2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat menyelesaikan makalah i
ni tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok m
ata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang berjudul “Penegakan Hukum dan Negara Huk
um”.
Dengan makalah ini kami berharap bisa menambah wawasan para pembaca untuk ked
epannya, kami memahami bahwa makalah ini masih banyak kekurangan sehingga kami sanga
t mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih baik lagi.
Penyusun,
Kelompok 6
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan...............................................................................................................4
BAB II Pembahasan..............................................................................................................5
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................18
3.2 Saran..................................................................................................................................18
Daftar Pustaka.......................................................................................................................19
3
BAB I
PENDAHULUAN
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata
tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itumerupakan usaha pencegahan
maupun pemberantasan atau penindakan setelahterjadinya pelanggaran hukum, dengan
perkataan lain baik secara preventifmaupun represif. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai
hukum sangat penting bagi kami penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya yang mana keadilan tersebut merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sifat keadilan itu perlu diajarkan rasa susila
kepada setiap manusia agar dapat membuat warganegara suatu bangsa menjadi baik.
1.3. Tujuan
Makalah ini kami susun selain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dalam
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaran, juga kami memiliki tujuan agar dapat membantu
menambah referensi para pembaca mengenai penegak hukum.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule
of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum,
tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’.
5
Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum,
bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan
belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang
berlaku dalamkehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,
pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya.
Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu,
baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal
tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini
memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek
yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
6
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus
ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara
perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan
dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran
materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan
pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari
dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban
demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.
7
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah
terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara
tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan
bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah
salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak asasi manusia’.
Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran untuk
menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang belum
berkembang secara sehat.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii)
budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun
hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri
secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
8
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i)
pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law).
9
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
10
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan
tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan
dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak
disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan
11
hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang
memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri.
Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang
polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih
tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam
tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding
keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi
banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu
SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT.
Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang
Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media elektronik menemukan
ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara
12
administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa
dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada
pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus
ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris
PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi
mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya
sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum
dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan
pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah
walaupun pada kasus yang sama.
c. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari
empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan
ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah
militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba
lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang
diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
d. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan
Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan
milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap
bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di
bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk
kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan
sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali
aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional,
13
namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk
dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat
tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan
permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang
tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan
tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus
diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim
maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa
adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus
diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan
menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih
tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam
penegakan hukum secara konsisten.
14
hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar
hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion (Kesatuan
pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang
sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas
baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan
selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak
hukum.
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan
masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah
kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
15
terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib
hukum, tidak hanya dipengaruhi olehm faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan
masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran
hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia
dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang
berkembang selama ini.
Aristoteles, merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan
bagi pergaulan antar warga negaranya. Maka menurutnya yang memerintah negara bukanlah
manusia melainkan "pikiran yang adil". Penguasa hanyalah pemegang hukum dan
keseimbangan saja.
Tipe ini menghendaki agar negara berstatus pasif, artinya bahwa suatu negara harus
16
tunduk pada peraturan-peraturan negara. Penguasa dalam bertindak sesuai dengan hukum. Di
sini kaumu liberal menghendaki agar penguasa dan yang dikuasai ada suatu persetujuan
dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi penguasa.
Negara hukum formil yaitu negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat,
segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan UU. Negara
hukum formil ini diseebut juga negara demokratis yang berlandaskan negara hukum.
Negara hukum ini sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari negara
hukum formil; tindakan penguasa harus berlandaskan UU atau berlaku asas legalitas yaitu
dalam negara hukum materiil, tindakan penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan
warga negara dibenarkan bertindak menyimpang dari UU atau berlaku asas Opportunitas.
Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1
ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum"
Dimasukkannya ketentuan ini ke dalam bagian Pasal UUD 1945 menunjukkan semakin
kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus
merupakan negara hukum.
1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machsstaat).
2) Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup
untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada
setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
B. Saran
Kita sebaiknya mencari informasi lebih tentang Penegakan Hukum dan Negara
Hukum agar lebih memahami kedua bahan pembahasan di atas. Kita sebagai mahasiswa dan
generasi penerus bangsa, sudah semestinya membantu pemerintah untuk terus menegakkan
hukum yang adil di Indonesia. Rakyat juga harus membantu mewujudkannya dengan
mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada dalam negara Indonesia, serta
membantu pemerintah dalam mewujudkan negara aman dan makmur.
18
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Kaelan, M.Pd. Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Berdasar SK DIRJEN DIKTI
NO.43/DIKTI/KEP/2006 sesuai dengan KKNI Bdg PT 2013. Edisi Revisi. Yogyakarta:
Paradigma, 2016
19