Anda di halaman 1dari 21

CRITICAL BOOK REPORT

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pragmatik

Dosen Pengampu: Dr. M. Oky F. Gafari, M.Hum.

Oleh :

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Agung Wiguna (2203111067)

Nadya Sari Hasibuan (2203111066 )

Rivani Afri Yuli ( 2203311039)

Weandy Nabila NR (2201111005)

Kelas : Reguler E 2020

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI

2022

ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabil’alamin, saya ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan berkah dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Critical
Book Report ini. Critical Book Report ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Analisis Pragmatik.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan Critical Book Report ini
terdapat banyak kekurangan dan sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saya berharap
adanya kritik serta saran dan tentunya usulan setiap pembaca demi perbaikan tugas yang akan
kami buat di kemudian hari, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa kritik dan
saran dari pembaca yang membangun.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah Critical Book Report ini dengan rasa
terima kasih dan semoga makalah ini dapat memberi manfaat. Akhir kata saya ucapkan
banyak terima kasih.

Medan, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR......................................................................................1
B. TUJUAN PENULISAN CBR.........................................................................................................1
C. MANFAAT CBR............................................................................................................................1
D. IDENTITAS BUKU........................................................................................................................1
BAB II RINGKASAN BUKU.............................................................................................................3
A. BUKU UTAMA...............................................................................................................................3
B. BUKU PEMBANDING 1...............................................................................................................7
C. BUKU PEMBANDING 2.............................................................................................................10
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................................................14
A. KELEBIHAN BUKU....................................................................................................................14
B. KELEMAHAN BUKU.................................................................................................................14
BAB IV PENUTUP............................................................................................................................15
A. KESIMPULAN.............................................................................................................................15
B. SARAN..........................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR


Critical Book Report merupakan salah satu penugasan yang diberikan kepada
mahasiswa bertujuan melatih mahasiswa merumuskan definisi konseptual berdasarkan
sintesis teori-teori yang berkembang dari buku yang direlevan. Selain itu mahasiswa juga
diharap memiliki kemampuan dalam meringkas isi buku, membandingkan buku yang satu
dengan buku yang lain serta kemampuan menilai konstruksi buku.

Berdasarkan pemaparan tujuan dari penugasan Critical Book Report di atas dapat
disimpulkan bahwa Critical Book Report penting bagi mahasiswa agar mahasiswa berpikir
lebih kritis dalam mengkritik buku yang telah diringkas, dinilai dan dibandingkan dengan
buku yang lain. Selain itu, dengan adanya Critical Book Report maka mahasiswa dapat
meningkatkan kemampuannya dalam mengkritisi.

B. TUJUAN PENULISAN CBR


Adapun tujuan penulisan CBR ini yaitu:

1. Mengetahui perbandingan materi pada buku utama pragmatik dan buku pembanding.
2. Mengetahui ulasan kelebihan yang terdapat pada buku utama dan buku pembanding.
3. Mengetahui ulasan kelemahan yang terdapat pada buku utama dan buku pembanding.

C. MANFAAT CBR
Adapun manfaat penulisan CBR ini yaitu:

1. Meningkatkan kemampuan dalam mengkritisi isi buku yang berbeda.


2. Meningkatkan kemampuan dalam membandingkan isi buku yang berbeda.
3. Mengetahui lebih banyak informasi dan pengetahuan tentang pragmatik.

D. IDENTITAS BUKU
Buku Utama Buku Pembanding 1 Buku Pembanding 2
Judul Analisis Pragmatik Konteks Analyzing meaning (An
Pragmatik Ekstralinguistik dalam Introduction To
Perspektif Cyberpragmatics Semantics And
Pragmatics)

1
Edisi Pertama Pertama -
Pengarang Dr. Agus Dr. R. Kunjana Rahardi, Paul R. Kroeger
Yuliantoro, M.Hum.
M.Hum
Penerbit UNWIDHA Amara Books Languange Science Press
Press
Kota terbit Klaten Yogyakarta Berlin
Tahun 2020 2020 2018
terbit
ISBN 978-602-60734- 978-623-7042-46-4 978-3-96110-034-7
3-3

2
BAB II

RINGKASAN BUKU

A. BUKU UTAMA
Bab I. Pendahuluan

Pragmatik merupakan bidang kajian yang relatif belum lama atau masih muda
kemunculannya. Morris (1995:50) mengungkapkan buah pikirannya tentang ilmu semiotik
yang membagi menjadi tiga macam bidang kajian, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Pemikirannya tentang ketiga hal itu, merupakan cikal- bakal munculnya kajian ilmu
pragmatik. Secara historis, pada awalnya pragmatik belum dibicarakan sebagai bagian bidang
kajian linguistik. Komponen-komponen kajian linguistic meliputi: fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik. Oleh karena itu, jika tidak ditambah dengan istilah linguistik,
pragmatik dapat masuk bidang kajian semiotik (bidang ilmu yang lebih luas dibandingkan
dengan linguistik).

Beberapa ahli semiotik mengkaji pragmatik sebagai system tanda, sedangkan


beberapa ahli linguistik memasukkan pragmatik sebagai komponen kajian linguistik. Arti
yang digramatikalisasi dalam sebuah struktur kalimat dapat dipahami secara semantik, tetapi
arti tuturan dalam konteks tertentu tidak sama artinya dengan arti secara semantik. Arti
tuturan harus dipahami dalam konteks tuturan itu sehingga dipahami secara pas. Jadi,
pandangan Levinson tentang pragmatik pada intinya adalah ilmu yang mempelajari arti
tuturan (penggunaan bahasa) sesuai dengan konteks penggunaan bahasa itu. Pada dasarnya
pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan penggunanya. Hal itu sesuai dengan
pendapat Gibson (dalam Mey, 1993:5) yang menguraikan bahwa pragmatics is the science of
language seen in relation to its users. … but the science of language as it is used by real, live
people, for their own purposes and within their limitations and affordances. „pragmatik
adalah ilmu tentang bahasa yang melihat hubungan antara bahasa dengan penggunanya …
hanya ilmu tentang bahasa yang dimaksudkan itu merupakan ilmu tentang bahasa yang
digunakan oleh orang yang ada dalam kehidupan nyata demi tujuan mereka dan dalam segala
keterbatasan dan keberhasilannya.‟

Bab II. Teori Pragmatik

3
Larsen (1998) menguraikan pengertian teks berdasarkan semiotik. The compound of
actually realized signs, filtered through the discursive logic of intentionality, is a „text‟. The
text might seem the most selfevident of the semiotic key notions: the material manifestation of
sign, especially verbal signs. But it has in fact received different definitions and has been
used on different levels of argumentation (cf. Larsen, 1998:838). „Teks merupakan gabungan
tetanda yang direalisasikan secara aktual, yang disaring lewat logika diskursif dari
intensionalitas. Teks merupakan bukti diri yang paling utama dari nosi-nosi kunci penentu
semiotik: yaitu manifestasi material tetanda khususnya tetanda verbal. Teks itu pada
kenyataannya telah ditentukan secara berbeda-beda dan ketentuan itu pun sudah digunakan
pula pada tingkat argumentasi yang berbeda-beda‟. Teks dapat berujud tulisan dan dapat pula
berujud lisan. Teks dapat pula suatu tuturan yang pendek atau panjang lebar berupa cerita dan
dapat pula berupa tulisan apapun yang berisi pesan-pesan tertentu.

Teks menurut Togeby dapat berujud apapun yang pada intinya merupakan pesan
penutur/penulis kepada mitra tutur/pembaca. Secara historis perkembangan pragmatik tidak
lepas dari sumbangan pemikiran dari para linguis. Perkembangan itu didasarkan pada
perbedaan sudut pandang tentang linguistik dari segi formal dan dari segi fungsi. Perbedaan
pandangan melahirkan kajian pragmatik dengan objek tindak tutur oleh Austin. Kemudian
Searle melengkapi pandangan Austin dengan pemikirannya tentang makrofungsi tindak tutur
dan tindak tutur langsung dan tidak langsung. Grice menyumbangkan pikirannya tentang
interaksi penutur dan mitra tutur. Interaksi dapat komunikatif bila memenuhi prinsip kerja
sama. Leech melengkapi prinsip kerja sama Grice dengan prinsip kesantunan, sebab prinsip
kerja sama tidak cukup. Prinsip kesantunan dimaksudkan agar dalam berinteraksi, peserta
tutur tidak menimbulkan friksi atau konflik. Sama halnya dengan Leech, Brown dan
Levinson maupun Sperber dan Wilson melengkapi dengan prinsip kesantunan.

Bab III. Tindak Tutur Penolakan Masyarakat Surakarta Dalam Transaksi Jual Beli Di Pasar
Tradisional
Pada pembahasan tindak tutur penolakan masyarakat Jawa Surakarta dan masyarakat
Jawa Banyumas dalam transaksi jual-beli di pasar tradisional, diuraikan masing-masing tujuh
transaksi jual-beli, baik di Surakarta maupun di Banyumas. Setiap transaksi dibahas hal-hal
yang menyangkut: (a) penanda lingual penolakan; (b) rangkaian penolakan dalam setiap
transaksi; (c) ada tidaknya pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesantunannya; dan (d)
karakteristik tindak tutur penolakan. Jenis barang dagangan yang ditransaksikan dipilih
barang dagangan seperi: sayur-mayur (beserta rangkaiannya: bumbu masak dan rempah-

4
rempah), daging atau hewan, dan pakaian. Pemilihan jenis barang dagangan itu, dengan
alasan bahwa sebagian besar transaksi di pasar tradisional, yang sering terjadi tawar-menawar
adalah ketiga barang tersebut. Dengan sering terjadinya tawar-menawar, maka akan terjadi
pula beberapa tindak tutur penolakan.
Penolakan yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam transaksi jual-beli di pasar
tradisional, sumber datanya diambil dari: (1) tiga kali transaksi yang terjadi di Pasar Legi,
Banjarsari, Surakarta; (2) dua kali transaksi yang terjadi di Pasar Kebakkramat, Karanganyar;
dan (3) dua kali transaksi di Pasar Sunggingan, Karanggeneng, Boyolali. Pemilihan peristiwa
transaksi di Pasar Legi, Banjarsari, Surakarta, dengan alasan bahwa Pasar Legi merupakan
pasar tradisional yang besar di Surakarta, penjual dan pembelinya pluralis, artinya berasal
dari dalam dan luar kota, jenis dagangan beraneka ragam, dan usia pembeli beragam.
Adapun pemilihan peristiwa transaksi di Pasar Kebakkramat, Karanganyar dan di Pasar
Sunggingan, Karanggeneng, Boyolali, dengan alasan bahwa kedua tempat ini merupakan
daerah yang dekat dengan pusat kota Solo, tetapi menjauh dari lingkungan bahasa Jawa baku,
yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Bab IV. Tindak Tutur Penolakan Masyarakat Banyumas Dalam Transaksi Jual Beli Di Pasar
Tradisional
Penolakan masyarakat Jawa Banyumas dalam transaksi jual-beli di pasar tradisional,
beberapa sumber data penelitian diambil dari: (1) tiga kali transaksi jual-beli yang terjadi di
Pasar Manis, Purwokerto, Banyumas; (2) dua kali transaksi jual beli yang terjadi di Pasar
Glempang, Bancar Kembar, Banyumas; dan (3) dua kali transaksi jual beli di Pasar Wangon,
Banyumas. Pemilihan transaksi jual-beli di Pasar Manis, Purwokerto, Banyumas dengan
alasan bahwa pasar itu merupakan pasar tradisional yang besar di Banyumas, penjual dan
pembelinya pluralis, artinya berasal dari dalam dan luar kota, jenis dagangan beraneka ragam.
Sedangkan
pemilihan peristiwa transaksi di Pasar Glempang, Bancar Kembar, Banyumas karena pasar
ini berada di tengah kota tetapi pengunjungnya atau pembelinya kebanyakan berasal dari
lingkungan pasar itu dan Bahasa yang digunakan sebagian besar menggunakan bahasa Jawa
Banyumasan.
Pemilihan lokasi di Pasar Wangon, Banyumas dengan alasan di kota Kecamatan yang
strategis yang dilewati lalu-lintas jurusan Yogyakarta – Jakarta, dan jauh dari kota Banyumas.
Pembeli dan penjual mempunayai keragaman latar belakang budaya.
Bab V. Perbandingan Penolakan Dalam Transaksi Jual Beli Di Pasar Tradisional Surakarta
(S) Dan Banyumas (B)
5
Rangkaian penolakan yang disampaikan secara langsung (menyatakan penolakan)
oleh pembeli di Surakarta dari tujuh transaksi sejumlah tiga kali (3x) penolakan dan sembilan
kali (9x) penolakan oleh pernjual. Adapun di Banyumas enam kali (6x) oleh pembeli dan
sebelas kali (11x) oleh penjual. Bentuk tindak tutur penolakan secara tidak langsung (t.l)
yang disampaikan oleh pembeli di Surakarta sebanyak enam belas kali (16x) dan dua belas
kali (12x)
oleh penjual. Adapun di Banyumas dua puluh satu kali (21x) oleh pembeli dan sebelas kali
(11x) oleh penjual. Selebihnya merupakan variasi dari langsung dan tidak langsung.
Penanda lingual yang dituturkan oleh pembeli/penjual (di Surakarta) adalah: 5/11
dengan menggunakan kata pendesak ingkar “tidak” (p.t); 9/- derngan cara menurunkan harga
(mrn.h); 4/- dengan cara mencela (mcl); 1/- dengan cara memberi alasan (als); 1/6 dengan
cara
menjelaskan (mjls); 2/- dengan cara membandingkan (bnd); 1/- dengan cara memuji (mj); 1/-
dengan cara berpura-pura (pr); 1/1 dengan cara menegaskan kembali yang pernah dituturkan
(pgs); -/2 dengan cara menurunkan harga tawar (mrn.h); -/2 dengan cara mengucapkan terima
kasih (tk); -/1 dengan cara mengalihkan pembicaraan (alh); -/1 dengan cara memberi pilihan
(plh); dan -/1 dengan cara berjanji (jj). Adapun di Banyumas adalah: 6/11 dengan
menyatakan tidak (p.t); 12/- dengan cara menurunkan harga (mrn.h); 3/- dengan cara mencela
(mcl); 1/- dengan cara menjelaskan (mjls); - /1 dengan cara memuji (mj); 1/- dengan cara
berpura-pura (pr); 2/2 dengan cara menegaskan apa yang telah dituturkan sebelumnya (pgs);
-/5 dengan cara menurunkan harga tawar (mnt); 1/1 dengan cara mengalihkan pembicaraan
(alh); 1/- menyatakan tidak dilanjutkan menurunkan harga (p.t+mrn.h); 2/- mencela
dilanjutkan menurunkan harga (mcl+mrn.h); 1/- menurunkan harga dilanjutkan mengurangi
barang dagangan (mrn.h+kr); -/1 menyatakan tidak dilanjutkan menurunkan harga tawar
(p.t+mnt); -/1 dengan cara merendah (mrd); dan -/1 dengan cara menyuruh (myrh).
Penolakan yang menyangkut prinsip kerja sama – prinsip kesantunan hanya ada satu,
yaitu tindak tutur penolakan yang disampaikan melanggar prinsip kerja sama tetapi
memenuhi prinsip kesantunan, dilanjutkan tindak tutur yang melanggar prinsip kerja sama
sekaligus melanggar prinsip kesantunan (tmPK-mS+tmPK-tmS). Adapun persamaan yang
paling dominan adalah tindak tutur penolakan yang memenuhi prinsip kerja sama tetapi
melanggar prinsip kesantunan (mPK-tmS).
Bab VI. Hasil Analisis
Temuan penelitian pertama, penolakan dengan menggunakan penanda lingual matur
nuwun „terima kasih‟ dan “nibakke” „membeli dengan uang yang dipunyai‟ merupakan cirri
6
khas penolakan dalam transaksi jual-beli di pasar tradisional. Temuan penelitian kedua,
penolakan yang dilakukan pembeli dan penjual di pasar tradisional Surakarta dan Banyumas
mempunyai ciri kesantunan yang berbeda dengan penolakan yang santun pada peristiwa tutur
pada mumnya. Temuan penelitian ketiga, pada dasarnya penolakan dalam transaksi jual-beli
di pasar tradisional adalah usaha pembeli dan penjual untuk mengadakan kesepakatan atau
mengkompromikan harga.
Bab VII. Penutup
Penanda lingual penolakan dari pihak pembeli dalam transaksi jual-beli, didominasi
oleh bentuk numeralia dengan kadar makna jumlah harga yang lebih kecil dari yang dipatok
penjual, seperti: nem ewu, sepuluh ewu, pitulas ewu. Sedangkan penanda lingual dari pihak
penjual dalam transaksi jual-beli, didominasi oleh bentuk kata pendesak ingkar. Khusus
untuk tindak tutur penolakan yang menggunakan penanda berbentuk kata pendesak ingkar,
Rangkaian tindak tutur penolakan yang dilakukan pembeli yang paling dominan adalah
menyampaikan penolakan secara tidak langsung (t.l) dengan cara menurunkan harga tawar,
mempunyai arti literal (lt), dan menggunakan ragam bahasa informal. ditemukan sembilan (9)
pola tindak tutur penolakan pembeli dan penjual yang berhubungan dengan prinsip kerja
sama dan prinsip kesantunan.
Beberapa varian tindak tutur penolakan dengan penanda lingual satuan pendesak
ingkar, ternyata masing-masing lokasi pasar mempunyai kekhasanya masing-masing.
Demikian halnya dengan rangkaian tindak tutur penolakan, jenis tindak tutur penolakan, dan
relasi prinsip kerja sama dengan prinsip kesantunan yang masing-masing lokasi pasar
mempunyai ciri khasnya masing-masing. Penelitan dalam lokasi atau daerah yang lebih luas
tetapi lebih mendalam tentang tindak tutur penolakan semacam ini akan menambah
pengetahuan tentang varian tindak tutur penolakan di berbagai daerah.

B. BUKU PEMBANDING 1
Bab I. Dari Pragmatik Sistemik Menuju Cyberpragmatics
Pragmatik baik sebagai perspektif maupun sebagai bidang ilmu, hadir kemudian
setelah tatabahasa berkembang secara optimal dan masif dalam percaturan linguistik,
khususnya linguistik formal. Formalisme dalam linguistik sangat kentara ditandai oleh
pandangan strukturalistik dalam studi bahasa, yakni pandangan yang lebih berfokus untuk
melihat bentuk (form) dan makna (meaning) entitas kebahasaan tertentu. Maka dari itu,
linguistik itu dipandang berhierarki dari yang paling dasar, yakni fonologi dengan substansi
fonetik dan fonemik sebagai lapis bahasa yang paling dasar dalam ilmu bahasa.

7
Proses pembentukan kata tersebut dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat
diakronis dan yang bersifat sinkronis. Proses pembentukan kata yang ketiga adalah komposisi
atau pemajemukan. Di dalam semantik sebuah kata dimaknai tanpa melibatkan konteks
eksternalnya melainkan mempertimbangkan konteks internalnya. Semantik yang semula
lebih bertitik fokus pada kata dan mengabaikan konteks yanhg bersifat non-kebahasaan,
mulai bergulir pula berkat orientasi fungsi yang dicanangkan oleh kaum fungsionalis dalam
aliran fungsionalisme dalam linguistic di atas dengan bidang-bidang interdisipliner yang lain
sudah jelas dipaparkan di dalam subbab terdahulu. Di dalam paparan konstelasi itu tampak
jelas sekali bahwa pragmatik sesungguhnya berada di luar lingkup internal bahasa. Dikatakan
demikian karena dalam pragmatik itu yang dikaji adalah maksud penutur melalui tuturan
yang diucapkan penutur tersebut. Maksud penutur dapat dicermati lewat tuturan karena
sesungguhnya tuturan merupakan tindak verbal. Ihwal tuturan sebagai tindak verbal sudah
banyak diterangjelaskan dalam bidang kajian tentang tindak tutur
Bab II. Konteks Dalam Studi Linguistik Versus Konteks Dalam Studi Pragmatik
Konteks dalam studi bahasa secara garis besar dapatdipilah menjadi dua, yakni
konteks internal dan konteks eksternal. Konteks internal bertali-temali dengan aspek-aspek
intrakebahasaan. Adapun konteks eksternal bertautan dengan aspek-aspek ekstra kebahasaan.
Dalam studi pragmatik interkultural dan antarkultural, misalnya saja, peran konteks sosial
dan konteks sosietal serta konteks kultural tentu sangat besar. Akan tetapi di dalam pragmatik
umum (general pragmatics), peran dari konteks
situasional lebih dominan sekalipun konteks sosial, sosietal, dan kultural juga memiliki peran
yang signifikan dalam menentukan maksud dalam studi pragmatik umum. Konteks internal
menunjuk pada apek-aspek konteks intrakebahasaan. Maksudnya adalah aspek-aspek yang
berada di dalam bahasa itu sendiri. Fokus studi pragmatik bergeser dari tataran pertama yang
masih berorientasi pada makna untuk sebagian dan pada maksud untuk bagian-bagian
berikutnya, khususnya dalam pragmatic sistemik atau semantiko-pragmatik, pada tahapan
selanjutnya mulai masuklah aspek-aspek dimensi kemasyarakatan untuk dilibatkan dalam
pemaknaan maksud penutur. Pelibatan aspek-aspek sosial itu seiring dengan meredupnya
formalisme dalam studi linguistik dan bergeser ke arah fungsionalisme linguistic yang
ditandai dengan semakin gencarnya orientasi fungsi dalam studi bahasa. Maka mulai saat
itulah berkembang linguistik yang bertali-temali dengan masyarakat karena disadari bahwa
secara fungsional bahasa tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang mewadahinya.
Konteks sosial telah dipaparkan dengan jelas dan terperinci di bagian terdahulu,
sedangkan konteks sosial dimaknai sebagai konteks sosial yang berdimensi vertikal.
8
Maksudnya adalah bahwa relasi sosial itu bertautan dengan status sosial dan jenjang sosial.
Seorang pakar menyebut bahwa ‘Societal context is essentially the way an event or situation
is perceived based on the cultural norms that surround that situation.’ Pandangan ini tidak
terlampau jelas menunjukkan bahwa konteks sosial itu berdimensi status dan jenjang sosial.
Studi pragmatik demikian luas tali-temalinya. Bukan saja pragmatik itu berkaitan dengan
persoalan situasi atau suasana dari terjadinya pertuturan sebagai penentu maksud, tetapi juga
dimensi-dimensi lain yang hadir secara terpisah maupun yang hadir secara bertali-temali.
Bab III. Konteks Sosial, Sosietal, Kultural, Dan Situasional Dalam Perspektif Historis
Teori konteks situasi pertama kali diinisasi oleh Malinowski yang pada saat dia
sebagai seorang antropolog ternama di Eropa meneliti secara etnografis bahasa Kiriwinia di
dalam Masyarakat Trobriand Kepulauan Pasifik. Dari pekerjaan pencatatan etnografinya, dia
mendapatkan kesulitan dalam memahami teks-teks dalam bahasa di wilayah Papua Nugini
tersebut. Dalam perspektif waktu yang berbeda, diyakini akan terjadi perkembangan elemen
konteks situasi yang berbeda-beda pula. Selanjutnya adalah aspek tindakan partisipan yang
dapat dipilah menjadi dua, yakni tindakan yang bersifat verbal dengan pemerantian bahasa
natural manusia, dan tindakan yang bersifat tidak verbal dengan pemerantian bahasa-bahasa
yang sifatnya nonverbal.
Konteks sosial-sosietal banyak dipahami untuk menafsirkan kode-kode komunikatif
dalam masyarakat di era-era berkembangnya penolakan paradigma kajian bahasa secara
formalistik. Berangkatnya teori konteks sosial, yang sesungguhnya di dalamnya juga terdapat
dimensi konteks sosietal itu, ditandai dengan kehadiran konsep etnografi berbicara dari Dell
Hymes yang terumus secara mnemonik atau ada yang mengatakan memoteknik dalam
ungkapan singkat SPEAKING. Selain ungkapan memoteknik SPEAKING, terdapat pula
ungkapan pembantu menghafal yang lain, yakni PARLANT. Konteks kultural tidak dapat
dilepaskan dari konteks social dan konteks sosietal. Ketiganya berhubungan secara sangat
erat, dan yang satu bertautan dengan yang lainnya. Dikatakan demikian karena sesungguhnya
dimensi-dimensi konteks kultural itu ibarat sisi keping uang logam yang bersisi dua dengan
konteks-konteks tersebut. Salah satu aspek yang sangat mendasar terdapat dalam konteks
kultural adalah dimensi-dimensi keyakinan yang lazimnya berupa asumsi-asumsi filosofis
dan simbolis dari masyarakat yang bersangkutan.
Bab IV. Konteks Dan Media Sosial Dalam Wahana Cyberpragmatics
Sebagai cabang ilmu bahasa yang paling baru dalam linguistik, pragmatik mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Pragmatik lahir pada tahun 70-an khususnya di belahan
bumi Amerika sebagai pemikiran baru dari para tokoh aliran mentalistik dalam linguistik
9
yang ditokohbesari Avram Noam Chomsky (Chierchia, 2001), (Lieberman, 2015). Para tokoh
aliran tersebut merasa bahwa studi makna yang diwadahi dalam semantik terbukti banyak
menyisakan persoalan. Dikatakan demikian karena semantik hanya berkutat pada masalah
makna linguistik. Dalam bertutur, maksud penutur tidak semuanya dapat diwujudkan dalam
tuturan yang dimaknai dalam semantik tersebut. Maksud penutur justru hadir di luar semantik
yang selama itu dipercaya dapat menjelaskan segala persoalan makna.
Lakoff dan Ross selanjutnya melahirkan pragmatik sebagai tingkatan yang berada di
atas semantik. Akan tetapi pragmatic yang dilahirkan oleh kedua tokoh besar linguistik
Amerika ini tidak sama dengan pragmatik yang dipahami sekarang oleh banyak kalangan.
Pragmatik dalam perspektif Lakoff dan Ross tidaklah dapat dipisahkan dari semantik itu
sendiri. Konteks sosial menunjuk pada konteks yang berwujud relasi-relasi kemasyarakatan
yang sifatnya horizontal atau mendatar. Konteks sosial bersentuhan dengan hubungan
antarwarga komunitas atau warga masyarakat yang bersifat setara atau sejajar status
sosialnya, seperti hubungan antarpetani, antarpedagang, antarnelayan, antarmahasiswa, dan
seterusnya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa di dalam konteks sosial tidak
ditemukan fakta-fakta jarak sosial yang disebabkan oleh terdapatnya perbedaan status sosial
yang ada dalam sebuah masyarakat.

C. BUKU PEMBANDING 2
Bab I. Konsep dasar

Penulis Amerika Mark Twain dikatakan telah menggambarkan orang tertentu sebagai
“orang baik dalam arti kata yang paling buruk.” Humor dari komentar ini sebagian terletak
dalam penggunaan kata baik yang tidak terduga, dengan sesuatu yang dekat dengan
kebalikannya dari arti normalnya: Twain tampaknya menyiratkan bahwa pria ini puritan,
merasa benar sendiri, menghakimi, atau mungkin munafik. Namun demikian, meskipun
menggunakan kata dengan cara yang tidak biasa ini, Twain masih berhasil berkomunikasi
setidaknya sifat umum dari pesan yang dimaksudkan.

Kekonyolan Twain adalah contoh yang sedikit ekstrem dari sesuatu yang diucapkan
pembicara lakukan secara teratur: menggunakan kata-kata lama dengan makna baru Klaim
Humpty Dumpty sebagai "penguasa" kata-katanya — untuk dapat menggunakan kata-kata
dengan arti apa pun yang dia pilih untuk diberikan — lucu karena itu tidak masuk akal. Jika
orang benar-benar berbicara seperti itu, komunikasi tidak akan mungkin terjadi. Mungkin
fakta terpenting tentang makna kata adalah bahwa mereka harus dibagikan oleh komunitas

10
penutur: penutur bahasa tertentu harus setuju, setidaknya sebagian besar waktu, tentang apa
arti setiap kata.

Namun, meskipun benar bahwa kata-kata harus memiliki arti yang disepakati, Twain
komentar menggambarkan bagaimana makna kata dapat diregangkan atau diperluas dalam
berbagai cara-cara baru, tanpa kehilangan pemahaman di pihak pendengar. Kontras antara
komunikasi sukses Mark Twain dan kegagalan Humpty Dumpty untuk berkomunikasi
menunjukkan bahwa konvensi untuk memperluas makna juga harus dimiliki oleh masyarakat
tutur. Dengan kata lain, sepertinya ada aturan untuk membengkokkan aturan. Dalam buku ini
kita akan tertarik pada aturan untuk komunikasi "normal", dan dalam aturan untuk
membengkokkan aturan.

Bab II. Arti kata

Semiotika adalah studi tentang hubungan antara tanda dan maknanya. Dalam buku ini
kami tertarik pada hubungan antara bentuk dan makna dalam jenis sistem simbolik tertentu,
yaitu bahasa manusia. diagramnya adalah cara mengilustrasikan bagaimana penutur
menggunakan bahasa untuk menggambarkan sesuatu, peristiwa, dan situasi di dunia. Seperti
yang akan kita lihat ketika kita mulai melihat arti kata, apa yang sebenarnya digambarkan
oleh pembicara adalah penafsiran tertentu, atau cara berpikir tentang, situasi. Sekarang
deskripsi linguistik pembicara jarang jika pernah mencakup segala sesuatu yang pembicara
ketahui atau yakini tentang situasinya, dan apa yang diyakini pembicara tentang situasi
tersebut mungkin tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya di dunia. Dengan demikian tidak
ada korespondensi satu-satu antara pembicara representasi mental dan situasi aktual di dunia
atau linguistik ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan situasi tersebut. Namun, ada
tautan yang kuat atau asosiasi yang menghubungkan masing-masing domain ini dengan
domain lainnya.

Pendekatan dasar yang kami adopsi dalam buku ini berfokus pada hubungan antara
linguistik ekspresi dan dunia. Pendekatan ini sering disebut sebagai denotasional semantik.
Pendekatan alternatif yang penting, semantik kognitif, berfokus pada tautan antara ekspresi
linguistik dan representasi mental. Tentu saja, kedua pendekatan mengakui bahwa ketiga
sudut Segitiga Semiotik terlibat dalam setiap tindakan komunikasi linguistik. Salah satu
motivasi untuk mengadopsi denotasional pendekatan berasal dari fakta bahwa sangat sulit
untuk menemukan bukti langsung tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran
pembicara. Motivasi kedua adalah kenyataan bahwa pendekatan ini telah terbukti cukup

11
berhasil dalam memperhitungkan komposisionalitas (bagaimana makna dari ekspresi
kompleks, misalnya kalimat, terkait dengan arti bagian-bagiannya).

Bab III. Implikatur

Proposisi yang bukan kontradiksi atau analitik dikatakan sintetik. Proposisi ini
mungkin benar dalam beberapa situasi dan salah dalam situasi lain, jadi menentukan nilai
kebenarannya tidak hanya membutuhkan pemahaman maknanya tetapi juga mengetahui
sesuatu tentang keadaan dunia atau situasi saat ini dalam diskusi. Sebagian besar kalimat
(deklaratif) yang dihasilkan pembicara dalam pidato sehari-hari adalah jenis ini. Penulis
mengharapkan analisis makna kalimat yang memadai untuk memberikan penjelasan mengapa
kalimat-kalimat tertentu bersifat analitik, dan mengapa kalimat-kalimat tertentu bersifat
kontradiksi. Jadi satu kriteria untuk mengevaluasi manfaat relatif dari kemungkinan analisis
semantik adalah untuk menanyakan seberapa sukses dalam hal ini.

Bab IV. Semantik komposisi

Jika seseorang berkata kepada kami, Entah Joe gila atau dia berbohong, dan dia tidak
gila, dan kami percaya pembicara untuk jujur dan berpengetahuan luas, kami secara alami
akan menyimpulkan bahwa Joe berbohong. Ini adalah contoh inferensi: mengetahui bahwa
satu fakta atau fakta benar memberi kita dasar yang memadai untuk menyimpulkan bahwa
beberapa fakta lain adalah juga benar.

Logika adalah ilmu menyimpulkan. Salah satu tujuan penting dari logika adalah untuk
memberikan akun sistematis untuk jenis penalaran atau kesimpulan yang kita secara intuitif
tahu benar, seperti contoh yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya. Di memikirkan
contoh-contoh seperti itu, akan sangat membantu untuk meletakkan masing-masing premis
(fakta yang menjadi dasar inferensi) dan kesimpulan (fakta yang disimpulkan) seperti yang
ditunjukkan pada (1). Untuk rantai inferensi yang lebih panjang dan lebih kompleks, format
yang sama dapat digunakan untuk meletakkan setiap langkah dalam penalaran dan dengan
demikian memberikan bukti bahwa kesimpulan itu benar.

Bab V. Modals, conditional dan causations

Kai von Fintel (2006:20) mendefinisikan Modalitas sebagai “sebuah kategori makna
linguistik berkaitan dengan ekspresi kemungkinan dan kebutuhan.” Sebagian besar jika tidak
semua bahasa memiliki sarana leksikal untuk mengekspresikan konsep-konsep ini, mis. Ada
kemungkinan bahwa… atau Perlu bahwa …, tetapi dalam bab ini kita akan memusatkan

12
perhatian kita pada jenis modalitas yang dapat diekspresikan secara gramatikal, mis. dengan
afiksasi verbal, partikel, atau kata kerja bantu. Dalam bahasa Inggris, modalitas diekspresikan
terutama oleh modal auxiliaries: mungkin, mungkin, harus, harus, bisa, seharusnya, dll.
(Ungkapan harus sering dimasukkan dalam diskusi tentang modals bahasa Inggris karena itu
adalah kata penutup sinonim harus; tetapi tidak memiliki distribusi sintaksis yang unik dari
kebenaran kata kerja bantu dalam bahasa Inggris, dan perbedaan sintaksis terkadang memiliki
semantik konsekuensi.) Diuraikan kisaran makna modal di sepanjang dua dimensi dasar.

Yang pertama adalah kekuatan, atau tingkat kepastian (misalnya, harus dikatakan "lebih kuat"
dari mungkin). Dimensi kedua adalah jenis kepastian atau kekurangan kepastian yang sedang
diungkapkan, mis. kepastian pengetahuan, kebutuhan oleh otoritas, dll. Kita akan melihat
bahwa dalam banyak bahasa bentuk modal yang sama dapat digunakan untuk dua atau lebih
jenis modalitas yang berbeda. Kita akan melihat beberapa bukti menyarankan bahwa bentuk-
bentuk seperti itu adalah polisemi, tetapi juga beberapa alasan untuk menantang asumsi ini.

Bab VI. Tenses dan aspek

Beberapa penulis telah mengutip tes tertentu sebagai bukti untuk membedakan
keadaan vs. peristiwa, yang sebenarnya adalah tes untuk agen/kehendak vs. non-agen/non-
kehendak situasi. Misalnya, hanya situasi agen/kehendak yang biasanya dapat diekspresikan
dalam imperatif; dimodifikasi oleh adverbial berorientasi agen (misalnya sengaja); atau
tampil sebagai pelengkap predikat Kontrol (mencoba, membujuk, melarang, dll.). Ternyata
sebagian besar negara bagian adalah non-agent, tetapi tidak semua predikat non-agent adalah
keadaan (misalnya mati, meleleh, jatuh, berdarah, dll.). Selain itu, beberapa predikat statif
dapat terjadi dalam imperatif atau pelengkap kontrol (Hati-hati! Dia mencoba untuk menjadi
bagus. Saya membujuknya untuk tidak terlalu formal.), menunjukkan bahwa keadaan ini
setidaknya berpotensi disengaja. Penting untuk menggunakan tes yang tepat untuk pertanyaan
yang tepat. Perbedaan penting kedua adalah antara peristiwa telic vs. atelic. Sebuah telepon
acara adalah salah satu yang memiliki titik akhir alami. Contohnya termasuk sekarat, tiba,
makan sandwich, menyeberangi sungai, dan membangun rumah. Dalam setiap kasus, mudah
diketahui ketika acara selesai: pasien sudah mati, sandwich hilang, rumah itu dibangun, dll.

Banyak peristiwa telic (misalnya membangun, menghancurkan, mati, dll.) melibatkan


semacam perubahan negara dalam argumen tertentu, umumnya pasien atau tema. Argumen
ini “mengukur” peristiwa, dalam arti bahwa setelah keadaan hasil tercapai, peristiwa tersebut
berakhir. Beberapa peristiwa telik diukur dengan argumen yang tidak mengalami perubahan

13
keadaan, mis. membaca novel: ketika novel setengah dibaca, acara sudah setengah berakhir,
tetapi novel tidak selalu berubah dengan cara apa pun.

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. KELEBIHAN BUKU
Buku utama yang berjudul “Analisis Pragmatik” memiliki beberapa kelebihan yaitu
penjelasan yang dipaparkan dengan baik, runtut dan jelas, dijelaskan secara terstruktur dan
rinci, pada buku ini terdapat daftar isi pada awal buku sehingga memudahkan pembaca dalam
menemukan topik pembahasan yang diinginkan, selain itu juga dicantumkan referensi di
setiap akhir bab sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui referensi dari isi buku
tersebut.

Buku pembanding pertama yang berjudul “Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam


Perspektif Cyberpragmatics” memiliki beberapa kelebihan yaitu penjelasan dijelaskan
dengan baik, padat, terperinci dan secara mendalam, dicantumkan tidak hanya satu contoh
tapi ada beberapa contoh penjelasan untuk sabuah penjelasan. Sehingga dengan hal-hal
tersebut dapat menambah pemahaman penulis dengan lebih baik tehadap isi bacaan tersebut.
Selain itu juga terdapat pendalaman materi dan kegiatan refleksi setiap penjelasan bab. Buku
pembanding kedua yang berjudul “Analyzing meaning (An Introduction To Semantics And
Pragmatics)” memiliki kelebihan yaitu memaparkan materi dengan ringkas, padat dan terurut.
Serta penjelasan materi pada buku pembanding kedua ini cukup lengkap.

B. KELEMAHAN BUKU
Dari buku yang telah dibaca, ditemukan pada buku utama yang berjudul “Analisis
Pragmatik” memiliki kelemahan yaitu masih terdapat beberapa istilah yang sedikit sulit
dipahami oleh pembaca. Sedangkan pada buku pembanding pertama yang berjudul
“Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam Perspektif Cyberpragmatics” memiliki
kelemahan yaitu penjelasan yang terlalu panjang sehingga membuat pembaca sedikit merasa
bosan dan ditemukannya kesalahan pengetikan, serta pada buku pembanding kedua yang
berjudul “Analyzing meaning (An Introduction To Semantics And Pragmatics)” memiliki
kelemahan yaitu isi buku yang menggunakan bahasa Inggris sehingga beberapa pembaca
harus menerjemahkannya terlebih dahulu untuk mengerti isi buku.

15
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Buku utama maupun buku pembanding sama-sama memiliki kelebihan dan
kekurangan. Namun, buku utama lebih memiliki banyak kelebihan seperti penjelasan yang
dipaparkan dengan baik, runtut dan jelas, dijelaskan secara terstruktur dan rinci, pada buku
ini terdapat daftar isi pada awal buku sehingga memudahkan pembaca dalam menemukan
topik pembahasan yang diinginkan, selain itu juga dicantumkan referensi di setiap akhir bab
sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui referensi dari isi buku tersebut.. Buku
utama dan buku pembanding ini dapat digunakan sebagai referensi oleh mahasiswa jurusan
bahasa dan sastra untuk mendapatkan informasi tentang ilmu pragmatik.

B. SARAN
Menurut buku yang sudah saya baca, penulis menyarankan buku utama tersebut bagi
pembaca yang ingin mencari referensi dan penambahan wawasan tentang pragmatik

16
DAFTAR PUSTAKA
Kroeger, Paul R. 2018. Analyzing meaning (An Introduction To Semantics And Pragmatics).
Berlin: Languange Science Press

Rahardi, Kunjana. 2020. Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam Perspektif


Cyberpragmatics. Yogyakarta: Amara Books

Yuliantoro, Agus. 2020. Analisis Pragmatik. Klaten: UNWIDHA Press

17

Anda mungkin juga menyukai