DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Analisis Wacana Bahasa Indonesia yang diampu oleh dosen ibu Dr. Asna Ntelu,
M.Hum
Melalui kata pengantar ini, kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon
permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat
kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi
kita semua.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
apa yang disampaikan oleh penutur sering memiliki maksud yang lebih dari sekedar
makna kata itu sendiri.
Contohnya:
Latar (di dalam ruangan tertutup tak ber- AC)
A : di sini panas juga ya.
B : oh iya pak, memang panas di sini kalau siang hari
Perlu kiranya kita memperhatikan unsur apa saja yang membangun wacana,
agar tidak terjadi perbedaan pemahaman yang disampaikan penulis atau penutur
kepada pembaca atau pendengar. Lebih jelasnya tentang unsur pembangun wacana
akan dijelaskan pada bab pembahasan.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Implikatur
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk
memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori
semantik biasa. Terdapat dua jenis implikatur yaitu Implikatur konvensional serta
percakapan.
a. Implikatur Konvensional
Implikatur konvensional adalah implikatur yang dapat dipahami dari makna
satuan gramatikal, bukan dari percakapan. Misalnya:
(a) Tarigan orang Batak, tetapi tidak pandai bernyanyi.
+> Orang Batak biasanya pandai bernyanyi.
Contoh tuturan di atas terdapat dua proposisi yang dipertentangkan,
yaitu tentang status Tarigan sebagai orang Batak dan fakta bahwa Tarigan
tidak pandai bernyanyi. Dua proposisi di atas sekilas tidak ada
hubungannya. Namun, ketika dua hal tersebut disandingkan dan
diperbandingkan secara paradoksal, baru bisa disimpulkan bahwa ada
stereotip orang Batak biasanya pandai bernyanyi.
6
(b) Meskipun kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya, Bima tidak bisa menulis
puisi.
+> Mahasiswa Sastra (seharusnya) bisa menulis puisi.
Dalam tuturan diatas terkandung sebuah stigma bahwa mahasiswa
sastra selayaknya bisa membuat sebuah puisi. Bima adalah mahasiswa
sastra maka seharusnya dia bisa mengarang sebuah puisi.
(c) Paul tidak kaya raya, tetapi dia bahagia.
+> Orang yang tidak kaya tidak bahagia.
Dalam tuturan (k) terdapat dua proposisi yang dibandingkan. Proposisi
tersebut berkaitan dengan keadaan finansial dan perasaan Paul. Setelah
diperbandingkan, didapatkan sebuah implikatur atau prasangka bahwa
orang yang tidak kaya tidak bahagia.
b. Implikatur Percakapan
Dalam pragmatik implikatur percakapan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (i)
implikatur percakapan umum dan (ii) implikatur percakapan khusus.
a) Implikatur Percakapan Umum
Implikatur percakapan umum adalah implikatur dalam dialog
yang dapat dipahami tanpa melihat konteks percakapan. Perhatikan
contoh berikut.
• Charlie : Saya berharap kamu membawakan saya roti dan keju.
Doni : Ah, saya hanya membawa roti.
+> Doni tidak membawa keju.
Dalam dialog di atas, Charlie mengharapkan roti dan keju dibawakan oleh
Doni. Namun, Doni menjawab bahwa ia hanya membawa roti. Artinya secara
tidak langsung, Doni tidak membawa keju untuk Charlie. Tanpa harus
memahami konteks situasi antara Charlie dan Doni, implikatur dari dialog di
atas dapat dipahami.
7
• Deby : Apakah kamu mengundang Billa dan Ani?
Cika : Aku mengundang Billa saja.
+> Cika tidak mengundang Ani.
Dalam dialog di atas, Deby menanyakan apakah Cika mengundang Billa dan
Ani. Namun, Cika menjawab bahwa ia hanya mengundang Billa saja. Artinya,
Cika tidak mengundang Ani. Sama seperti contoh sebelumnya, tanpa harus
memahami konteks situasi antara Deby dan Cika, implikatur dari dialog di atas
dapat dipahami.
b) Implikatur Percakapan Khusus
Implikatur percakapan khusus merupakan implikatur dalam
dialog yang baru bisa dipahami setelah mengetahui konteks percakapan
tersebut.
• Tuti : Budi di mana, Ton?
Anton : Chico di kantin.
+> Budi (mungkin) di kantin juga karena di mana ada Cico, (biasanya) di situ
ada Budi juga.
Berbeda dengan contoh di atas, implikatur dari tuturan Anton di atas baru bisa
dipahami jika penafsir memahami konteks situasi. Misalnya, konteksnya adalah
Cico dan Budi selalu bersama.
• Luki : Awas Rocky datang!
Kemal : Sembunyikan rokok kalian!
+> Rocky akan meminta rokok kalian.
Sekilas tidak ada hubungan antara tuturan Luki dan Kemal pada contoh (f) di
atas. Namun, jika konteks tentang Rocky diketahui, ada implikatur yang dapat
disimpulkan, yaitu Rocky suka meminta rokok orang lain dan itu tidak disukai
oleh baik Luki maupun Kemal serta teman-teman yang lain.
8
• Charlie : Kamu dan anakmu mau ke mana?
Doni : Ke er es.
+> Doni mau ke rumah sakit. Anak Doni tidak akan mau diajak pergi jika ia
tahu akan dibawa ke rumah sakit (RS).
Jawaban Doni dalam dialog (g) di atas tidak begitu jelas. Akan lebih jelas jika
Doni langsung mengatakan bahwa dia mau ke rumah sakit. Namun, Doni
sengaja menyamarkan jawabannya dengan mengatakan tujuan perginya dengan
mengeja singkatan dari rumah sakit, yaitu er dan es (RS).
Mengapa Doni melakukan hal tersebut? Mungkin, anak Doni tidak akan mau
diajak pergi jika ia tahu akan dibawa ke rumah sakit. Oleh karena itu, Doni
menjawab pertanyaan Charlie secara tidak langsung.
• Deby : Vegetarian itu makan hamburger nggak ya?
Cika : Apakah ayam punya bibir?
+> Vegetarian tidak makan hamburger.
Terkadang, menyatakan implikatur bisa dengan pertanyaan retoris seperti
dalam tuturan (h) di atas. Deby bertanya kepada Cika apakah seorang
vegetarian memakan hamburger. Padahal semua orang tahu bahwa hamburger
mengandung daging. Menyadari bahwa pertanyaan Deby adalah pertanyaan
yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan, Cika akhirnya menjawab dengan
pertanyaan retoris bahwa apakah ayam punya bibir yang artinya ‘tidak’.
9
4) Dapat menyederhanakan pemberian semantik dari perbedaan hubungan
antar klausa,meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan
struktur yang sama
5) Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang
secara lahirnya tidak berkaitan Levinson dalam Nababan,(1987 : 28)
2.2 Presuposisi
Presuposisi (praanggapan) merupakan suatu pengalaman manusia sehari-hari
sehingga praanggapan juga gejala yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sering kali kita tidak sadar akan hal itu. Istilah presuposisi berasal dari bahasa
inggris yaitu presuppossition yang berarti perkiraan, persangkaan, atau praanggapan.
Beberapa definisi mengenai presuposisi ( praanggapan ) di antaranya ialah :
• Levinson (dalam Nababan, 1987:48) memberikan konsep praanggapan yang
disejajarkan maknanya dengan preposition sebagai suatu macam atau
pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, ungkapan,
mempunyai makna.
• Nababan (1987:46) memberikan pengertian bahwa praanggapan sebagai dasar
atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan
bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai
makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu
pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk
mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Jadi, praanggapan adalah
kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa
yang disampaikannya dapat dipahami oleh mitra tuturnya.
Istilah ini digunakan karena sebuah kalimat ternyata dapat mempresuposisikan dan
mengimpilkasikan kalimat yang lain. Sebuah kalimat mempresuposisikan kalimat yang
lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (yang dipresuposisikan) mengakibatkan
10
kalimat yang pertama (yang mempresuposisikan ) tidak dapat dikatakan benar atau
salah. Contoh:
1) Presuposisi esistensial
Praanggapan yang menunjukkan eksistensi/ jati diri yang referen yang
diunggkapkan dengan kata yang definit. Contoh:
- Orang itu berjalan.
Ada orang yang berjalan
2) Presuposisi faktif
Praanggapan dimana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja
dapat dianggap sebagai suatu kenyataan. Contoh:
- Dia tidak menyaari bahwa ia terluka.
Dia terluka.
11
- Kami menyesal datang kerumahnya.
Kami datang kerumahnya.
3) Presuposisi leksikal
Bentuk praanggapan makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan
dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan)
dipahami. Contoh:
- Dia berhenti merokok.
Dulu dia biasa merokok.
- Mereka mulai mengeluh.
Sebelumnya mereka tidak mengeluh.
4) Presuposisi non-faktif
Suatu praanggapan yang diasumsikan sebagai tidak benar.
Contoh:
- Saya membayangkan bahwa saya berada di Korea.
Saya tidak berada di Korea.
- Saya membayangkan duduk di pelaminan.
Saya tidak duduk di pelaminan.
5) Presuposisi struktural
Mengacu pada struktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai
praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat Tanya, secara
konvensional diinterpretasikan dengan kata Tanya ( kapan dan dimana )
sesudah diketahui sebagai masalah. Contoh:
- Dimana anda membeli sepeda itu?
Anda membeli sepeda.
- Kapan dia datang?
Dia datang.
12
6) Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang dipraanggapkan
tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar
atau bertolak belakang dengan kenyataan. Contoh: seandainya.
2.3 Referensi
Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata
buku mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk
ditulis atau dibaca. Senada dengan pernyataan itu Djajasudarma (1994:51)
mengemukakan bahwa secara tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata
dan benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Ada pula yang
menyatakan referensi adalah hubungan bahasa dengan dunia tanpa memperhatikan
pemakai bahasa. Pernyataan demikian dianggap tidak berterima karena pemakai
bahasa (pembicara) adalah penutur ujaran yang paling tahu referensi bahasa yang
diujarkanya. Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau
berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan)
yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23) Menurut Ramlan (1993:12)
yang dimaksud referensi (penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa untuk
menunjuk atau mengacu kata, frasa, atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain.
Dengan demikian, dalam penunjukan terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan
unsur tertunjuk. Kedua unsur itu haruslah mengacu pada referen yang sama. Referensi
sebagai acuan memiliki beberapa jenis, antralain;
13
Referensi ini, apabila acuanya (satuan yang diacu) berada atau terdapat di
dalam teks, dan Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi
(distribusi) acuannya (referensinya).
❖ Anafora merupakan piranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang hal atau
kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Piranti itu dapat berupa kata ganti
persona seperti dia, mereka, konjungsi keterangan waktu, alat dan acara.
Contoh: Bu Mastuti mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sejauhnya
dua tahun lalu.
Pada kata dia beranafora dengan Bu Mastuti.
2) Pengacuan Eksofora
Referensi eksofora, apabila acuanya berada atau terdapat di luar teks
percakapan.
Contoh: mobil saya kehabisan bensin, dia yang mengisinya.
Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) membagi referensi menjadi tiga
tipe, yaitu: (1) referensi personal, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi
komparatif.
14
1. Referensi Personal
Referensi persona mencakup ketiga kelas kata ganti diri yaitu kata ganti orang
I, kata ganti orang II, dan kata ganti orang III, termasuk singularis dan
pluralisnya. Referensi persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata
ganti orang). Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk
mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri
(pronominal persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara
(pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan
(pronomina persona ketiga).
❖ Persona pertama
Persona pertama tunggal dalam bahasa indonesia adalah saya, aku, dan daku.
Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk –ku dan ku. Penggunaan
persona pertama tunggal tampak pada kalimat berikut.
Contoh:
- Kado buat adik, aku buat seindah mungkin.
- Saya tidak tahu mengenai masalah kecelakaan tadi pagi
- Menurutku andi memang anak yang pandai.
Di samping persona pertama, di dalam bahasa indonesia juga mengenal
persona jamak, yaitu kami, dan kita. Kalimat berikut mengandung persona
pertama jamak.
Contoh:
Kami semua adalah tulang punggung bangsa. Kita harus mampu bersaing
dengan bangsa lain dalam teknologi.
❖ Persona kedua
Persona kedua mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau,
kau-, dan mu-. Persona kedua mempunyai bentuk jamak engkau dan sekalian.
Persona kedua yang memiliki variasi bentuk hanyalah engkau dan kamu.
15
Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan mu-. Berikut ini kutipan
kalimat yang menggunakan persona kedua.
Contoh:
Engkau bagaikan matahari di dalam hatiku. Apakah anda mengenal orang ini.
Ada keperluan apa engkau datang malam ini.
❖ Persona ketiga
Ada dua macam persona ketiga tunggal, (1) ia, dia, atau –nya, dan (2) beliau.
Adapun persona ketiga jamak adalah mereka. Berikut ini kalimat yang
menggunakan persona ketiga.
Contoh:
- Mereka semua yang ada di kelas adalah mahasiswa jurusan bahasa
indonesia.
- Kakaknya telah meninggal dunia setahun yang lalu karena kecelakaan.
- Beliau terkenal menjadi pengarang sejak remaja.
2. Referensi Demonstratif
Sumarlam (2003:25) membagi pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk)
menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina
tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada
waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu),
akan datang (seperti besok dan yang akan datang), dan waktu netral
(seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada
yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini),
agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan
menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta).
3. Referensi Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai
kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku,
16
dan sebagainya (Sumarlam 2003:26). Kata-kata yang biasa digunakan untuk
membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan,
tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan.
2.4 Inferensi
Sebuah pekerjaan bagai pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak
tutur selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai
pada suatu penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara
atau (penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca)
mengadakan inferensi. Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus
dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis
(diucapkan) samapai pada yang diinginkan oleh saorang penulis (pembicara).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara karena
dia tidak mengetahui apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh
pembicara/penulis. Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan
pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah
sama sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi.
Inferensi terjadi jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk
memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan yang diungkapkan
oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu
memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis.
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks
penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur.
Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa
yang terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita
mengetahui jenis-jenis inferensi, antara lain;
2.4.1 Inferensi Langsung
17
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi yang digunakan
untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh lebih luas dari
premisnya.
Contoh:
Bu, besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak
punya baju baru, kadonya lagi belum ada”.
Maka inferensi dari ungkapan tersebut: bahwa tidak bisa pergi ke ulang tahun temanya.
Contoh:
Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu hidup.
dari premis tersebut dapat kita lansung menari kesimpulan (inferensi) bahwa: pohon
yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.
18
2.5 Konteks Wacana
Konteks dalam kajian wacana tidak hanya dipahami sebagai tempat atau waktu
terjadinya tindak suatu teks. Konteks mencakup semua aspek yang terlibat dengan
terjadinya suatu teks. Konteks inilah yang menjadikan sebuah teks akan memperoleh
maknanya dan memperoleh fungsinya. Dalam kaitan ini, konteks harus dipahami
sebagai situasi yang melatarbelakangi terjadinya suatu komunikasi. Menurut Alwi, et
al. (1998: 336) konteks terdiri atas beberapa hal, yaitu situasi, partisipan, waktu,
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran. Pendapat lain yang
tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas adalah yang dikemukakan oleh Dell Hymes
(1972). Menurutnya, konteks mencakup sembilan unsur yang terangkum dalam
akronim SPEAKING. Konteks ini dikaitkan dengan peristiwa tutur atau tindakan
komunikasi. Berikut ini adalah jabaran akronim tersebut.
S : setting dan scene, yaitu latar dan suasana. Latar bersifat fisik yang meliputi latar
tempat dan latar waktu, sedangkan suasana lebih mengacu pada keadaan psikologis
yang menyertai peristiwa tutur.
P : partisipant, yaitu peserta percakapan atau semua pihak yang terlibat dalam peristiwa
komunikasi. Partisipan ini tidak hanya mencakup penutur dan mitra tutur, tetapi juga
semua faktor yang berkaitan dengan partisipan, misalnya jenis kelamin, usia,
pendidikan, latar sosial.
E : end, atau hasil mengacu pada tanggapan yang diharapkan oleh penutur.
A : act sequence, mengacu pada pesan atau amanat yang ingin dicapai dalam tindak
komunikasi.
K : key, mengacu pada konsep cara, nada, atau sikap dalam melakukan percakapan,
misalnya serius, santai, marah.
I : instrumentalities atau sarana, mengacu pada sarana yang digunakan untuk
melakukan tindak komunikasi, misalnya sarana lisan, tulis.
N : norm, norma mengacu pada norma atau aturan yang melingkupi tindak percakapan.
Norma ini menuntun peserta percakapan untuk memahami apa yang boleh dan yang
tidak boleh dilakukan ketika sedang melakukan percakapan.
19
G : genre mengacu pada jenis wacana yang akan digunakan untuk menyampaikan
informasi kepada pihak lain.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Unsur eksternal adalah sesutau yang menjadi bagian wacana, namun tidak
nampak secara eksplisit. Terdapat beberapa bagian unsur eksternal wacana,
yaitu implikatur, presuposisi, referensi, inferensi dan konteks.
1) Implikatur
Imlikatur adalah ujaran yang menyiaratkan sesuatu yang berbeda
dengan sebenarnya yang diucapkan. Sesutu yang berbeda tersebut adalah
maksud pembicara yang dikemukakan secara samar. Dengan kata lain
implikatur adalah keinginan hati yang tersembunyi. Contoh.
Boy : malam ini sungguh indah.
Usi : iyaa. Indah sekali.
Boy : akan tersa lebih indah jika kita sudah terikat.
Usi : maksudmu?
Boy : oh tidak ada.
2) Presuposisi
Adalah perkiraan atau anggapan dasar mengenai konteks dan situasi
berbahasa, yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna untuk
pendengar atau pembaca. Contoh.
A : saya rasa kamu orang pintar.
B : ah tidak juga.
A : tapi itu kelihatan dari caramu belajar.
B : haha.. ada-ada saja.
3) Referensi
Referensi adalah hubungan kata atau benda yang dirujuknya. Referensi
merupakan prilaku pembicara atau penulis. Contoh
21
Bangku itu terbuat dari kayu jati. Kayu jati merupakan salah satu bahan
pembuatan bangku yang sangat kuat dan tahan lama. Begitu juga harapan
dan keinginan seseorang. Harus layaknya sebuah kayu jati yang sukar
dimakan waktu.
4) Inferensi
Inferensi berarti kesimpulan. Dalam bidang wacana inferensi
merupakan bagian akhir yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan
informasi. Tanpa adanya inferensi, informasi yang diterima oleh pembaca
dan pendengar akan menjadi sia-sia.
5) Konteks
Konteks berarti yang berkenaan dengan teks yang berarti benda-benda
yang terlibat dalam wacana tersebut. Menurut Brown dan Yule , konteks
adalah lingkungan (envirenment) atau keadaan (circumstances) tempat
bahasa digunakan.Contohnya dilingkungan kelas.
3.2 Saran
Diharapkan agar menjadi bahan pelajaran bagi kelompok kami dalam
membuat makalah ini dan makalah ini belum begitu sempurna, maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun terutama dari dosen
pengampu mata kuliah ini, agar dapat membantu kami dalam membuat makalah
ini menjadi sempurna dan bermanfaat.
22
DAFTAR PUSTAKA
Putu Wijana, Dewa. 2011. Analisis wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka.
23