Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA

(PERIODE 1920 – 1933)


Oleh:
Kelompok 2

I. PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Pada tahun 1920, Balai Pustaka pertama kali menerbitkan roman dalam
bahasa Indonesia, karangan Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara Seorang
Anak Gadis, diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka. Buku ini ditunjuk sebagai
awal kebangkitan angkatan yang dikenal dengan nama Angkatan Balai Pustaka.
Karena itu Angkatan Balai Pustaka juga dinamai angkatan ‘20an.
Perbedaan yang paling mencolok dari karya sastra melayu sehingga
menjadi Angkatan Balai Pustaka adalah pada semangat dan kesadaran
Nasionalisme Indonesia, suatu kesadaran untuk merdeka dalam persatuan
kebangsaan Indonesia. Hal ini, juga ditandai dengan lahirnya sumpah pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah lahirnya bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Belanda lalu, mendirikan Komisi Bacaan Rakyat atau Balai pustaka
dengan para pengarang yang tersohor namanya kala itu yaitu, Merari Siregar,
Abdul Muis (roman), Sanusi Pane, Roestam Efendi (kumpulan sajak), Hamka
(kumpulan cerpen), dll.
Karya karya M.R. Muhammad Yamin dan Rustan Effendi, meski masih
menampakkan langgam bahasa dan suasana kemelayuan, namun karena
didalamnya mengalir roh nasionalisme Indonesia bisa kita sebut sebagai sastra
Indonesia.
Pada makalah ini kami menjelaskan klasifikasi ilmu kesusastraan dalam
kajian sejarah sastra yang diperiodisasikan sesuai dengan tahun kesusastraan yang
ada di Indonesia dalam kajian sejarah sastra pada periodisasi Balai Pustaka.
Makalah ini  merupakan pemenuhan tugas mata kuliah sejarah sastra disemester
satu Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Progam Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.

1
I. 2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi agar tidak terjadi kerancuan, penulis membatasi kepada
beberapa pembahasan:
1. Bagaimana awal muncul Angkatan Balai Pustaka?
2. Bagaiman cara mengetahui karakteristik karya sastra yang tergolong masa
periodisasi Balai Pustaka ? Sebutkan berserta contohnya !
3. Siapa saja tokoh-tokoh sastrawan pada Era ’20 an?

II. PEMBAHASAN

II. 1. Awal Mula Munculnya Angkatan Balai Pustaka


Sebenarnya kita tidak bisa menentukan secara mutlak kapankah
kesusastraan Indonesia mulai dipancangkan. Yang kita ketahui ialah ekspresi
kesenian dengan media bahasa yang mulai marak ketika orang begitu bergairah
mencipta dengan bahasa bersangkutan. Namun apabila yang dimaksud karya
sastra Indonesia ialah kairya-karya imajinatif yang diterbitkan dalam bentuk buku
atau media cetak, kita harus menunjuk angka tahun secara pasti.
Lahirnya Angakatan Balai Pustaka merupakan awal mula kesusastraan
modern. Kesusatraan Indonesia modern serta perkembangan dalam kurun waktu
yang awal begitu erat hubungannya dengan sejarah kebangkitan nasional,
sehingga hampir tidak mungkin membicarakan yang satu tanpa menyinggung
yang lain. Pada umumnya para pengamat sastra bersepakat bahwa kesustraan
Indoneisa modern bearawal disekitar 1920.
Kalau kita bandingkan secara judul-judul sastra melayu lama dengan
judul-judul sastra Indonesia modern hal itu sudah terlihat. Ternyata ada syair
dalam bentuk tradisional yang ditulis jauh setelah zaman itu, akan tetapi yang
berbeda ialah nafas kesusastraan baru yang terutama mencerminkan masalah-
masalah yang dialami oleh manusia Indonesia pada zaman itu, termasuk
kebangkitan kesadaran nasionalnya.
Perbedaan yang paling mencolok dari karya sastra melayu sehingga
menjadi Angkatan Balai Pustaka adalah pada semangat dan kesadaran
Nasionalisme Indonesia, suatu kesadaran untuk merdeka dalam persatuan

2
kebangsaan Indonesia. Hal ini, juga ditandai dengan lahirnya sumpah pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah lahirnya bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Pada tahun 1920, Balai Pustaka pertama kali menerbitkan roman dalam
bahasa Indonesia, karangan Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara Seorang
Anak Gadis, diterbitkan oleh PN Balai Pustaka. Buku ini ditunjuk sebagai awal
kebangkitan angkatan yang dikenal dengan nama Angkatan Balai Pustaka. Karena
itu Angkatan Balai Pustaka juga dinamai angkatan ‘20an.
  Balai Pustaka diambil karena pada zaman itu merupakan salah satu
penerbit besar yang dapat memproduksi berbagai jenis buku. Pada mulanya Balai
Pustaka atau (Commissie voor de Volkslectuur) merupakan komisi bacaan rakyat
yang didirikan pada tahun 1908 atas kepedulian Pemerintah Belanda terhadap
perkembangan bacaan liar yang disebut sebagai bacaan murahan dalam wujud
sastra Cina yang mana hal itu menjadikan kekhawatiran Belanda terhadap
kemantapan kedudukannya di Indonesia. Akhirnya, pada tahun 1918 komisi
bacaan rakyat berubah nama menjadi Balai Pustaka.
Pengarang lain yang pada masa itu terbilang produktif ialah seorang
wartawan juga, bernama Mas Marco Kartodikromo. Ia berkali-kali dijatuhi
hukuman oleh pemerintah jajahan Belanda karena tulisan-tulisannya dan dia
akhirnya ia meninggal dalam pembuangan Digul-Atas, Irian Barat. Dari
tangannya terbit beberapa buah buku, kebanyakan roman, diantaranya yang
berjudul Mata Gelap (1914), Student Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919),
dan rasa merdeka (1924).
Juga Semaun menulis roman berjudul Hikayat Kadirun (1924) yang segera
dilarang beredar oleh pemerintah. Pengarang-pengarang itu kebanyakan berpaham
kiri. Semaun misalnya pada saat itu menjadi salah seorang Pemimpin Partai
Komunis Indonesia, pada tahun 1926 gagal mengadakan pemberontakan, semaun
melarikan diri ke Rusia dan baru kembali ke Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan.
Karena sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut
rakyat untuk berontak, maka karya-karya itu secara popular disebut “bacaan liar”
dan para penulisnya dinamakan pula “pengarang liar”.

3
II. 2. Karakteristik dan Contok Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Sastra adalah tuangan imajinasi jiwa yang diluapkan dalam bentuk kreasi,
sehingga sastra mempunyai perbedaan dari satu sastra dengan satu sastra yang
lain, baik sastra yang sekarang dengan sastra yang dulu atau kita sebut dengan
sastra lama dengan sastra baru.
Setiap karya sastra pasti mempunyai karakteristik dalam sastranya. Baik
itu dalam segi bahasa, isi, alur, amanat, dan lain-lain. Untuk mengetahui bentuk
sastra lama dengan sastra baru sangatlah sulit dalam membedakannya. Namun, hal
ini bisa diketahui dari bentuk karya sastra yang dihasilkan bukan melihat dari
sastrawannya.
Mengetahui jenis sastra baru dalam masa Balai Pustaka yang bisa
diketahui dari bentuk karya sastra itu sendiri dengan melihat karakteristik dan
bentuk sastra periodisasi Balai Pustaka.
Sebetulnya, tidak ada benang merah dan relevansi antara Angkatan Balai
Pustaka dengan pembinaan nasionalisme, aspirasi kemerdekaan Indonesia,
meneggakkan keadilan dan memerangi kemungkaran dalam maknanya yang
militant, apalagi semangat berkobar-kobar mengusir penjajah laknat.
Sebagai penerbit pemerintah, Balai Pustaka tidak mau buku-buku yang
diterbitkannya menjadi bumerang yang mendeskreditkan boss mereka. Roman-
roman Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, serta Katak Hendak
Jadi Lembu, Salah Pilih, Karena Mertua, Apa Dayaku Karena Aku
Perempuan karya Nur Sutan Iskandar dan yang sejenis dengan itu yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka dan mengisi khazanah Angkatan Balai Pustaka,
karena buku-buku tersebut hanya berbicara tentang pernik-pernik kehidupan
rumah tangga biasa, adat kawin paksa, cinta muda-mudi tempo dulu, keculasan
dan keserakahan versus kebaik-hatian, sama sekali tidak pernah menyinggung
penindasan pembodohan, pemiskinan, sekularisasi yang dilakukan oleh penguasa-
penguasa kolonial.
Di samping tampil dengan sikap politik yang kompromistis dan berbaik-
baik dengan pemerintah kolonial (mungkin ini dilakukan oleh pengarang semata
agar karya-karyanya bisa diterbitkan), roman-roman Balai Pustaka didominasi

4
oleh tema-tema sekitar adat kawin paksa, sikap otoriter orang tua dalam
menentukan jodoh sang anak, konflik Generasi Muda versus Generasi Tua yang
dimenangkan oleh pihak orang tua. Tokoh-tokoh cerita umumnya dilukiskan
secara dikotomis hitam-putih, ekstrim; tokoh baik dilukiskan serta sempurna,
fisik, penampilan, pandangan hidup, sikap dan moralnya serba baik dan ideal,
sebaliknya, tokoh-tokoh jahatnya digambarkan serba jelek dan memuakkan, baik
tampang lahiriah maupun moralitasnya, sampai-sampai, penyakit yang diidap
tokoh antagonis ini pun merupakan penyakit kotor (tokoh Kasibun dalam Azab
dan Sengsara).
Darah Muda dan Asmara Jaya karya jamaluddin Adinegoro serta Mencari
Pencuri Anak Perawan karya Suman Hs, adalah contoh novel/roman dari
angkatan Balai Pustaka yang menghadirkan sikap dan citra baru, benar-benar
sudah beranjak dari model cerita roman-roman seangkatan mereka. Darah Muda
menampilkan pola perkawinan campuran Minangkabau-Sunda, suatu perkawinan
antara Dokter Nurdin dengan Guru Rukmini yang di landasi cinta-kasih yang
berurat-berakar di hati mereka. Dengan bukunya Melawat ke Barat dan Filsafat
Ratu Dunia, sedemikian terkenalnya sehingga ada istilah Pemenang Adinegoro
untuk karya jurnalistik terbaik melukiskan bergulirnya cerita yang
mempertemukan Nurdin dan Rukmini di jenjang pelaminan.
“Mencari Pencuri Anak Perawan yang dikarang oleh seorang guru yang
berjiwa guru” (demikian majalah Tempo terbitan 16 Maret 1991). Mengistilahkan
untuk figure Suman Hasibuan menghadirkan gaya dan fenomena detektif yang
belum pernah muncul dalam tradisi empat tahun setelah Darah Muda, yakni pada
1931, akhirnya memberi kemenangan pada tokoh muda ( Sir Joon dan Nona) yang
saling mencintai. Padahal kita tahu betapa keras usaha Pak Gadi (Ayah Nona)
untuk memisahkan mereka yang sebenarnya telah bertunangan.
Sementara itu, Abdul Muis tampil secara cemerlang dengan tema cerita
dan wawasan estetik baru dala roman Salah Asuhan yang menampakkan beberapa
kemajuan dan keistimewaan dibandingkan Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara,
roman-roman pendahulunya. Sangat berbeda dengan roman-roman Siti Nurbaya
dan semacamnya, karya Abdul Muis yang cemerlang ini tidak lagi mengacu pada

5
ciri-ciri kemelayuan. Abdul Muis sudah menjurus ke persoalan politik dengan
sudut pandang seorang nasionalis.
Peristiwa dalam Salah Asuhan termasuk baru. Ia tidak lagi berasyik-asyik
dengan nuansa kemelayuan yang penuh pepatah-petitih sebagaimana Siti Nurbaya
karya Marah Rusli ataupun Sengsara Membawa Nikmat gubahan Tulis Sutan Sati.
Sifat revolusioner demikian, merupakan Sesuatu yang baru untuk ukuran Balai
Pustaka 1927. Teknik penceritan yang lebih singkat dan padat dibandingkan
karya-karya pendahulu dan sesamanya, lukisan karakter tokoh-tokohnya yang
hidup dan masuk oleh kemodernan dirinya sendiri. Rustam Effendi dengan
kumpulan puisinya Percikan Permenungan dan drama bersanjaknya Bebassari,
telah menghembuskan nafas kebaruan dalam sastra Indonesia dengan soneta-
sonetanya, dengan naskah dramanya yang di puisikan, dengan isi yang mengeluh
dan memberontak, menyuarakan arus bawah, menghujat penguasa yang zalim.
Ada percikan api nasionalisme dalam sanjak-sanjak Rustam Effendi,
pemberontakan jiwa yang terjajah, yang mendambakan kemerdekaan. Percikan
permenungan maupun Bebassari sama-sama menghadirkan dimensi social politik,
sementara itu, didalam soneta-sonetanya, roman dan naskah dramanya, Mr.
Muhammad Yamin pun banyak berbicara tentang aspirasi kebangsaan,
penyadaran tentang keindahan dan kebesaran tanah tumpah darah Indonesia.
Kerinduan tercapainya kemerdekaan. Ditulisnya kumpulan puisi Tanah Air
dengan nomor-nomor sanjaknya seperti Bandi Mataram, Gembala, Indonesia
Tumpah Darahku, dengan lukisan-lukisan alamnya yang cermat penuh
kekaguman terhadap keindahan panorama pantai dan gunung-gunung sebagai
ekspresi kecintannya.
Dari pemaparan beberapa karya diatas dapat kita simpulkan bahwa
karakteristik umum karya sastra pada masa Balai pustaka pada Periode 1920
sebagai berikut :
1. Umumnya masih belum terlepas dari sifat kesusastraan Melayu
lama.
2. Inti cerita tentang pertentangan paham antara kaum tua dengan
kaum muda. Kaum tua memertahankan adat lama, sedangkan kaum
muda menghendaki kemajuan menurut paham kehidupan modern.

6
3. Bersifat didaktik. Sifat ini berpengaruh sekali pada gaya
penceritaan dan struktur penceritaannya. Semuanya ditunjukkan
kepada pembaca untuk memberi nasihat.
4. Bersifat kedaerahan. Latar cerita pada umumnya latar daerah,
pedesaan, dan kehidupan daerah.
5. Gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise, pepatah-
pepatah, dan peribahasa, namun mempergunakan bahasa
percakapan sehari-hari yang lain dari bahasa hikayat sastra lama.
6. Alur roman sebagian besar alur lurus, ada juga yang
mempergunakan alur sorot balik, tetapi sedikit misalnya Azab dan
Sengsara
7. Banyak digresi, yaitu banyak sisipan-sisipan peristiwa yang tidak
langsung berhubungan dengan inti cerita, seperti uraian adat,
dongeng-dongeng, syair, dan pantun nasihat
8. Bercorak romantis melarikan diri dari masalah kehidupan sehari-
hari yang menekan.
9. Bermasalah adat, terutama masalah adat kawin paksa, permaduan,
dan sebagainya.
10. Cerita bermain di zaman sekarang, bukan di tempat dan zaman
antah-berantah, dan cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan,
masalah masih bersifat kedaerahan.
11. Pada awalnya, pengarang didominasi oleh orang Sumatra. Akan
tetapi, setelah Sumpah Pemuda tahun 1928, muncul pengarang-
pengarang dari daerah.

II. 3. Para Sastrawan Angkatan Balai Pustaka


Masa Balai Pustaka merupakan masa dimana banyak sastrawan lahir
meski dalam latar belakang kehidupannya bukanlah seorang yang menekuni dunia
sastra secara mendalam. Kebanyakan mereka mempunyai latar belakang yang
bertolak belakang dengan hati nuraninya semisal mereka yang menekuni dalam
dunia kedokteran, guru, atau jurnalis, namun mereka bisa berkarya karena mereka
mengerti kekurangan rakyat bangsa Indonesia adalah pada dunia pendidikan,

7
sehingga dalam aktifitas mereka yang padat, mereka luangkan waktu untuk
menulis yang gunanya untuk mencerdaskan rakyat Indonesia.
Karya sastra tidak hanya untuk mengenalkan masyarakan Indonesia
supaya bisa membaca dan menulis. Melainkan, sastra yang ada bisa
memumbuhkan rasa semangat bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan
Republik Indonesia. Dalam hal ini peranan Balai Pustaka mencetak karya-karya
sastrawan Indonesia yang mungkin ada juga amanatnya mencari semangat
kemerdekaan melalui puisi, roman, gurindam, dan laian-lain.
Melihat akan hal itu, para sastrawan yang kebanyakan asalnya dari
Sumatra pindah ke Jakarta. Mereka memilih pindak ke Jakarta karena kolonial
Belanda mendirikan taman baca yang kemudian bernama Balai Pustaka. Setelah
bernama Balai Pustaka serta fungsi asal sudah berubah bukan lagi menjadi taman
baca melainkan menjadi percetakan buku. Mengakibatkan banyak dari sastrawan
yang berkerja di Balai Pustaka, seperti Adinegoro, S. Takdir Alisjahbana, Armijn
Pane, Nur Sultan Iskandar, dan H.B. Jassin. Adanya sebagian tokoh sastra yang
bekerja di Balai Pustaka, hal ini membuka jalan lahirnya sastrawan lain dalam
berkreasi seperti nama- nama dan biografi tokoh-tokoh yang karyanya tercatat
dalam Balai Pustaka yakni :
1. Merari Siregar, dilahirkan di Siporok, Sumatera Utara, 13 Juni 1896,
meninggal di Kali Anget, Madura. Karya yang terkenal antara lain:
a. Azab dan Sengsara (roman)
b. Si Jamin dan Si Johan (cerita saduran dari Uit het Volt karya Justus
van Maurik, 1918)
2. Marah Rusli (lahir di Padang, 7 Agustus 1889, meninggal di Bandung 17
Januari 1968) berpendidikan sekolah dokter hewan di Bogor (1915),
pernah menjadi Mayor Angkatan Laut RI di Tegal (1945), dan dosen
Sekolah Tinggi Sekolah Hewan di Klaten (1948).
Namanya terkenal karena novel atau roman Sitti Nurbaya (1922), yang
pada tahun 1969 menerima hadiah dari Pemerintah Republik Indonesia.
Karya lainnya yaitu La Hami (roman, 1952), serta terjemahan Gadis yang
Malang (novel Charles Dicknes, 1922)

8
3. Rustam Efendi (lahir di Padang, 1903), terkenal dengan bukunya yang
berjudul Percikan Permenungan (kumpulan bersajak, 1926) dan Bebassari
yang merupakan drama pertama di Indonesia modern (1926)
4. Muhammad Yamin (lahir di Sawahluto Sumatera Barat, 23 Agustus 1903),
karyanya yang tersohor:
a. Tanah Air (kumpulan sanjak, 1822)
b. Gajah Mada (roman sejarah)
c. Enam Ratus Tahun Sang Merah Putih (karya ilmiah)
d. Menantikan Surat dari Raja (drama terjemahan karya Rahindranath
Tagore, 1828)
e. Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928)
f. Kalau Dewi Tara sudah Bertahta (drama, 1934)
g. Ken Arok dan Ken Dedes (drama, 1934)
h. Di dalam dan di luar Lingkungan Rumah Tangga (terjemahan drama
Rabindranath Tagore, 1933)
i. Julius Caesar (terjemahan drama William Shakespeare, 1951)
Mr. Muhammad Yamin adalah salah seorang di antara Nine Founding
Father (Sembilan Bapak Pendiri) Republik Indonesia, pengupas sila-sila
Pancasila sebelum pidato Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 oleh Bung
Karno. Bersama Rustam Effendi . Muhammad Yamin dijuluki Bapak
Soneta Indonesia.
5. Abdul Muis (Lahir di Solok, Sumatra Barat, Tahun 1886,meninggal di
Bandung 17 Juli 1959), berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA)
Jakarta, pernah menjadi wartawan, bergiat dalam Syarikat Islam, dan
pernah menjadi anggota Dewan Rakyat (1920-1923), Namanya terkenal
karena novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan
Jodoh (1933), Surapati(1950), dan Robert anak Suropati (1953).
6. Muhammad Kasim (lahir di Muara Sipongi, Sumatra Utara, tahun 1886)
berpendidikan sekolah guru dan hingga tahun 1935 menjadi guru Sekolah
Rakyat. Kumpulan cerpenya Teman Duduk (1936) lazim disebut sebagai
awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia. Bukunya yang berjidul Si
Samin mendapat hadiah Sayembara Buku Anak-anak Balai Pustaka pada

9
tahun 1924, kemudian terbit lagi pada tahun 1928 dengan judul
Pemandangan Dalam Dunia Kanak-kanak. Karyanya yang lain :
novel Muda Teruna (1922), kimpulan cerpen Bertengkar Berbisik,
kumpulan cerpen Buah dari Kedai Kopi, Niki Bahtera, terjemahan karya
C.J. Kievier, dan Pangeran Hindi terjemahan karya Lewis Wallace (1931).
7. Aman Datuk Madjoindo, lahir di Solok, Sumatera Barat, 1896, meninggal
di Jakarta, 16 September 1969. Aman menulis roman Si Doel Anak
Betawi(1956), difilmkan oleh Syumanjaya tahun 1972 dan Si Cebol
Rindukan Bulan(1934). Karya-karyanya yang lain antara lain, novel
Menebus Dosa (1932), Sampaikan Salamku Padanya(1935), Hikayat Si
Miskin (1958), Cindur Mata(1951), Sejarah Melayu (1959).
8. Jamaluddin Adinegoro, dilahirkan di Tawali, Sumatera Barat 14 Agustus
1904, meninggal di Jakarta 8 Januari 1967. Terkenal sebagai Bapak
Wartawan Indonesia (oleh karena itu penghargaan untuk prestasi bidang
jurnalistik disebut Hadiah Adinegoro). Ia menulis kisah Melawat ke Barat
(1930). Sebagai cendekiawan, ia menulis karya ilmiah Revolusi dan
Kebudayaan (1954), Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia(1954),
Ilmu Karang-Mengarang, dan Falsafah Ratu Dunia. Novel-novelnya yang
terkenal berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928).
9. Tulis Sutan Sati lahir di Bukittinggi, 1989, meninggal di Jakarta 1942
menceritakan kembali Sabai nan Aluih(1929) dan menulis roman Sengsara
Membawa Nikmat(1928) dan Memutuskan Pertalian(1932). Karya-
karyanya yang lain: novel Tak Disangka (1929), Tidak Membalas
Guna(1933), Syair Siti Murhumah yang Saleh (1930).
10. Nur Sultan Iskandar (lahir di Sungaibatang, Sumatara Barat, 3 November
1893, Meninggal di Jakarta 28 November 1975) berpendidikan sekolah
guru, pernah menjadi guru, dan Redaktur Balai Pustaka hingga pensiun.
Namanya terkenal karena menghasilkan sejumlah novel : Apa Dayaku
Karena Aku Perempuan (1922), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932),
Hulubalang Raja (1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (1934), Neraka
Dunia (1937), Cinta Tanah Air(1944), Mutiara (1946) dan Jangir
Bali (1946) dan beberapa karya lainnya. Lantaran produktivitasnya yang

10
sangat tinggi, untuk ukuran masa itu, Nur Sutan Iskandar diberi julukan
“Raja Pengarang Angkatan Balai Pustaka”.
Kemunculan mereka sangat wajar karena berasal dari Sumatra yang sangat
dekat dengan bahasa Melayu yang dijadikan bahasa penting Balai Pustaka.
Namun, tidak lama kemudian muncullah pengarang-pengarang dari berbagai
daerah, seperti R. Soengkana, Paulus Supit, M.R. Dayoh, Hersevien Taulu, H.S.D.
Muntu, Igusti Njoman Panji Tisna, M.W. Asmawinangung, D. Suradi, Ardi Soma,
dan S. Wirata.
Dari tangan mereka telah terbit puluhan roman Balai Pustaka tahun 1920-
an dan 1930-an yang boleh jadi sudah tidak diminati lagi oleh pembaca umum
generasi sekarang, kecuali harus dibaca sebagai bahan pelajaran di sekolah.
Padahal semua itu merupakan Khazanah pemikiran budaya yang kandungan
isinya hanya dapat diketahui secara mendalam apabila dibaca dan dikaji
sebagaimana mestinya.

III. PENUTUP
III. 1. Kesimpulan
Sastra merupakan tuangan imajinasi jiwa yang diluapkan dalam bentuk
kreasi, sehingga suatu karya dengan karya sastra lain mempunyai perbedaan,
terutama sastra yang sekarang dengan sastra yang dulu atau kita sebut dengan
sastra lama.
Di balai pustaka ini kita dapat menyimpulkan bahwa untuk mengetahui
bentuk karya sastra kita harus melihat karakteristik dan bentuk sastra periodisasi
Balai Pustaka. Teknik penceritaannya yang lebih singkat dan padat dibandingkan
karya-karya pendahulu dan sesamanya, lukisan karakter tokoh-tokohnya yang
hidup dan masuk oleh kemodernan dirinya sendiri.
Masa Balai Pustaka merupakan masa dimana banyak sastrawan lahir
meski dalam latar belakang kehidupannya bukanlah seorang yang menekuni dunia
sastra secara mendalam. Karya sastra tidak hanya untuk mengenalkan masyarakan
Indonesia supaya bisa membaca dan menulis. Melainkan, sastra yang ada bisa
menumbuhkan rasa semangat bangsa Indonesia hal ini berperan penting dalam
mencetak karya-karya sastrawan yang ada di Indonesia.

11
III. 2. Saran
Dalam pembelajaran sejarah sastra ini sangat erat kaitannya antara
karakteristik yang satu dengan karakteristik yang lainnya, di mulai dari
pemrosesan hingga lahirnya sebuah karya yang di namakan karya sastra. Maka
tingkatkanlah pengetahuan mengenai periodisasi sastra agar kita sebagai
mahasiswa pendidikan sastra dan bahasa Indonesia mampu mengklasifikasikan
secara runtut dan benar sastra lama dan baru dalam segi bahasa, isi, amanat, serta
hal lainnya.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Mujiyantono, Yan dan Amir Fuadi. 2006. Kitab Sejarah Sastra Indonesia.


Surakarta: UNS Press.

Miya Octovianti, WWW. ciri-ciri sastra masa balai pustaka. Com.


(diunggah September 02, 2018 at 3:11 PM).

Rosidi, Ajip. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung. Pustaka Jaya.

12
13

Anda mungkin juga menyukai