halnya dengan gambaran kemiskinan pendidikan, pengarang
juga memberikan gambaran kemiskinan harta melalui analisis latar sosial yang dibagi menjadi
tiga kelompok sosial. Kelompok sosial tersebut meliputi warga Dulbur, Legok dan Wong Tiban.
Melalui warga Dulbur, pengarang memberikan gambaran atas kemiskinan harta. Gambaran
kemiskinan harta tersebut kembali menjadi representasi akan gambaran kemiskinan harta yang
terjadi di dalam masyarakat Cilacap dan masyarakat Indonesia. Pernyataan tersebut dilandasi
oleh data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Indonesia per September 2012. Dicatatkan
bahwa Jawa Tengah memiliki 4.863.500 penduduk miskin yang tersebar di kota dan di desa.
Sebanyak 1.946.500 atau 13,11% penduduk miskin yang berada di kota dan 2.916.900 atau
16,55% penduduk miskin yang berada di desa. Presentase tersebut memperlihatkan bahwa
kemiskinan secara materi pada realitanya benar-benar merepresentasikan kondisi di Jawa
Tengah. Latar desa dalam novel yang memotretkan kemiskinan harta didukung oleh data
penduduk miskin di desa yang lebih banyak dibandingkan penduduk miskin di kota.

Selanjutnya adalah gambaran kemiskinan moral dengan diperlihatkannya suasana


pemilihan kepala desa di Jatisaba yang tidak sehat. Gambaran kemiskinan moral ini juga
merepresentasikan kultur dan sikap masyarakat Indonesia yang kerap kali melakukan kecurangan
dalam berpolitik. Politik uang yang mewarnai pemilihan kepala desa di Jatisaba, mengingatkan
kita akan beberapa kasus serupa yang terjadi dalam pemilihan umum di Indonesia. Lihat saja
potret politik di Indonesia yang diwarnai tindakan korupsi. Selain itu, gambaran kemiskinan
moral dalam novel juga diperlihatkan melalui perilaku tokoh Mae yang gemar melakukan
hubungan seks dengan laki-laki yang bukan suaminya. Hal ini juga merepresentasikan
perempuan-perempuan di Indonesia yang gemar melakukan hubungan seks demi kepuasan

10
semata. Untuk itu, melalui gambaran kemiskinan moral, pengarang ingin memberikan kritik
bahwa persoalan moral di Indonesia saat ini belum menemui solusinya.
Terakhir adalah gambaran kemiskinan agama yang diperlihatkan melalui sikap tokoh
dalam novel yang gemar bergunjing dan masih mempercayai dukun,santet dan semacamnya.
Warga di Jatisaba digambarkan tidak takut kepada hal apapun, termasuk Tuhan. Hal ini
merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia pedesaan di Indonesia yang masih
mempercayai hal demikian. Pendidikan yang rendah dan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang
juga rendah, membuat pola pikir masyarakat pedesaan yang mempercayai santet dan praktik
perdukunan. Namun tidak hanya masyarakat Indonesia yang tinggal di pedesaan, perilaku miskin
agama ini juga terepresentasi pada masyarakat Indonesia yang tinggal di kota. Contohnya kasus
yang baru-baru ini terjadi, yaitu kasus Eyang Subur. Kasus tersebut menjadi gambaran nyata
masyarakat Indonesia, sekalipun yang tinggal di kota dan berpendidikan, masih berkemungkinan
mempercayai hal tersebut. Selain itu, landasan agama yang kurang juga menjadi sebab mengapa
hal ini bisa terjadi.Jika pendidikan agama yang diterima oleh seseorang kuat, maka dia dapat
membedakan yang hak dan yang bathil. Akan tetapi sebaliknya, jika pendidikan agama yang
diterimanya kurang, maka orang tersebut akan mudah terpengaruh pada perilaku yang nistakan
agama, salah satunya menyekutukan Tuhan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gambaran kemiskinan-kemiskinan dalam
novel merepresentasiskan kenyataan dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Kenyataan yang dicerminkan tersebut antara lain adalah kenyataan sosial yang ada di daerah
Cilacap, yakni daerah yang menjadi latar tempat dalam novel, dan kenyataan yang ada dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama gambaran masyarakat pedesaan.

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa novel ini merepresentasikan
kemiskinan yang menjadi realitas sosial masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari munculnya
empat gambaran kemiskinan, yaitu kemiskinan pendidikan, harta, moral dan agama.
Representasi kemiskinan dengan masalah sosial dalam novel terlihat saling memiliki keterkaitan
satu sama lain. Hubungan yang muncul adalah hubungan sebab akibat. Permasalah sosial, seperti
perdagangan manusia, politik desa, sampai gambaran perilaku seksual disebabkan oleh adanya
kemiskinan-kemiskinan tersebut. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa gambaran
persoalan sosial yang muncul dalam novel ini merupakan realitas yang sebenarnya dari kondisi

11
masyarakat Cilacap khususnya, dan umumnya masyarakat Indonesia. Dalam merepresentasikan
kemiskinan, pengarang menggunakan modek representasi melalui kritik yang berupa gugatan.
Novel ini berusaha mengkritik dan menggugat sikap masyarakat yang cenderung menerima
terhadap kemiskinan dan persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya.Melalui gugatan tersebut,
masyarakat bisa mengkaji ulang pandangannya mengenai perilaku dan pola pikir yang keliru
tersebut. Dengan mengkaji ulang, diharapkan masyarakat pedesaan khususnya menjadi sadar
untuk mengubah sistem juga tatanan kehidupan yang selama ini seolah telah membentuk pola
piker masyarakat Indonesia.

2.2 Sastra Sebagai Cerminan Kehidupan


karya sastra merupakan suatu karya cipta yang hakikatnya memang tidak bisa terlepas
dari kehidupan manusia. Artinya, melalui karya sastra, kita dapat mengetahui bagaimana
kehidupan masyarakat dalam masa tertentu dan pada lingkungan tertentu. Hal ini disebabkan
karena pengarang dalam menciptakan karya sastra pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor
termasuk di dalamnya lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Pada umumnya, di dalam karya
sastra dijabarkan imajinasi dalam mengungkapkan kenyataan-kenyataan hidup yang dialami oleh
tokoh-tokohnya. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak terlepas dari akar
masyarakatnya. Kehidupan yang dituangkan dalam karya sastra mencakup hubungan manusia
dengan lingkungan dan masyarakat; hubungan sesama manusia; hubungan manusia dengan
dirinya; dan hubungan manusia dengan Tuhan. Meskipun demikian, sastra tetap diakui sebagai
sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta
secara mentah. Sastra bukan sekadar tiruan kenyataan, melainkan kenyataan yang telah
ditafsirkan oleh pengarang dari kehidupan yang ada disekitarnya. Taine (dalam Endraswara,
2008:17) “sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula
merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu
dilahirkan”. Hal ini berarti setiap orang dapat melihat realitas sosial dalam sebuah karya sastra
bahkan sebagian karya sastra menjadi representasi terhadap kebudayaan masyarakat tertentu.
Uraian ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak lahir begitu saja. Ada proses yang mendorong
munculnya karya sastra dengan keberagaman tema dan aspek kehidupan masyarakat yaitu proses
kreatif pengarang yang berusaha menciptakan karya yang dapat menggambarkan nilai-nilai
didaktis dengan kreasi estetis yang menghibur. Banyak dari karya sastra bangsa kita yang timbul

12
setelah melihat keadaan yang ada pada saat itu. Karya-karya tersebut tentunya akan bersifat
realisme. Pengarang berkesa menceritakan kondisi yang ada dengan bahasa yang ringan agar
lebih mudah untuk dipahami. Karena jika tidak deminikan, maka akan ada kesalahpahaman
maksud antar pengarang dengan pembaca. Selain itu, untuk menjadikan karya sastra tersebut
menarik, tentunya pengarang harus pintar-pintar dalam memilih kata dan mempermainkan
unsure intrinsic yang ada di dalamnya.

2.2.1 Fungsi Karya Sastra Bagi Kehidupan Masyarakat

Karya sastra pastinya memiliki suatu fungsi tersendiri dari kehidupan masyarakat. Fungsi
tersebut antaralain :
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi
penikmat atau pembacanya
2. Fungsi didaktif yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
3. Fungsi estetis, yatiu sastra mampu memberikan keindahan penikmat/pembacanya
karena sifat keindahannya.
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan engetahuan kepada
pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang
baik selalu mengandung moral yang tinggi.
5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghadirkan karya-karya yang mengandung ajaran
agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.

2.2.2 Manfaat Karya Sastra Bagi Kehidupan Masyarakat

Selain fungsi tentunya terdapat manfaat dari karya sasta bagi masyarakat antara lain:

1. Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang
disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan
memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang
disajikan.
2. Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman
hidup para tokoh dalam karya.

13
3. Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan,
pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya.
4. Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-
nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat
digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi
pembacanya.
5. Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang
keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut
dalam waktu tertentu.

2.2.3 Dampak Karya Sastra Bagi Kehidupan Manusia

Karya sastra dapat dipandang sebagai medium komunikasi. Pada pengertian ini sastra
merupakan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, gagasan, atau nasihat
kepada para pembacanya. Sebagai dampak dari peristiwa ini, pembaca dapat merasakan
dampak kognitif maupun relflektif. Dampak-dampak tersebut dapat berupa, antara lain,
perubahan pengetahuan, perubahan pandangan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku.
Perubahan pengetahuan dapat diukur melalui alat tes kognitif, perubahan pandangan dapat
dibaca melalui analisis persepsi, adapun perubahan perilaku dapat diamati melalui observasi.
Ketiga tahap tersebut juga dapat menjadi sebuah perubahan yang terangkai secara kronologis,
mulai dari pengetahuan, persepsi, dan kemudian ke perubahan perilaku. Dalam membahas
karya sastra sebagai cerminan kehidupan tentunya terdapat suatu pendekatan. Pendekatan
yang dimaksut ada 6yaitu pendekatan mimetik ,ekspresif ,pragmatik, objektif. Sosiologi
sastra,psikologi sastra

1. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik ialah pendekatan yang menganggap karya sastra itu merupakan tiruan,
cerminan, ataupun resperentasi alam maupun kehidupan atau dunia ide. Kriteria yang
dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang digambarkan
ataupun yang hendak digambarkan.Pandangan tentang mimetic pertama kali diungkapkan
oleh filsuf terkenal yaitu Plato yang kemudian diungkapkan lagi oleh muridnya yaitu
Aristoteles.

14
2. Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada penulis (artist). Secara
esensi, sebuah karya sastra itu yang eksternal dibuat internal, yang dihasilkan dari sebuah
proses kreatif; berasal dari gerak hati perasaan, dan terwujud dalam kombinasi dari persepsi
penyair (penulis), pemikiran, dan perasaan. Karena itu sumber utama sebuah syair (karya)
adalah pertalian dan ftindakan pemikiran penyair sendiri, atau aspek dunia luar, hal ini adalah
dirubah dari fakta ke syair lewat perasaan dan penggunaan pemikiran penyair sendiri.
Pendekatan ekspresif adalah teori yang memberi perhatian utamanya pada proses kreatif
pengarang dalam menciptakan karya sastra. Penyebab utama terciptanya karya sastra adalah
penciptanya sendiri. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan
pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (Wellek, 1989: hal 89).

3. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik yakni sebuah pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca


(audience). Karya sastra sebagian besar sebagai alat untuk menuju tujuan, sebagai instrumen
untuk memperolah hasil yang dilakukan dan cenderung menimbang nilai-nilai sesuai
kesuksesan dalam memperoleh maksud itu. Karena itu, kecenderungan dalam teori pragmatik
adalah memahami sesuatu yang telah dibuat menurut pengaruh kebutuhan tanggapan
(responses) pembaca (readers). Dampak sastra terhadap masyarakat secara teoritis ditelusuri
menggunakan pendekatan pragmatik. Salah satu penjelasan untuk memahami bagaimana
pengetahuan dan nilai dapat diterima oleh masyarakat pembaca adalah teori resepsi. Menurut
Junus (1995) resepsi sastra dimaksudkan bagaimana 'pembaca' memberikan makna terbadap
karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya.
Tanggapan itu mungkin bersifat pasif. Yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memabami
karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga
bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya.

4 Pendekatan Objektif

Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sendiri. Secara
prinsip, melihat karya sastra dapat dipisah dari semua referensi di luar karya, menganalisis

15
karya sastra sebagai sebuah entitas yang sudah bisa dipahami dengan sendirinya yang
tersusun dari bagian bagian hubungan internal, dan menilai karya sastra semata-mata dari
unsur intrinsik. Pendekatan objektif memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai
struktur yang otonom, karena itu tulisan ini mengarah pada analisis karya sastra secara
strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif.
Semi (1993: 67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan juga pendekatan
objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme berpandangan bahwa
untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan pemahaman terhadap
teks karya sastra itu sendiri.

5. Pendekatan Sosiologi Sastra


Pendekatan sosiologi sastra pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya
sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan
pengarang dan pembaca karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan
antara satra dan masyarakat, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.
Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup
( Wellek and Werren, 1990: 110 ). Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh
Wellek dan Werren dapat diteliti melalui: Sosiologi Pengarang,sosiologi karya
sastra,sosiologi pembaca.

6. Pendekatan Psikologi Sastra

Menurut Semi, (1993:76) pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari
asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.
Untuk melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan psikologi.

2.3 Ruang lingkup Psikologi Satra


Ruang lingkup psikologi sastra menurut Wellek dan Warren (1990) Yang pertama adalah
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua psikologi karya sastra.
Dan yang ketiga mempelajari dampak sastra pada pembaca. Menurut Wellek dan Warren (1990)
pengertian pertama merupakan bagian dari psikologi seni, dengan fokus pada pengarang dan
proses kreatifnya. Pengertian kedua terfokus pada karya sastra yang dikaji dengan hukum-hukum

16
psikologi. Pengertian ketiga terfokus pada pembaca yang ketika membaca dan
menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai situasi kejiawaan.

2.3.1    Psikologi Pengarang

Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek
kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi (Wellek & Warren,
1990: 90). Dalam kajian ini yang menjadi fokus adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki
hubungan dengan proses lahirnya karya sastra. Berdasarkan pengakuan Subagio Sastrowardoyo
dan Sitor Situmorang tersebut tampak bahwa karya-karya sastra (puisi) lahir dari seorang penyair
yang sedang berada dalam kondisi kejiwaan tertentu. Artinya, pemahaman seorang peneliti
terhadap aspek psikologi pengarang dalam konteks ini perlu dilakukan. Informasi tentang aspek
psikologi pengarang, dapat diperoleh bukan hanya dari yang bersangkutan secara langsung,
melalui wawancara, ngobrol, maupun tulisan atau buku hariannya, tetapi seorang peneliti juga
dapat secara langsung bergaul sendiri dan mengamati apa yang terjadi dan dialami oleh seorang
pengarang. Namun, hal ini tentu saja hanya dapat dilakukan apabila pengarang masih hidup dan
sezaman dengan peneliti. Informasi tentang aspek kejiwaan pengarang juga dapat diperoleh dari
orang-orang terdekat pengarang, keluarga maupun sahabat-sahabatnya.

Berdasarkan pengertian, pendapat dan pengakuan proses kreatif Wordsworth dan Subagio
Sastrowardoyo dan Sitor Situmorang, maka dapat dikemukakan bahwa wilayah kajian psikologi
pengarang antara lain adalah aspek kejiwaan pengarang yang berhubungan dengan penciptaan
karya sastranya, pengalaman individual dan lingkungan pengarang, dan tujuan khusus yang
mendorong penciptaan karya sastra. Karena memfokuskan kajiannya pada aspek kejiwaan
pengarang selaku pencipta karya sastra, psikologi pengarang memiliki hubungan dengan
pendekatan eskpresif. Seperti dikemukakan oleh Abrams (1981) bahwa pendekatan ekspresif
memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku
pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan,
sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk
imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-
perasaannya.

17
Dalam hal ini pendekatan ekspresif memiliki fokus kajian dan cara yang mirip dalam
mengkaji keberadaan pengarang selalu pencipta karya sastra. Walaupun demikian, kalau
dicermati lebih lanjut, pendekatan ekspresif memiliki wilayah kajian yang lebih luas karena tidak
hanya terbatas pada aspek kejiwaan pengarang, tetapi juga latar belakang sosial budaya tempat
pengarang dilahirkan dan berkarya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa psikologi pengarang,
sebenarnya merupakan salah satu wilayah kajian dalam pendekatan ekspresif. Oleh karena itu,
untuk memisahkan keduanya pada kasus-kasus pengarang dan karya tertentu sering kali tidak
memungkinkan.

Dalam sastra Indonesia kajian psikologi pengarang pernah diterapkan oleh Arief Budiman
dalam bukunya Chairil Anwar yang berjudul Sebuah Pertemuan (1976, 2007) dan Subagio
Sastrowardoyo dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak (1980). Berikut ini dipaparkan
bagaimana kedua penulis tersebut telah melakukan kajian psikoligi pengarang.

Buku Chairil Anwar yang berjudul Sebuah Pertemuan, semula ditulis oleh Arief Budiman
sebagai skripsi sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1971), yang kemudian
diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta (1976). Sebagai tulisan yang dipersiapkan oleh
seorang calon sarjana psikologi, dalam membaca dan memahami puisi-puisi Chairil Anwar dan
diri Chairil Anwar, Arief Budiman menggunakan teori psikologi gestalt. Seperti telah diuraikan
pada bab I bahwa gestalt memahami fenomena perseptual dipelajari langsung dan secara bulat,
tidak dibagi-bagi atau dianalisis lebih lanjut (Walgito, 2004: 74-75). Pilihan terhadap psikologi
gestalt tampak pada uraian berikut:
Seseorang yang menghayati sebuah karya seni sebenarnya sedang melakukan pertemuan.
Pertemuan antara si orang yang menghayati itu dengan karya seni tersebut. Antara keduanya
saling perbauran yang dinamis sifatnya. Dari perbauran inilah muncul sebuah nilai, nilai Gestalt
atau lebih tepat lagi barangkali nilai Ganzheit, yang terjadi akibat pertemuan subjek dan objek.
Nilai ini bersifat unik dan tidak akan muncul kalau keduanya saling terpisah.
Ada dua unsur yang berperan dalam perbauran tersebut. Pertama unsur subjek. Subjek di
sini ialah manusia yang menghayati. Dia berdiri di muka karya seni itu dengan segala macam
pengalaman pribadi dan latar belakang kebudayaan yang unik. Kedua unsur objek, yakni karya
seni yang dihayati itu. Dia merupakan taggapan si seniman penciptanya terhadap sesuatu. Dia
juga penuh dengan pengalaman-pengalaman subjektif di pencipta. Karena itu dia bukanlah

18
sesuatu yang sederhana, sesuatu yang selesai yang hanya mempunyai satu kemungkinan tafsir
saja. Dia adalah ekspresi seluruh kehidupan si seniman dan karena itu karya seni adalah sama
majemuknya seperti manusia sendiri.
Nilai baru yang lahir akibat perbauran kedua unsur ini adalah unik, karena dia merupakan
suatu pembauran yang dinamis dari dua unsur yang setaraf. Nilai itu bukanlah semata-mata
subjektif dalam arti si subjek memaksakan diri kepada objeknya, juga tidak objektif karena si
subjek tidak bersikap pasif dan hanya menerima nilai-nilai yang dipaksakan oleh si objek (karena
ini tidak mungkin). Nilai ini adalah nilai bersama, nilai subjek di dalam objek dan nilai objek di
dalam subjek.
Saya mencoba menghayati sajak-sajak Chairil Anwar dengan kesadaran penuh akan hal-
hal di atas. Di satu pihak saya berdiri dengan segala latar belakang pengalaman kebudayaan saya.
Di pihak lain, karya-karya Chairil Anwar berdiri dengan segala kemajemukan yang ada padanya.
Antara keduanya terjadi perbauran yang dinamis, masing-masing pihak tidak melepaskan
perannya yang aktif dalam proses perbauran itu. (Budiman, 2007: 12-13).

Setelah mengemukakan konsep dan caranya menghadapi puisi-puisi Chairil, selanjutnya


Budiman menginterpretasikan puisi-puisi Chairil dalam hubungannya dengan situasi kejiwaan
yang dialami Chairil sepanjang penulisan karyanya. Budiman menganalisis dan
menginterpretasikan puisi-puisi Chairil secara sequence analysis, yaitu dengan memperhatikan
keutuhan urutan penulisan puisi-puisi tersebut. Puisi pertama yang dianalisis adalah yang
berjudul Nisan (Oktober 1942), yang ditulis Chairil dalam usia dua puluh tahun. Puisi ini ditulis
ketika dia menghadapi neneknya yang meninggal dunia.

Nisan

Untuk neneknda

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu, setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

19
Budiman (2009: 20) menginterpretasikan bahwa kematian tersebut membuat Chairil
melihat kehidupan dengan warna lain. Dia tiba-tiba merasa sendiri. Kalau kematian begitu
berkuasa, pada saat namanya dipanggil, siapa yang bisa menolongnya? Kematian tampaknya
harus dia hadapi sebagai seorang individu yang sendirian. Puisi berikutnya yang dianalisis
Budiman (2009: 20-21) adalah Diponegoro, yang begitu bergairah mempertahankan hidup:

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati

Di depan sekali tuan menanti

Melihat semangat tersebut Chairil muda hanya bisa berkata: Dan bara kagum menjadi
api, yang menunjukkan bahwa dia sedang bimbang dan berfikir keras karena berhadapan dengan
seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini.

2.3.2 Psikologi Karya Sastra

Dengan memfokuskan pada karya sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi atau
drama, psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, melalui
pemahaman teori-teori psikologi, kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra. Kedua,
dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian
ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis karya sastra
(Ratna, 2004: 344).

Kalau cara pertama yang dipilih, maka karya sastra cenderung ditempatkan sebagai gejala
sekunder, karena karya sastra dianggap sebagai gejala yang pasif atau semata-mata sebagai objek
untuk mengaplikasikan teori. Kalau cara kedua yang dipilih, maka kita menempatkan karya
sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menentukan teori, bukan sebaliknya.
Untuk menentukan teori psikologi yang relevan untuk karya sastra tertentu, pada dasarnya sudah

20
terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkap berbagai problematika yang terkandung dalam
objek (Ratna, 2004: 344).

Pada kajian psikolgi sastra, yang diberi subjudul Pengaruh Sistem Ilmu Jiwa Dalam pada
Jalan Tak Ada Ujung, Hutagalung mendeskripsikan adanya soal nafsu-nafsu seksual, lapisan tak
sadar dan penekakan-penekanan terhadapnya, soal-soal mimpi, soal-soal kecemasan dan
ketakutan, dan superego dalam novel Jalan Tak Ada Ujung.

Dalam hubungannya dengan soal nafsu-nafsu seksual, Hutagalung (1968: 48) menunjukkan
betapa besar pengaruh kelemahan syahwat Guru Isa pada jiwanya dan betapa gembiranya waktu
impotensinya hilang, yang menunjukkan besarnya pengaruh nafsu seksual pada diri manusia,
seperti dikemukakan darai teori Freud. soal nafsu-nafsu seksual juga ditemukan pada peristiwa
serdadu-serdadu Sikh yang masih sempat meraba-raba dada isteri seorang tuan rumah, biarpun
dalam keadaan perang, kenang-kenagan Mr. Kamarudin tentang kepuasannya dengan wanita-
wanita di luar rumah tangga, gurauan Rachmat dan Hazil ketika hendak melempar granat di saat
perang, yang mengatakan, Boleh ini Hazil. Lihat goyang pantatnya, ketika melihat seorang
wanita lewat.

Hutagalung (1968: 49) mengemukakan pada tokoh Guru Isa Nampak sekali pengaruh
pandangan Freud tentang lapisan tak sadar dari jiwa manusia. Peristiwa: Isa menutup mukanya
dengan kedua belah matanya, dan mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi apa yang
dirasanya sekarang ialah reaksi yang lambat yang sekarang timbul dari perasaan ketakutannya
yang tertekan tadi. Pelukisan ini sesuai dengan system Freud tentangbalam tak sadar sebagai
sumber neorosis atau sakit syaraf karena individu mencoba membuang ke daerah kenang-
kenangannya yang tak ia sukai dan harapan-harapannya yang berakhir dengan kekecewaan-
kekecewaan. Demikian juga ketika Guru Isa menekan keinginannya untuk memeluk dan bercinta
dengan istrinya karena impotensi yang dialaminya akan mengecewakan istrinya. Soal mimpi,
yang banyak dibahas oleh Freud, juga ditemukan dalam Jalan Tak Ada Ujung. Mimpi menurut
Freud memiliki tugas sebagai alat pemuas bagi Id yang pada waktu keadaan sadar dalam
kehidupan tidak dapat dipuaskan. Dalam novel tersebut, Fatimah sering memimpikan Hazil,
Guru Isa selalu bermimpi hal-hal yang sangat menakutkan, sering bermimpi melihat jalan tak ada
ujung (Hutagalung, 1968: 50).

21
Hutagalung (1968: 50-51) juga mengemukakan bahwa kecemasan dan ketakutan yang
dialami Guru Isa sangat mirip dengan konsepsi Freud. Kecemasan yang dialami Guru Isa
nampaknya termasuk kecemasan neorotis atau syaraf. Kecemasan ini ditimbulkan oleh ketakutan
tentang apa yang mungkin terjadi. Kecemasan ini menjadi sifat orang gelisah, yang selalu
mengira bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi, seperti yang dialami Guru Isa. Di samping itu,
Hutagalung (1968: 51-52) juga menunjukkan bahwa gerak-gerik tokoh-tokoh dalam Jalan Tak
Ada Ujung memiliki lapisan superego yang mempengaruhi kelakuan-kelakuannya.

2.3.3 Psikologi Pembaca

Psikologi pembaca merupakan salah satu jenis kajian psikologi sastra yang memfokuskan
pada pembaca, yang ketika membaca dan menginterpretasikan karya sastra mengalami berbagai
situasi kejiwaan. Yang menjadi objek kajian dalam psikologi pembaca adalah pembaca yang
secara nyata membaca, menghayati, dan menginterpretasikan karya sastra.

Sebagai manusia yang memiliki aspek kejiwaan, maka ketika membaca, menghayati, dan
menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya, pembaca akan mengadakan interaksi dan
dialog dengan karya sastra yang dibacanya. Karena memiliki jiwa, dengan berbagai rupa emosi
dan rasa, maka ketika membaca sebuah novel atau menonton sebuah pementasan drama, kita
sangat mungkin ikut bersedih, gembira, jengkel, bahkan juga menangis karena tersentuh oleh
pengalaman tokoh-tokoh fiktif.

Seperti dikemukakan oleh Iser (1979) bahwa suatu karya sastra akan menimbulkan kesan 
tertentu pada pembaca. Kesan ini didapat melalui hakikat yang ada pada karya itu yang dibaca
oleh pembacanya. Dalam proses pembacaan ini aka ada interaksi antara hakikat karya itu dengan
teks luar yang mungkin memberikan kaidah yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa
kaidah dan nilai teks luar akan sangat menentukan kesan yang akan muncul pada seseorang
sewaktu membaca sebuah teks, karena fenomena ini akan menentukan imajinasi pembaca dalam
membaca teks itu.

Ketika membaca kutipan puisi Peringatan karya Wiji Thukul berikut ini, seorang pembaca
akan segera mengenal hakikat sebuah puisi yang antara lain ditandai oleh adanya tipografi dan
larik-larik yang khas. Kemudian setelah membaca isi yang disampaikan dalam puisi itu, pembaca
akan menemukan bahwa puisi tersebut mencoba mengangkat fenomena yang berhubungan

22
dengan sikap rakyat (Indonesia) yang cenderung apatis terhadap program-program yang
dijalankan pemerintah pada masa yang berhubungan dengan konteks puisi itu, tahun 1980-an
(sesuai dengan titi mangsa puisi itu ditulis), masa Orde Baru.

PERINGATAN

jika rakyat pergi

ketika penguasa pidato

kita harus hati-hati

barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi

dan berbisik-bisik

ketika membicarakan masalahnya sendiri

penguasa harus waspada dan belajar

mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh

itu artinya sudah gawat

dan bila omongan penguasa

tidak boleh dibantah

kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang

suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

dituduh subversif dan mengganggu

keamanan

23
maka hanya ada satu kata: lawan!

Solo, 1986

Karya: Wiji Thukul

Setelah membaca puisi tersebut, seorang pembaca yang merasakan situasi sosial politik
Indonesia 1980-an yang carut marut, mungkin akan mendapatkan kesan dari puisi tersebut
bahwa apa yang disampaikan dalam puisi tersebut merupakan menyuarakan kenyataan yang ada.
Selanjutnya, pembaca sangat mungkin juga akan memberikan sikap yang sama dengan sikap
manusia-manusia imajiner yang digambarkan dalam puisi itu dan sikap sang penyair.

Di samping itu, dalam hubungannya dengan pembaca, ada jenis-jenis karya sastra
tertentu yang dipilih dan disukai oleh suatu kelompok pembaca, tetapi ditolak atau tidak disukai
oleh kelompok pembaca yang lain. Artinya, kita dapat melihat adanya hubungan antara karya
sastra dengan selera pembaca. Dengan latar belakang usia, perkembangan psikologis,
pengalaman, dan pendidikan tertentu seseorang akan lebih memilih karya sastra dengan isi dan
teknik penyajian (aliran kesastraan) tertentu. Pembaca remaja, misalnya lebih memilih karya
sastra yang bercerita seputar kehidupan remaja dari pada karya sastra yang menggambarkan
renungan filosofis tentang hakikat kehidupan, misalnya. Demikian pula pembaca yang lebih
dewasa, mungkin sudah tidak akan lagi tertarik pada karya sastra remaja, tetapi karya sastra yang
mengangkat persoalan filosofi kehidupan atau pun berlatar belakang aspek-aspek sosial budaya
kemasyarakatan yang lebih luas. Novel yang beraliran ghotik (misteri), bertema dunia hantu atau
pun detektif akan memiliki kelompok pembaca yang berbeda dengan novel sastra yang tertema
absurd.

24
BAB III

Penutup

1.1 Kesimpulan
Keterkaitan antara sastra, manusia, dan masyarakat sangat jelas, Keterkaitan semuanya
terdapat di dalam segala aspek. Karena bagaimanapun juga sastra dan kehidupan sama-sama
membahas dan membicarakan tentang manusia dan masyarakat. Bagi sastra, masyarakat
merupakan faktor terpenting. Sedangkan Masyarakat merupakan objek vital bagi ilmu sosial.
Semua hal itu saling mempengaruhi sikap masing-masing. Ketikan sastra telah
mengemukakan sesuatu yang benar dalam rekaannya, sedikit banyak akan mempengaruhi
sikap sosial dan ketika sosialitas terus berkembang.
Antara sastra dan Perubahan sosial masyarakat tidak ada yang paling menonjol. Dua hal
tersebut saling mendukung. Sastra bisa timbul karena perubahan sosial masyarakat, bisa juga
perubahan sosial yang ada akibat dari penciptaan sebuah karya sastra.Karya sastra adalah
suatu wadah untuk mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan gambaran-gambaran
pengalaman. Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada
penikmat karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya refleksi sosial melainkan
merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang atau gagasan atas realitas sosiologis
yang melampaui waktunya. Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat
memberikan kontribusi bagi masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung
nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan
sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru
alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Di samping itu sastra
berfungsi sebagai kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika
kehidupan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Jobrahim, ed, (1994: 221) bahwa sastra
menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

25
1.2 Saran

Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi
masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan tidak
dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas
kenyataan sosial (masyarakat), walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif
manusia (Wellek dan Warren, 1990:109).

Penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena itu penulis
mengharapkan masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini. Selain
itu, penulis berharap makalah ini dapat memberikan informasi kepada masyarakan umum
tentang keterampilan menyimak sastra serta dapat menjadi acuan bagi penulis lain pada
bidang yang sama.

26
DAFTAR RUJUKAN

Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra :Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Teguh, Wirwan. 2009. Analisis Psikologi Sastra Dalam Roman Larasati.
Samier, Arianto. 2010. Psikologi Sastra. Http://sobatbaru.bligspot.com
Nurjanah, Rahma. 2012. Makalah Psikologi Sastra.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode penelitian psikologi sastra. Yogyakarta: MedPress.
http://PelajarBahasaPendekatanEkspresif.htm
http://www.academia.edu/10527344/Teori_Psikologi_Sastra_ala_Sigmund_Freud

27

Anda mungkin juga menyukai