PENDAHULUAN
Kebudayaan pada suatu daerah berbeda dengan yang lainnya. Hal ini
karena proses terbentuknya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh faktor iklim, letak
geografis, masyarakat dan keadaan alam. Suku Batak terdiri dari Batak Toba,
Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-pak, Batak Tapanuli dan Batak
Karo. Suku Batak Karo berasal dari Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo serta
Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Dairi, Aceh Tenggara, dan
Kotamadya Medan.
Suku Batak Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo,
Sumatera Utara, Indonesia. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di
Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu
wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo. Kebudayaan.
Batak Karo terdiri dari bahasa,marga, adat istiadat, dan pakaian adatnya
didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasaan emas
yang bisa membedakannya dengan suku etnik yang lainnya. Salah satusuku Batak
Karo memiliki adat istiadat yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya yang
dilaksanakan oleh suku Batak Karo sehingga menjadi suatu budaya Karo,
misalnya ertutur/perkenalan (Bangun, 1986).
1
Suku Batak Karo memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan suku
lain, seperti penggunaan marga, bahasa, pakaian adat, makanan, hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan, sistem kepercayaan, kesenian, sistem
gotongroyong, serta adat istiadatnya (Bangun, 1990).
Budaya Batak Karo dapat terus ada karena diturunkan oleh orang tua
kepada anaknya/keturunannya. Ketika masih kecil, anak-anak sering dibawa
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan adat terutama pesta pernikahan, hal ini
dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai moral budaya Batak Karo kepada
anak-anaknya sejak kecil sehingga dapat terus mewarisi nilai-nilai budaya Batak
Karo. Walaupun anak-anak tersebut belum dapat memahami makna yang tersirat
dalam setiap bentuk kegiatan budaya namun semakin dewasa pemahaman dan
kemampuan berpikirnya tentang budaya Karo akan semakin terinternalisasi dalam
dirinya. Nilai-nilai moral budaya Batak Karo tersebut disebut dengan values
budaya Batak Karo.
Suku Batak Karo memiliki adat istiadat yang merupakan pelengkap dari
pelaksanaan unsur-unsur lain dari budaya, sehingga kebudayaan daerah Batak
Karo masih tetap terlestari atau tersimpan. Untuk menjaga keutuhan dan
kelangsungan adat istiadat ini, maka dalam masyarakat Batak Karo ada yang
dipilih sebagai ketua adatnya atau sering disebut dengan tokoh adat. Kebanyakan
tokoh adat tersebut terdapat pada kelurahan Titi Rante Medan Sumatera utara,
pada kelurahan lain tidak terdapat tokoh adatnya.
Dilihat dari latar belakang diatas yang menyatakan bahwa suku Karo
memiliki kebudayaan atau adat-istiadat yang berbeda dengan suku yang lainnya.
Diantaranya yaitu adanya perbedaan adat-istiadat dalam kelahiran. Dan adanya
perbedaan penggunaan istilah dalam suku karo mengenai kelahiran. Yang akan
dibahas pada makalah ini yaitu mengenai apa-apa saja istilah yang digunakan
dalam bahasa karo mengenai kelahiran ?
2
1.3 Tujuan Penelitian
14 Lokasi Penelitian
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
BAB III
HASIL PENELITIAN
Dalam acara ini disajikan berbagai macam makanan dan buah yang
disukai oleh pihak calon ibu dan ayah (istri dan saya), untuk dinikmati
sepuasnya/sekenyangnya. Semua makanan disiapkan oleh pihak keluarga ibu dari
istri saya. Dalam adat Karo disebut sebagai pihak Singalo Bere-bere dan Singalo
Perkempun.
5
Suami dan istri diberi kesempatan untuk makan bersama terlebih dahulu,
dengan beralaskan tikar putih bersih (amak mentar). Mereka berdua dipersilahkan
untuk memakan apa saja yang disajikan lebih dulu, barulah kemudian disusul
pihak keluarga lainnya untuk makan bersama. Biasanya juga saling menyuapi
pasangan, agar sehat jiwa dan raga, tidak ada beban batin terhadap pasangan
menuju masa-masa persalinan nantinya.
Ada beberapa ramuan dalam suku karo yang ada hubungannya dengan
kelahiran, ramuan tersebut yaitu :
ambar ngerawis
Pulungena :
Bunga gadung mbelin
Bunga megara
Bunga-bunga enda digatgati, itama ku bas mangkung si risi lau, kenca e i inem
artinya :
Obat melahirkan:
Ramuannya :
Bunga ubi si arang
Bunga Kembang sepatu
Bunga-bunga ini di cincang, ditaruh kedalam mangkuk yang berisi air, sesudah itu
airnya diminum.
Obat diatas diberikan diminum oleh wanita hamil yang segera akan
melahirkan agar proses melahirkan itu berjalan lancar. Adapun ramuan obat yang
dimaksud diatas sebagai berikut:
6
Tambar enggo mupur
Pulungenna :
Buah bahing
Buah Kelawas
Buah Kaciwer
Buah Kembiri
Buah Lada
Buah lasuna
Buah pia
Buah Jerango
Buah Temu
Buah kuning
Buah sabi
Kerina pulungen enda i gilih menuli-mehuli ; itama sitik lau; kenca bage
isapuken ku daging si suin e.
Terjemahan:
Obat penguat tubuh wanita yang baru melahirkan
Ramuanya :
Buah Jahe
Buah lengkuas
Buah Cikur
Buah kemiri
Buah merica
Buah bawah putih
7
Buah bawah merah
Buah Jerangau
Buah kunyit gajah
Buah temu lawak
Buah kunyit
Buah sawi
Semua ramuan ini digiling baik-baik; ditaruh sedikit air; sesudah itu
dioleskan ke tubuh orang yang sakit itu. sering pula terjadi bahwa payudara
wanita yang baru melahirkan itu, terutama wanita yang baru pertama melahirkan,
tidak atau sukar mengeluarkan air susu. Hal ini tidak dapat dibiarkan berlarut-
larut, sebab sang bayi yang baru lahir itu membutuhkannya.
Terjemahannya :
Obat tidak mempunyai asi
Diambil bunga mombang kerbau.
Direndam di dalam air, sesudah itu diminum airnya.
Istilah yang paling sering digunakan oleh suku karo mengenai kelahiran :
1. Nitik Wari
Pada saat melahirkan sang bayi, memang banyak wanita yang menjerit-jeri
keseakitan. Untuk menghibur maka wanita-wanita tua yang menangani kelahiran
itu berkata : Tahanken kal kadih. bage kin nge. Nelenca bagi si nelen galuh
8
tasak, ntabeh jananh ntebu. Ngutahkensa bagi si ngutahken pungga, merisi janah
mesui.
Yang berarti : Tahankan benar-benar kawan. memang begitulah. Menelannya
ibarat menelan pisang masak, enak lagi manis. Memuntahkan nya seperti
memuntahkan batu asahan, kesat lagi sakit.
Ucapan sang wanita tua itu merupakan suatu kiasan yang kira-kira
bermakna, bahwa pada saat mereka memasuki pelaminan, mereka senang dan
gembira lupa segala kesusahan, tetapi setelah hamil dan melahirkan, sang ibu
menderita sakit dan pahit getir.
Segera setelah sang bayi lahir kedunia, setelah tali pusatnya dipotong
dengan sembilu, setelah dimandikan dan dibungkus dengan kain, maka orang tua-
tua meminta bantuan sang guru atau sang duku untuk nitik wari "menentukan
hari". Kepada sang dukun ditanyakan apakah bayi itu nunda atau tidak. Yang
dimaksud dengan istilah nunda ialah " mendatangkan bahaya kematian bagi ayah
atau ibunya".
Sang dukun pun memeriksa bagaimana letak sang bayi waktu lahir serta
mencocokannya dengan katika si telupuluh yang terdapat pada masyarakat karo,
yaitu :
1. Aditia
2. Suma Pultak
3. Nggara telu wari
4. Budaha
5. Beraspati pultak
6. Cukera enem berngi
7. Belah naik
8. Aditia Naik
9. Suwa siwah
10. Nggara sepuluh
11. Budaha ngadep
12. Beraspati tangkep
9
13. Cukera lau
14. Belah Purnama
15. Tula 16. Suma cepik
17. Nggara enggo tula
18. Budaha Gok
19. Beraspati sepuluh siwah
20. Cukera duapuluh
21. Belah turun
22. Aditia Turun
23. Suma
24. Nggara si mbelin
25. Budaha Medem 2
6. Beraspati medem
27. Cukara mate
28. Mate bulan
29. Dalin Bulan
30. Sami rasa
2. Dumbarat.
Api ini berfungsi memanasi tubuh sang ibu dan sang bayi. Dumbarat ini
biasanya berlangsung selama dua tau tiga minggu. Selama dumbarat ini sang ibu
10
diberi makan bubur nasi yang dibubuhi garam serta merica. Dengan memakan
bubur ini diharapkan agar air susu sang ibu menjadi banyak.
3. Tangkal
Dibagian tengah di atas tiap-tiap pintu rumah tempat lahir sang bayi itu,
digantungkan sebuat ikatan tersebut. Dengan berbuat demikian, orang percaya
bahwa hantu-hantu yang ingin merenggut nyawa sang ibu dan sang bayi, tidak
berani lagi mendekat.
11
mengusir begu dan begu ganjang yang sangat ganas itu, sehingga tidak berani
lagi mendekati serta menyiksa sang ibu beserta sang bayi yang baru lahir itu.
Demikianlah setiap kali sang ibu ada keperluan pada malam hari keluar rumah,
misalnya ke ture "beranda rumah adat" maka terlebih dahulu dilemparkan bara
api keluar rumah atau seseorang wanita lain disuruh terlebih dahulu ke luar
rumah membawa api, sebagai alat untuk mengusir begu dan begu ganjang. Purih
tonggal itu harus tetap dibawa oleh sang ibu yang baru melahirkan itu, sampai
upacara pejuma-jumaken selesai.
4. Petelayoken
Paling lambat delapan hari setelah sang bayi lahir kedunia, diadakanlah
upacara adat petelayoken, yaitu upacara membawa sang ibu dan sang bayi ke
sungai.
12
Satu dari setiap jenis yang tersebut pada c, d, e diatas, diletakkan pada
setiap simpang jalan yang terdapat pada sepanjang jalan menuju sungai.
Fungsinya adalah untuk menghalau begu dan begu ganjang, agar si ibu dan sang
bayi terhindar dari gangguannya.
Sang bayi harus digendong ke suangai. Kalau sang bayi berjenis kelamin
pria, maka yang menggendong haruslah maminya, yaitu istri dari kalimbubu, istri
dari saudara laki-laki wanita yang bersalin itu. Menurut adat karo, anak dilaki
"anak laki-laki" dipandang sebagai tuah atau rezeki bagi pihak kalimbubu
"pemberi dara". Menurut adat karo, bila anak laki-laki tersebut telah besar dan
dewasa, maka dia berhak mengawini puteri kalimbubu. Dia adalah pelayan bagi
pihak kalimbubu, dan dengan berlangsungnya perkawinannya dengan
puteri kalimbubu, maka kekerabatan tetap erat.
Kalau sang bayi itu berjenis kelamin wanita, maka yang menggendongnya
turun ke sungai adalah bibinya, yaitu saudara perempuan dari ayah sang bayi.
Menurut adat karo, anak diberu "anak perempuan" adalah tuah atau rezeki
pihak anak beru "penerima dara". Anak perempuan ini kelak akan menjadi
suruh-suruhan atau pelayan sang bibi. Dan dapat dikawinkan dengan putera sang
bibi, untuk memperkuat tali kekerabatan yang sudah ada.
Sesampainya di sungai, maka ibu, bayi, dukun, bidan serta semua yang
ikut pun mandilah dan berlangir. Setelah selesai mandi dan berlangir merekapun
13
pulanglah ke rumah. Sewaktu berjalan pulang ke rumah , susunan arakan sama
saja, kecuali sang dukun yang berjalan dibelakang. Dukun berjalan dibelakang
sekali untuk menjaga gangguan serta serangan begu dan begu ganjang terhadap
sang ibu dan sang bayi.
Sepulang dari sungai mereka pun makan bersama semua, karena memang
capek dan tentu saja merasa lapar. Lauk pauk atau kawan nasi utama diwajibkan
ikan belang mata. Rasa ikan tersebut asin. Dengan memakan ikan yang asin itu
terkandunglah harapan gelah masin kata ibelasken anak e "agar kata-kata yang
diucapkan anak itu dipercayai, dihargai serta dituruti oleh orang lain" pada masa
mendatang.
Setelah selesai makan, dimulailah memilih nama bagi sang bayi itu. Kalau
menurut sang dukun nama itu adalah baik, maka ditetapkanlah serta diumumkan
kepada para hadirin dengan harapan agar mereka pun masing-masing
menyiarkannya kepada orang lain dikampung itu.
5. Pejuma-jumaken
Empat atau lima hari setelah petelayoken, anak itu dibawa ke ladang atau
kesawah. Anak itu diperkenalkan dengan dasar penghidupan, yaitu pertanian.
14
Dengan cara peruma-jumaken ini diharapkan agar sang anak kelak dapat
menghargai sawah ladang serta rajin menggarapnya demi kehidupan yang lebih
baik.
7. Ergunting
Beberapa lama kemudian, setelah gigi anak itu tumbuh, ditetapkanlah hari
buat ergunting "memotong rambut". Harus diingat benar -benar bahwa hari
ergunting tidak boleh bersamaan dengan hari lahirnya dulu, sebab jika bersamaan
dapat menimbulkan akibat buruk.Kalau anak itu seorang pria, maka yang akan
memotong rambutnya adalah mamanya, yaitu saudara laki-laki ibu anak itu.
Kalau anak itu seorang wanita, maka yang memotong rambutnya adalah
bengkilanya, yaitu suami saudara perempuan ayah anak itu.
Kalau pemotongan rambut pertama kali telah dilakukan oleh mama atau
bengkila, maka pemotongan rambut selanjutnya dapat dilakukan oleh siapa saja,
dan tidak akan berakibat apa-apa, apalagi akibat buruk.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
4.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. Henry Guntur Tarigan : Percikan Budaya Karo, diterbitkan oleh
yayasan Merga silima, dicetak oleh PT. Kesaint Blanc Indah Corp.
Romer, Dr. 1908 : Bijdrage tot de Geneeskunst der Karo-Bataks. T.B.G deel 50;
pp 205-287
17