Anda di halaman 1dari 9

AWAN-AWAN SENJA Keluar dari halaman rumah, Jalan masih diliputi halumun.

Baru dua tiga orang


kelihatan menyapu halaman. Duren belum kularikan, masih berjalan dengan tapak-
Walaupun mataku sudah buta enam puluh tahun yang lalu, tapi sampai hari ini aku tapak ringan, walaupun tampak gagah dan tegap Tapal besinya terdengar berirama
masih dapat membayangkan keindahan kota Solo. Sering kali pada pagi hari aku berantukan dengan batu-batu jalan.
keluar dengan menunggang kuda keliling kota mencari pemandangan. Setiba di luar
kota, maka pemandangan yang menerawang ke segala penjuru memulas mataku. Tiba-tiba dari sebuah jalan simpang jalan sebuah kampung muncul seorang
Duduk sendiri di dangau, telinga mendengarkan cericik burung-burung gelatik yang gadis. Tangannya mencangking bakul. Mungkin ke pasar. Sudah pasti duren melihat
berayun di batang padi, sedang mata memandang auh ke puncak biru Gunung sosok gadis itu, sebab saat itu juga ia menegakkan lehernya, kepalanya bergeleng-
Merapi, sungguh merupakan kegemaranku di kala senggang. Apa lagi di kala senja, geleng, suarainya berjurai-jurai, sedangkan kai belakang dihentak-hentakkan seperti
Gunung Merapi Nampak wingit bagaikan seorang pertapa yang lagi duduk semadi. menari. Sebaliknya anak gadis itu nampak ketakutan; langkahnya terhenti, bahkan
Jurang-jurang dan lereng-lerengnya yang menurun dan bersilang siku bagaikan terpaku. Seperti anak nakal saja, Duren bahkan berlari berputar-putar di tengah
tangan yang sedekap, sedangkan puncaknya yang bersentuhan dengan awan-awan jalan. Kendaliku kuabaikan. Gadis itu makin ketakutan, sehingga terjongkok di tepi
jingga senja, laksana kepala sang pertapa yang lurus-lurus mengusap langit nirwana. jalan. Rasa malu terbit dalam hatiku, kalau-kalau aku disangka priyayi nakal yang
Kala itu usiaku belum ada 25 tahun – bahkan menurut perhitungan tahun suka mengganggu orang. Cemeti segera kupukulkan ke kepala Duren. Kuda jantan
Masehi baru 23 tahun – tetapi kedudukanku sebagai pegawai keraton sudah itu tahu benar aku marah, maka kepalanya tunduk dan tak mau bertingkah lagi.
mencapai pangkap mentri. Memang terhitung cepat sekali kenaikan pangkatku, aku Dari punggung kuda aku melompat turu, dan segera aku hampiri gadis yang lagi
mulai bekerja di keraton pada usia 17 tahun, dan ketika umurku baru saja menginjak berjongkok itu.
20 tahun, pangkatku sudah dinaikkan menjadi lurah. Mungkin juga karena “Maaf, maafkan saya, “kataku, “kuda ini memang jahat.”
kecakapan dan kerajinanku, tetapi silsilah yang masih terhitung tinggi derajatnya di Gadis itu bangkit tetapi mukanya menunduk. Ketika dilihatnya mata uang jatuh
lingkungan bangsawan, kiranya berpengaruh pula atas kedududkanku. Baik dari alur berderi dari ikat pinggangnya, ia membungkuk lagi memunguti. Aku pun membantu
Bapak maupun Ibu, aku masih berhak menggunakan gelar raden mas. memungut sebuah mata uang benggol yang menggelinding agak jauh.
“Ndorobei hendak berpesiar ke mana?” tanya tetangga-tetanggaku sambil “Nanti kotor tangan, priyayitun. “ kata gadis itu lirih. “Biarlah hamba sendiri
membungkuk-bungkuk setiap dilihatnya aku duduk di atas kudakeluar dari pelataran memungutnya.”
rumah. Kegemaranku menunggang kuda memang berlebihan. Aku yakin kata-kata itu bukan sindiran.
“Serba cakap,” kudengar pujian orang-orang, “ndorobey masih muda dan Di samar cadar halimun kuawasi wajah gadis itu. Pipinya halus bahai dibubut.
cakap, kudanya putih belang hitan.” Apakah itu pujian yang keluar sungguh-sungguh “Izinkan saya pergi, ndoro,” pamit gadis itu. Sungguh kata-kata itu
dari kekaguman, atau pujian untuk memancing kedermawananku, aku tidak mengagetkan aku yang lagi terpesona memandangnya.
mempersoalkannya. Aku pun meloncat ke punggung kuda. Cemeti kuayunkan. Duren mengangkat
Sebagai seorang priyayi muda aku senang berdandan pula. Ada empat buah kaki depannya, ringkiknya menyambar telinga, lalu meloncat dan larilah ia bagai
lemari pakaianku. Kain ataupun baju hanya beberapa kali kupakai, selanjutnya terbang.
kuhadiahkan kepada tetangga-tetangga atau pejabat-pejabat bawahanku. Seperti Sampai di alun-alun kuda itu kularikan terus memintaspadang rumput,
priyayi-priyayi di waktu itu, rambutku kupelihara panjang-panjang untuk digelung . selanjutnya mengitari alun-alun untuk berlatih lari di padang luas. Matahari sudah
jika aku tidak mengenakan tutup kepala – iket atau kuluk – rambut itu kulilitkan tersembul kini, maka lari Duren semakin perkasa. Derap kakinya berirama gembira.
pada sisir kult penyu yang kusisipkan di kepala. Hanya hatiku yang kurasa kurang tenang. Kejadian dijalan tadi berkilasan di mata.
Masih pagi benar hari itu aku sudah menyuruh Senen, bujangku untuk Cemeti sering kupukulkan pada Duren tanpa maksud. Maka Duren segera kularikan
menyiapkan Duren, kudaku. Niatku hendak berpesiar ke alun-alun Selatan untuk keluardari gerbang alun-alun, membelok kea rah timur langsung menuju tepi
melatih Duren berlari kencang, kemudian ketepian bengawan Solo untuk melatih bengawan.
kuda itu berlarian di pasir, di lumpur atau tempat-tempat penyeberangan. Pemandangan disepanjang kali telah ramai. Pedagang-pedagang dari desa
beriring-iring menyeberangi bengawan menuju kota. Dengan hati-hati kuda kusuruh
1
menuruni tebing menuju tempat penyeberangan yang dangkal. Kakinya “Lho, lho, lho, mengapa mengaku salah dan keliru? Ah, mengapa kita sama-
berkecopakan, dan air pun bercipratan membasahi kakiku di sanggurdi. Sesudah sama mengaku salah. Ha, ha, ha, pasti kita sama-sama tidak bersalah,” demikian
segar Duren bermain air, sanggurdi kutekan, kendali kutarik, ujung cemeti sahutku sambil mengulum senyum.
kujentikkan di dahi Duren, maka kuda itu pun mulai melangkah menyusur Sambil mencucukkan ujung cemeti ke pantat Duren aku mengajak kuda itu
bengawan. bercanda lagi: “Ren, Duren, sungguh hari ini merupakan hari peruntungan kita. Aku
Pohon-pohon bamboo yang marimba di tepi kali sungguh merupakan rintangan tak jadi kehilangan sarung keris emas, malah dapat kenalah baru . . . .”
yang sulit untuk ditembus, tapi Duren tampak tabah untuk menyusup di tengah- Aku meloncat ke punggungkuda, kutepis pelipis kuda yang berbintik-bintik
tengahnya. Akulah yang menderita, karena badan-badanku terkait ranting-ranting hitam itu sebaga isyarat agar ia mulai melangkah. Sebelum Duren melonjak dan
bamboo yang tajam. Badanku pun terasa penat sekali karena kuda itu berjalan naik- berlari,senyum kulemparkan pada gadis yang masih terpaku di tepi jalan itu.
turun menaiki tanjakan-tanjakan sempit sepanjang kali.
Menjelang sore, setelah aku beristirahat dan makan di rumah wedana Sampai di rumah sehabis mandi, abdiku Senen berkata bahwa Dimas Pradopo –
Bekonang, barulah aku memacu Duren kembali ke kota. Matahari hamper seorang priyayi dari Sraten – tadi siang dating ke rumah. Maksudnya malam ini
tenggelam ketika aku memasuki kota bagaikan naik kuda sembrani. hendak datang lagi untuk mengajak hadir ke suatu keramaian tayuban di kampung
Tiba-tiba hatiku tersentak. Seketika kendali kutarik, hingga kepala Duren Notokusuman. Biasanya malam – malam kami berdua memang suka dating ke
terangkat tinggi-tinggi. Walaupun suasana sore telah samar kelabu, mataku masih keramaian tayuban di rumah-rumah priyayi kenalan kami.
sempat melihat sesosok tubuh gadis yang berjalan tergopoh-gopoh menyisih karena Sambil duduk di kursi goyang di tengah pendapa aku menantikan Senen
takut tersambar lari kudaku. Pasti, pasti dia gadis yang kujumpai tadi pagi. membawa cangkir dan teko.
Begitu Duren berhenti dengan nafas masih terhambur, dari atas kuda aku “Nen,” tanyaku pada Senen begitu dating, “Coba aku ingin tanya.” Senen lantas
menyapa gadis itu: “Baru pulang sudah begini sore?” duduk bersila di depanku. ”Apakah engkau kenal dengan seorang pedagang di pasar
Gadis itu kaget. “Betul nDoro, “ jawabnya. Gading – seorang pedagang yang tinggalnya di dekat tikungan jalan kecil sebelah
Cemeti pura-pura kujatuhkan, maksudku jika aku harus turun untuk berbicara, timur perempatan itu?”
tidaklah aku malu di mata orang. Sambil membungkuk meraih cemeti dari tanah, “Jalan kecil mana, nDoro?” Senen minta penjelasan.
aku berkata dengan canda: “Ah,bagaimana, ada pula yang menyebut aku ndoro. “Jalan kecil buntu. Ada pohon nangka besar di tikungan,” jawabku. “ jawabku.
Bukankah sudah berkenalan baik-baik tadi pagi?” “O ya, ya, saya kenal, nDoro. Itulah mBok Joyo Ayam! Sebutan Ayam diperoleh
“Betul nDoro, “ sahut perempuan itu, “tadi pagi saya mendapat amarah dari karena suaminya berdagang ayam. Adapun Pak Joyo sudah lama meninggal. mBok
orang tua,” Joyo Ayam sekarang berjualan kain rombongan,” demikian Senen menjelaskan.
“Lho, apakah masih ada uang yang hilang atau tercecer di jalan?” tanyaku “Berapa orang anaknya?” tanyaku lagi.
kubuat-buat. “Berapa banyak yang hilang, saya yang mengganti.” Lalu seperti Senen tersenyum, lalu pura-pura batuk. Sambil memandang dengan sudut mata
berkata pada diriku sendiri: “Hemm, hemm, memamng sudah nasibku, kalau ia menyingkap rahasia: “Kalau hendak bertanya tentang Tinah, mengapa nDoro
ternyata banyak uang yang hilang; biarlah untuk menggantinya aku terpaksa mesti berputar-putar dulu bertanya tentang orang tuanya?”
menjual sarung keris emasku . . .” “Husy!” seruku. Hamperhampir aku memakinya.
“Bukan begitu nDoro,” seru gadis itu. “Tapi sebenarnya ingin berkenalan atau bagaimana?” Senen semakin berani.
Sambil menampar dagu kuda aku seperti mengajak berbicara Duren: “Ren, Aku diam saja. Lambat-lambat aku menghirup the. Juadah bakar di piring
engkau yang nakal, kesurupan setan di tengah jalan tadi pagi. Akulah kini yang harus kuambil, tapi sebelum aku mengunyahnya, aku bertanya lagi tentang Tinah.
merogoh saku. Salah-salah sarung emasku harus kujual dulu untuk mengganti uang Satu kalimat Senen yang paling menggembirakan diriku tentang Tinah ialah,
orang.” bahwa anak gadis kampung itu cukup sopan santun.
“Tidak nDoro,” seru gadis itu. “sayalah yang salah dan keliru. Mohon dijatuhkan Belum sampai aku selesai juadah, tampak seorang tamu memasuki halaman.
amarah, nDoro. Sayalah yang kurang sopan. Kata embok saya. Terhadap norobei Pasti Dimas Pradopo.sejak dari halaman ia sudah berseru-seru: “Kemas, Kemas, ke
harus menghormat dan menyembah.”
2
mana saja seharian ini? Wah, asal keluar sekarang seorang diri saja. Selalu aku Mungkin sudah lewat tengah malam ketika aku terjaga. Dari pendapa tampak
ditinggalkan.” sinar bulan tanggal tua yang mulai menerangi halaman.
“Duduk dulu, duduk dulu . . . .. “ kataku sabar. “Terjaga, nDoro?” Tanya Senen.
“Ayolah kita berangkat sekarang, “ jawabnya seperti tidak sabar lagi. “He-eh” jawabku sambil menggeliat. Tangan dan kaki kurentangkan
“Percayalah, jika Pak Projo yang menanggap tayuban; tak ada bandingannya di “Anu, nDoro, “sambung Senen, “burung perkutut si Abimanyu tadi terus-
seluruh Surakarta. Mau pilih penari siapa saja; mala mini pasti dikumpulkan Pak menerus berbunyi.” Lalu seperti pada dirinya sendiri: “Ya, ya, barangkali suatu
Projo.” pertanda juga.”
“Tapi – tapi kali ini saya minta maaf, Dimas,” sahutku serak. “Kudaku si Duren “Pertanda apa?” tanyaku mendesak.
nakal benar sehari tadi, larinya menyambar-nyambar pohon bamboo di sepanjang “Pertanda bahwa ada seorang priyayi yang sedang kasmaran,” jawab Senen
bengawan. Sakit terasa seluruh tubuhku sekarang.” menahan ketawa.
“Lho!” Dimas Pradopo tersentak, lalu membeliakkan mata.”Ada penyekit aneh “Sontoloyo!” kumaki dia.
lagi. Baru sekarang Kamas malas pergi ke tayuban.” Aku bangkit menuju kamar tidur. Tapi aneh, mataku tak mau terpejam.
“Cobalah pikir. Kaki rasanya seperti bengkak,” sahutku sambil memijat-mijat Perkututku si Abimanyu berbunyi terus. Hur-ketekung, hur-ketekung . . . . . . . . . .
paha. Aku tersenyum.
“Nanti kalau sudah turun ke gelanggang, pasti hilang sendiri segala rasa nyeri Hampir subuh mataku tak juga terlelap. Karenanya aku bangkit, niatku hendak
itu” Dimas Pradopo membujuk. keluar berjlan-jalan hingga matahari terang, dan baru kembali untuk mandi, terus
Namun aku tetap minta maaf untuk tidak pergi ke tayuban. Sungguh malam itu berangkat ke keratin memenuhi hari dinas.
cerita Senen tentang Tinah kiranya lebih menarik. Dimas Pradopo akhirnya Pintu kubuka, langsung menuju pintu halaman yang masih tertutup. Palang
berangkat seorang diri. kuangkat, lalu berjalan menuju lorong besar kea rah timur. Entah bagaimana, kakiku
melangkah terus menuju tikungan jalan kecil di mana tumbuh pohon nangka.
Seperti biasa sehabis makan malam aku berbaring di kursi malas di pendapa. Sampai di mulut tikungan kuingat kembali peristiwa kemarin pagi, ketika Duren
Senen pasti menghadap sambil duduk bersila di dekatku, kadang-kadang sambil memaksaku bersapa kata dengan Tinah. Sambil membelenggu tangan di belakang,
memijit-mijit kakiku. aku berjalan bolak-balik. Dan benar, dari arah muara tikungan itu muncullah sesosok
“nDoro, bolehkah saya berbicara sedikit,” kata Senen. ”Jika seandainya nDoro tubuh gadis membawa bakul kecil. Semula aku pura-pura tak melihat. Tapi saat
menginginkan Tinah, maka persoalannya agak berat.” berpapasan, aku pura-pura terkejut.
“Heh, bagaimana katamu?” tanyaku cepat. “Ooo, ketemu lagi,” sapaku ramah.
“Begini nDoro, “sambungnya. “Pertama, walaupun Tinah anak kampung, tapi Ia pun terkejut.
sukar untuk didekati. Apalagi – maaf – jika hanya untuk kesenangan. Kedua, Tinah “Maaf, nDoro,” serunya sopan, “barangkali hendak berpesiar.”
sekarangsudah diperjodohkan. Kasarnya – dijual! Begitulah. Adapun lelaki yang Aku tersenyum. Walaupun matahari belum terang, tapi aku tidak meneruskan
hendak mengawininya adalah seorang anak saudagar batik di Kemlayan. Belum lama niatku berjalan-jalan. Aku balik pulang.
saya mendengar dari Pak Bekel di sebelah rumah, bahwa Tinah hanya akan dijadikan Di pintu pagar Senen sudah menyambutku. “nDoro, apakah buah pohon nangka
isteri kedua. Maklumlah, keadaan keluarga mBok Joyo amat pahit sekarang.” di tikungan jalan itu sudah masak?” Senen menyindir.
“O, begitu,” sahutku. Aku sendiri dapat mendengar nada kecewa suaraku. Rupanya Senen memata-matai diriku, mengikuti jalanku dengan bersembunyi.
Sambil berbaring, mata kupejamkan. Aku tak ingin lagi berbicara tentang Tinah. Senen kusepak dengkulnya.
Senen maklum. Kini dia diam. Kemudian di antara mendengar dan tidak, Senen Malamnya ketika aku berbaring-baring di pendapa dan dihadap Senen, aku
berganti cerita tentang pohon lalijiwa di halaman rumah yang sedang berkembang, memerintahkan agar Tinah dan emboknya dipanggil. “Nen, coba panggilkan Tinah
tentang sawahku di desa Klodran yang sudah menunggu panen, tentang permainan dan emboknya supaya dating ke mari,” perintahku.
ketoprak Harjosumpel yang jatuh pingsan karena ketagihan madat. Mataku terasa “Bagaimana, nDoro? Tanya Senen. “Sekarang saja saya berangkat, agar besok
berat sekali. malam mereka sudah dapat menhhadap ke mari.” Senen bangkit.
3
apa membela orang yang tidak mau kubela? Buat apa aku menawar-nawarkan jasa?
Benar juga. Keesokan malamnya Tinah beserta emboknya datang. Mereka Demikian hatiku kubakar sendiri.
kusuruh duduk di beranda samping. Mereka Nampak agak ketakutan. Maka sejak hari itu aku tak pernah berjalan-jalan lagi. Kukira Senen sudah
“Begini, mBok Joyo,” kataku., “rumah kecilku di belakang dekat sumur itumasih maklum.
kosong. Daripada jarang tersentuh sapu, alangkah baiknya jika mBok Joyo dan Tinah Tapi tujuh hari kemudian ketika aku tidak pergi dinas ke keratin, tanpa kuduga-
tinggal disitu. Seburuk-buruk rumah itu, tapi tidak becek dan terendam air di musim duka Tinah datang.
hujan. Perkara makan sehari-hari jangan dipikirkan. Di dapur emboknya Senen selalu “Lho, engkau Nah?” tanyaku kaget.
memasak.” Tinah tak dapat kuajak bicara. Wajahnya mnangis di balik selendang basah.
mBok Joyo dan Tinah tersumbat mulutnya. Karenanya ia kusuruh istrahatdi ruang samping. Senen pun tak tahu mula sebabnya.
Aku menyambung:” Cobalah piker, rumah sebesar ini peninggalan orang tuanya Tak ada jalan lain kecuali memanggil mBok Joyo pada malam harinya.
hanya ditempati beberapa orang. Rumah kecil di dekat sumur tetap kosong.” Orangtuanya bingun ketika kuberitahu bahwa anaknya sudah berada di
Mungkin mBok Joyo sudah maklum apa yang kumaksud. Setelah mengucapkan rumahku sejak tadi pag, tanpa kupanggil, tanpa kuundang. Akhirnya dengan terus
terimakasihnya, ia menjawab langsung bahwa untuk pindah dari rumahnya di terang mBok Joyo mengatakan, bahwa sebenarnyalah Tinah kurang rela untuk
kampung terasa brat. Alasan yang dikemukakan jelas sekali, yaitu bahwa rumah diperistri oleh anak saudagar di Kemlayan. Karenanya ketika aku menawarkan
tersebut sudah dibeli oleh seorang saudagar di Kemlayan. Adapun Tinah sekarang rumah, Tinah merasa menemukan jalan untuk melepaskan diri dari gelutan masalah
sudah dipinta untuk diperistri, dan diberi hak untuk menempati rumah itu. Sebagai yang selama ini membelenggu dirinya. Tapi buat mBok Joyo yang sudah terlanjur
basa basi,mBok Joyo menyempaikan undangan padaku agar suka meringankan menerima berbagai pemberian, kehendak Tinah itu benar-benar sukar untuk diikuti.
langkah nanti pada hari perkawinan Tinah. Kuberi pertimbangan kepada mBok Joyo agar sebaiknya Tinah tinggal beberapa
Aku merasa terpotong kata dan terputus langkah. Beberapa saat mulutku hari dulu di rumahku, untuk kuberi nasehat bagaimana sebagiknya, lagipula agar
terasa kelu. Untuk menutupi kegagalan maksudku, aku pura-pura bertanya, apakah nama mBok Joyo tidak tercela di kampung. Bagaimanapun, pembicaraannya dengan
mBok Joyo pandai memasak, untuk sewaktu-waktu dapat kupanggil guna membantu saudagar di Kemlayan sudah mengikat, maka jauhlah dari pantas jika pembicaraan
emboknya Senen. yang sudah bulat itu diretakkan secara tiba-tiba.
Rupanya ia maklum benar bahwa aku tersandung-sandung langkah. Ia akan “Saya yakin jika Tinah mendapat penjelasan dan nasehat, pasti ia dapat
segera minta diri. Kepada mBok Joyo dan Tinah kuberi hadiah kain-kain baru dan mengambil keputusan yang setepat-tepatnya demi kebaikan keluarga,” demikian
uang. kata-kataku kepada mBok Joyo ketika hendak pulang.
Malam itu aku duduk bersunyi diri di pendapa. Mungkin Senen dapat Tinah kupanggil seorang diri untuk kutanya duduk persoalannya. Tampak kedua
membayangkan suasana sungkawa hatiku. Ia pun mendekat, mengumpan belah matanya merah menahan air mata. Ia benar-benar terkejut ketika
percakapan dan cerita-cerita lucu. Aku cuma mendengarkan saja. Berbagai soal kunasehatkan agar bersedia kawin dengan lelaku yang sudah member tanda-tanda
tetek-bengek ia ceritakan. Tentang dalang Noyo yang marah jika leluconnya gagal, pertunangan.lagipula rumah di kampung pun sudah dibeli untuk keperluan keluarga
tentang kudaku Duren yang sudah lama tidak dikawinkan, tentang pesinden Tinah sendiri.
Ngadiyem yang sudah tidak muncul lagi di muka umum karena sudah masuk keratin, Tinah hanya menunduk bagai patung di depanku. Mungkin dirinya kini merasa
dan cerita-cerita yang melantur ke soal-soal yang kurang senonoh. terbanting dan terusir dari rumahku lewat kata-kataku yang berselubung nasehat.
Menjelang tengah malam mataku juga belum terasa berat. Senen kusuruh Ketika ia gemetar menahan gejolak perasaan, ia kusuruh kembali ke kamar. Ia
memanggil Truno Tembang, seorang kakek tua yang hafal diluar kepala berbagai mundur dariku dengan dada terisak.
buku cerita dan tembang Dewa Ruci. Baru beberapa bait aku sudah menguap.
Namun pada keesokan harinya, aku sudha terbangun sebelum matahari Sudah lebih dari seminggu Tinah tinggal di rumah. Maksudku di rumah kecil
muncul. Memang ada juga keinginan untuk berjalan-jalan, lagar Tinah tidak dekat sumur belakang. Ia sudah keluar halaman, memegang sapu membersihkan
terganggu perasaan karena mengira aku marah. Tapi niat itu kupendam lagi. Buat halaman dan membantu emboknya Senen menimba air. Peristiwa itu sebenarnya
hendak kupendam saja.andaikata kelak Tinah jadi kawin dengan saudagar kaya
4
Kemlayan, tiadalah suatu kerugian yang kuderita.demikian pertimbanganku. Apa sampingku. Aku tak sempat memikirkan bagaimana pendapat orang jika ketemu aku
yang kulakukan kukira sudah berharga sebagai pertolongan. Aku sendiri tidaklah dan Tinah sedang berjalan berdampingan malam-malam. Semula memang aku
mungkin untuk mengambil Tinah sebagai isteri. Derajat keturunanku terlalu tinggi merasa terlalu berani membawa seorang perempuan di lepas malam, tapi perasaan
diatasnya. Itulah sebabnya Senen merasa kurang senang ketika kusuruh memanggil itu terkikis sendiri.
Tinah dan emboknya. Memang Senen tak pernah mencegah jika aku pergi ke Bukan mustahil jika ada orang yang mengira aku dan Tinah sebagai pasangan
tayuban, tapi ia selalu memperingatkan aku jika kerena arus pergaulan yang mewah temanten baru yang berpesiar di malam crah. Tinah mengenakan kain Tirtateja baru
kadang-kadang terhanyut dalam hal-hal yang kurang patut. Itu sebabnya aku yang kuberikan tadi sore,sedang aku mengenakan pakaian resmi untuk lingkungan
menganggap Senen bukan sekedar abdiku; tapi juga teman, saudara dan orangtua keratin. Seperti biasa jika aku keluar malam, selalu kubawa keris Kyai Bramoro –
sekaligus. peninggalan almarhum bapakku. Aku merasa tabah jika menyandang keris itu.
Aku berkehendak supaya peristiwa Tinah itu tertutup saja hingga saat Baru saja kami hendak membelok memasuki jalan tikungan yang menuju rumah
penyelesainnya. Tapi tiba-tiba datang berita yang dibawa Senen, mengatakan bahwa mBok Joyo, muncul seorang lelaki pendek kekar menghadang jalan. Lelaki itu segera
kabar-kabar larinya Tinah ke rumahku sudah terdengar oleh calon suaminya di memanggil teman-temannya – tiga jumlahnya.
Kemlayan. Bahkan menurut salah seorang buruh batik yang bekerja di rumah “Ini dia orangnya!” teriaknya. “Capek-capek kemarin, mala mini si ikan lele
saudagar itu, segala alamat buruk telah dijatuhkan atas namaku.tegasnya, aku masuk jarring! Eh, eh, eh, dengan Tinah lagi, pantas dari jauh kelihatan
didakwa mengganggu milik orang, menyembunyikan perempuan dan segala bergandengan tangan.”
tuduhan yang serba memalukan. “Siapa engkau, berani membuka mulut lancing?” tanyaku membentak.
Pada suatu sore ketika Tinah selesai membuat teh di belakang, ia kupanggil “Sudah merampas milik orang, pura-pura bertanya lagi,” orang itu menggertak.
untuk kuberitahutentang segala suara yang serba busuk itu. Saat itu pula Senen “Kalau engkau bisa sopan sedikit saja, dengarlah,” seruku sambil menuding
kusuruh pergi ke rumah mBok Joyo untuk memberitahukan desas-desus yang sangat mukanya. “Tinah ini hendak kukembalikan pada orangtuanya. Kalau engkau mau
mengganggu dan mencemarkan namaku. mengambil, ambillah nanti setelah kuserahkan pada orangtuanya.”
“Katakanlah kepada mBok Joyo, aku sendiri tak ada keinginan apa-apa terhadap “Wah, baru sekali ini aku bisa dengar lidah semanis madu. Pantas Tinah bisa
Tinah,” pesanku pada Senen. “Tapi jika Tinah sendiri tak mau dikawinkan, janganlah dirampas. Sudah menyimpan seminggu, kini pura-pura hendak dikembalikan,” cibir
sekali-kali dipaksa.bahkan jika terpaksa timbul suatu perkara, aku sanggup lelaki itu menyengat telinga.
memberikan pembelaan. Apa yang hendak kulakukan hanyalah ingin menolong.” Tinah berdiri gemetar di belakangku.
Kepada Tinah kuberi penjelasan agar memaklumi benar-benar pendirianku. “Menyisihlah dulu, Nah. Calon suamimu ini tingkah lakunya seperti perampok,”
“Tinah,” kataku dengan sabar, “jika engkau hendak membatalkan segala ikatan kusuruh Tinah menyisih jauh.
dari Kemlayan, sebaiknya kau pikirkan benar-benar. Sebaiknyalah engkau pulang Kulihat mereka hendak menangkapku. Aku mundur beberapa langkah untuk
dulu ke rumahmu. Jika embokmu ingin mengembalikan segalapemberian, aku mencari tempat. Ujung kain kulilitkan di pinggang. Kemudian keris Kyai Bramono
bersedia mengganti berapa besar jumlahnya. Yang penting, persoalanmu tidak kuhunus.
menjadi buah tutur orang. Engkau kuminta ikut menjaga namaku, jangan sampai Tinah berteriak, mungkin hendak lari ke rumahnya, tapi sudah dihadang oleh
angin busuk itu meniup ke keratin.” teman-teman lelaki itu. “Tangkap Tinah!” perintahnya. “Ikat tangannya di bawah
Sekalipun ia terdiam,kiranya ia bisa memahami maksudku. pohon nangka!”
“Sebaiknya begini, Nah,” lanjutku,”nanti malam engkau kuantarkan pulang Dua orang lelaki hendak maju menyergapku, tapi ragu-ragu melihat acungan
pada orangtuamu. Sekalian aku terus berangkat ke keratin karena mala mini aku kerisku. Aku mundur lagi beberapa langkah mencari tempat. Tapi dari arah belakang
mengepalai tugas penjagaan.” tiba-tiba jatuhlah pukulan kayu di kepalaku. Aku terguling. Mataku berkunang-
Selembar kain baru kuberikan padanya. kunang.
Malam itu sehabis makan, Tinah kuantar pulang. Malam musim kemarau dihiasi Belum sempat aku berdiri, pukulan jatuh bertubi-tubi di badanku. Tapi keris
rembulan alit di langit cerah. Keluar dari pintu halaman, Tinah berjalan di masih kupegang erat-erat. Aku ingin mati dengan keris di tangan.
belakangku seperti seorang abdi, tapi lepas beberapa saat ia kusuruh berjalan di
5
Aku tengkurap dengan nafas terengah-engah. Lelaki itu mendekat sambil “Tidak Nen, jangan kaucarikan obat lagi,” jawabku. “ Seandainya aku harus
mencaci-maki. Tiba-tiba kakinya diinjakkan ke kepalaku. buta, tiada pula aku akan mengeluh. Aku ingin mati.”
Senen tersedu.
Selang beberapa bulan kemudian ketika kurasa mataku tidak akan Sembuh lagi,
malam-malam Senen kupanggil mendekat.
“Nen,” kataku sabar. “Kukira permohonanku kepada Yang Maha Kuasa telah
Darahku tersirap. Amarahku bangkit. Dengan kekuatan penghabisan keris terkabul. Walaupun aku beum dipanggil untuk menghadap ke alam sana, tapi
kutusukkan ke pinggangnya. mataku sudah tak dapat lagi melihat dunia kini. Mataku telah buta, Aku tak dapat
Lelaki itu mengaduh, “Belum mati dia! Bunuh sekarang!” perintahnya. lagi memandang rumahku yang besar, kudaku yang gagah dan Gunung Merapi yang
Bertubi-tubi pukulan kayu menghujani tubuhku yang sudah terkapar. Sebuah indah.”
pukulan dengan pangkal bambu jatuh di tanganku. Kerisku terlepas. Ketika tanganku Kuusap kepala Senen.
hendak meraihnya kembali, senjata pusaka itu sudah tersambar dengan pemukul “Jika aku sudah tidak dapat lagi memandang keindahan dunia ini, tiada lain lagi
kayu. Terdengar suaranya berdencang di kegelapan malam. Saat itu juga aku merasa artinya, bahwa aku telah diperintahkan untuk mengalihkan pandangan ke dunia
akan tewas. yang baka. Akan kulakukan perintah ini, Nen. Entah berapa lama aku harus belajar
Sambil memegang pinggangnya yang berdarah, lelaki itu mendekat lagi. Belati dan berlatih memusatkan pandang ke arah dunia baru itu. Mudah-mudahan tiada
dihunusnya, dan sambil mulutnya menyumpahkan segala cacian, ditusukkannya akan lama lagi aku diijinkan melangkahkan kaki memasuki dunia baru yang
belati itu ke mata kananku. “ini upahmu!” serunya. Belum puas, sekali lagi kurindukan itu.”
ditusukkannya belati ke mata kiriku. Kepada Senen kuperintahkan untuk menjual segala barang milikku, mas intan
Aku sudah tak ingat. dan segala harta-benda. Kepada fihak keraton aku mengajukan permohonan
Kapan aku sadar, badanku sudah terbaring di tempat tidur rumahku, dengan berhenti. Akhirnya rumah dan kudaku kurelakan untuk dijual.
mata yang tak kuasa kubuka. Darah yang mengalir dari mata belum juga kering. Uang hasil penjualan kubagi-bagikan kepada sanak keluarga. Sisanya kubelikan
Kudengar suara Senen yang berada di dekatku, tangannya memijit-mijit tangan dan sebuah rumah kecil di desa Paras, sebuah dusun di puncak Gunung Merapi . Ingin
kakiku. aku tinggal di tempat itu hingga ajalku. Senen dan orangtuanya ternyata tidak mau
“nDoro . . . . . Saya Senen, nDoro . . . . .,” kudengar suaranya. Kudengar ketinggalan, ikut bersamaku tinggal menetap di desa sunyi.
kemudian suara isak tangisnya. Entah sampai berapa lama aku hidup di puncak Mearapi. Ketika baru setahun,
“Aku ingin mati, Nen,” kataku sambil memegang bahu Senen.” Aku masih dua tahun, tiga tahun, kiranya aku masih sanggup menghitung. Tapi setelah windu,
sanggup menahan sakit, tapi aku tak sanggup menahan malu.” berganti windu, ingatanku tak sanggup lagi menghitung. Emboknya Senen meninggal
Senen makin terisak. karena penyakit tua. Bahkan ajalnya Senen – ya, abdiku yang setia, aku masih
Aku merasa diriku sudah tak berharga lagi. Sungguh, aku yang dulu selalu sempat mengantarkan samapi ke kuburnya. Isterinya Senen yang berasal dari
membanggakan diri sebagai seorang bangsawan yang dermawan, kini kiranya hanya Boyolali pulang ke tempat asalanya, tapi kadangkala masih menengok aku ke Paras.
sesosok kerangka belaka. Ah, pengalaman apa lagi yang belum kulalui?
Lebih dari sebulan aku terbaring dengan perasaan demikian itu. Tiada berkawan hidup memaksa aku harus mencari makan sendiri. Barang milik
Kapan aku sanggup bangkit dari pembaringan, kemudian sanggup pula telah habis, sedang kesanggupan mencari makan hanya sebagai tukang pijit. Seperti
menegakkan kaki, ternyata mataku masih sakit. Bukan saja sakit, untuk melihat pun sudah ditakdirkan, Senen dahulu semasa hidupnya di kala sanggang selalu memijit
tiada mampu sama sekali. Sampai aku dapat berjalan keluar dari kamar pun, mataku badanku, kini sepeninggalnya pun masih mewariskan kepandaian memijit padaku.
tetap terpejam. Aku berjalan dengan tangan teracung ke depan untuk mencari Dan entah berapa lama pula aku hidup sebagai tukang pijit dan tukang urut di
pegangan, agar jangan sampai kaki terantuk atau tubuh tertumbuk sesuatu. desa Paras. Sudah tentu tak banyak orang desa yang memerlukan pijit. Tapi apakah
Selanjutnya aku terpaksa menggunakan tongkat sebagai pegangan dan pedoman. kebutuhanku, selain bertahan hidup samapi hari penghabisan? Sungguh lama aku
“Obat apa lagi yang harus saya cari, nDoro?” tanya Senen berkali-kali.
6
harus bertahan di puncak Merapi gunung yang selalu menjadi lamunan mataku jika “Lho, Tinah? Tinah? Engkau. Nah?” seruku. Aku bangkit. Buru-buru tongkatku
aku ke luar kota dengan kudaku dahulu. hendak kupegang, tetapi terpukul oleh pergelangan tanganku sendiri. Tongkat itu
Sekalipun dengan tabah aku sengaja melemparkan jasadku ke tempat terpencil jatuh di bawah bale-bale. “Ke mari Nah, aku di sini!” seruku tak sabar.
ini, tapi sekali aku terhenyak juga mendengarkan angka perhitungan tahun dari “Di mana ndorobei? Di mana” tanya Tiah.
seseorang guru du Banyudono yang sekali sebulan pulang ke desanya, Paras. Dengan tangan teracung ke depan tanpa tongkat dan kaki menelusur tanah,
Kuhitung dalam hati – sudah lebih dari lima puluh tahun aku bersunyi diri di puncak aku berjalan menuju arah suara Tinah.
Merapi. Jaman telah silih berganti, tapi ragaku masih bernafas, menunggu-nunggu Belum sampai di pintu, suara Tinah menyambung lagi: “Di mana nDoro? Saya
panggilan yang tak kunjung tiba, tak tahu di mana nDoro.”
Langganan yang datang semakin berkurang. Hidupku pun semakin terlantar. “Di sini, Nah,” jawabku segera
Seandainya aku membunuh diri, tentu merupakan jalan yang paling mudah untuk “Saya tak dapat melihat, Ndoro,” sahut Tinah. “Saya sudah buta! Saya sudah
menutup riwayat hidupku. Tapi tak ingin aku menghadap dia tanpa panggilanNya. buta seperti nDorobei.”
Karenanya siang malam aku selalu membuka telinga untuk menangkap suara Kujemput engkau, Nah,” kataku.
panggilan itu. Belum sampai tiga lagkah, tanganku bertatapan dengan tangan Tinah. Tangan
Timbul niatku kembali ke Solo, meneruskan pula penghidupan sebagi tukang kami berdua berantuk. Lalu berpegangan erat-erat. Kami berdua berangkulan. Baru
pijit. Kukira tiada lagi orang kkota yang masih ingat kepada lakon hidupku dulu. sekali itu kami berangkulan, tapi sam-sama telah buta.
Entah di mana nanti aku berteduh, kukira penderitaanku akan menjadi pengantar Kudengar isaknya. Kepalanya bersandar pada dadaku.
penghabisan bagi sejarah hayatku. “Mari duduk di sini, Nah,” ajakku sambil menuntun Tinah.
Sejak dua tahun yang lalu aku berada lagi di kota solo. Semua sanak keluarga, Riwayat hidup Tinah yang dikisiahkan kepadaku membuat hatiku pedih. Setelah
priyayi-priyayi dan sahabat telah tiada lagi. Adapun orang yang datang berpijit tiada diikat tangannya dibawah pohon nagka malam-malam dulu ketika hendak kuantar
seorang pun yang mengenalku. Tidak aneh, mereka itu masih kanak-kanak ketika pulang, Tinah diseret oleh anak saudagar Kemlayan ke desa Tanjunganom, sebuah
aku dulu tinggal di Kratonan. Mereka ini pun sekarang sudah pada tua. desa di sebelah selatan kota; kemudian digelandang lagi sampai di desa Baki. Ia
Tiga bulan sejak kedatanganku di kampung Nirbitan, aku mulai mendapat tersiksa hingga pingsan, Mungkin dikira telah mati, tubuhnya dilemparkan ke tengah
langganan yang lumayan. Mereka pada umumnya memberikan pujian akan ;lumpur sawah.
kehalusan ulasan tanganku. Paginya tubuhnya ditemukan oleh seorang petani, dirawat hingga sembuh.
Pada suatu malam – setahun yang lalu kira-kira – seperti biasa aku lagi duduk Segala pertanyaan yang diajukan kepadanya tak sepatah pun terjawab.
sendiri. Tiba-tiba terdengar suara orang yang mengetuk pintu. Belum terkancing Setelah didengarnya lamt-lamat berita tentang diriku yang telah pergi
pintu itu, hanya tertutup saja. Menggerit suara pintu terbuka. meninggalkan kota Sola tanpa tujuan yang pasti, Tinah dengan diam-diam pula pergi
“Ndorobei, nDorobei . . . .,” suara orang itu. meninggalkan rumah petani itu tanpa tujuan. Perjalan ke arah timur akhirnya
“O, siapa itu?” tanyaku kaget karena panggilan ndorobei itu. “Silakan masuk. sampai ke Ngawi, selanjutnya sampai pula di Madiun. Di kota itu ia mencari
Memerlukan pijit barangkali?” pekerjaan sebagai buruh batik.
Sesungguhnya aku terkejut karena panggilan ndorobei itu. Sejak aku pindah ke Tinah kembali ke Solo setelah tua. Dicarinya rumah anak sepupunya di
Paras dulu, aku telah meminta kepada Senen untuk tidak memanggilku dengan gelar Purwosari untuk menitipkan badan. Tinah yakin bahwa aku pasti telah meninggal.
bangsawan itu, semata-mata untuk menghilangkan jejak. Karena itu betapa kagetnya ketika diberitahu oleh anak sepupunya, bahwa aku
“Ndorobei, saya yang datang,” suara itu lagi. Nadanya menaik. masih hidup sebagai seorang tukang pijit di kampung Nirbitan. Tukang pijit yang
“Ya, diapakah? Mari, silahkan masuk dan duduk ke mari,” sahutku. buta dan tua renta. Si anak sepupu itu mengatakan pernah datang padaku hendak
“Saya yang datang, nDoro. Tinah! Saya Tinah!” Suara itu kian menaik, penuh berpijit.
getar. Memang aku pernah kedatangan seorang tamu, yang sudah terhitung tua juga
usianya. Sebagai orang yang pernah bekerja sebagai juru taman di kebun binatang
Sriwedari, ia mempunyai banyak kenangan-kenangan di masa lalu. Ia suka pada
7
cerita-cerita lama, yang membuatku terlena juga untuk mengungkapkan kisah-kisah meraba segala wujud, merangkul segala gerak alam. Aku lantas menundukkan
tua. Mungkin karena itulah ia dapat menangkap dan menghubung-hubungkan kepala kepada Yang Satu.
peristiwa-peristiwa dari sejarah hidup pribadiku. Aku Menyembah . . . . .
Tinah demi mendengar cerita si anak sepupu itu badannya semakin melemah. Bagaikan tersentak aku tersadar kembali. Tai badanku sudah terbaring di
Tubuhnya terbaring layu di atas bale-bale di pojok dapur. bale-bale. Di sampingu susuk seorang penjual rokok yang biasa berdagang di juka
Pada suatu hari setelah orang-orang selesai masak, Tinah melihat di tempat rumah. Dia bercerita, bahwa semula dari tempatnya berdagang, tampak aku sedang
perapian masih terdapat arang yang membara. Dengan susah payah ia bangkit duduk di bale-bale. Katanya; aku duduk bersila, tanganku sedekap. Kemudian aku
menuju perapian. Dengan sempit dipungutnya bara itu, tapi karena tangannya tampak sujud, menyembah. Selanjutnya aku terjatuh dari bale-bale. Ketika ia buru-
sudah terlalu lemah, bara itu berkali-kali terjatuh dari sampitnya. Tak sabar lagi buru mendapatkan diriku, aku sudah pingsan.
dipungutnya bara dengan tangan kanannya. Sejak itu, sejak senja itu, hatiku terasa begitu ringan dan segar, penuh
“nDorobei, tunggu saya di dunia yang kelam . . . .,” kata Tinah, seraya sukacita. Aku telah menerima pertanda panggilanNya.
mencucukkan bara api itu pada kedua belah matanya. Ia tidak menjerit sakit. Tinah Karena begitu besar dan meluap sukacitaku, maka segala riwayat hidupku
jadi buta. kuceritakanlah malam ini.
Malamnya secara diam-diam ia pergi meninggalkan rumah. Hanya berpedoman
pada ingatan arah jalan, ia meninggalkan kampung Purwosari menuju Nirbitan. SEKUEN CERPEN AWAN-AWAN SENJA
Setelah kesasar di Tipes, ia mendapatkan pertolongan orang, yang memanggilkan
becak sekalian dengan upahnya. 1.Usia belum 25 tahun ndorobei sudah menjadi pegawai keraton
Malam itu Tinah sampai di rumahku. Kami bertemu lagi setelah berpisah lebih 2. Orang-orang menunduk saat berbicara dengan Ndorobei karena dia seorang
dari enam puluh tahun. Ya, kami bertemu kembali sesudah buta. Apa yang tampak? bangsawan
Apa yang nampak di mata batinku? Wujud Tinah! Benar, wujud Tinah! Tinah yang 3. Pagi hari Ndorobei menyuruh Senen untuk menyiapkan Duren untuk
tenang wajahnya, bersih kulit mukanya, Tinah yang remaja dengan kain Tirtateja berpesiar ke alun2 selatan
seperti pada waktu kami berjalan bersama-sama, malam-malam dahulu di bawah 4. Duren melihat seorang gadis
bulan alit dan bintang-bintang musim kemarau – lebih dari setengah abad yang lalu. 5. Duren membuat gadis itu ketakutan
Demikianlah Yang Maha Pengasih member aku penglihatan lagi! Aku diijinkan 6. Ndorobei meminta maaf atas perlakuan Duren
melihat wajah Tinah yang masih remaja! 7. Setelah beristirahat dan makan dirumah Wedana Bekonang Ndorobei
Tapi hanya tujuh hari Tinah hidup Bersamaku. Ia meninggal di bale-bale tempat kembali ke kota
tidurku. Ruhnya kuantar dengan samadi, dengan pengharapan dan permohonan 8. Ndorobei bertemu gadis itu lagi
agar aku dapat segera diperkenankan menyusulnya, bertemu dalam dunia yang 9. Ndorobei menjatuhkan cemetinya agar biasa berbicara dengan gadis itu
terang-benderang, dunia cerah tanpa kegelapan, dunia tanpa kebutaan. 10. Dimas Pradopo seorang priyayi dari seraten mengajak Ndorobei untuk
Setahun sudah berlalu sejak Tinah meninggal. Selama itu aku tunggu-tunggu menghadiri keramayan tayuban dikampung Notokusuman
hariku yang penghabisan. Kukira, barangkali, mungkin – ah, aku malah yakin, bahwa 11. Ndorobei menanyakan tentang gadis itu kepada Senen
hari yang kutunggu-tunggu itu tiada lama lagi bakal datang. Pertandanya telah 12. Ndorobei senang karena tau bahwa Tina merupakan seorang gadis yang
Nampak. sopan
Tadi sore aku duduk sedekap di bale-bale menikmati kesejukan suasana. Kukira 13. Dimas Pradopo datang untuk mengajak Ndorobei ke tayuban
senjakala menyepuh langit dan bumi dengan pesona warnanya. Dan kenanganku 14. Ndorobei menolak ajakan Dimas Pradopo
melayang pada arakan awan-awan senja yang mengambang di puncak Merapi. 15. Tinah sudah di jodohkan oleh mbok Joyo.
Tiba-tiba badanku terasa gemetar. Segala inderak seperi terlepas dari ragaku. 16. Ndorobei kecewa saat mendengar Tina sudah dijodohkan
Yang tinggal hanya perasaan-perasaan tunggal, menyeluruh, semesta. Karena 17. Ndorobei pergi ke tempat saat bertemu Tina pertama kali dengan maksud
kesemestaan itulah aku bahkan dapat melihat segala warna, mencium segala ganda, untuk menemuinya lagi
8
18. Ndorobei menyuruh Senen untuk memanggil Tina dan mboknya NILAI-NILAI KEBUDAYAAN AWAN-AWAN SENJA
19. ndorobei menyuruh Tina dan mboknya untuk tinggal di rumah kecilnya
20. Mbok Joyo menolak tawaran Ndorobei untuk tinggal dirumah Ndorobei. 1. Selalu tunduk kepada orang yang memiliki kasta tinggi sebagai tanda
21. Sudah tujuh hari Ndorobei tidak pergi dinas rasa hormat
22. Tinah datang sambil menangis 2. Kebiasaan atau hobi berkuda ndorobei
23. Tinah tidak rela dijodohkan 3. Kebiasaan pedagang menyebrangi sungai menuju ke kota
24. Sudah seminggu lebih Tinah tinggal di rumah kecil Ndorobei 4. Kebiasaan mengikuti keramaian tayuban di rumah- rumah priyayi
25. Ndorobei tidak bisa bersama Tinah karena perbedaan kasta. 5. Kebiasaan sehabis makan malam, ndoro duduk di kursi malas pendapa
26. Ndorobei mengantar Tinah pulang ke kampungnya 6. Kebiasaan ndoro membawa keris Kyai Bramoro peninggalan almarhum
27. Tunangan Tinah muncul dan menghadang jalan Ndorobei ayahnya
28. Tinah diikat di bawah pohon nangka 7. Masyarakat pada cerpen ini terbiasa memandang kasta,sehingga orang-
29. Ndorobei disergap dan dipukuli orang yang memiliki kasta rendah hanya dapat mendengar perkataan
30. Ndorobei sanggup menahan sakit tapi tidak sanggup menahan malu orang berkasta tinggi, contohnya seperti penodohan paksa dan juga
31. Ndorobei buta selir
32. Ndorobei menjual semua harta miliknya
33. Uang hasil menjual dia bagikan kepada sanak keluarga.
34. Sisa uangnya dia membeli sebuah rumah didesa paras
35. Mbok Senen dan Senen meninggal dunia
36. Ndorobei menjadi tukang pijat
37. Langganan berkurang, Ndorobei memutuskan untuk kembali ke solo
38. Tinah datang menemui Ndorobei
39. Tinah rela menjadi buta untuk Ndorobei
40. Tinah meninggal dunia
41. Ndorobei meninggal setahun setelah Tinah meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai