Anda di halaman 1dari 15

CRITICAL BOOK REPORT

WACANA

Oleh :

Agung Otto Permana


Dini Sartika Br Tarigan
Khoirunnisa Mei Desiani
Putri Damayanti
Tri Zanatiaz

Reguler C 2017

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


MEDAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT.yang telah melimpah
kanrahmat, hidayah dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Critical Book Report ini dengan baik walaupun masih ada kekurangan dari makalah ini. Dan
penulis berterima kasih kepada bapak selaku dosen mata kuliah Wacana. Adapun maksud
penulis membuat makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas dari dosen.

Apabila ditemukan kesalahan atau pun kekurangan dalam makalahi ni, penulis mohon
maaf dan penulis harap pembaca mau memberikan masukan yang dapat menyempurnakan
makalah ini, masukan tersebut sangat berarti bagi penulis agar dapat memperbaik ikesalahan
penulis di makalah ini dan makalah-makalah penulis berikutnya, terimakasih.

Medan, November 2019


Penulis

Dini Sartika Br Tarigan

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan.............................................................................................................1
1.1 Latar belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1
1.3 Tujuan ................................................................................................................1
BAB II Pembahasan...........................................................................................................2
BAB III Penutup.................................................................................................................6
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................6
3.2 Saran...................................................................................................................6

Daftar Pustaka......................................................................................................................7

3
BAB I
IDENTITAS BUKU

I. Buku Utama
Judul Buku : Analisis Wacana
Nama Penulis : Dr. Malan Lubis, M.Hum.

Penerbit : Halaman Moeka


Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2012
Edisi :-
Jumlah Halaman : 159 Halaman
ISBN : 978-602-9126-60-0

Substansi Isi Buku

BAB I PENDAHULUAN

BAB II WACANA

BAB III KONTEKS

BAB IV KEUTUHAN WACANA

DAFTAR PUSTAKA

II. Buku Pembanding


Buku Pembanding

Judul Buku : Analisis Wacana sebuah Kajian Bahasa Dalam Pemakaian

Nama Penulis : Drs.Abdul Rani, M.pd.

Drs. Bustanul Arifin, M.Hum.

Dra.Martutik, M.pd.

Penerbit : Bayumedia Publishing

4
Kota Terbit : Malang
Tahun Terbit : 2004
Edisi :I
Jumlah Halaman : i-xviii + 268 halaman

Substansi Isi Buku

Bab I Sejarah singkat kajian bahasa

Bab II Jenis-jenis wacana

Bab III Model-model struktur wacana

Bab IV Kohesi dan koherensi wacana

Bab V Topik wacana percakapan

Bab VI Tindak tutur

Bab VII Konteks wacana

Bab VIII Wacana lisan : pola alih tutur dalam percakapan

Bab IX Contoh analisis wacana

5
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

Ringkasan Isi Buku Utama

BAB II WACANA

Pengertian Wacana
Istilah Wacana secara etimologi, “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak,
artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, maka
kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan
III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut
kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang
adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi
kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989:651), terdapat
kata waca yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya
‘membaca’, pamacan (pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan),
dan wacana yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks
kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana
dhara” (Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya). Kata wacana secara
umum mengacu pada artikel, percakapan, atau dialog, karangan, pernyataan. Jika kita
membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia maka wacana adalah bahan bacaan, percakapan
atau tuturan. Kata wacana digunakan sebagai istilah yang merupakan padangan dari
istilah discourse dalam bahasa Inggris.

 Wacana, Discourse, Discursus
Oleh para ahli linguis Indonesia dan negara-negara berbahasa Melayu lainya, istilah
wacana sebagai mana diuraikan diatas, dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk terjemahan
dari istilah bahas Inggris ‘discourse’ (Dede Oetomo, 1993:3). Kata discourse sendiri berasal
dari bahasa Latin ‘discursus’ yang berarti ‘lari ke sana kemari’, ‘lari bolak-balik’. Kata ini
dituturkan dari ‘dis’ (dari/dalam arah yang berbeda) dan ‘currere’ (lari).
Jadi discursus berarti ‘lari dari arah yang berbeda’. Perkembangan asal usul kata itu dapat
digambarkan sebagai berikut.

6
Dis + curere → discursus → discourse (wacana)
Webster (1983:522) memperluas makna discourse sebagai berikut: (1) Komunikasi kata-kata,
(2) ekspresi gagasan-gagasan, (3) risalah tulis, ceramah dan sebagainya. Penjelasan itu
mengisyaratkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif,
baik secara lisan maupun tulisan.
Unsur pembeda antara ‘bentuk wacana’ dengan ‘bentuk bukan wacana’ adalah pada ada
tindakanya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh karenanya, kriteria
yang relatif paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Ketika seseorang
di suatu warung makan mengatakan:

1. “Soto, es jeruk, dua.”


Ucapan itu dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung keutuhan makna yang
lengkap. Keutuhan itu tersirat dalam hal-hal berikut: 1) urutan kata ditata secara teratur, 2)
makna dan amanatnya berkesinambungan, 3) diucapkan ditempat yang sesuai (kontekstual),
dan 4) antara penyapa dan pesapa saling dapat memahami makna tuturan singkat tersebut
(mutual intelligibility).
Selanjutnya, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.

2. Jaman sekarang disebut sebagai jaman modern. Sekarang ini banyak orang bingung
tidak tahu jalan. Kendaraan di jalan tol sangat padat.
Makna dan amanat setiap kalimat pada bentuk (2) di atas sangat jelas dan mudah dipahami.
Bahkan, terdapat alat kohesi (repetisi) antar kalimat. Misalnya jaman sekarang – sekarang
ini, tidak tahu jalan – jalan tol. Akan tetapi bentuk tersebut bukan wacana. Hal itu
disebabkan, secara keseluruhan bentuk tadi tidak memiliki hubungan makna antar kalimat.
Tiap-tiap kalimat berdiri sendiri. Artinya, makna kalimat tersebut satu sama lain terputus.
Bentuk tersebut sama sekali tidak komunikatif, sehingga sulit dimengerti kaitan makna antar
kalimat yang satu dengan kalimat lainnya.
Contoh tersebut kiranya menjelaskan apa yang dikatan para ahli bahasa tentang wacana.
Anton M. Moeliono (1988:334), mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna.
Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan
merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.

7
Menurut Harimurti Kridalaksana (1985:184), wacana adalah satuan bahasa terlengkap
dalam hirarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahas tertinggi dan
terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk kata, karangan utuh (novel, buku, seri
ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang
lengkap. Adapun Samsuri (1988:1) memandang wacana dari segi komunikasi. Menurutnya
dalam sebuah wacana, terdapat konteks wacana, topik, kohesi dan koherensi. Kohesi adalah
adanya keterkaitan antar kalimat. Sedangkan Koherensi adalah adanya keterkaitan antar ide-
ide atau gagaan-gagasan kalimat.

HG Tarigan (1987:27) mengemukakan wacana adalah satuan bahasa yang paling


lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik,
mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara
lisan atau tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai
wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang
melingkupinya.

Jadi, wacana adalah susunan ujaran yang merupakan satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi, saling berkaitan dengan koherensi dan kohesi berkesinambungan membentuk satu
kesatuan untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.

Pengertian Tindak Tutur

Teori tindak tutur bermula pada karya buku Austin dan Searle (dalam Ibrahim 1993:108).
Bertolak dari pendapat tersebut, buku How to do things with word(bagaimana melakukan
sesuatu dengan kata-kata) dengan pengarang Austin  dan Searle yang menyajikan makalah-
makalah tindak tutur.

      Dari pendapat di atas, Ibrahim (1993:109) menguraikan definisi tindak tutur, tindak tutur
adalah suatu tuturan yang berfungsi pikologis dan sosial di luar wacana yang sedang terjadi.
Definisi Ibrahim terdapat perbedaan dengan Yule (2006:82) tindak tutur adalah tindakan-
tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Dengan demikian, dapat disimpulkan tindak tutur
memiliki fungsi piskologis dan sosial saat berkomunikasi dan sebagai sarana untuk
melakukan sesuatu melalui tindakan-tindakan yang diucapkan lewat lisan.

8
     Berkenaan dengan tindak tutur, terdapat tindak tutur yang beragam sebagai berikut ini:
Austin (dalam Rani, 2010:160-163) membagi tindak tutur, yaitu tindak lokusi (lotionary act),
tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Bertolak dari
pendapat di atas, diuraikan sebagai berikut:

a. Tindak Lokusi

Tindak lokusi merupakan tindak yang menyatakan sesuatu tetapi tindak tersebut tindak
menuntut pertanggung jawaban dari lawan tutur.  Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut:
Ia mengatakan kepada saya, “Jangan lagi ganggu dia”. Pada kalimat tersebut merupakan
tuturan lokusi, penutur menggunakan kalimat deklaratif, penutur  menyatakan sesuatu dengan
lengkap pada saat ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan tutur.

b. Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi memiliki maksud sebaliknya dari tindak lokusi. Tindak ilokusi merupakan
tindak yang mengatakan sesuatu dengan maksud isi tuturan untuk meminta
pertanggungjawaban dari penutur. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Besok saya
tunggu di kampus A gedung A1. Pada kalimat tersebut yaitu “Besok saya tunggu”
merupakan tuturan ilokusi, penutur menggunakan peryataan berjanji kepada lawan tutur.
Peryataan berjanji tersebut meminta pertanggungjawab penutur akan tindakan yang akan
datang kepada lawan tutur.

c. Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah tindak yang mempengaruhi kondisi psikologis lawan tutur agar
menuruti keinginan penutur. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Maaf, saya sangat
sibuk. Kalimat tersebut merupakan tuturan perlokusi, penutur mempengaruhi kondisi lawan
tutur dengan menggunakan peryataan memberi maaf yaitu pada kata “maaf”. Kata “maaf”
dituturkan penutur agar lawan tutur mengerti akan kondisi penutur bahwa ia sangat sibuk,
sehingga tidak bisa diganggu.

Berbeda dengan Austin, Searle (dalam Leech, 2011:163-166) berpendapat membagi


tindak tutur ilokusi berdasarkan berbagai criteria, yaitu asertif, direktif, komisisf, ekspresif,
dan deklaratif. Bertolak dari pendapat tersebut jenis ilokusi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Asertif

9
Tindak tutur yang terikat akan kebenaran proposisi yang dituturkan, seperti, menyatakan,
mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.

b. Direktif

Tindak tutur yang menghasilkan suatu efek yang dituturkan oleh penutur, seperti
memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat.

c. Komisif

Tindak tutur yang terikat pada tindakan di masa yang akan datang, seperti menjanjikan,
menawarkan, berkaul.

d. Ekspresif

Tindak tutur tersebut terikat akan suatu tuturan yang mengutarakan sikap psikologis
secara tersirat, seperti, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf,
mengecam, memuji, mengucapkan belangsungkawa, dan sebagainya.

e. Deklaratif

Tindak tutur tersebut merupakan tindak yang terikat aka nisi proposisi dengan keadaan
aslinya, benar atau salah, seperti mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

Selain pendapat Austin dan Searle, Wijana (1996:29-36) mengklasifikasikan tindak tutur,
yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak
tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur
langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung tidak literal dan interaksi berbagai jenis
tindak tutur. Secara garis besar kategori-kategori wijana, sebagai berikut:

a. Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung

Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif) dengan


tuturan langsung memberitahukan dan tidak langsung menyuruh, kalimat tanya (interogratif)
dengan tuturan langsung bertanya dan tidak langsung menyuruh , dan kalimat perintah
(imperatif) dengan tuturan langsung memerintah. Sebagai tindak tutur dalam kalimat
berikut: Rachmat cuci sepeda motor itu!. Pada tuturan tersebut, penutur menggunakan

10
kalimat perintah langsung kepada lawan tutur. Kalimat perintah dalam tuturan tersebut di
tandai dengan tanda seru (!) yang berfungsi sebagai tanda perintah.

b. Tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang memiliki maksudnya sama
dengan isi tuturan yang sama, sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang memiliki maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan isi tuturan.
Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut:

1. Tulisanmu sangat bagus.

2. Tulisanmu sangat bagus, (tak usah menulis saja.)

Kalimat 1) bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengangumi tulisan yang
dibicarakan, merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat 2) karena penutur
memaksudkan bahwa tulisan lawan tuturnya tidak bagus dengan mengatakan tak usah
menulis saja, merupakan tindak tutur tidak literal.

Analisis Pragmatik

Linguistik sebagai cabang ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang
itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya.

Seperti yang diungkapkan di atas, linguistik memiliki berbagi cabang. Di antara cabang
tersebut memiliki hubungan yang menelaah tentang makna-makna satuan lingual yaitu
semantik dan pragmatik. Hal itu didukung oleh Wijana (2006:2) berpendapat semantik
mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara
eksternal. Bertolak dari pendapat Leech (dalam Wijana, 1996:4), yaitu kehadiran pragmatik
hanyalah tahap terakhir dari perkembangan lingustik yang berangsur-angsur, mulai dari
disiplin ilmu yang mengenai data fisik tuturan menjadi disiplin ilmu yang sangat luas
bersangkutan dengan bentuk, makna, dan konteks.

Dalam hal ini, beberapa pakar mendefinisikan pragmatik. Pragmatik merupakan


menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian
pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial.

Wijana (1996:1), berpendapat pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam

11
komunikasi.  Berbeda dengan Wijana, Yule (2006:5), mengungkapkan bahwa: pragmatik
adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk
itu.

  Dari kedua pendapat di atas, Levinson (dalam Tarigan, 2009:31),  mengunkapkan definisi
pragmatik lebih detail, yaitu telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang
merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah
mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat
dan konteks secara tepat.

Pandangan-pandangan tersebut seyogyanya memiliki arti yang sama, bahwa pragmatik


adalah bidang linguistik yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna. Sejalan
dengan pendapat di atas, pragmatik mengkaji tentang tuturan bahasa. Dengan demikian
pragmatik sangat erat dengan tindak tutur. Tuturan tersebut memiliki makna, maksud atau
tujuan, sehingga perlu dikaji dengan bidang pragmatik.

Ringkasan Isi Buku Pembanding

Bab II Jenis-jenis wacana

Pengklasifikasian wacana bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari
bentuk saluran yang di gunakan, dikenal wacana lisan dan tulis. Wacana tertulis adalah
wacana yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam bahasa tulis. Wacana
tulis (written discourse) mengandung pokok-pokok pikiran atau ide pokok yang harus
dipahami pembaca.Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang
dituliskan, dan penerapan sistem ejaan. Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan
dengan bahasa lisan atau lewat media lisan. Untuk dapat memahami wacana lisan, sang
penerima atau pesapa harus menyimak atau mendengarkannya. Wacana lisan biasanya
merujuk pada komunikasi lisan antara dua pihak yang biasanya melibatkan dua orang atau
lebih pembicara, yang disebut dialog atau percakapan.

Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal ada wacana monolog
dan dialog, Wacana monolog merupakan komunikasi searah. wacana yang tidak melibatkan
bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang berkepentingan. Dalam
wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan
pembicara. Pada saat itu, pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya,

12
tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Jadi, komunikasi berjalan searah, tidak ada yang
menjawab ujaran ini. Menurut Zaimar, dkk., (2009) wacana dialog didefinisikan sebagai
komunikasi timbal balik. Dalam wacana ini, terdapat dua orang pengirim atau lebih, biasanya
disebut percakapan. Secara bergantian, mereka berperan sebagai pengirim dan penerima. Ini
berarti, komunikasi berjalan dua arah. Sedangkan dilihat dari tujuan berkomunikasi, ada
wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan narasi.

Wacana Deskripsi

Deskripsi adalah suatu wacana yang mengemukakan representasi atau gambaran tentang
sesuatu atau seseorang, yang biasanya ditampilkan secara rinci. Dalam bahasa Indonesia,
deskripsi disebut juga pemerian. Wacana deskriptif merupakan hasil pengamatan serta kesan-
kesan penulis tentang objek pengamatan tersebut. Apabila deskripsi itu hidup, pembaca dapat
membayangkan sesuatu yang digambarkan itu. Tentu saja yang digambarkan itu dapat berupa
sesuatu yang nyata (riil), dapat juga merupakan fiksi.

Wacana Eksposisi

Wacana eksposisi mengandung suatu penjelasan dan bertujuan agar para pembaca
memahami sesuatu (suatu fenomena). Dengan demikian, wacana ini tidak digunakan untuk
mengubah pendapat orang, melainkan untuk memberikan suatu pengetahuan, memperluas
pandangan, atau menerangkan suatu pokok permasalahan. Itulah sebabnya jenis wacana ini
sering digunakan untuk menampilkan uraian ilmiah (misalnya makalah) dan bahasa yang
digunakannya adalah bahasa objektif, bukan bahasa subjektif.

Wacana Argumentasi

Wacana ini bertujuan mempengaruhi, mengubah pendapat, sikap atau tingkah laku
bahkan menggoyahkan keyakinan pembaca atau keseluruhan pendengarnya. Karena itu,
penanda utama dari wacana argumentatif adalah hubungan logis antargagasan.Kadang-
kadang, argumen dapat ditampilkan dengan bantuan wacana lain, misalnya wacana deskriptif
dapat dibuat sebagai argumen terhadap pemecahan suatu masalah, bahkan juga dalam bentuk
naratif (misalnya suatu fabel atau dongeng sebagai argumen moral).

Wacana Narasi

Wacana ini biasa disebut ―cerita‖, dan merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi
pada seorang tokoh (tokoh ini bisa manusia, binatang, tanaman atau benda). Peristiwa-

13
peristiwa itu bisa merupakan peristiwa nyata, meskipun tetap fiktif. Wacana naratif ditandai
oleh adanya hubungan waktu.

BAB III
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN BUKU

Buku utama

Kelebihan:

 Cover menarik sehingga mengundang seseorang untuk membaca buku ini.


 Cakupan materi luas.
 Bahasa yang digunakan mudah dimengerti.
 Buku ini dilengkapi dengan latihan di setiap akhir pembahasan bab.
 Ukuran buku ini tidak besar dan tidak terlalu kecil, sehingga mudah untuk di bawa
 Beberapa penjelasan juga disertai gambar dan tabel.

Kelemahan

Menurut saya kelemahan buku ini terdapat pada setiap awal bab tidak diberikan
pendahuluan yang berisi tujuan dari pemaparan materi dan rincian materi apa saja yang akan
dibahas. Dan pada akhir pemaparan materi buku ini tidak disertai rangkuman. Kemudian dari
segi tulisan, pada buku ini terdapat beberapa tulisan yang kurang jelas.

BukuPembanding

Kelebihan:

 Cover menarik sehingga mengundang seseorang untuk membaca buku ini.


 Bahasa yang digunakan mudah dimengerti.
 Pemaparan materi-materi setiap bab langsung ke inti-intinya.
 Cakupan materi luas.

Kelemahan:

14
Menurut saya kelemahan buku ini hanya pada pembahasan menggunakan bahasa yang
berulang-ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Malan. 2012. Analisis Wacana. Jakarta: Halaman Moeka.


Arifin, Bustanul, dkk. 2004. Analisis Wacana sebuah Kajian Bahasa Dalam Pemakaian.
Malang: Bayumedia Publishing.

15

Anda mungkin juga menyukai