Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau dan


memiliki jumlah penduduk yang tersebar di berbagai pulau (Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia, 2010). Setiap suku di Indonesia mempunyai adat
istiadat yang berbeda-beda. Dengan banyaknya pulau dan sebaran penduduk
tersebut, Indonesia dapat dikatakan negara yang banyak memiliki keragaman,
mulai dari suku, ras, agama, budaya, bahasa yang tersebar dari Sabang sampai
Marauke, diantaranya adalah suku Jawa, Sunda, Melayu, Madura, serta suku
Batak.

Kebudayaan pada suatu daerah berbeda dengan yang lainnya. Hal ini
karena proses terbentuknya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh faktor iklim, letak
geografis, masyarakat dan keadaan alam. Suku Batak terdiri dari Batak Toba,
Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-pak, Batak Tapanuli dan Batak
Karo. Suku Batak Karo berasal dari Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo serta
Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Dairi, Aceh Tenggara, dan
Kotamadya Medan.

Suku Batak Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo,
Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di
Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu
wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Kebudayaan.

Batak Karo terdiri dari bahasa,marga, adat istiadat, dan pakaian adatnya
didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasaan emas
yang bisa membedakannya dengan suku etnik yang lainnya. Salah satusuku Batak
Karo memiliki adat istiadat yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya yang
dilaksanakan oleh suku Batak Karo sehingga menjadi suatu budaya Karo,
misalnya ertutur/perkenalan (Bangun, 1986).

1
Suku Batak Karo memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan suku
lain, seperti penggunaan marga, bahasa, pakaian adat, makanan, hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan, sistem kepercayaan, kesenian, sistem
gotongroyong, serta adat istiadatnya (Bangun, 1990).

Budaya Batak Karo dapat terus ada karena diturunkan oleh orang tua
kepada anaknya/keturunannya. Ketika masih kecil, anak-anak sering dibawa
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan adat terutama pesta pernikahan, hal ini
dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai moral budaya Batak Karo kepada
anak-anaknya sejak kecil sehingga dapat terus mewarisi nilai-nilai budaya Batak
Karo. Walaupun anak-anak tersebut belum dapat memahami makna yang tersirat
dalam setiap bentuk kegiatan budaya namun semakin dewasa pemahaman dan
kemampuan berpikirnya tentang budaya Karo akan semakin terinternalisasi dalam
dirinya. Nilai-nilai moral budaya Batak Karo tersebut disebut dengan values
budaya Batak Karo.

Suku Batak Karo memiliki adat istiadat yang merupakan pelengkap dari
pelaksanaan unsur-unsur lain dari budaya, sehingga kebudayaan daerah Batak
Karo masih tetap terlestari atau tersimpan. Untuk menjaga keutuhan dan
kelangsungan adat istiadat ini, maka dalam masyarakat Batak Karo ada yang
dipilih sebagai ketua adatnya atau sering disebut dengan tokoh adat. Kebanyakan
tokoh adat tersebut terdapat pada kelurahan Titi Rante Medan Sumatera utara,
pada kelurahan lain tidak terdapat tokoh adatnya.

1.2 Rumusan Masalah

Dilihat dari latar belakang diatas yang menyatakan bahwa suku Karo
memiliki kebudayaan atau adat-istiadat yang berbeda dengan suku yang lainnya.
Diantaranya yaitu adanya perbedaan adat-istiadat dalam kelahiran. Dan adanya
perbedaan penggunaan istilah dalam suku karo mengenai kelahiran. Yang akan
dibahas pada makalah ini yaitu mengenai apa-apa saja istilah yang digunakan
dalam bahasa karo mengenai kelahiran ?

2
1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana adat-istiadat pada suku karo dalam


kelahiran dan untuk mengetahui istilah-istilah apa saja yang digunakan dalam
bahasa karo mengenai kelahiran.

14 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Pasar MMTC, Jalan William Iskandar


Medan. Peneliti memilih lokasi ini, karena di daerah ini masih terdapat beberapa
orang yang bersuku karo.

Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat


yang bersuku karo yang mengetahui setidaknya mengenai kebudayaan karo itu
sendiri dan istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa kari mengenai kelahiran.

1.5 Waktu Penelitian

Penelitian Mini Riset mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam


bahasa kari mengenai kelahiran dilakukan tepat pada hari kamis, tepatnya pada
tanggal 4 April 2019.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4
BAB III

HASIL PENELITIAN

Kelahiran merupakan awal kehidupan di dunia ini, oleh karena itu


kelahiran mendapat perhatian yang amat besar pada masyarakat karo. Orang karo
beranggapan bahwa permulaan yang baik akan membawa hasil yang baik pula.

Adapun kebudayan-kebudayaan suku karo pada saat kelahiran yang telah


kami dapatkan dari hasil wawancara penelitian. Diantaranya yaitu :

Terdapat tradisi budaya yang disebut ‘Mesur-mesuri’ yang jika


menurut asal katanya, dari kata besur (kenyang), maka dapat diartikan
sebagai sebuah tradisi budaya untuk memberi makan sekenyangnya pada calon
ibu yang sedang hamil 7 bulan beserta suaminya agar sehat jiwa dan raganya
sehingga siap memasuki fase baru, sebagai ibu dan ayah usai kelahiran sang bayi
nantinya.

Tujuan dari tradisi mesur-mesuri ini ialah untuk mempersiapkan si ibu,


secara psikologis agar selamat dalam melahirkan bayinya nanti. Jika ada beban-
beban psikologis/batin yang dialami oleh calon ibu dalam rumah tangganya, baik
terhadap suami, mertua dan keluarga lainnya, diharapkan setelah ritual mesur-
mesuri ini dilaksanakan, maka semua beban itu akan hilang.

Dalam acara ini disajikan berbagai macam makanan dan buah yang
disukai oleh pihak calon ibu dan ayah (istri dan saya), untuk dinikmati
sepuasnya/sekenyangnya. Semua makanan disiapkan oleh pihak keluarga ibu dari
istri saya. Dalam adat Karo disebut sebagai pihak Singalo Bere-bere dan Singalo
Perkempun.

Umumnya makanan yang disajikan adalah masakan khas Karo, yang


utama adalah seekor ayam kampung utuh yang digulai khas Karo, 2 butir telur
ayam kampung yang direbus, ayam tasak telu, juga kue khas Karo seperti cimpa
unung-unung dan cimpa tuang, lemang, buah kelapa muda utuh dan lain-lainnya.

5
Suami dan istri diberi kesempatan untuk makan bersama terlebih dahulu,
dengan beralaskan tikar putih bersih (amak mentar). Mereka berdua dipersilahkan
untuk memakan apa saja yang disajikan lebih dulu, barulah kemudian disusul
pihak keluarga lainnya untuk makan bersama. Biasanya juga saling menyuapi
pasangan, agar sehat jiwa dan raga, tidak ada beban batin terhadap pasangan
menuju masa-masa persalinan nantinya.

Dalam adat istiadat Batak Karo, tercakuplah hampir semua kegiatan


manusia mulai dari upacara tujuh bulanan bagi kelahiran anak pertama, kelahiran,
membawa bayi ke pancuran, ke ladang, memotong rambut.

Selain informasi tentang kebudayaan-kebudayaan pada kelahiran dalam


suku karo yang didapatkan dari jasil wawancara, adapun istilah-istilah mengenai
kelahiran pada suku karo, diantaranya yaitu :

Ada beberapa ramuan dalam suku karo yang ada hubungannya dengan
kelahiran, ramuan tersebut yaitu :

ambar ngerawis
Pulungena :
Bunga gadung mbelin
Bunga megara
Bunga-bunga enda digatgati, itama ku bas mangkung si risi lau, kenca e i inem

artinya :
Obat melahirkan:
Ramuannya :
Bunga ubi si arang
Bunga Kembang sepatu
Bunga-bunga ini di cincang, ditaruh kedalam mangkuk yang berisi air, sesudah itu
airnya diminum.

Obat diatas diberikan diminum oleh wanita hamil yang segera akan
melahirkan agar proses melahirkan itu berjalan lancar. Adapun ramuan obat yang
dimaksud diatas sebagai berikut:

6
Tambar enggo mupur

Pulungenna :

Buah bahing

Buah Kelawas

Buah Kaciwer

Buah Kembiri

Buah Lada

Buah lasuna

Buah pia

Buah Jerango

Buah kuning gajah

Buah Temu

Buah kuning

Buah sabi

Kerina pulungen enda i gilih menuli-mehuli ; itama sitik lau; kenca bage
isapuken ku daging si suin e.

Terjemahan:
Obat penguat tubuh wanita yang baru melahirkan
Ramuanya :
Buah Jahe
Buah lengkuas
Buah Cikur
Buah kemiri
Buah merica
Buah bawah putih

7
Buah bawah merah
Buah Jerangau
Buah kunyit gajah
Buah temu lawak
Buah kunyit
Buah sawi

Semua ramuan ini digiling baik-baik; ditaruh sedikit air; sesudah itu
dioleskan ke tubuh orang yang sakit itu. sering pula terjadi bahwa payudara
wanita yang baru melahirkan itu, terutama wanita yang baru pertama melahirkan,
tidak atau sukar mengeluarkan air susu. Hal ini tidak dapat dibiarkan berlarut-
larut, sebab sang bayi yang baru lahir itu membutuhkannya.

Adapun obat yang diperlukan untuk ini adalah :


Tambar la Erlau cucu.

Ibuat bunga tepu kerbo.

ireme bas lau, kenca e i inem launa.

Terjemahannya :
Obat tidak mempunyai asi
Diambil bunga mombang kerbau.
Direndam di dalam air, sesudah itu diminum airnya.

Dan segera setelah melahirkan, dibuat pulalah tambar enggo mupur, yaitu


obat yang berfungsi memperkuat tubuh wanita yang baru melahirkan yang
memang agak lemah. Oleh karena itu perlu sekali untuk memulihkan
kesehatannya.

Istilah yang paling sering digunakan oleh suku karo mengenai kelahiran :

1. Nitik Wari
Pada saat melahirkan sang bayi, memang banyak wanita yang menjerit-jeri
keseakitan. Untuk menghibur maka wanita-wanita tua yang menangani kelahiran
itu  berkata : Tahanken kal kadih. bage kin nge. Nelenca bagi si nelen galuh

8
tasak, ntabeh jananh ntebu. Ngutahkensa bagi si ngutahken pungga, merisi janah
mesui.
Yang berarti : Tahankan benar-benar kawan. memang begitulah. Menelannya
ibarat menelan pisang masak, enak lagi manis. Memuntahkan nya seperti
memuntahkan batu asahan, kesat lagi sakit.

Ucapan sang wanita tua itu merupakan suatu kiasan yang kira-kira
bermakna, bahwa pada saat mereka memasuki pelaminan, mereka senang dan
gembira lupa segala kesusahan, tetapi setelah hamil dan melahirkan, sang ibu
menderita sakit dan pahit getir.

Segera setelah sang bayi lahir kedunia, setelah tali pusatnya dipotong
dengan sembilu, setelah dimandikan dan dibungkus dengan kain, maka orang tua-
tua meminta bantuan sang guru atau sang duku untuk nitik wari "menentukan
hari". Kepada sang dukun ditanyakan apakah bayi itu nunda atau tidak. Yang
dimaksud dengan istilah nunda ialah " mendatangkan bahaya kematian bagi ayah
atau ibunya".

Sang dukun pun memeriksa bagaimana letak sang bayi waktu lahir serta
mencocokannya dengan katika si telupuluh yang terdapat pada masyarakat karo,
yaitu :

1. Aditia
2. Suma Pultak
3. Nggara telu wari
4. Budaha
5. Beraspati pultak
6. Cukera enem berngi
7. Belah naik
8. Aditia Naik
9. Suwa siwah
10. Nggara sepuluh
11. Budaha ngadep
12. Beraspati tangkep

9
13. Cukera lau
14. Belah Purnama
15. Tula 16. Suma cepik
17. Nggara enggo tula
18. Budaha Gok
19. Beraspati sepuluh siwah
20. Cukera duapuluh
21. Belah turun
22. Aditia Turun
23. Suma
24. Nggara si mbelin
25. Budaha Medem 2
6. Beraspati medem
27. Cukara mate
28. Mate bulan
29. Dalin Bulan
30. Sami rasa

Ada masa dahulu, anak yang nunda itu harus dibuang ke hutan atau


dihanyutkan ke sungai, agar ayah atau ibunya selamat dari kematian. Memang hal
ini memilukan hati tetapi mana yang lebih berharga: ayah ibu ataukah anak yang
baru lahir.

2. Dumbarat.

Segera setelah kelahiran bayi tersebut maka sang ibu


biasanya dumbarat "tidur dekat api". Sang ibu beserta sang bayi berbaring dekat
api yang telah dipasang di dapur rumah adat atau rumah siwaluh jabu "rumah
yang terdiri dari delapan keluarga".

Api ini berfungsi memanasi tubuh sang ibu dan sang bayi. Dumbarat ini
biasanya berlangsung selama dua tau tiga minggu. Selama dumbarat ini sang ibu

10
diberi makan bubur nasi yang dibubuhi garam serta merica. Dengan memakan
bubur ini diharapkan agar air susu sang ibu menjadi banyak.

Sang ibu yang sedang dumbarat  ini dilarang mengadakan gerakan-gerakan


yang tidak perlu. Sang ibu tidak boleh pergi ke ture "beranda" atau ke kesain
"halaman", kalau tidak perlu sekali.

Untuk melayani sang ibu yang baru melahirkan serta dumbarat ini,


biasanya ada wanita tua yang bertindak sebagai penjaga dan pelayan.

3. Tangkal 

Beberapa saat setelah sang bayi lahir, perlu dibuat tangkal menolak bala.


Menurut kepercayaan orang karo, begu "hantu" dan begu ganjang   "hantu
panjang / hantu tinggi" suka sekali mengganggu sang ibu dan sang bayi.

Untuk menolak serta menghindarkan gangguan hantu-hantu itu, maka


dibuatlah beberapa ikatan yang terdiri dari daun kalinjuhang, tujung batang lidi
dan daun sangka sempilet. Bahan-bahan tersebut diikat dengan benang benalu
"suatu benang yang berwarna merah-hitam-putih". Kemudian disemuri
dengan belopenurungi   "suatu ramuan yang terdiri dari sirih, bawah merah,
bawah putih, merica, gambir, dan kapur". Banyaknya ikatan tersebut tergantung
pada keperluan.

Dibagian tengah di atas tiap-tiap pintu rumah tempat lahir sang bayi itu,
digantungkan sebuat ikatan tersebut. Dengan berbuat demikian, orang percaya
bahwa hantu-hantu yang ingin merenggut nyawa sang ibu dan sang bayi, tidak
berani lagi mendekat.

Sebuah ikatan ditempatkan di dekat wanita yang dumbarat itu. Tiap kali


sang wanita turun dari rumah, baik pada siang hari ataupun malam hari, maka
ikatan tersebut harus tetap ada ditangannya, agar dia terhindar dari malapetaka.

Menurut kepercayaan orang karo, purih tonggal   "lidi tunggal" yang


sudah dimanterai oleh sang dukun, mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk

11
mengusir begu   dan begu ganjang yang sangat ganas itu, sehingga tidak berani
lagi mendekati serta menyiksa sang ibu beserta sang bayi yang baru lahir itu.
Demikianlah setiap kali sang ibu ada keperluan pada malam hari keluar rumah,
misalnya ke ture   "beranda rumah adat" maka terlebih dahulu dilemparkan bara
api keluar rumah  atau seseorang wanita lain disuruh terlebih dahulu ke luar
rumah membawa api, sebagai alat untuk mengusir begu dan  begu ganjang. Purih
tonggal  itu harus tetap dibawa oleh sang ibu yang baru melahirkan itu, sampai
upacara pejuma-jumaken selesai.

4.  Petelayoken

Paling lambat delapan hari setelah sang bayi lahir kedunia, diadakanlah
upacara adat petelayoken, yaitu upacara membawa sang ibu dan sang bayi ke
sungai.

Sarana-sarana atau bahan-bahan yang harus disediakan sebelum turun ke sungai,


antara lain :
a. Sebuah tongkat bagi sang ibu yang baru melahirkan itu dan tongkat ini
diperbuat dari batang beski "pimping" yang diukir dengan ukiran tertentu atau
diperbuat dari pangguh  "bagian yang keras dari pohon enau". Tongkat ini harus
terlebih dahulu dimaterai oleh sang dukun. Tongkat ini dipakai oleh sang ibu
ketika turun ke sungai.
b. Purih Tonggal  "lidi tunggal".
c. Dua jenis sirih, yaitu belo cawir  "sirih yang baik" dan belo baja minak  "sirih
bercampur daun baja dan minyak kelapa" yang banyaknya menurut kebutuhan.
d. Pundang,  yaitu sobekan-sobekan kain yang dipilin dan dibakar sehingga
menimbulkan asap dan banyaknya menurut keperluan.
e. Abu dapur yang ditaruh dalam daun keladi.
f. Gantang beru-beru,  yaitu suatu takaran yang terbuat dari ruas bambu
dan gantang beru-beru ini diisi dengan pangir   "lahir".
g. Jerango  "jerangau" yang telah dimaterai oleh sang dukun, untuk menakut-
nakuti serta mengusir begu ganjang.

12
Satu dari setiap jenis yang tersebut pada  c, d, e   diatas, diletakkan pada
setiap simpang jalan yang terdapat pada sepanjang  jalan menuju sungai.
Fungsinya adalah untuk menghalau begu dan begu ganjang, agar si ibu dan sang
bayi terhindar dari gangguannya.

Sang bayi harus digendong ke suangai. Kalau sang bayi berjenis kelamin
pria, maka yang menggendong haruslah maminya, yaitu istri dari kalimbubu, istri
dari saudara laki-laki wanita yang bersalin itu. Menurut adat karo, anak dilaki
"anak laki-laki" dipandang sebagai tuah atau rezeki bagi pihak kalimbubu
"pemberi dara". Menurut adat karo, bila anak laki-laki tersebut telah besar dan
dewasa, maka dia berhak mengawini puteri kalimbubu. Dia adalah pelayan bagi
pihak kalimbubu, dan dengan berlangsungnya perkawinannya dengan
puteri kalimbubu, maka kekerabatan tetap erat.

Kalau sang bayi itu berjenis kelamin wanita, maka yang menggendongnya
turun ke sungai adalah bibinya, yaitu saudara perempuan dari ayah sang bayi.
Menurut adat karo, anak diberu  "anak perempuan" adalah tuah atau rezeki
pihak anak beru  "penerima dara". Anak perempuan ini kelak akan menjadi
suruh-suruhan atau pelayan sang bibi. Dan dapat dikawinkan dengan putera sang
bibi, untuk memperkuat tali kekerabatan yang sudah ada.

Dikala matawari nangkih   "matahari naik", rombongan pun mulailah


berjalan turun ke sungai. Adapun susunan arak-arakan itu sebagai berikut:
Dimuka sekali berjalanlah sang dukun sebagai perintis jalan dan dibelakangnya
menyusul mami (kalau sang bayi itu pria), kemudian ibu sang bayi diiringi kaum
kerabat. Tetapi kalau sang bayi adalah wanita, maka dibelakang sang dukun
berjalanlah ibu sang bayi diikuti oleh bibi yang menggendong bayi itu, diiringi
oleh kaum kerabat.

Turun ke sungai dilangsungkan di waktu matawari nangkih  "matawari


naik"  dengan harapan agar nangkih tuah ras kinibayaken  "naik rezeki dan
kekayaan".

Sesampainya di sungai, maka ibu, bayi, dukun, bidan serta semua yang
ikut pun mandilah dan berlangir. Setelah selesai mandi dan berlangir merekapun

13
pulanglah ke rumah. Sewaktu berjalan pulang ke rumah , susunan arakan sama
saja, kecuali sang dukun yang berjalan dibelakang. Dukun berjalan dibelakang
sekali untuk menjaga gangguan serta serangan begu dan begu ganjang terhadap
sang ibu dan sang bayi.

Setiba di rumah sang dukun menaruh sirip ikan belang mata  "lebar mata /


mata besar"  berserta belo cawir dan belo baja minak ditungku tengah dapur
rumah adat dengan maksud agar rezeki dapur jangan berkurang bahkkan
bertambah. Hal ini dilakukan sebab sang ibu yang baru melahirkan
itu dumbarat beberapa lama dekat dapur itu. Dengan berbuat demikian, dewa
dapur tidak merasa dinodai tempatnya dan tidak merasa kecil hati apalagi sakit
hati.

Sepulang dari sungai mereka pun makan bersama semua, karena memang
capek dan tentu saja merasa lapar. Lauk pauk atau kawan nasi utama diwajibkan
ikan belang mata. Rasa ikan tersebut asin. Dengan memakan ikan yang asin itu
terkandunglah harapan gelah masin kata ibelasken anak e  "agar kata-kata yang
diucapkan anak itu dipercayai, dihargai serta dituruti oleh orang lain" pada masa
mendatang.

Setelah selesai makan, dimulailah memilih nama bagi sang bayi itu. Kalau
menurut sang dukun nama itu adalah baik, maka ditetapkanlah serta diumumkan
kepada para hadirin dengan harapan agar mereka pun masing-masing
menyiarkannya kepada orang lain dikampung itu.

5. Pejuma-jumaken

Empat atau lima hari setelah petelayoken, anak itu dibawa ke ladang atau
kesawah. Anak itu diperkenalkan dengan dasar penghidupan, yaitu pertanian.

Acara adat ini dalam bahasa karo disebut pejuma-jumaken atau erjuma


tiga. Baru setelah pejuma-jumaken ini sang anak dapat di bawa ke tempat-tempat
lain atau ke kampung-kampung lain.

14
Dengan cara peruma-jumaken ini diharapkan agar sang anak kelak dapat
menghargai sawah ladang serta rajin menggarapnya demi kehidupan yang lebih
baik.

6. IketKemudian, setelah upacara pejuma-jumaken itu, maka orang tuanya


mengantarkan anak tersebut ke rumah kalimbubu (kalau anak itu pria) atau ke
rumah anakberu(kalau anak itu wanita).

Kalimbubu atau anak beru yang didatangi itu merasa sangat berbahagia. Biasanya


mereka memberikan duit serpi  "uang logam" kepada anak itu yang mengandung
makna iket  "ikat", supaya anak itu selalu sehat walafiat, jangan sakit-sakitan. Di
samping duit serpi juga diberikan uis perembah  "kain penggendong" yang
mengandung pengertian agar anak itu  nteguh iembah   "kuat digendong", lanjut
serta panjang umurnya , tidak sakit-sakit.

7. Ergunting
Beberapa lama kemudian, setelah gigi anak itu tumbuh, ditetapkanlah hari
buat ergunting  "memotong rambut". Harus diingat benar -benar bahwa hari
ergunting tidak boleh bersamaan dengan hari lahirnya dulu, sebab jika bersamaan
dapat menimbulkan akibat buruk.Kalau anak itu seorang pria, maka yang akan
memotong rambutnya adalah mamanya, yaitu saudara laki-laki ibu anak itu.

Kalau anak itu seorang wanita, maka yang memotong rambutnya adalah
bengkilanya, yaitu suami saudara perempuan ayah anak itu.

Ada sesuatu kepercayaan pada masyarakat karo, bahwa kalau pemotongan


rambut yang pertama sekali tidak dilakukan oleh mama atau bengkila, mungkin
sekali anak itu akan selalu menderita sakit, sebab tendi buk   "roha rambut" anak
itu akan merasa dihina.

Kalau pemotongan rambut pertama kali telah dilakukan oleh mama atau
bengkila, maka pemotongan  rambut selanjutnya dapat dilakukan oleh siapa saja,
dan tidak akan berakibat apa-apa, apalagi akibat buruk.

15
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

4.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

Bangun Tridah, 1986, Manusia Batak Karo. Jakarta: PT Tema Baru. Bungin,


Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja. Grafindo
Persada.

Prof. DR. Henry Guntur  Tarigan  : Percikan Budaya Karo, diterbitkan oleh
yayasan Merga silima, dicetak oleh PT. Kesaint Blanc Indah Corp.

Romer, Dr.  1908 : Bijdrage tot de Geneeskunst der Karo-Bataks.  T.B.G deel 50;
pp 205-287

Tambun, P. 1952 : Adat Istiadat Karo, Jakarta, Balai Pustaka.

17

Anda mungkin juga menyukai