Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENEGAKAN HUKUM DAN NEGARA HUKUM

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan


Dosen Pengampuh : Drs. Liber Siagian, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 6 :


1. Ismi Chairani Sartika Husnul (2191111001)
2. Shinta Dewi Safira (2191111004)
3. Putri Ardiani Lubis (2191111005)
4. Nysa Maydina Siahaaan (2191111006)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat menyelesaikan makalah i
ni tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok m
ata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang berjudul “Penegakan Hukum dan Negara Huk
um”.

Dengan makalah ini kami berharap bisa menambah wawasan para pembaca untuk ked
epannya, kami memahami bahwa makalah ini masih banyak kekurangan sehingga kami sanga
t mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih baik lagi.

Medan , September 2020

Penyusun,

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................................2

Daftar Isi..................................................................................................................................3

BAB I Pendahuluan...............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................4

1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................................4

BAB II Pembahasan..............................................................................................................5

2.1 Pengertian Penegakan Hukum...........................................................................................5


2.2 Penegakan Hukum Objektif..............................................................................................6
2.3 Aparatur Penegakan Hukum.............................................................................................8
2.4 Faktor Yang Mengepengaruhi Penegakan Hukum...........................................................9
2.5 Permasalahn Penegakan Hukum di Indonesia...................................................................11
2.6 Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum..........................................................15
2.7 Pengertian Negara Hukum................................................................................................16
2.8 Ciri-ciri Negara Hukum.....................................................................................................16
2.9 Tipe Negara Hukum..........................................................................................................16
2.7 Indonesia sebagai Negara Hukum.....................................................................................17
BAB III Penutup....................................................................................................................18

3.1 Kesimpulan........................................................................................................................18

3.2 Saran..................................................................................................................................18

Daftar Pustaka.......................................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata
tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itumerupakan usaha pencegahan
maupun pemberantasan atau penindakan setelahterjadinya pelanggaran hukum, dengan
perkataan lain baik secara preventifmaupun represif. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai
hukum sangat penting bagi kami penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya yang mana keadilan tersebut merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sifat keadilan itu perlu diajarkan rasa susila
kepada setiap manusia agar dapat membuat warganegara suatu bangsa menjadi baik.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Pengertian penegak hukum dan negara hukum


2. Penegakan Hukum Obyektif
3. Aparatur Penegak Hukum
4. Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
5. Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia
6. Pemberdayaan Masyarakat Dan Penegakan Hukum
7. Pengertian Negara Hukum
8. Ciri-Ciri Negara Hukum
9. Tipe Negara Hukum
10. Indonesia sebagai Negara Hukum

1.3. Tujuan

Makalah ini kami susun selain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dalam
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaran, juga kami memiliki tujuan agar dapat membantu
menambah referensi para pembaca mengenai penegak hukum.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas
dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang
terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum
itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule
of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum,
tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’.

5
Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum,
bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka.

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang
berlaku dalamkehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,
pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya.
Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu,
baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal
tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini
memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek
yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

2.2. Penegakan Hukum Objektif

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara


pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat
dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan
hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan.
Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti
pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan
semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah
‘Supreme Court of Justice’.

6
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus
ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara
perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan
dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran
materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan
pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari
dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban
demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.

Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan


keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang


hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma
norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban
kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya,
persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya
terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu,
secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi
manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu
sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya
dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam
dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan
ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan
hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan
kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime
inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara
hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia
dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum
(constitutional democracy).

7
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah
terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara
tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan
bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah
salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi manusia’.
Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk
menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum
berkembang secara sehat.

2.3. Aparatur Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak


hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak
hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan
aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun
hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri
secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan

8
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i)
pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of


law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan
sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan
terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu
mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu
sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem
dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah
dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-
keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)
hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas
terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang
bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan
pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan
hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis dan bersengaja.

2.4. Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi


penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum

9
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang


b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :

1. Faktor Subjektif

a. Sikap prilaku apriori

Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.

b. Sikap perilaku emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

c. Sikap Arrogence power

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi

10
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.

d. Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

2. Faktor Objektif

a. Latar belakang sosial budaya

Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) danskills


(keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor
yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga
sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan
putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

2.5. Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia

Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan
tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan
dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak
disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan

11
hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang
memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri.
Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang
polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih
tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam
tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.

Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.

a. Tingkat kekayaan seseorang.

Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang


melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa
mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu
pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya
dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa
membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah
menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan
pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli
dengan uang.

b. Tingkat Jabatan Seseorang

Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding
keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi
banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu
SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT.
Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang
Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media elektronik menemukan
ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara

12
administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa
dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada
pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus
ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris
PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi
mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya
sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum
dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan
pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah
walaupun pada kasus yang sama.

c. Nepotisme

Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari
empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan
ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah
militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba
lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang
diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.

d. Tekanan Internasional

Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan
Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan
milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di
bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional,

13
namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk
dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.

Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat
tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan
permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang
tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus
diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim
maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa
adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus
diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan
menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih
tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.

Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas


aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya
nilai-nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan
nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di
Indonesia. Hasil penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah,
apabila disuatu daerah penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan
masyarakat juga baik di daerah tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang
baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut
menjadi kurang baik.

Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi sistem

14
hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar
hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan
pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang
sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas
baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan
selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak
hukum.

2.6. Pemberdayaan Masyarakat Dan Penegakan Hukum

Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan
masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah
kepada perilaku hukum yang baik.

Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu,


maka pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa
pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan,
pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan
pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa
pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu
berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum
masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti
struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang

15
terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib
hukum, tidak hanya dipengaruhi olehm faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan
masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran
hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia
dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang
berkembang selama ini.

2.7. Pengertian Negara Hukum

Aristoteles, merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan
bagi pergaulan antar warga negaranya. Maka menurutnya yang memerintah negara bukanlah
manusia melainkan "pikiran yang adil". Penguasa hanyalah pemegang hukum dan
keseimbangan saja.

2.8. Ciri-Ciri Negara Hukum

Ciri-ciri suatu negara hukum adalah sebagai berikut:

a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam


bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak
memihak.
c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jamian bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami,
dapat dilaksanakan, dan aman dalam melaksanakannya.

2.9. Tipe Negara Hukum

Ada tiga tipe negara hukum, yaitu:

1. Negara Hukum Liberal

Tipe ini menghendaki agar negara berstatus pasif, artinya bahwa suatu negara harus

16
tunduk pada peraturan-peraturan negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Di
sini kaumu liberal menghendaki agar penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan
dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi penguasa.

2. Negara Hukum Formil atau Division of Power

Negara hukum formil yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat,
segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan UU. Negara
hukum formil ini diseebut juga negara demokratis yang berlandaskan negara hukum.

3. Negara Hukum Materiil atau Sparation of Power

Negara hukum ini sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari negara
hukum formil; tindakan penguasa harus berlandaskan UU atau berlaku asas legalitas yaitu
dalam negara hukum materiil, tindakan penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan
warga negara dibenarkan bertindak menyimpang dari UU atau berlaku asas Opportunitas.

2.10. Indonesia sebagai Negara Hukum

Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1
ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum"
Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian Pasal UUD 1945 menunjukkan semakin
kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus
merupakan negara hukum.

Sebelumnya, landasan negara hukum Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan


Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut:

1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak


hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak
hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.

Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup
untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada
setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.

B. Saran

Kita sebaiknya mencari informasi lebih tentang Penegakan Hukum dan Negara
Hukum agar lebih memahami kedua bahan pembahasan di atas. Kita sebagai mahasiswa dan
generasi penerus bangsa, sudah semestinya membantu pemerintah untuk terus menegakkan
hukum yang adil di Indonesia. Rakyat juga harus membantu mewujudkannya dengan
mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada dalam negara Indonesia, serta
membantu pemerintah dalam mewujudkan negara aman dan makmur.

18
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Kaelan, M.Pd. Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Berdasar SK DIRJEN DIKTI
NO.43/DIKTI/KEP/2006 sesuai dengan KKNI Bdg PT 2013. Edisi Revisi. Yogyakarta:
Paradigma, 2016

Erwin, Muhammad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bandung:


PT.Refika Aditama

Budiarjo, Miriam.2008.Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia: Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai