Anda di halaman 1dari 50

CRITICAL BOOK REVIEW

Teori dan Pengajaran Sastra

DEWI TASYA

2191111002

Dosen Pengampu Achmad Yuhdi, S.P.d, M.Pd.

Mata Kuliah Pengajaran Puisi, Prosa dan Drama

PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha Esa, atas berkat kasih
dan karunia-Nya maka Critical Book Report mata kuliah pengajaran puisi, prosa dan drama ini
diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini saya sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu selesainya pembuatan Critical Book Report ini. Saya menyadari
bahwa dalam penyusunan ini tidak terlepas dari kesalahan dan sangat jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
sempurnanya Critical Book Report ini.

Saya berharap semoga Critical Book Report ini dapat digunakan sebagaimana mestinya
dan bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan yang maha Esa mencurahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua

Medan, Oktober 2020

Dewi Tasya
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI PENTINGNYA CBR


Mengkritik buku merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
ketertarikan minat baca. Dengan mengulas suatu buku kita dapat mengetahui dan memahami apa
yang disajikan dalam suatu buku. Pada dasarnya book review menitikberatkan pada evaluasi
( penjelasan, interpretasi dan analisis ) mengenai kelemahan dan kelebihan sehingga kita dapat
mengetahui kualitas buku yang dibaca dengan membandikan terhadap karya dari penulis yang
sama atau penulis lainnya, apa yang menarik dan bagaimana buku tersebut bisa merubah persepsi
dan cara berfikir serta menjadi pertimbangan apakah dari pengetahuan yang didapat mampu
menambah pemahaman terhadap suatu bidang kajian tertentu. Selain mengkritik buku, juga
dapat melatih kemampuan kita dalam menganalisis dan mengevaluasi pembahsan yang disajikan
penulis. Serta memberi masukan kepada penulis buku berupa kritik dan saran terhadap isi buku.

B. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas Critical Book Review dari Mata Kuliah Pengajaran Puisi,
Prosa dan Drama
2. Untuk membahas lebih dalam tentang Pengajaran teori sastra yang ada di buku
tersebut
3. Untuk menambah pengetahuan tentang pengajaran dan teori sastranya.

C. MANFAAT
1. Supaya para pembaca dapat lebih mengetahui pembahasan mengenai teori apa
saja yang terdapat dalam buku tersebut
2. Supaya para pembaca dapat lebih paham tentang pengajaran apa saja yang
terdapat dalam buku tersebut.
D. IDENTITAS BUKU
A. Buku Utama

1. Judul : Teori dan Pengajaran Sastra


2. Pengarang : Prof. Dr. Emzir, M.Pd.
Dr. Saifur Rohman, M.Hum., M.SI.
3. Penerbit : PT.RAJAGRAFINDO PERSADA
4. Kota Terbit : Jakarta
5. Tahun Terbit : Cetakan ke-1 Januari 2015 dan Cetakan ke-2 September 2018
6. ISBN : 978-979-769-796-9

B. Buku Pembanding
1. Judul : Pengajaran Genre Sastra Di Sekolah
2. Pengarang : Prof. Dr. Biner Ambarita, M.Pd.

Atika Wasilah, S.Pd., M.Pd.

3. Penerbit : UNIMED
4. Kota Terbit : Medan
BAB II

RINGKASAN BUKU

Bab 1 Hakikat dan Fungsi Sastra

A. Pengantar

Lebih dari pertanyaan tersebut adalah pemahaman tentang orang-orang yang terhukum
dalam hubungannya dengan sastra. Bagaimana pola hubungan antara sastra dengan para
pesakitan? Apakah sastra memiliki manfaat bagi mereka? Jawaban dari pertanyaan tersebut
merupakan kerangka pikir paling dasar dari sebuah studi sastra. Pemahaman tentang sastra
sebagai sebuah media pemamahan makna kehidupan akan memberikan banyak kebijakan
bagi para pembaca. Sastra bukanlah sebuah ajaran, tetapi merupakan cerminan yang
memantulkan tentang kehidupan kehidupan yang bisa dibayangkan hingga kehidupan yang
tidak bisa dibayangkan.

B. Hakikat Sastra

Hakikat adalah segala sesuatu yang berada pada sesuatu yang paling dasar dari sebuah
konstruksi pemikiran. Dalam pendapat lain dikemukakan bahwasanya hakikat adalah sebuah
akar.

C. Pengertian Etimologis
Rene Wellek dan Austin Warren dalam Teori Kesusastraan (1993) menyebutkan bahwa
sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Jadi, ilmuwan sastra pada abad ke-14
dapat mempelajari profesi kedokteran , gerakan planet pada abad pertengahan dalam Kamus
Jerman Indonesia(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama ilmu sihir di Inggris . Ilmuwan sastra
tidak terbatas pada tulisan (1992)) atau manuskrip ketika mempelajari kebudayaan.

D. Ciri-ciri Sastra

Jas van Laemburg (1984) dalam Pengantar Ilmu Sastra menyebutkan ciri-ciri sastra
khususnya kekhasannya pada masa Romantik. Dia menyebut sebagai berikut:

1. Sastra adalah sebuah ciptaan atau kreasi. Karena sastra adalah kreasi, maka sastra
bukanlah imitasi atau tiruan. Penciptanya disebut dengan seniman lantaran menciptakan
sebuah dunia.

2. Sastra bersifat otonom. Ini berarti tidak mengacu pada sesuatu yang lain. Sastra tidak
bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselaran di dalam karyanya sendiri.

3. Sastra memiliki koherensi. Artinya, unsur-unsur di dalamnya memilikan antara bentuk


dan isi.

4. Sastra berisi tentang sintesis yang selama ini dianggapp beetentangan. Pertentangan
tersebut terdiri atas berbagai bentuk.

5. Sastra berisi ungkapan-ungkapan yang tidak bisa terungkapkan. Karena ciri-ciri adalah
unsur pembeda, maka sasa harus dibedakan dengan karya yang bukan sastra . Variabel
kontrolnya adalah bahasa sebagai alat untuk menghasilkan karya. Di sini disampaikan
perbedaan antara karya sastra dan karya ilmiah

1) Bahasa sastra bersifat konotasi sedangkan bahasa ilmiah bersifat denotasi. Konotasi
adalah gaya bahasa yang berisi ungkapan ungkapan tidak langsung tentang sawasan atau
fakta-fakta. Sementara itu, denotasi adalah ungkapan-ungkapan yang memiliki arti
langsung merujuk kepada fakta tersebut. Arti kata denotasi terdapat dalam kamus bahasa
sedangkan arti kata konotasi terdapat dalam kamus perumpamaan ,
2) Bahasa sastra bersifat homonim sedangkan bahasa ilmiah bersifat struktur. Homonim
adalah kata-kata yang memiliki bunyi sama tetapi memiliki arti berbeda. Kata dalam
sastra sering kali mengungkapkan tentang hal-hal yuang bersifat ambigu atau taksa atau
bertentangan. Stuktur logis memilik arti bahwa masing-masing kata atau susunan kata
dalam kalimat adalah susunan logika, Kalimat yang memiliki logika disebut dengan
proposisi.

3) Bahasa sastra bersifat ekspresif sedangkan bahasa ilmiah bersifat logis.

4) Bahasa sastra lebih mementingkan simbol yang mewadahi gagasan-gagasan tertentu


sedangkan bahasa ilmiah leih mementingkan skema untuk menjelaskan gagasan-gagasan
tertentu.

5) Bahasa sastra diungkapkan secara estetis sedangkan bahasa ilmiah diungkapkan secara
normatif.

E. Fungsi Sastra di Tengah Masyarakat

Wellek dan Warren menjelaskan bahwa fungsi sastra adalah sebagai berikut:

1. Sebagai hiburan.

2. Sebagai renungan.

3. Sebagai bahasa pelajaran.

4. Sebagai media komunikasi simbolik.

5. Sebagai pembuka paradigma berpikir

Bab 2 Formalis dan Praktiknya

A. Pengantar
Kata formalisme terbentuk dari kata "formal dan "isme". Kata pertama berarti sebuah
bentuk, hal-hal resmi dan bersifat prosedural. Kata kedua berarti sebuah pandangan, sebuah
paham atau aliran. Dengan begitu, secara etimologs, "formalisme" dapat diartikan sebagai
sebuah paham atau aliran tentang hal-hal yang terkait dengan bentuk-bentuk resmi atau
prosedural.

Formalisme dalam kajian sastra adalah sebuah landasan berpikir dalam melihat sastra
sebagai sebuah ungkapan yang bersifat formal. Bukti-buku formalitas dalam sastra itu bisa
dilihat dari bentuk-bentuk kalimat, cara menata kata-kata, susunan kalimat bahkan susunan
paragrat. Arti yang terkait dengan formalitas berbentuk pola-pola tertentu yang dihasilkan dari
sebuah karya sastra. Bila karya sastra itu berbentuk setia, maka pela format akan dilihat dari
model-model gerakan tokoh dari satu kejadian ke kejadian yang lain.

B. Kelahiran Formalisme

Schmitz (2002: 18) mengungkap sejarah munculnya pendekatan formalisme. Pendekatan


formalisme merupakan pendekatan yang mulanya digunakan oleh para kritikus sastra di
Rusia. Mereka menyebut diri mereka sebagai kaum formalis. Kegiatan mereka terpusatdi
kota Petersburg dan Moskow. Aliran ini mencapai kejayaannya pada 1917.

Adapun tokoh formalis Rusia yang utama pada waktu itu adalah Victor Skhlovsky dan
Roman Jakobson. Viktor Schlovsky (1893-1984) adalah salah satu formalis yang brilian di
Rusia, la memformulasikan eksposisi yang penting dalam perkembangan pendekatan formalis.
Dia juga menunjukkan pandangan dan ide yang mendasar dalam kritik sastra namun dia
membiarkan dirinya terhanyut dalam formulasi provokatif dan mengundang polemik dalam
masyarakat.

C. Unsur-unsur Formalisme

1. Merkanisme Internal

Mekanika internal disebut juga sebagai perangkat yanf menurut kaum formalis
menjadikan satu karya sastra yang berseni dan memiliki sifat sastra. Setiap perangkat
komposisi memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat dianalisis.

2. Bahasa Karya Sastra


Perhatian yang diberikan oleh kaum formalis pada bahasa yang dipakai dalan teks
didasari oleh keyakinan yang berbeda bahwa bahasa sastra memiliki karakteristik yang
berbeda dengan bahasa yang dipakai sehari-hari. Dalam bahasa sehari-hari terdapat dialek-
dialek, perbedaan kelompok sosial berdasarkan strata dan fakta-fakta linguistik nya ditandai
oleh jenis teks.

D. Contoh Analisis Formalisme

Berikut ini adalah contoh analisis novel yang memanfaatkan pendekatan formalisme.
Tema yang diangkat adalah kisah dan tokoh utama dalam cerita. Kisah dan tokoh adalah
sebuah bentuk, sedangkan isinya adalah pesan tentang subjektivitas. Novel yang diangkat
sebagai contoh adalah Surat Panjang tentang Jarak yang Jutaan Tahun Cahaya karya Dewi
Kharisma Michellia.

Kisah ini dimulai dari seseorang yang menemukan sebundel surat yang ditujukan kepada
kenalannya .Dikatakan ,“Aku hanya Novel ini menarik bukan lantaran telah dinobatkan
sebagai pemenang unggulan dalam lomba novel oleh Dewan Kesenian Jakarta 2012. Secara
objektif , fakta-fakta literer yang terdapat dalam novel tersebut mengingatkan pembaca pada
eksperimentasi estetis yang pernah marak pada 1970-an. Seno Gumira Ajidarma pernah
menulis prosa tanpa tanda baca dan gagal secara estetis . kebetulan menemukansurat- surat
dari seseorang yang harus kusampaikan kepadamu (hlm. 7)". Penemu surat itu mengaku
memperoleh surat dari pemilik toko buku langganannya. Perihal siapa penulis surat itu tidak
diketahui identitasnya secara pasti selaku pengirim surat. Barangkali si penemu surat tersebut
sudah membacanya sehingga dia ingin bersahabat dengan penulis surat itu.

Cerita dalam novel Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (2013)
karya Dewi Kharisma Michellia bukanlah tentang penemu surat tersebut melainkan penulis
surat yang bercerita tentang penulis cerita lain. Layaknya cerita berbingkai, pengarang
menceritakan seorang pencerita yang bercerita tentang pelbagai cerita. Mengacu pada awal
cerita, penemu surat selaku pencerita mengidentifikasi diri sebagai "Aku". Digambarkan
tokoh si aku telah mengantarkan sebundel surat kepada penerima dan lagi-lagi dengan tokoh
aku. manakala surat itu sudah dibaca, terdapat 37 surat yang bercerita, Manakah tokoh aku
yang sebenarnya? Siapa gerangan aku, apakah sosok individual, antropomorfis, atau simbol-
simbol penceritaan tertentu yang mengarah pada makna atau malah awamakna? Manakala
pembaca menelusuri asal-usul tokoh sesungguhnya tidak pernah benar-benar teridentifikasi
sebagai aku-individual.

Novel ini menarik bukan lantaran telah dinobatkan sebagai pemenang unggulan dalam
lomba novel oleh Dewan Kesenian Jakarta 2012. Secara objektif, fakta-fakta literer yang
terdapat dalam novel tersebut mengingatkan pembaca pada eksperimentasi estetis yang
pernah marak pada 1970-an. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis prosa tanpa tanda baca
dan gagal secara estetis.

Naskah tersebut masih tersimpan di Pusat Dokumentasi HB Jassin hingga sekarang.


Bahkan, sebelum akhirnya menghasilkan prosa yang gemilang, eksperimentasi estetis yang
dilakukan oleh Ajidarma dalam puisi-puisi dengan nama pena Mira Sato ternyata tidak
menghasilkan efek yang menggembirakan. Pada 2000-an, pengarang perempuan muda
seperti Arini Hidayati juga melakukan eksperimen estetis di luar wacana seksualitas dalam
novel bertajuk Wong Edan, tetapi tidak memperoleh sambutan yang memadai.

Nasib eksperimen kali ini tidak seperti para pendahulunya. Dia boleh dikatakan berhasil
membawa cita rasa estetis baru ke pusat panggung sastra modern Indonesia. Dalam hal ini,
kalaupun frasa "pusat panggung" itu salah atau disalahpahami, novel itu sudah ditangani oleh
penerbit profesional yang memminki distribusi nasional. Editor penerbit tersebut tentu
memiliki pertimbangan pertimbangan estetis yang tidak bisa diabaikan. Kenyataannya, kisah
ini ditulis tanpa ada satu pun dialog dari awal hingga akhir. Pengalaman pengarang sebagai
penerjemah bahasa asing menghasilkan alkimia metafora-metafora yang ganjil dan
menggugah. Penceritaan yang menggunakan tokoh aku dilakukan melalui kalimat-kalimat
tak langsung yang sederhana tetapi segar sehingga memunculkan efek puitis yang memikat.

Michellia seperti menolak hipotesis tentang perempuan muda yang hebat karena
mengangkat wacana seksualitas. Karena itu pula, tulisan ini juga bermaksud menghindarkan
diri dari tuduhan Katrin Bandel. Sebab, konon kritik terhadap karya sastra yang dihasilkan
oleh perempuan muda akan cenderung menjadi kritik sastra yang teledor karena tergiur
dengan wacana seksualitas. Katrin Bandel masih menyisakan perasaan masgul dengan
kondisi kepengarangan di Indonesia kontemporer ketika mengatakan "... Kalau seandainya
saya tidak keliru dan memang ada sesuatu yang menarik yang ingin diungkapkan perempuan.
Muda...tetapi tidak sempat tereksplorasi karena dia keburu mabukkan dan disibukkan dengan
reputasinya sebagai penulis hebat, cabul, dan pembaharu, bukankah itu berarti bahwa para
kritikus' dan 'pengamat' Sastra Indonesia, dengan keteledorannya dan kegemarannya akan
sensasi (terutama yang berhubungan dengan penulis perempuan muda), telah/sedang
ygmenghancurkan sebuah potensi yang menjanjikan? (Bandel, 2007: 163)."

Kendati kalimat Bandel adalah sebuah antitesis dari kalimat Goenawan Mohamad bahwa
"Seks adalah suatu risiko dalam kesusastraan Indonesia modern" (Mohamad, 1991: 1), patut
diduga telah terbentang jalan lain, wilayah lain, dari eksperimen estetis yang diupayakan oleh
para perempuan muda. Pada akhir esal ini akan terlihat, Michellia berhasil melampaui
poetika yang dihasilkan para pendahulunya melalui teknik penceritaan yang konsisten tanpa
membuat bosan dan tokoh terbangun secara alamiah. Poetika yang diungkapkan melalui
teknik autobiografis ini bermaksud melepaskan diri dari kutukan Bandel atau dukungan
Mohamad di atas. Bila diletakkan dalam peta teoritis.

Bab 3 Strukturalisme dan Pengikutnya

A. Pengantar

Pemikiran strukturalis dalam linguistik dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli
bahasa Swiss (Hawkes, 2003:8). Dalam linguistik, menurut Selden (2005: 63), Saussure
membuat perbedaan mendasar antara langue dan parole -antara sistem bahasa dan ucapan
indvidu. Menurutnya, kata-kata bukanlah merupakan simbol-simbol yang sesuai dengan referen
melainkan tanda-tanda yang terdiri dari dua bagian, baik tertulis atau lisan. Konsep dasar yang
ditawarkan oleh Saussure adalah perbedaan yang jelas antara signifier (bentuk, bunyi, lambang,
penanda) dan signified (yang diartikan yang ditandakan, yang dilambangkan) dan perbedaan
antara parole (tuturan, penggunaan bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-
hukumnya telah disepakati bersama)

Menurut Abrams (1981: 188), strukturalisme menganggap habwa setiap fenomena budaya,
aktivitas atau prodak, termasuk sastra tak ubahnya sebagai institusi sosial yang menandakan
sistem dan terdiri dari struktur mandiei dan menentukan hubungan antarunsur secara mandiri.
Jadi, strukturalisme adalah bentuk pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu
yang mandiri. Karya sastra dipandang sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia
sendiri. Hal ini memiliki dua kelemahan pokok, yakni melepaskan karya sastra dari kerangka
sejarah sastra dan mengasingkan karya sastra dari lingkungan sosial budaya.

Abrams (1981:189) mengemukakan bahwa dalam pandangan strukturalis, sebuah karya


sastra adalah suatu model penulisan yang dibentuk oleh pelbagai unsur yang menghasilkan efek
sastra, tanpa mengacu pada realitas yang ada di luar sistem karya sastra itu sendiri. Setiap penulis
merupakan subjek yang memiliki inisiatif, niat ekspresif dan desain dalam memproduksi sebuah
karya sastra. Pikiran penulis digambarkan sebagai sebuah ruang dalam sistem interpersonal
konvensi sastra, kode dan kombinasi aturan yang diendapkan dalam teks tertulis.

B. Penerapan Pendekatan Struktur

Dalam memberikan gambaran mengenai penerapan praktik dalam puisi "Menyesal" karya
Ali Hasymi sebagaimana dijelaskan oleh Siswantoro (2008: 215-220). Lengkapnya berikut puisi
pendekatan struktur di sini akan diangkat pencitraan (imagery) tersebut.

Menyesal

Pagi ku hilang sudah melayang


Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah, apa guma kusesalkan
Menyesal tua tidak berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di hari pagi
Menuju ke arah padang bakti

Pencitraan tipe visual muncul di dalam frasa "pagiku" di baris (l) dan "hari mudaku" di baris (2)
seperti tampak di bawah berikut:

.(l) Pagiku hilang sudah melayang.


(2) Hari mudaku sudah pergi.
Secara bentuk, kedua frasa di atas berbeda. Namun, secara imageries, keduanya memiliki
kesamaan vitalitas, kesempatan, dinamika pengharapan serta masa dengan rentang waktu yang
hidup yang masih panjang; karena itu berdasarkan •imageries' keduanya mempunyai rujukan
metaforis; frasa '"pagiku berasi "image" yang sepadan. Secara fungsional, imagery yang berelasi
dihadapi penyair adalah menghasilkan penggambaran yang lebih komprehensif dengan hanya
menggunakan kata benda 'pagi" dan "hari muda" tanpa berpanjang lebar dengan deskripsi.
Hubungan antara kedua frasa tersebut adalah hubungan metaforis. Secara metaforis, pagiku
merupakan "vehicle" dari tenor dari hari mudaku" Frasa pagiku memanfaatkan gaya bahasa
metafora sehingga implikasinya adalah frasa tersebut memiliki dua sisi yakni Sisi imagery dari
metafora. Oleh sebab itu, secara metaforis, frasa pagiku berelasi dengan hari mudaku dalam
bentuk hubungan antara vehicle dan tenor. Efek yang dihasilkan ialah jalinan yang integral
antara imagery tipe visual yang integr dan baris 2 dalam ikatan hubungan analogis yang berarti
bahwa mcmbaca baris 1 identik dengan membaca baris Dengan demikian, hipotesis yang
berbunyi soneta "Steuvesal* memiliki unsur-unsur intrinsik yang padu sudah terbukra Pencitraan
tipe visual lain dapat dilihat dalam irasa lain seperu yang tampak di bawah ini.
(3) Sekarang petang datang membayang
(4) Batang usiæku sudah tinge

C. Varian-varian Strukturaliame

1. Strukturalisme Dinamik

Strukturalisme dinamik adalah sebuah paham yang mendasarkan diri pada pentingnya
hubungan antara " struktur dalaman" karya sastra dengan "struktur luaran" karya sastra.

2. Antropologi Struktural
Antropologi struktural dimengerti sebagai sebuah pandangan yang menitikberatkan
pada pemahaman tentang pentingnya struktur didalam sistem kekerabatan manusia.

3. Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik dipahami sebagai sebuah pandangan yang menitikberatkan


pada pentingnya pandangan-pandangan pengarang di dalam karya sastra. Dasar
pemahamannya adalah konteks karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kelas-
kelas sosial yang ada. Karya sastra merupakan ideologi dari pengarang yang menempati
kelas sosial tertcntu. Oleh karena itu, proses pembacaan melalui strukturalisme genetik
dimulai dari pencarian struktur internal karya sastra kemudian dihubungkan dengan
struktur eksternal karya sastra.

4. Naratologi

Naratologi adalah ilmu tentang cerita—narration (cerita) dan (ilmu). Di dalam cerita
diperoleh unsur-unsur alamiah yang disebut dengan peristiwa. Peristiwa yang sambung-
menyambung disebut dengan alur. Di dalam peristiwa itu terdapat tokoh-tokch dan tempat
tertentu. Karena terdiri atas rentetan dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, maka sebuah
cerita diasumsikan memiliki hubungan antara pencerita dan pendengar.

Bab 4 Semiotik

A. Pengantar

Semiotik bisanya disamakan dengan semiologi. Semiotik atau semiologi adalah ilmu tentang
tanda— berasal dari kata "semion" yang berarti tanda dan "logos" adalah sebuah ilmu.
Pendekatan semiotik mengikutsertakan semua komponen yang terlibat dalam pemahaman karya
sastra. Komponen tersebut adalah pengarang, realisasi, pembaca sistem sastra dan sejarah sastra
(Bruhler, 1987).

B. Tiga Unsur Semiotik dan Pendekatan Semiotik dalam Karya Sastra

Tiga unsur semiotik ini diungkapkan Oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce
mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama,
yakni tanda, objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap Oleh panca indra manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan)
hal lain di luar tanda itu sendiri. Hal yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana
makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

C. Praktik Analisis

Di sini akan dicoba digambarkan bagaimana pendekatan semiotik diterapkan pada karya
sastra. Dalam hal ini contohnya adalah puisi "Cintaku Jauh di Pulau" karya Chairil Anwar.
Puisinya adalag sebagai berikut:

Cintaku Jauh di Pulau


Cintaku jauh di pulau
Gadis mabis sekarang iseng sendiri
Perahu melancar bulan memancar
Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu laut terang tetapi terasa aku tidak kan sampai padanya.
Di air yang tenang di angin mendayu
Di perasaan penghabisan segala melaju
Awal bertaakkhta,sambil berkata:
Tujukan perahu ke pangkuanku saja
Amboi jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Manisku jauh di pulau
Kalau ku mati, dia mati iseng sendiri

Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku yang senang, gelisah, khawatir,
putus asa, bercampur aduk, yang cukup mengaduk-aduk emosi pembaca. Seperti penggambaran
tentang ada sesuatu yang lebih kuat di balik keinginan manusia, yaitu ajal dan takdir yang
merupakan kehendak yang Mahakuasa. Dalam puisi tersebut juga tampak penggunaan simbol,
ikon dan indeks. Ikon merupakan hal besar yang mewadahi indeks dan simbol. Indeks
merupakan hal yang merepresentasikan ikon dan simbol atau dapat dikatakan sebagai akibat
ditimbulkan oleh ikon dan simbol. Simbol adalah perwujudan dari sebuah perumpamaan yang
digambarkan ikon dan indeks namun terikat pada konvensi-konvensi. Misalnya pada kata
"kekasih" yang diucapkan diulang-ulang dalam puisi itu. Kata tersebut bukanlah merujuk kepada
"manusia" atau pacar, tetapi kiasan yang dipakai pengarang untuk menggambarkan "cita"cita" si
aku yang sangat sukar untuk dicapai lantaran dia telah lewati lautan yang memiliki
makna"perjuangan" namun usahanya tidak berhasil karena kematian menjemputnya sebelum
cita-citanya teraih.

Bab 5 DEKONSTRUKSI: TEORI DAN PRAKTIK

A. Pengantar

Dekonstruksi merupakan pola pikir yang mendasarkan diri pada kritik terhadap konstruksi
yang sudah mapan. Di dalam buku penulis (Saifur Rohman) sebelumnya yang berjudul
Dekonstruksi: Desain Penafsiran dan Analisis (2014), konsepsi dekonstruksi sudah dijelaskan
dalam perspektif pendekatan dan metode. Tulisan ini merupakan kutipan dari bab tersebut.

B. Dekonstruksi sebagai cara membaca

Dekonstruksi sebagai Cara Membaca Apakah dekonstruksi itu sebuah metode ataukah
sebuah teori? Ini pertanyaan pembuka kita. Bukankah dekonstruksi merupakan pola pikir tentang
metafisika baru yang diperkenalkan oleh Derrida di dalam karya-karyanya? Jika dekonstruksi
merupakan pola pikir, maka dekonstruksi dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan atau teori.
Tetapi, bukankah dekonstruksi juga menawarkan sebuah “cara membaca" yang baru, yang
merupakan kritik atas cara membaca sebelumnya? Dan jika dekonstruksi adalah sebuah cara
membaca, maka bisa dikatakan sebagai sebuah metode. Jadi, dekonstruksi itu metode ataukah
teori?

Dikatakan bahwa dekonstruksi merupakan cara untuk menyerang logosentrisme.


Logosentrisme merupakan praktik berpikir yang menggunakan bahasa sebagai wadah bagi
gagasan- gagasan. Sejak 2.500 tahun lalu, filsafat senantiasa diterangkan dalam bentuk-bentuk
kata. Sejak awal timbulnya filsafat, pemikiran-pemikiran sebagai sebuah kehadiran penuh telah
dituangkan dalam bahasa. Di dalam Phaedo, naskah yangditulis oleh Plato, misalnya seperti
sedang menceritakan dengan gaya socrates sendiri, yakni menceritakan tentang kehadiran. Di
dalamnya dapat ditemukan percakapan terakhir antara Socrates dan Crito. Hal itu dapat diperiksa
dalam buku The Last Day of Socrates (The Apology, Crito, Phaedos) terjemahan Inggris H.
Tredemnile, Harmonsworth Middle Sex (Penguin Books, 1957: hlm. 155-157).
C. Dekonstruksi Memperbaiki Konsep Struktur

Dekonstruksi muncul karena berusaha menolak esensi dari strukturalisme, yakni totalitas.
Ketika orang membuat struktur, maka pada saat yang sama dia menyusun sebuah kepaduan yang
berpusat pada satu hal. Itulah yang dinamakan dengan totalitas. Kata yang berada dalam tanda
petik ini memiliki makna beda menimbulkan cara pandang sekaligus metode yang berbeda. Pada
cara pandang inilah orang berusaha membuat struktur, yakni struktur tentang makna. Struktur
tentang makna ini dapat disebut dengan strukturalitas. Mengapa muncul strukturalitas, karena
makna memiliki ciri-ciri. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Memiliki orientasi yang bermacam-macam tentang satu hal.

2. Simpang siur.

3. Kacau.

4. Memiliki prinsip-prinsip yang tidak teratur.

Sebagai contoh kata "Ada". Di dalam makna umurr., kata "ada" diartikan sebagai sesuatu
yang tercerap indra, yang dirasakan. Contoh, ada meja (sebuah meja yang dapat dilihat), ada tai
kucing. Sementara di dalam makna khusus-dalam hal ini filsafat-kata "ada" merupakan awal
perdebatan yang panjang tentang ontologi

D. Dekonstruksi sebagai Pendekatan

Ketika dekonstruksi dibaca sebagai sebuah pendekatan, maka dekonstruksi harus dipahami
sebagai sebuah titik pijak berpikir yang berbeda dengan konsep-konsep sebelumnya.
Sebagaimana terlihat dalam penjelasan sebelumnya, didapati sebuah pernyataan bahwa
dekonstruksi adalah sebuah model berpikir yang kritis terhadap strukturalisme. Dia tidak
mempercayai adanya sebuah struktur yang baru

E. Pemmbedaan, Arbitrariness dan Totalitas

Marilah kita mulai dengan Saussure. Karya Saussure disebut- sebut sebagai pelopor ilmu
tentang bahasa. Salah satu karyanya adalah Course in General Linguistic. Dalam karya tersebut,
Saussure menjelaskan pemikirannya menjadi empat konsep. Empat konsep diterjemahkan
dengan subjudul berikut:
1. Bahasa sebagai kumpulan pasangan ide dan suara (languageas organized thaught coupled
with sound).

2. Nilai linguistik dan sebuah pandangan konseptual (linguistic value from a conceptual
view point).

3. Nilai linguistik dan sebuah pandangan material (linguistics value from a material
viewpoint).

4. Tanda menunjukkan totalitasnya (the sign consisted in it totality).

Menurut Saussure, ide dan suara menjadi sebuah sistem murni. Sebuah sistem selalu
memiliki oposisi biner, termasuk dalam bahasa. Oposisi biner ini, kecuali dalam bahasa, dapat
kita lihat dalam lingkungan ilmu-ilmu humaniora. Misalnya konsep ada dan tiada, nature dan
culture, esensi dan eksistensi, subjek dan objek, kehadiran dan ketidakhadiran dan seterusnya

F. Signified-Signifier

Di samping memang memiliki sebuah keterangan, signifiedsesungguhnya sesuatu yang


abstrak. Sementara itu, signifier adalah sesuatu yang konkret, yang terlafalkan dan karenanya
dapat diselidiki secara ilmiah. Misalnya kata “kuda". Fonem /al dan /da/ terdiri dari hubungan
/k/u,/d/a/. Rangkaian atas hurufitu tidak pernah berubah kecuali kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa lain sehingga hal itu dikatakan signifier. Semetara gambaran yang merujuk pada “kuda"
adalah gagasan tentang binatang yangmemiliki kuku belah, berekor (biasanya berwarna cokelat)
dan dulu digunakan untuk tenaga transportasi. Kata itu merujuk pada kata “kuda" secara historis,
paling tidak ada dalam pengertian yang telah disebutkan tadi. Bahwa misalnya kita melihat di
jalan ada kuda tidak berkuku belah, apakah kemudian itu menjadi bukan kuda? la tetaplah kuda,
tetapi dengan tambahan definisi lain. Atau ketika saya menunjuk kuda lain dan menemukan
misalnya kuda tersebut sedang memakai kaca mata kuda, apakah itu kemudian juga menjadi
bukan kuda la tetaplah kuda, tetapi dengan tambahan definisi bahwa kuda tersebut diberi kaca
mata oleh pemiliknya seperti halnya kuda-kuda yang sering kita jumpai.

Bab 6 Post Kolonialisme

A. Pengantar
Ada dasarnya post-kolonialisme berkaitan dengan pelbagai macam isu dan ini akan menjadi
jelaskala kita membaca buku sangat berpengaruh yang diedit oleh Bill Ashcroft dan Gareth
Griffiths berjudul "The Post-Colonial Studies Reader" (1995). Di dalam bukutersebut terdapat
pelbagai macam pandangan mengenai post-kolonialisme. Subjek-subjek yang dibicarakan
antaralain mengenai universalisme, perbedaan, nasionalisme,postmodernisme, representasi dan
resistensi, kesukuan, feminisme, bahasa, pendidikan, sejarah, tempat dan produksi.Meskipun
sangat banyak perbedaan yang muncul, semuanya mengacu pada satu hal yang menjadi perhatian
post- kolonialisme: menegaskan perjuangan yang muncul ketika satu budaya didominasi oleh
budaya lainnya.

B. Post- kolonialisme dan Hubungannya dengan Postmodernisme dan Gender

Bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih oleh bentuk "neokolonialisme"
selepas negara-negara bekas jajahan mencapai kemerdekaan, Selepas kemerdekaan, negara-
negara bekas jajahan memang telah merdeka secara fisik, namun tanpa disadari tak jarang
mereka tetap masih terjajah secara budaya dan pikiran (Nandy, 1983:63) dan ini yang diabaikan
oleh negara-negara bekas jajahan. Negara-negara bekas jajahan kerap melupakan identitas
mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di hadapan bekas penjajah. Masalah
inferioritas

Istilah post-kolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra yang serius muncul pertama kali
ketika Bill Ashcroft dkk. Di dalam buku The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-
Colonial Literatures (1989) menggunakan istilah tersebut untuk menggantikan istilah
sebelumnya untuk merujuk sastra di negara bekas jajahan Eropa (third world). Namun demikian,
kajian post-kolonialisme sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat
ketika Edward Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism (1978). Dalam bukunya, Said
mengingatkan dunia sastra untuk tidak mengeksplorasi dan mendiskusikan ataupun menganggap
penting kajian mengenai kolonisasi atau imperialisme. Menurut Said, orang-orang Eropa pada
abad ke-19 mencoba menjustifikasi penaklukan teritorial mereka dengan menyebarkan
keyakinan yang palsu, yang disebut orientalisme, yaitu bentuknyo stereotip-ke untuk orang non
eropa.
C. Post-kolonialisme dan Sastra

Post-kolonialisme kerap digunakan sebagai sebuah pendeltatan merupakan tulisan-tulisan


dari budaya bangsa-bangsa yang pernahdijajah seperti Australia, Selandia Baru, Afrika, Amerika
Selatan dan bangsa-bangsa bekas jajahan lain atau masyarakat yang dulu didominasi. Kaca mata
atau pendekatan yang digunakan di luar pendekatan yang berdasarkan tradisi “orang kulit putih”
(bekasbangsa penjajah) yang memiliki latar belakang budaya, politik,filsafat dan budaya Eropa.
Oleh para kritikus Marxis, kajian sastra semacam ini sering disebut sebagai sastra dunia ketiga,
namun istilah ini sering dianggap merendahkan.

Sastra dan teori post-kolonial menginvestigasi apa yang akan terjadi ketika dua budaya
bertemu dan bertentangan dan ketika salah satu dari keduanya dianggap berkuasa atau satunya
dianggap lebih superior ketimbang yang lain. Berkaitan dengan bagaimana melihat dua budaya
bertemu dan bertentangan misalnya adalah pencarian jati diri, kepahitan di Amerika untuk
mencapai ekonomi, dan sosial budaya kulit putih dan kulit hitam. Perhatiannya seperti pada isu-
isu nasionalisme dan mencoba mengekspos perlakuan terhadapmisalnya bangsa Afro-Amerika
sebagai sub-budaya yang tertindas, tertekan, terjajah oleh penjajah kulit putih.

Bab 7 POSTMODERNISME

A. Pengantar

Keberadaan postmodernisme untuk konteks diIndonesia sesungguhnya dipicu oleh pelbagai


isu- isu politik dan sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Secara diskursif,
konsepsi postmodern pernah dikembangkan pada awal tahun 1990-an dalamwacana kritik seni.
Pengembangan wacana ini mendapatkanpembuktian dalam karya-karya seni dalam dekade
tersebut. Lahirnya karya Saman (2000) oleh Ayu Utami dianggapsebagai sebuah titik puncak
dari sebuah kondisi postmodern diIndonesia. Karya tersebut dianggap sebagai sebuah
pandanganyang melakukan pembalikan terhadap nilai-nilai yang sudahmapan. Tidak heran bila
kemudian sejumlah kritikus diIndonesia menyatakan bahwa karya tersebut merupakan
"pembaru" dalam estetika kontemporer.

B. Definisi Postmodern
Postmodernisme, menurut Lyotard (dalam Anshory, 1997: 132), merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalan modernisme memenuhi janji-janjinya. Postmodern
mengkritikhampir sebagian besar yang diasosiasikan dengan modernisme seperti metanarasi,
totalitas, adanya kepastian terhadap kemajuandan sebagainya. Dalam buku Mengenal
Postmodernisme: Bagi Pemula, Appignanesi, Garrat, Sardar dan Curry (1998) mengatakan
bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran terhadap modernisme. Postmodernisme, pada
hakikatnya, merupakancampuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat,
perkembangan, penyangkalan dan penolakan atas modernisme. Selanjutnya, dikatakan terdapat
delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol yaitu:

1. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya


kepercayaan pada agama yangbersifat transenden (meta-narasi) dan diterimanya
pandangan pluralisme relativisme kebenaran.

2. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indra,
organ dan saraf kita, yangpada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih
jauh lagi, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan agama atau Tuhan

3. Munculnya radikalisme etnisdan keagamaan. Fenomena orang ini diduga muncul sebagai
reaksi ketika orang semakin meragukan kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang
dinilai gagal memenuhi janji mereka untuk membebaskan manusia

4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta


keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.

5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagaipusat kebudayaan dan wilayah


pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasinegara maju atas negara berkembang. Ibaratnya, negara maju sebagai “titik
pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".

C. Postmodernisme dan Sastra

Salah satu jenis sastra populer postmodernisme, yaitu parodi di mana para penulisnya
mematahkan cara pandangan sastra tradisional (Charter, 2006). Para penulis postmodernisme
mematahkan batas antara perbedaan wacana, yaitu antara fiksidan non-fiksi, sejarah dan
autobiografi. Teater adalah salah satu wujud penolakan postmodernismeterhadap modern, seperti
jamak diketahui, kaum modernis melihat sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat
waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Kaum postmodernis melihathidup ini seperti
sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong- potong. Oleh karena itu, maka bagi kaum
postmodernisme, teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan--
walaupun tidak setiap karya teater merupakan wujud nyata postmodernisme. Karya teater
postmodern mulai timbul pada 1960-an. Adapunakarnya sebetulnya sudah ada sebelum tahun
1960-an, yaitu dapatdilihat dari karya seorang penulis Prancis bernama Antonin Artaudpada
tahun 1930-an. Artaud menantang para seniman (khususnya dalam bidang drama) untuk
memprotes dan menghancurkan pemujaan kepada karya seni klasik. Ia amat mendukung
pergantian drama tradisional dengan 'teater keberingasan”.

Bab 8 Sastra marxia

A. Pengantar

Arxisme tidak hanya memengaruhi dunia filsafat, namun pengaruhnya telah merembes ke
dalam berbagai bidang kajian seperti ekonomi, sosial, politik, ilmu-ilmu humaniora dan tak
terkecuali sastra. Teori sastra Marxisme pun merupakan fenomena penting dalam sejarah
perkembangan teori sastradi dunia. Kata kunci-kata kunci yang sering digunakan parapengikut
Marxisme adalah kelas sosial, revolusi sosial,kenyataan sosial dan sebagainya. Kenyataan sosial
menurut pandangan Marxisme, misalnya merupakan kesatuan yang terputus sehingga menuntut
adanya strukturasi. Demikian pula halnya dengan sastra, sastra merupakan satu kesatuan
strukturasi yang di dalamnya terdapat pengalaman, imajinasi dan nilai. Ketiga hal tersebut secara
etis sebenarnya mampuberdiri secara otonom, namun dalam sastra tidak bisa.

B. Peran Sastra dalam Masyarakat

Secara sosiologi, sastra merupakan salah satu alat kritik sosial.Sastra sendiri merupakan
bagian dari masyarakat. Jadi, tidak aneh bila dikatakan bahwa sastra adalah produk kebudayaan
sehingga sastra tidak bisa terlepas dari keberadaan manusia dikarenakan sastra menceritakan
kehidupan dari masyarakat itu sendiri. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang sebagai aspek terkecil dari masyarakat (yang sering menjadi bahan sastra)
adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan
menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Perwujudan seni sastra pada hakikatnya dapat berdiri secara otonom seperti novel, teater, cerita
pendek, hingga puisi. Karya sastra sering dikaitkan sebagai wujud dari suku bangsa
bahkannegara. Jadi, tidak aneh jika ada istilah yang mengungkapkan "tidak lazim jika
mempelajari tatanan sosial dan kebudayaan suatu bangsa atau negara tertentu jika tidak membaca
karya sastranya."

C. Metode Refleksionisme dalam Kritik Sastra Marxis

Teori refleksionis telah memberikan gagasan-gagasan padaterciptanya konsep realisme


sosial. Teori refleksionis ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Lukacs dalam bukunya Writer
and Critic(1970)--sebuah koleksi atas artikel-artikel Lukacs, termasuk artikelnya yang membela
konsep refleksionis. Pertanyaan mendasar terkait sejarah teori refleksionis ialah bagaimana puisi,
misalnya sebagai sebuah karya sastra, dapat merekam dan mencerminkan fakta-fakta realitas ke
dalam wujudnya karena hakikat puisi merupakan ungkapan bahasa yang menunjukkan kesatuan
antara struktur kebahasaan dan struktur semantiknya. Karena bahasa puisi menunjukkan
konsentrasi,maka makna yang diungkapkan juga dikonsentrasikan. Pikiran sesuai dengan kata-
kata yang dipadatkan. Asal teori refleksionis dan realisme sosial yang menyangkut fakta-fakta
realitas yangdapat dicerminkan ke dalam bentuk sastra yang diproduksiseorang pengarang (novel
dan cerita pendek) tentunya menjadi soal bagi eksistensi penyair dan karyanya.

Walaupun Plekhanov, Belinsky dan Lukacs.dalam gagasannya konsisten dengan penyebutan


pengarang yang memilikitanggung jawab mencerminkan fakta-fakta realitas tersebut ke dalam
karyanya, lalu di manakah posisi eksistensi penyair dalam bagian mazhab kesusasteraan, apakah
penyair tidak diperhitungkan eksistensinya sebagai penyuluh masyarakat? Bahwa tugas
mencerminkan fakta-fakta realitas hanyalah tugas seorang pengarang? Dengan ini, apakah
mereka telah melihat kepesimisan bahwa penyair tidak akan mampu mengangkat fakta-fakta
realitas tersebut atas alasan bahwa puisi memiliki konsep strukturnya yang mesti dipadatkan,
lebih intens, lebih terkonsentrasikan dan lebih diperketatkan dibandingkan prosa atau novel.
Apakah penyair mampu menjawab pertanyaan ini? Bagaimana wujud puisi-puisi Wiji Thukul,
misalnya karena ia sudah mendapatkan predikat dari para kritikus dan masyarakat sebagai
penyair kerakyatan?
D. Tiga Aspek Totalitas,Kekhasan dan Dunia Historis

Konsep utama Lukacs adalah "Totalitas, Kekhasan, dan Dunia historis". Semua itu dapat
diaplikasikan dalam refleksi artistik terhadap realitas dalam bentuk karya sastra. Penilaian dapat
diberikan kepada karya sastra apakah karya tersebut merupakan karya yang normatif atau
deskriptif.

Lukacs beranggapan bahwa seorang seniman besar adalah mereka yang dapat menangkap
dan menciptakan kembali totalitas harmonis kehidupan manusia. Maksudnya, seorang seniman
besar secara dialektis harus dapat menyatukan kembali keterpecahan tersebut dalam sebuah
totalitas yang kompleks. Dengan begitu, karya fiksinya akan lebih bisa mencerminkan totalitas
yang kompleks dari masyarakat itu sendiri dalam bentuk mikro kosmos.

Untuk menciptakan semua itu, karya seni harus melawan alienasi dan keterpecahan yang ada
dalam masyarakat kapitalis, sehingga ia membentuk suatu gambaran manusia secara menyeluruh
dan sempurna. Seni semacam itu disebutnya sebagai realisme. Karya realis, menurutnya, adalah
karya yang menyajikan serangkaian hubungan antara manusia, alam dan sejarah yang kompleks
dan komprehensif. Tugas seorang penulis realis adalah memperluas kecenderungan da n
kekuatan-kekuatan khas dalam individu-individu dan tindakan-tindakan yang sadar. Seorang
realis tidak akan terpisah dari realitas sekitarnya Ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari
penjelasan Lukacs mengenai jalinan antara sastrawan (dalam hal ini penyair) dengan lingkungan
sekitarnya. Pertama, seorang realis menempatkan kesatuan masyarakat sebagai tatapan utama.
Kedua, seorang realis akan memakai makna kehidupan sebagai sudut pandangnya dalam melihat
realitas msyarakatnya. Ketiga, masa kini merupakan pusat gerak masyarakat yang dipengaruhi
masa lalu dan akan menentukan masa depan.

E. Hakikat Komitmen Sosial

Arti komitmen sosial secara harfiah adalah sebagai usahaseseorang untuk mencapai
tujuannya dalam keyakinan yang menyeluruh tanpa adanya dilematis dan tidak membiarkan
adanya kompromi terhadap rintangan yang membentang dalam mencapai tujuan. Komitmen
sosial berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan ideologi, yaitu suatu paham atau teoriyang
diyakini oleh seseorang yang didapat dari perjalanan hidup atau pemahamannya-yang dicapai
dalam bidang akademik atau terinspirasi oleh salah-satu tokoh yang selanjutnya ingin
diaktualisasikan pada tataran sosial. Namun, komitmen sosial yang dimaksud di sini berkaitan
dengan karya sastra. Ini berbeda artian dengan komitmen sosial dalam sosiologi.

Makna komitmen sosial dalam karya sastra secara dinamika berubah-ubah menurut masanya.
Dalam kodifikasinya, komitmen sosial yang berkaitan tersebut tidak bisa dilepaskan akan
keberadaan beberapa tokoh sastrawan Marxis di Rusia pada periode Stalin. Stalin dan Gorky
menyatakan komitmen sosial dalam kritik sastra Marxis bahwa tugas seorang pengarang adalah
menyajikan penggambaran yang jujur dan historis-konkret dalam perkembangannya yang
revolusioner, serta mengulas problem transformasi ideologis dan pendidikan bagi para buruh
dalam semangat sosialisme. Ini sama halnya dengan Lenin menyuarakan kesusasteraan yang
secara terbuka mempunyai keberpihakankelas. Kesusasteraan harus menjadi roda penggerak dan
sekrup dari suatu mesin sosial besar yang demokratis.

Bab 9 : sosiologi dan wacana kekuasaan

A. Pengantar

Pengasingan adalah sakah satu cara yang digunakan oleh colonial belanda untuk
mengeliminir pihak – pihak yang di anggap berbahaya dan mengancam kedudukan mereka di
tanah air. Menurut Michel Foucault, seorang filsuf asal prancis, semenjak akhir abad ke-18
muncul fenomena – fenomena pengontrolan masyarakat dengan metode pengorganisasian ruang.

B. Hakikat kajian budaya

Kajian budaya awalnya merupakan suatu respons terhadap perkembangan budaya pop
yang selama ini dianak tirikan dan dianggap bukan sebagai budaya tinggi. Culture studies,
secara etimologi mensyaratkan suatu pemahaman multidisiplin. Culture studies merupakan
suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat
digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan.

C. Hakikat ruang dan subjek dalam teori wacana


Menurut Foucault, kekuasaan hadir dalam setiap level hubungan social dengan bentuk
yang amat kompleks. Kekuasaan menempatkan kekuatan pengaruhnya melalui segala
bentuk tindakan, hubungan atau tatanan social. Baginya, kekuasaan tidaklah represif dan
negative, kuasa lebih merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja di masyarakat.

1. Hakikat subjek
Disiplin merupakan teknik kuasa yang menempatkan individu sebagai objek
sekaligus perangkat pelaksanaan mekanisme – mekanismenya. Mekanisme
normalisasi ini merupakan hukuman yang di gunkanan terhadap segala sesuatu yang
menyangkut ketidakteraturan. Penjara menggunakan waktu sebagai ukuran
penghukuman karena waktu merupakan hal yang dimiliki individu secara alami.
2. Hakikat ruang
Foucault berpendapat bahwasanya sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan.
Untuk memudahkan pengawasan dan pengontrolan akan tubuh penguasa
melakukan metode penataan ruang.

Bab 10 : feminisme

A. Pengantar
Feminism berasal dari kata latin, yaitu femina yang berarti memiliki sifat keperempuan.
Secara lebih luas dapat digambarkan feminisme adalah sebuah kesadaran tentang adanya
ketidakadilan yang sistematis bagi perempuan di seluruh dunia.

B. Feminisme dalam berbagai bentuk

Menurut anshori, kosasih dan sarimaya ( 1997: 21) beberapa pendekatan teori feminis
sebagai berikut :

1. Teori dasar feminis ( mainstream feminist theory )


2. Teori feminis social ( socialist feminist theory )
3. Teori feminis gemulai ( soft feminist theory )
4. Teori feminis radikal ( radical feminist theory )
5. Teori feminis liberal ( liberal feminist theory )
6. Teori gender ( gender theory )
C. Pendekatan feminisme dan gender
1. Pendekatan feminisme dan gender

Pada umumnya gerakan pere,puan sebagai gerakan social tidak muncul tiba – tiba
melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat dimana ada perasaan cemas da nada
keinginan – keinginan individu yang menghendaki perubahan dan yang kemudian bergabung
dalam suatu tindakan bersama.

2. Feminisme, gender dan sastra

Menurut carter (2006: 91) tujuan dari feminis teori berhubungan dengan sastra, yaitu
perjuangan menuntut memperoleh kesamaan hak dalam produksi satra ( sebagai penulis,
peran/karakter, sebagai pembaca).

D. Tubuh dalam pandangan feminisme

Tubuh merupakan satu – satunya indicator yang paling niscaya atau bahkan mutlak dan
yang paling terkesan alamiah dari eksitensi manusia sebagai pribadi. Beauvoir
mengungkapkan bahwa budaya patriarkat menjadikan tubuh perempuan sebagai penghalang
untuk mengaktualisasi, menciptakan dan mentransendensi diri.

1. Tubuh sebagai situasi


2. Tubuh sebagai kekuatan persepsi
3. Tubuh sebagai hambatan
E. Kritik sastra feminis

Berasal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis wanita di masa silam untuk
mewujudkan ciri wanita dalam karya penulis pria yang menampilkan wanita sebagai
makhluk dengan pelbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta di sepelekan oleh tradisi
patriarkat yang dominan.

Bab 11 : psikologi sastra

A. Pengantar
Psikologi merupakan cabang pengetahuan yang masih muda dibandingkan ilmu
pengetahuan lainnya. Pradigma psikologi terus berkembang seiring berjalannya sejarah dan
berkembangnya teori - teori baru sehingga definisinya pun terus mengalami perubahan.

B. Kategori kegiatan psikis

Macam – macam kegiatan psikis pada umumnya digolongkan dalam 4 kategori, yaitu :

1. Gejala pengenalan atau kognitif


Gejala pengenalan ialah segenap gejala yang terdapat dalam kejiwaan sebagai hasil
dari pengenalan. Pada gejala pengenalan terdapat bagian – bagian yang
mendasarinya, yaitu perhatian, pengamatan, tanggapan, imajinasi, ingatan, pikiran,
dan intuisi.
2. Gejala perasaan dan emosi atau afektif
Gejala afektif merupakan bagian dari kegiatan psikis yang berkenaan dengan
perasaan dan emosi manusia. Banyak aspek yang menyempurnakan gejala ini yakni
perasaan, affek dan stemming, suasana hati, simpati dan empati.
3. Gejala kemauan atau konatif
Kemauan merupakan salah satu fungsi hidup kejiwaan manusia yang dapat diartikan
sebagai aktivitas psikis yang mengandung usaha aktif dan berhubungan dengan
pelaksanaan suatu tujuan yang menjadi titik akhir dari gerakan yang menuju pada
suatu arah. Kemauan dikelompokkan menjadi: dorongan, keinginan, hasrat,
kecenderungan, hawa nafsu dan kemauan (sumanto,1990: 153).
4. Gejala campuran
Gejala campuran atau yang bisa juga disebut sebagai gejala kombinasi merupakan
campuran dari ketiga gejala yang telah dipaparkan sebelumnya. Gejala campuran
tersebut ada tiga macam yaitu perhatian, kelelahan, sugesti.

C. Konflik psikologis dalam sastra.


Istilah konflik berasal dari kata kerja bahasa latin configure yang berarti saling memukul.
Dari bahasa latin tersebut diadopsi kedalam bahasa inggris, conflict, yang kemudian diadopsi
kedalam bahasa Indonesia yakni konflik. Dengan demikian, kajian psikologi sastra
merupakan penelitian sastra yang memanfaatkan teori – teori kejiwaan untuk mengetahui
tokoh – tokoh dalam karya, perilaku pengarang. Bahkan perilaku social pembaca. Teori ini
sangat bermanfaat untuk menuak motif pssikologi individu.

Bab 12 : resepsi sastra dan budaya massa

A. Pengantar

Perbedaan sudut pandang inilah yang kemudian memunculkan adanya pelbagai jenis
jenis sudut pandang yang dipakai dalam penelitian sastra. Pradopo (2110: 108)
mengemukakan bahwa dalam beberapa decade terakhir teori – teori post-strukturalisme
memberikan perhatian yang seris kepada pembaca.

B. Defenisi resepsi sastra

Teeuw ( 1984: 150) menerjemahkan rezeptiona esthetic sebagai “resepsi sastra” yang
dikemukakan oleh junus (1985:1), resepsi dapat juga diterjemahkan sebagai “penerimaan
estetik” sesuai dengan aesthetic of reception. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat
disimppulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang memfokuskan perhatian
kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra
sehimgga memberikan reaksi atas teks sastra.

C. Latar belakang lahirnya teori resepsi sastra

Dalam teori pertama pembaca belum memperoleh tempat yang memadai sebab karya
sastralah yang menjadi pusat perhatian sedamgkan pengarang dengan sengaja diingkari.
Dalam teori yang kedualah yakni struturalisme praha, terjadi pergeseran yang sangat
signifikan dengan menunjukkan pada karya – karya mukarovsky yang kemudian dilanjutkan
oleh vodicka. Dengan kata lain, resepsi sastra muncul karena stagnasi analisis intrinsic
selama hamper setengah abad sejak awal abad ke-20.

D. Perkembangan teori resepsi sastra

Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori resepsi sastra oleh warning
(1975) yang memasukkan karangan sarjana – sarjana dari jerman. Berdasarkan hasil
penelitian konsep ini memberikan bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan
pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna modalitas dan
hasil pertemuan antara karya dan khalayak melalui pelbagai aspek dan cara.

E. Metode dan pendekatan resepsi sastra

Metode resepsi pendekatan sastra mendasrkan diri pada teori bahwa karya itu sejak terbit
selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Metode penelitian resepsi dapat dirumuskan
kedalam tiga pendekatan yakni pendekatan resepsi sastra secara eksperimental, penelitian
resepsi sastra melalui kritik sastra, penelitian resepsi sastra secara intertekstual.

F. Sastra dalam perspektif cultural studies

Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhaya, yaitu bentuk jamak dari budhhi
yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal hal yang
bersangkutan dengan akal. Kebudayaan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, ketika
hendak menganalisis membagi keseluruhan itu ke dalam unsur – unsur besar. Kebudayaan
dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran – pikiran, ide –
ide, maupun tindakan dan karya – karya manusia menghasilkan benda kebudayaan fisiknya.

G. Sastra lisan dalam resepsi sastra

Istilah sastra lisan sudah digunakan berulang – ulang dalam uraian – uraian sebelumnya
sehingga muncul kesan seolah – olah sastra lisan itu merupakan sekelompok teks yang
mudah dikenal bentuknya. Tulisan ini akan menyampaikan beberapa gagasan yang
cenderung diterima secara luas dalam mengidentifikasi teks – teks sasra lisan itu.

Apek – aspek sastra lisan :

1. Pertunjukkan ( performance )
2. Khalayak ( audience )
3. Teks.

BAB 13 KONSEP DASAR PENGAJARAN SASTRA

Rosenblatt menegaskan bahwa pengajaran sastra melibatkan peneguhan kesadaran terntang sikap
Erik. Hampir mustahil membicarakan karya sastra seperti novel, puisis, dan drama tanpa
menghadapi masalah etik dan tanpa menyentuhnya dalam konteks filosofi sosial—tanpa
menghadapkan siswa pada masalah kehidupan sosial yang digeluti sepanjang hari ditengah
tengah masyarakat yang dihidupi dan menghidupi nya (Gani, 1998:1)

Pengajaran sastra menurut Robert E. Probst, haruslah memampukan siswa menemukan


hubungan antara pengalamannya dengan karya sastra yang bersangkutan.

Tujuan pengajaran sastra adalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh
pengalaman sastra, sehingga sasaran akhirnya dalam wujud pembinaan apresiasi sastra dapat
tercapai (Gani, 1998: 37).

Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan SMA dijelaskan bahwa standar kompetensi mata
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa bahwa
belajar bahasa adalah belajar komunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia
dan nilai nilai kemanusiaannya (Depdiknas, 2003:1)

BAB 14 Telaah dan Pengajaran Sastra Lama

A. Pengantar

Penelitian dan pembelajaran sastra lama/ lisan bagi siswa disekolah dewasa ini merupakan
lahan kosong yang perlu penggarapan yang lebih serius lagi yang meminta partisipasi seluruh
pihak. Pembelajaran sastra lama/ lisan inj tidak akan mencapai titik apresiasi yang optimal sebab
transformasi sastra yang tidak normatif akan membingungkan siswa.

B. Hakikat sastra lama

Pada hakikatnya, sastra lama/ lisan bisa dilihat dari dua bentuk, yaitu sastra lama dan sastra
lama tulis. Sastra lisan lebih awal muncul dari pada sastra tulis. Sastra tulis ini muncul setelah
dikenal sistem aksara di beberapa daerah di wilayah Indonesia. Karena itulah seringkali tatkala
berbicara tentang sastra lama, maka pandangan kita langsung tertuju pada sastra lisan, yang
merupakan titik awal berangkat nya konsep tentang pembahasan sastra lama.

Pembicaraan tradisi lisan ini dimulai dari konsep folklore. Folklore adalah bagian
kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu mengingat, yang berada dalam
berbagai kolektif apa saja, secara tradisional dan mempunyai varian varian tertentu.

C. Tradisi lisan dan folklor


Folklor dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
a. Folklor lisan
b. Folklor sebagai lisan, dan
c. Folklor material

Pada folklor lisan hampir seluruh materi nya adalah lisan dan biasanya mempunyai tradisi
penuturan lisan. Tradisi penuturan tersebut ada yang masih aktif dan ada yang pasif. Hal yang
sama juga berlaku pada folklor sebagai lisan, tetapi material nya tidak seluruhnya lisan misalkan
perangkat seremonial dan upacaranya itu sendiri/ baik folklor lisan, sebagai lisan maupun folklor
material (bukan lisan), tradisi penuturannya akan menghasilkan tradisi lisan, dan dokumen tradisi
lisan juga bisa dituturkan kembali menjadi tradisi lisan sehingga terjadi siklus tradisi lisan.

D. Ciri ciri tradisi lisan

Tradisi lisan yang berbentuk murni lisan didalamnya adalah :

a. Bahasa Rakyat (folkspeech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan gelar
kebangsawanan.
b. Ungkapan seperti pribahasa, pepatah, pemeo
c. Pertanyaan tradisional (teka teki)
d. Puisis rakyat seperti mite, legenda, dongeng.
e. Nyanyi rakyat

Tradisi lisan sebagai lisan berbentuk campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain :

1. Kepercayaan tradisional, permainan rakyat


2. Adat istiadat
3. Upacara
4. Teater rakyat
5. Tarian rakyat
6. Pesta rakyat

Tradisi lisan Material berbentuk bukan lisan. Dibagi menjadi dua kelompok, yakni;

Tradisi lisan material :

1. Arsitektur rakyat, misalnya rumah adat


2. Kerajinan tangan rakyat, misalnya pakaian adat dan aksesoris tubuh khas daerah
3. Makanan dan minuman tradisional
4. Obat obatan tradisional

Tradisi lisan bukan material :

1. Gerak isyarat tradisional


2. Bunyi bunyian isyarat seperti kentongan untuk komunikasi; dan
3. Musik rakyat (Danandjaja, 2002: 21).
E. Fungsi tradisi lisan bagi masyarakat
Sastra lisan itu dalam kehidupan masyarakat memiliki beberapa fungsi :
a. Berfungsi sebagai sistem proteksi di bawah sadar masyarakat terhadap suatu
impian seperti cerita Sangkuriang.
b. Berfungsi untuk pengesahan kebudayaan seperti cerita asal usul.
c. Berfungsi sebagai alat pemaksa berlakunya norma norma sosial dan sebagai alat
kontrol sosial seperti pribahasa.
d. Berfungsi sebagai alat pendidikan anak seperti cerita si kancil.
F. Kondisi umum pembelajaran sastra lama Tulis di Indonesia

Peninggalan tertulis yang telah ada sejak abad ke-13 hingga abad ke-14 berupa naskah naskah
kuno yang ditulis dalam bentuk aksara merupakan aset budaya, khususnya dalam bidang sastra
lama kategori tulis yang merupakan peluang untuk memperkenalkan kearifan nenek moyang
kepada para siswa.

Misalnya, dengan memperkenalkan adat raja raja Melayu kepada siswa, kita akan mendapatkan
pengetahuan bagaimana raja raja itu mengelola sebuah sistem pemerintahan, cerita yang banyak
bersumber dari Mahabarata dan Ramayana seperti hikayat Pandawa Lima. Demikian pula
hikayat Sri Rama. Demikian pula kita juga bisa menemukan cerita-cerita pengaruh Islam seperti
hikayat Muhammad Hanafiah, cerita Panji dari Jawa. Kita bersyukur bahwa naskah naskah asli
dalam jam bentuk aksara tersebut masih terawat dan disimpan di museum dan bisa dijadikan
referensi untuk pengetahuan siswa.

G. Kondisi pembelajaran sastra lama di Indonesia

Berdasarkan Kemendiknas No.232/2000, pembelajaran di lembaga pendidikan adalah berbasis


budaya. Pembelajaran berbasis budaya tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan
identitas dan jati diri budaya pada siswa secara simultan meningkatkan toleransi dan apresiasi
terhadap kemajemukan budaya lokal yang terdapat di lingkungan masyarakatnya melalui proses
pembelajaran yang memuat konteks budaya. Pembelajaran berbasis budaya juga bertujuan untuk
menumbuhkan minat dan penghargaan siswa atas kesenian dalam konteks luas dan khususnya
lisan yang bercirikan tradisi lokal, disamping mengembangkan an-naml pelaksanaan
pembelajaran yang berwawasan multikultural melalui dukungan dan partisipasi masyarakat.

H. Model pembelajaran sastra lama

Ada beberapa tawaran pemikiran dalam pembelajaran sastra, khususnya sastra lisan. Pertama,
meninggalkan tradisi memberi tugas yang sifatnya menghujani peserta didik dengan menghafal
materi berkaitan dengan periodisasi, tokoh-tokoh, pengarang, istilah dan teori. Kedua, lembaga
pendidikan harus menyediakan koleksi sastra sehingga akses peserta didik terhadap karya lebih
mudah. Ketiga, pendidikan harus melengkapi ensiklopedia pengetahuannya dengan karya sastra.
Keempat, pembelajaran sastra harus berorientasi pada peserta didik, yakni apresiasi peserta didik
terhadap karya sastra menjadi sentral. Kelima, peserta didik diberikan kesempatan untuk
mengemukakan pikiran dan pendapatnya tentang karya sastra yang telah dibaca nya nya tanpa
mengacu pada norma atau batasan batasan tertentu.

I. Materi pembelajaran sastra lisan

Menghadirkan sastra lisan ke dalam ruang pembelajaran dapat pula dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi yang ada. Berbagai macam rekaman suara sastra lisan yang dilakukan
oleh studio rekaman beredar di tengah masyarakat, diperjual-belikan untuk hiburan masyarakat,
baik dalam bentuk kaset maupun CD. Kaset dan CD itu dapat dijadikan sebagai bahan
pembelajaran dengan cara diputar atau ditayangkan dalam ruang pembelajaran melalui tape atau
video player. Hal itu sangat memudahkan peserta didik untuk mengapresiasi sastra lisan itu
meskipun terdapat kelemahan ketika peserta didik tidak dapat mengapresiasikan teks sastra lisan
itu.

J. Bentuk bentuk sastra lama sebagai materi pembelajaran

a. Prosa lama
i. Dongeng
Dongeng adalah proses cerita yang isinya bersifat khayalan atau hanya
ada di dalam fantasi pengarang titik dongeng dibedakan menjadi:
1. Fabel. Fabel adalah dongeng tentang kehidupan dunia binatang
2. Farabel. Parabel adalah dongeng tentang binatang atau benda-
benda lain yang mengandung nilai pendidikan.
3. Legenda. Legenda adalah sebuah dongeng yang dihubungkan
dengan keajaiban alam, terjadinya suatu tempat dan setengah
mengandung unsur sejarah.
4. Mite. Mite adalah dongeng yang berhubungan dengan cerita jin,
peri, rohalus, dewa dan hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan animisme.
5. Sage. Sage adalah dongeng yang mengandung unsur sejarah
meskipun tidak seluruhnya berdasarkan sejarah.
ii. Hikayat
kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang berarti cerita. Hikayat adalah
cerita yang panjang yang sebagian isinya mungkin terjadi sungguh-
sungguh, tetapi di dalamnya banyak terdapat hal yang tidak masuk akal,
penuh keajaiban titik menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto, hikayat
sebagai jenis prosa cerita Melayu lama mengisahkan kebesaran dan
kepahlawanan orang-orang ternama para raja atau para orang suci di
sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan dan mukjizat tokoh
utamanya kadang mirip cerita sejarah atau berbentuk riwayat hidup.
iii. Tambo
tambo adalah cerita sejarah, yaitu cerita tentang kejadian atau asal usul
keturunan raja.
iv. Wira Carita (Cerita kepahlawanan)
Wiracarita adalah cerita yang pelaku utamanya nya adalah seorang
ksatria yang gagah berani, pandai berperang dan selalu memperoleh
kemenangan.
b. Puisi lama
i. Mantra
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmat dan kekuatan gaib.
Mantra sering diucapkan oleh dukun atau pawang, namun ada juga
seorang awam yang mengucapkan. contoh: ritual saweran sebagai
bagian dari folklor Sunda.
ii. Bidal
bidal adalah pepatah atau peribahasa dalam sastra Melayu lama yang
kebanyakan berisi sindiran, peringatan, nasihat dan sejenisnya. Yang
termasuk dalam kategori bidang adalah:
1. ungkapan, yaitu kiasan tentang keadaan atau kelakuan yang
dinyatakan dengan sepatah atau beberapa patah kata.
2. peribahasa, yaitu kalimat lengkap yang mengungkapkan keadaan
atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan dengan
alam sekitar.
3. Tamsil, yaitu seperti perumpamaan tetapi diikuti bagian kalimat
yang menjelaskan.
4. Ibarat, yaitu seperti perumpamaan dan tamsil tetapi diikuti bagian
yang menjelaskan yang berisi perbandingan dengan alam.
5. Pepatah, yaitu kiasan tetap yang dinyatakan dalam kalimat selesai.
6. Pemeo, yaitu ucapan yang terkenal dan diulang-ulang dan
berfungsi sebagai semboyan atau pemacu semangat.
iii. Pantun
Pantun adalah puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu (jumlah
baris jumlah suku kata, kata persajakan dan isi).
Berdasarkan bentuk atau jumlah tiap-tiap baris, pantun dibedakan
menjadi:
1. Pantun biasa, yaitu pantun yang terdiri dari empat baris tidak bait.
2. Pantun kilat atau karmina, yaitu pantun yang hanya tersusun dari 2
baris.
3. pantun berkait, yaitu pantun yang tersusun secara berangkai dan
saling mengait antara bait pertama dan bait berikutnya.
4. talibun, yaitu pantun yang terdiri lebih dari 4 baris tetapi selalu
genap jumlahnya. Sebagian merupakan sampiran dan sebagian lagi
merupakan isi.
5. Seloka, yaitu pantun yang terdiri dari empat baris tetapi
persajakannya datar (a-a-a-a).
iv. Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari 2 baris 1 bait dan kedua
liriknya merupakan kalimat majemuk yang selalu berhubungan menurut
hubungan sebab-akibat.baris pertama merupakan syaratnya sedangkan
baris kedua merupakan jawabannya. Gurindam berisi petuah atau
nasihat. Gurindam muncul setelah timbulnya pengaruh kebudayaan
Hindu.
v. Syair
Kata syair berasal dari bahasa Arab syu'ur yang artinya perasaan. syair
timbul setelah terjadinya pengaruh kebudayaan Islam titik puisi ini
terdiri atas 4 baris sebait, berisi nasihat, dongeng dan sebagian besar
berisi cerita. Syair kerap hanya mengutamakan isi.

BAB 15 PENGAJARAN PUISI

a) Pengantar

Telaah Puisi adalah analisis yang mengacu pada kegiatan yang menelaah unsur-unsur yang
membangun karya puisi sehingga menimbulkan kesan yang mendalam mengenai gagasan-
gagasan yang diungkapkannya.dengan analisis diharapkan nilai-nilai yang tergantung di
dalamnya akan terungkap kan.

b) Telaah Puisi melalui pendekatan struktural


Struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur, yaitu struktur luar (Surface structure) dan
struktur dalam (deep structure). struktur luar puisi berkaitan dengan bentuk, sedangkan struktur
dalam puisi berkaitan dengan isi atau makna.

1. Struktur luar (Surface structure)


a. Pilihan kata (diksi)
pilihan kata merupakan hal yang esensial dalam struktur puisi karena kata
merupakan wacana ekspresi utama. Setiap kata akan mempunyai beberapa fungsi,
baik fungsi makna, bunyi, nilai estetika, bentuk dan lainnya. Oleh karena itu,
ketepatan pemilihan kata tidak hanya sekedar Bagaimana suatu makna bisa
diungkapkan melainkan kata yang dipilih benar-benar mampu mengungkapkan
satu ekspresi yang melahirkan pesan-pesan tertentu tanpa meninggalkan aspek
estetisnya.
b. Unsur bunyi
Unsur bunyi merupakan hasil penataan kata dalam struktur kalimat titik pada
puisi puisi lama, seperti pantun dan syair, penyusunan bunyi merupakan bagian
yang mutlak karena struktur tersebut merupakan bagian penanda bentuk titik pada
pantun, misalnya, struktur bunyi selalu bersajak a-b-a-b sedangkan pada syair
selalu bersajak a-a-a-a. namun, pada puisi baru atau kontemporer struktur
penyusunan bunyi tidak lagi melalui 1 patokan khusus.
A. Rima atau bunyi-bunyi yang sama dan diulang baik dalam
satuan kalimat maupun pada kalimat kalimat berikutnya.
Pengulangan bukanlah pengulangan dalam arti model
sampiran seperti halnya yang terdapat dalam pantun
melainkan pengulangan yang dimaksudkan untuk
memberikan efek tertentu.
B. Irama
Irama adalah paduan bunyi yang menimbulkan aspek musikalitas atau ritme
tertentu. Ritme tersebut biasa muncul karena adanya penataan Rima. Pemberian
aksentuasi, intonasi dan tempo ketika puisi tersebut dibaca.
2. Struktur dalam
struktur dalam pada dasarnya adalah makna yang terkandung dibalik kata-kata yang
disusun sebagai struktur luarnya. Pengertian struktur dalam diberikan karena makna
dalam puisi seringkali merupakan makna yang tidak langsung atau makna simbolis.
Makna kemunculannya nya perlu diinterpretasikan, direnungkan, dikaitkan antara
keberadaan kata yang satu dengan fenomena yang lain. Oleh karena itu, makna yang
berhubungan dengan struktur luar tergantung pada kepekaan, pengalaman pengetahuan
dan ketajaman intuisi pembaca.

c) Teori puisi Riffaterre

Ada empat hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pemaknaan sastra yaitu:

1. Puisi itu ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain
2. Pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik
3. Materi, model dan varian-varian, dan
4. Hipogram (Riffarette dalam Pradopo, 2007: 228)

puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.
Ekspresi tidak langsung itu disebabkan oleh:

a. pengganti arti (displacing of meaning)

b. Penyimpangan atau pemencongan arti (distorting of meaning)

c. Penciptaan arti (creating of meaning) (Riffarattere dalam Pradopo, 2007: 227)

d) Hakikat pengajaran puisi

Tujuan pengajaran puisi di sekolah adalah agar siswa memperoleh kesadaran yang lebih terhadap
dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar dan memperoleh kesenangan dan pengetahuan
dasar tentang puisi. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengajaran puisi si di sekolah
adalah pemilihan bahan pengajaran dan penyajiannya.

Pemilihan bahan pengajaran puisi hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspek


bahasa, kematangan atau perkembangan jiwa siswa dan latar belakang budaya. Salah satu tujuan
pengajaran puisi kepada siswa adalah agar siswa memperoleh kesenangan dari pembaca dan
mempelajari puisi sehingga tumbuh keinginan membaca dan mempelajari puisi pada waktu
senangnya.

e) Pendekatan pengajaran puisi

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada komponen telaah puisi pada pendekatan


pengajaran sastra juga dapat dibagi menjadi:

1. Pendekatan struktural, yakni pendekatan yang memfokuskan analisis pada wacana atau
teks puisi itu sendiri dengan mengenyampingkan aspek pengarangnya
2. Pendekatan semiotik, dan
3. Pendekatan gestalt (dalam bahasa Jerman, yang berarti pola atau kontingensi)
Adalah keseluruhan yang punya identitas dan makna tersendiri dalam hal ini bagian-
bagian dapat diidentifikasi sebagai unsur dan bagian-bagian yang dihubungkan dalam
pola konfigurasi. Pendekatan pemahaman puisi yang paling dikenal adalah pendekatan
yang dikemukakan oleh Abrams pada tahun 1953. Dia menyebutkan empat pendekatan
untuk memahami karya sastra, yaitu:
a. Pendekatan mimetik
b. Pendekatan ekspresif
c. Pendekatan pragmatik
d. Pendekatan objektif.

f) Model pengajaran puisi

Model bengkel sastra

bengkel sastra sebenarnya hanya sebuah istilah keren yang aktivitasnya tidak jauh berbeda
dengan sanggar sastra. Mungkin sekali model itu merupakan bagian tak terpisahkan dari sanggar
sastra, yaitu suatu organisasi oleh sastra yang biasanya berada di luar sekolah atau kampus.
Meskipun demikian, bengkel sastra tetap cocok untuk pengajaran sastra di sekolah karena
prinsip-prinsipnya sangat menguntungkan.

g) Deklamasi puisi
sebuah deklamasi puisi barulah terasa keindahannya jika dibaca dengan irama yang baik. Irama
ini akan jelas menonjol pada saat puisi tersebut dideklamasikan. Deklamasi berasal dari bahasa
latin, yaitu declamare atau declaim yang memiliki arti membaca suatu hasil sastra yang
berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu (Situmorang, 1974). Gerak yang
dimaksud ialah gerak alat bantu yang puitis yang seirama dengan isi bacaan.

BAB 16 PENGAJARAN FIKSI

A.Pengantar

Karya sastra prosa ada yang menyambut dengan fiksi atau cerita rekaan. prosa atau fiksi adalah
kisah atau cerita yang dikembangkan oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, tahapan dan
rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin
suatu cerita (Aminuddin, 2002). Prosa fiksi juga dapat didefinisikan sebagai bentuk cerita atau
prosa kisahan yang memiliki pemeran, lakuan, peristiwa dan alur yang dihasilkan oleh daya
imajinasi (Suhariyanto, 1982).

B. Hakikat pengajaran cerpen dan novel

Pada dasarnya, strategi dalam pengajaran cerpen maupun novel bisa ditentukan oleh guru sendiri
berdasarkan kebutuhan dan situasi yang ada. Secara garis besar, tahapan-tahapan yang bisa diatur
dalam pengajaran cerpen maupun novel diantaranya adalah pendahuluan, penyajian, diskusi dan
pengukuhan.

Pendahuluan merupakan tahap persiapan atau perencanaan sebelum guru melaksanakan


pembelajaran di kelas titik dalam hal ini, guru memilih bahan yang akan diapresiasikan titik
pemilihan bahan, dalam hal ini karya cerpen atau novel, tentunya mengacu pada kebutuhan dan
situasi yang ada.

Langkah berikutnya adalah tahapan penyajian.pertama, guru mengajak siswa untuk membaca
cerpen atau novel tersebut dalam hati. Kedua, apabila siswa selesai membaca, guru bertanya
apakah siswa dapat menangkap atau memahami cerpen atau novel tersebut. Ketiga, guru
mengajak siswa untuk membaca cerpen atau novel. ke empat, guru menjelaskan secara singkat
kepada siswa, teknik pembacaan cerpen atau novel baik dari segi vokal, gestur maupun mimik.
dalam tahap diskusi, guru berperan untuk menanyakan keterlibatan jiwa siswa dengan cerpen
atau novel tersebut. misalnya, dengan menanyakan kesan dan perasaan siswa tentang cerita,
perasaan terhadap tokoh-tokohnya dan lain-lain.

terakhir, tahap pengukuhan merupakan penguatan terhadap tahap pembelajaran di atas. guru
dapat memberi tugas, misalnya menyuruh siswa menuliskan kembali keterlibatan emosi mereka
dengan cerpen atau novel tersebut.

Bab 17 Pengajaran Drama

A. Pengantar

Pada dasarnya drama nenunjukkan sesuatu melalui peniruan peran yang berwujud cerita yang
dipentaskan. Drama menyangkut dua aspek, yaitu aspek cerita sebagai karya sastra dan aspek
pementasan. Aspek pementasan ini merupakan seni tersendiri, yakni lakon atau seni teater.

B. Pengertian Drama

Secara etimologis, kata "drama" berasal dari Yunani "dran" yang berarti berbuat. Orang
Yunani menyebut kata drama "draomai" berarti perbuatan meniru. Menurut Morris, "drama term
derived from Greek verbs, 'dran' meaning 'act' to 'do'; maksudnya adalah drama dari kata kerja
dran yang berarti berbuat. Secara sederhana, makna dapat pula bermakna peran. Drama
merupakan peran mimetik, yaitu peran dalam peniruan atau representasi tentang perilaku
kemanusiaan. Drama tidak hanya sekadar bentuk sastra, tetapi dalam drama yang terpenting
adalah penggarisbawahan peran. Perwujudan drama adalah kehadiran unsur-unsur yang terletak
di luar jangkauan kata-kata dan harus dilihat sebagai peran. Dengan demikian, dapatlah
ditegaskan bahwa drama merupakan karya tulis sastra yang dapat dipentaskan, berisi dialog dan
pernuatan dalam suatu situasi tertentu.

C. Unsur-unsur Drama

Sebuah drama dibangun oleh dua unsur, yakni unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik.
Sedangkan tema dalam drama diletakkan tersendiri dari unsur-unsur lainnya, yakni yang disebut
dengan isi drama. Sebagaimana halnya cerpen dan novel, drama pun mempunyai pikiran pokok
yang hendak diutarakan pengarangnya. Pikiran pokok ini merupakan suatu yang diyakini, suatu
pendirian, paling tidak dalam kaitan drama atau naskah yang dihasilkannya. Drama yang tidak
jelas sikapnya, arah alurnya tidak akan menentu. Pikiran pokok yang demikian itulah yang
dinamakan tema.

1. Alur

Alur adalah rentetan peristiwa yang terjadi, yang membangun cerita dari awal sampai
akhir. Alur dalam drama harus disusun sedemikian rupa. Perpindahan dari satu peristiwa ke
peristiwa lain harus logis agar segala peristiwa mampu mengikat penonton.

2. Perwatakan

Perwatakan amat penting dalam drama. Tanpa perwatakan tidak bakal ada cerita, tanpa
perwatakan tak bakal ada alur. Namun, keduanya saling membutuhkan. Brahim (1968: 89)
mengandaikan perwatakan dan alur tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

3. Dialog

Dialog adalah pembicaraan tokoh. Dialog merupakan unsur terpenting dalam drama
berbeda dengan film karena dalam beberapa menit dalam film bisa meluncur tanpa dialog
karena penghayatan penonton dapat dibantu dengan gambar.

4. Konflik

Menurut Hamzah (1985: 123), konflik merupakan sumber gerak dramatik. Maksudnya, cerita
hanya dapat bergerak kalau di dalamnya ada konflik. Konflik itu bersumber dari manusia.
Konflik tidak hanya terjadi antara seseorang dengan orang lain. Tetapi, dapat pula terjadi antara
orang dengan masyarakat antara orang dengan alam, antara orang dengan suatu keyakinan,
antara orang dengan batinnya.

5. Jenis Drama

Pada awalnya drama hanya ada dua, yaitu tragedi dan komedi. Namun, kemudian
berkembang menjadi pelbagai jenis. Di antaranya adalah melodrama, drama heroik, komedi,
farce, sendratari dan tablo. Tragedi adalah drama yang penyelesaiannya sedih. Biasanya dengan
kematian sehingga menimbulkan pengaruh emosional Yang dalam. Pelaku drama dari awal
hingga akhir cerita selalu keras dalam melawan nasibnya yang buruk.

Melodrama merupakan drama yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang memandang


kesedihan, baik yang berakhir dengan tragis maupun diselesaikan dengan gembira.
mengungkapkan pelaku-pelaku yang kasar, jahat dan yang baik (kadang-kadang tidak ,realistik
dan kurang dapat diterima secara psikologis)e Dialog dalam melodrama biasanya diiringi dengan
melodi/musik. Drama heroik merupakan drama yang menggambarkan tema percintaan atau
keberanian dengan cara-cara yang terlalu dilebih- lebihkan sehingga cenderung menjadi absurd.
Komedi merupakan drama yang membuat penontonnya gembira dan bahagia. Kesenangan itu
bisa memancing senyum dan gelak tawa. Komedi ini biasanya disebut juga dengan penggeli hati.
Bahannya banyak diambil dari kejadian yang terdapat dalam masyarakat sendiri dan sering
berakhir dengan kegembiraan.

Farce merupakan drama yang penuh dengan lelucon, menampilkan tingkah laku yang
menimbulkan ketawa yang terbahak-bahak. Sering yang menjadi objeknya adalah orang-orang
yang linglung.

Opera adalah drama yang berisi nyanyian dan musik pada sebagian besar penampilannya.
Nyanyian digunakan sebagai dialog. Opera juga dapat dibedakan atas opera seria (cerita sedih),
opera buffo (cerita lucu) dan opera komik (lelucon, tidak dinyanyikan). Operet adalah drama
jenis opera yang lebih pendek.

Sendratari adalah gabungan antara seni drama dan seni cari Para pemainnya adalah penari-
penari berbakat. Rangkaian peristiwa diwujudkan dalam bentuk tari yang diiringi musik.
Tidak ada dialog. Hanya kadang-kadang dibantu narasi singkat agar penonton mengetahui
peristiwa yang sedang dipentaskan.

D. Strategi Pengajaran Drama

Ada tiga tahap pengajaran dramayang dapat cliaplikasikan oleh guru, yaitu (l) tahap
penjelajahan, (2) interpretasi, dan (3) rekreasi. Pada tahap penjelajahan, guru harus memberikan
rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu cirama. Secara
spesifik, penjelajahan ini bisa menyangkut perkenalan dengan drama, membaca dalam hati dan
menonton pertunjukan dama. Pada tahap interpretasi, hasil bacaan atau tontonan mereka
didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan menggali pendapat siswa terutama
mengenai kesan siswa terhadap watak, tokoh, latar dan sebagainya. Dengan proses ini guru
secara tidak langsung telah membimbing murid mengenal dan memahami jalan cerita drama
tersebut secara aktif, tidak disuapi dengan informasi. Jadi, pengajar hanya memancing mereka
dengan topik diskusi yang sederhana dari kehidupan sehari-hari.

E. Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Guru dalam Pementasan Drama

Adapun beberapa aspek yang penting untuk diperhatikan sebelum pementasan drama
dilakukan, yakni alur ccrita, waktu, penokohan, setting, panggung, kostum, musik pengiring,
lighting, sound syston, latihan dan pementasan. Alur cerita, sebagai guru, harus benar-benar
memahami jalannya cerita clari satu adegan ke adegan berikutnya sehingga dapat memberikan
pengarahan yang benar kepada anak-anak. Waktu dan alokasi waktu harus diatur dengan baik
untuk setiap adegan agar setiap adegan tidak menyerap waktu terlalu banyak. Penokohan pilih
anak-anak yang memiliki kemampuan (menghafal dan berakting) dan keberanian untuk menjadi
pemeran utama, yang harus mengucapkan dialog. Namun, jangan mengabaikan anak yang
pemalu. Mereka tetap dapat diikutsertakan dalam drama sebagai pemeran pembantu atau figuran
yang tidak perlu Inengucapkan banyak kata-kata. Setting panggung dan penataan panggung ini
dapat disesuaikan dengan besarnya panggung. Untuk yang besar dan luas, Inaka bisa ditata
sedemikian rupa sesuai dengan adegan-adegan dalam naskah (dua atau tiga latar belakang).
Namun, untuk panggung yang tidak besar, panggung dapat ditata dalam tiap babak. Terkait
kostum pemain, sedapat mungkin disediakan kostum yang sesuai dengan cerita untuk menambah
semarak pementasan cerita.

F. Keuntungan Mengajarkan Drama bagi Siswa

Dengan mengajarkan drama kepada siswa, maka ada beberapa keuntungan yang dapat
diperoleh oleh siswa, yaitu sebagai berikut:

1. Cara efektif untuk menolong anak belajar konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan sifat-sifat
manusia yang abstrak.
2. Melatih kemampuan anak untuk berkonsentrasi. Dengan drama, anak mendapatkan lebih
banyak variasi sehingga anak bisa bertahan duduk dan mendengarkan cerita lebih lama.

3. Dengan mendengar dan melihat cerita lewat drama, anak akan mengingat apa yang
diajarkan lebih baik, apalagi untuk anak-anak yang terlibat langsung dalam memainkan
drama.

4. Melalui drama anak akan mendapatkan kesan emosi yang mendalam karena dengan
melihat secara langsung adegan itu dimainkan, anak akan mendapatkan kesan emosi
yang tidak mudah dilupakan.

5. Bagi anak-anak yang terlibat dalam memainkan drama, mereka dapat belajar untuk
mengekspresikan emosi-emosi tertentu.

6. Melatih anak untuk berani berdiri di depan umum dan memberikan rasa percaya diri
kalau mereka berhasil melakukannya.

7. Membangun kemampuan kerja sama dalam kelompok.

8. Mendorong anak berkreasi dan mengembangkan talenta yang ada.

G. Metode Pengajaran Drama

Metode sosio-drama ialah teknik yang bertalian dengan studi kasus. Tetapi kasus tersebut
melibatkan individu manusia dan tingkah laku mereka atau interaksi antarindividu tersebut
dalam bentuk dramatisasi. Para siswa dapat berpartisipasi sebagai pemain dengan peran tertentu
atau sebagai pengamat (observer) yang bergantung pada tujuan-tujuan dari penerapan teknik
tersebut. Roestiyah (2001: 90) mengatakan bahwa metode sosio-drama ialah siswa dapat
mendramatisasikan tingkah laku atau ungkapan gerak-gerik wajah seseirang dalam hubungan
sosial antarmanusia. Adapun roll playing ketika siswa bisa berperan dalam dramatisasi masalah
sosial.

1. Langkah-langkah Bermain Peran.

2. Tujuan Penggunaan Metode Bermain Peran.

3. Organisasu Bermain Peran


Bab 18 Masa Depan Pengajaran Sastra di Indonesia

A. Pengantar

Masa depan pengajaran sastra Indonesia harus dilihat dari pelbagai perkembangan sistem
pengajaran yang terjadi dewasa ini. Perubahan kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia jelas
memengaruhi model pengembangan pembelajaran pada masa yang akan datang. Sebagai contoh,
seorang guru tidak lagi bisa mengajarkan sastra berdasarkan model-model pembelajaran pada
masa yang lalu, yakni K TSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Demikian pula, hal-hal
yang terkait dengan rancangan pembelajaran, proses, hasil, evaluasi dan monitoring pada
masing-masing. Pada dasarnya, tujuan pembelajaran sastra merupakan bagian dari
penyelenggaraan pendidikan nasional, yakni mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan oleh pribadi, masyarakat, bangsa, dan negaræ
Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus di bawah ini:
1.Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta
kematangan emosional dan sosial.

2.Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi
pekerti serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa

3.Menghargai dan bangga terhadap sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.

B. Pengembangan Potensi Pribadi yang Imajinatif, Kreatif, dan Produktif

Semua bangsa berlomba-lomba dalam melakukan pembaruan pengajaran agar dapat


membangun mutu sumber daya manusia yang tangguh sebagai modal persaingan global.
Pembelajaran menjadi strategi bangsa untuk memenangkan persaingan atau untuk memperoleh
mutu yang setara dengan yang telah diwujudkan bangsa lain.
BAB III

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN BUKU


BAB IV
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai