Nim : 2191111006
Kelas : Reguler A 2019
Mata Kuliah : Penilaian Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
1. Tes Diskret
Tes diskret (discrete point test) adalah tes yang hanya menekankan atau menyangkut satu
aspek kebahasaan pada satu waktu (Oller, 1997:37). Tiap satu butir soal hanya dimaksudkan
untuk mengukur satu aspek kebahasaan, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata.
Oller juga mengemukakan bahwa tes yang bersifat diskret tidak hanya menyangkut aspek
kebahasaan saja, melainkan jug dapat berbagai macam kemampuan berbahasa. Jika sebuah tes
secara khusus hanya dimaksudkan mengukur salah satu kemampuan berbahasa saja, misalnya
menyimak, membaca, berbicara, atau menulis, tanpa mengaitkannya dengan kemampuan yang
lain, tes kemampuan berbahasa tersebut termasuk diskret.
Sebagai contoh misalnya, tes kemampuan menyimak yang hanya menuntun peserta didik
untuk mengenali perbedaan fonem-fonem tertentu, atau aspek kebahasaan yang lain, yang
didengarkan seperti fakta, dengan pakta, kafan dengan kapan. Dalam bahasa inggris misalnya,
peserta didik diminta untuk mengenali piil dengan peel dan sebagianya. Untuk keterampilan
berbicara, misalnya peserta didik hanya diminta untuk melafalkan kata-kata atau kalimat-kalimat
tertentu terlepas dari konteks komunikatif atau situasi. Dengan menggunakan pendekatan diskrit,
contoh soal yang mungkin dihasilkan tampak seperti berikut ini.
Kata-kata yang dibentuk oleh konsonan bilabial adalah …
A. membeli
B. tertawa
C. sederhana
D. bersua
Berdasarkan contoh di atas, kita dapat melihat bahwa satu butir soal hanya dimaksudkan
untuk mengukur satu aspek kebahasaan tertentu, dalam hal ini aspek fonologi. Menurut Oller
(1979:37), tes diskrit adalah tes yang hanya menekankan atau menyangkut satu spek kebahasaan
pada satu waktu. Pengertian aspek kebahasaan di sini meliputi juga aspek keterampilan
berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Oleh karenanya, sebuah tes yang
secara khusus dimaksudkan untuk mengukur salah satu aspek dari empat aspek keterampilan
berbahasa tersebut tanpa dikaitkan atau dipadukan dengan aspek lainnya, juga termasuk ke
dalam jenis tes diskret.
Menurut Brown (1980 dalam Nurgiantoro, 1987:157), pendekatan driskrit didasari oleh teori
strukturalisme dalam linguistik dan teori behaviorisme dalam psikologi. Konsep yang mendasar
dari kedua teori tersebut menyebutkan bahwa suatu bentuk keseluruhan dapat dipecah menjadi
bagianbagian tertentu. Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, teori menganut paham
bahwa setiap subaspek kebahasaan dapat diajarkan dan diteskan secara terpilah dan mandiri,
terlepas dari konteks keseluruhan dan situasi pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Pendekatan ini dalam pengajaran bahasa masih populer hingga menjelang berlkukanya
Kurikulum 1984. Sebelumnya, orientasi pengajaran bahasa berlandaskan pada pendekatan
struktural. Oleh karena itu, tidak heran jika pengajaran bahasa itu sarat dengan teori bahasa, dan
miskin dengan praktik berbahasa. Hal ini berdampak pada pemberian tes yang lebih menekankan
pada pemberian tes secara diskrit terhadap aspek-aspek kebahasaan dan kesastraan yang bersifat
teoretis.
Filosofis tes diskret yang beranggapan bahwa keseluruhan itu sama dengan jumlah bagian-
bagiannya bertentangan dengan hakikat berbahasa. Dalam kenyataannya, bahasa merupakan satu
kesatuan yang padu dari berbagai unsurnya serta tidak bisa dilepaskan dari konteks
pemakaiannya. Hal inilah yang tidak dipertimbangkan oleh pendekatan diskrit, baik dalam
pembelajaran maupun dalam pengevaluasiannya. Meskipun begitu, bukan berarti pendekatan
diskrit dianggap pendekatan terburuk dan tidak dibenarkan pemakaiannya dalam evaluasi
pembelajaran bahasa. Sebenarnya, dalam hal-hal tertentu, pendekatan ini malah lebih disarankan
untuk digunakan. Sebagai contoh, untuk melatih perbedaan bunyi kata tertentu dari bunyi-bunyi
kata lain yang hampir mirip, mungkin kita lebih tepat menggunakan pendekatan diskrit. Melalui
tes menyimak, anak diminta untuk mengidentifikasi bunyi-bunyi fonologis kata-kata berikut,
misalnya:
Bahasa Inggris: Bahasa Indonesia:
(a) sleep - slip (a) syarat - sarat
(b) ship - sheep (b) folio - polio
(c) neat - knit (c) syah - sah
Pandangan teori diskrit yang memecah belah unsur kebahasaan dan mengisolasi-kannya dari
konteks pemakaian berbahasa dipandang orang sebagai kelemahan yang mendasar. Hal ini
seiiring dengan munculnya pandangan baru dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan struktural
yang selama ini digunakan sebagai landas pijak dalam pembelajaran bahasa dikritik oleh para
pakar pembelajaran bahasa yang berorientaikan pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal
ini menandai lahirnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini
menekankan aspek fungsi komunikatif bahasa yang bersifat alami dalam pembelajaran bahasa.
Dengan demikian, pengelolaan proses belajar-mengajarnya lebih diarahkan pada pemajanan
keterampilan berbahasa dalam berbagai konteks dan situasi berbahasa.
Berdasarkan pandangan tersebut, pendekatan diskrit dalam evaluasi bahasa dianggap tidak
sesuai dengan ruh pengajaran bahasa yang seharusnya. Pendekatan diskrit dianggap tidak akan
sanggup membangun keterampilan berbahasa siswa yang sesuai dengan life skills, yang sesuai
dengan kenyataan pemakaian bahasa yang sesungguhnya di masyarakat. Oleh karenanya, tes
kebahasaan diskrit yang hanya mengukur aspek kebahasaan yang terisolasi dari konteks
pemakaian bahasa secara wajar, seharusnya dibatasi untuk aspek-aspek tertentu yang memang
mengharuskan pelatihan dan pengetesan secara diskret.
2. Tes Integratif
Tes yang bersifat integrative muncul sebagai reaksi terhadap teori tes diskrit.Jika teori
diskrit aspek-aspek bahasa dan keterampilan berbahasa dilakukan secar terpisah dalam tes
integrative aspek dan keterampilan berbahasa itu dicakup secara bersamaan. Tes integrative
ditekanakan pada adanya dua aspek kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang diujikan pada
saat bersamaan.Berikut contoh-contoh tes yang bersifat integratif baik yang menyangkut aspek-
aspek kebahasaan, keterampilan berbahasa keduaanya.
a. Menyusun kalimat
Dalam tes ini, disediakan seperangkat kalimat (untuk satu soal) yang katakatanya
diacaksehingga kalimat ini tidak memiliki makna gramatikal
Contoh:
(a) Terkejut ±sedih ia- itu-mendengarsangat-berita-yang
(b) tsukue-arimasu-wa-hon-naka-ni
untuk contoh diatas, siswa diminta menyusun sendiri kalimat jawabannya.Model yang lain,
kita dapat menyediakan kalimat-kalimat jawaban dan siswa tinggal memilih yang dianggapnya
paling tepat.
Bahasa jepang:
(a) hon wa tsukue no naka ni arimasu
(b) hon ni naka no tsukue wa arimasu
(c) hon no tsukue wa naka ni arimasu
(d) tsukue ni hon naka hon wa arimasu
Sebagai reaksi atas pendekatan diskrit dalam evaluasi pebelajaran bahasa dan sastra adalah
munculnya pendekatan baru yang disebut pendekatan integratif. Jika dalam tes diskrit aspek-
aspek kebahasaan dan aspek kesastraan dilakukan secara terpilah, dalam tes integratif aspek-
aspek dimaksud diintegrasikan atau disatukan secara bersamaan. Dalam hal ini, tes integratif
berusaha mengukur beberapa aspek kemampuan siswa secara integratif dalam satu waktu
tertentu.
Coba Anda bandingkan contoh tes diskrit di atas dengan contoh tes berikut. Dalam sebuah
tes disediakan beberapa buah kalimat yang masih acak. Para peserta tes diminta untuk
menyusun kalimat-kalimat acak terebut menjadi sebuah paragraf yang runtun dan padu. Mari
kita perhatikan contohnya!
Cermati beberapa kalimat acak beriku ini!
a. Maksudnya, selalu tergantung dari pasaran produk-produk agraris tersebut.
b. Hal ini kadang-kadang diciptakan oleh negara-negara yang kuat ekonominya.
c. Perekonomian agraris memang mempunyai banyak kelemahan.
d. Perekonomian agraris antara lain tidak mampu mandiri.
e. Kalau pasaran lesu, perekonomian agraris ikut lesu.
f. Padahal, kelesuan ini tidak selalu merupakan siklus ekonomi yang alamiah wajar.
Susunan yang paling logis dari kalimat-kalimat acak di atas adalah …
A. C-e-f-b-d-a
B. E-b-c-d-a-f
C. C-d-a-e-f-b
D. E-b-d-f-a-c
E. C-f-e-b-a-d
Apa yang dapat Anda simpulkan dari contoh di atas? Jika Anda diminta menyusun kalimat-
kalimat acak di atas, yang mana pilihan Anda? Pengetahuan dan keterampilan apa yang Anda
kerahkan untuk sampai pada pilihan Anda itu? Ya, kita tidak mungkin dapat menyusun kalimat-
kalimat itu dengan baik kalau kita tidak memiliki pengetahuan tentang tata kalimat, tata wacana,
terutama pengetahuan tentang ide pokok, ide penjelas, syarat pembentukan paragraf, dan lain-
lain. Artinya, terdapat beberapa kemampuan dan keterampilan yang diukur melalui tes di atas.
Inilah yang dimaksud dengan tes integratif.
Pendekatan integratif dalam tes didasari oleh pandangan ilmu jiwa Global yang
berpandangan bahwa keseluruhaan tidak sama dengan jumlah bagianbagiannya. Walaupun
bahasa terdiri atas berbagai komponen dengan segala kespesifikkannnya, namun bahasa yang
alami bukanlah merupakan gabungan dari berbagai komponennya itu. Oleh karena itu, tes
integratif tidak memilah aspek kebahasaan dan kesastraan secara tersendiri dan diteskan secara
tersendiri pula. Tes integratif tidak secara khusus mengeteskan salah satu aspek kebahasaan
tertertentu atau aspek kesastraan tertentu secara mandiri. Jika tes bahasa dipilah berdasarkan
aspek-aspeknya secara khusus, sifat alami dari bahasa itu menjadi hilang.
Tes integratif sejalan dengan pembelajaran bahasa yang berlandaskan pendekatan integratif.
Dalam pendekatan integratif, baik dalam tes maupun pembelajaran, aspek-aspek tes atau aspek-
aspek pembelajaran itu selalu dikaitkan dengan konteks pemakaian bahasa secara wajar
sebagaimana halnya penggunaan bahasa yang hidup di masyarakat. Yang demikian itu adalah
cerminan dari hakikat kompetensi komunikatif. Bahkan, menurut Oller (1979), tes kebahasaan
yang sesuai dengan kompetensi komunikatif , tes yang sesuai dengan konteks pemakaian bahasa
secara wajar tergolong juga ke dalam tes pragmatik. Menurutnya, tes pragmatik sudah pasti
tergolong juga tes integratif, tetapi tes integratif belum tentu tes pragmatik. Artinya, dalam tes
integratif masih dimungkinkan terjadi pengisolasian, bersifat artifisial, tidak mencerminkan
pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Lalu, apa perbedaan tes integratif dan tes pragmatik? Kadang-kadang antara tes integratif
dan tes pragmatik sulit dibedakan. Demikian, juga untuk kasus-kasus tertentu, tes integratif akan
sulit dibedakan dari tes diskrit. Akan tetapi, tes diskrit sangat berbeda dengan tes pragmatik,
sehingga kedua pendekatan tes ini dapat dibedakan dengan jelas. Oleh karenanya, Burhan
Nurgiantoro memberikan batasan untuk tes integratif dengan adanya minimal dua aspek
kebahasaan (dan atau kesastraan) yang diujikan pada saat yang bersamaan (Nurgiantoro,
1987:160).
3. Tes Pramatik
Tes pragmatik muncul sebagai reaksi tes dikrit yang dipandang banyak kelemahannya. Teori
diskrit yang memecahkan unsur kebahasaan dan kemudian diteskan secara terpisah dan terisolasi
bersifat sangat artifisial. Artinya belum dapat mencerminkan kemampuan siswa mempergunakan
bahasa sesuai dengan fungsi komunikatif. Tes pragmatik, di pihak lain, merupakan suatu
pendekatan dalam tes keterampilan (skills).
Teori tes pragmatik sejalan dengan (atau berasal dari) pedekatan komunikatif dalam
pengajaran bahasa yang menekankan pembentukann kompetensi berbahasa kemampuan
berbahasa dalam fungsi komunikatif secara wajar. Tes pragmatik dapat diartikan sebagai suatu
prosedur atau tugas yang menuntut siswa untuk mengahasilkan urut-urutan unsur bahasa sesuai
dengan pemakaian bahasa itu secara nyata dan sekaligus menuntut siswa untuk menghubungkan
unsur-unsur bahasa tersebut dengan konteks ekstralinguistik (Oller. 1979:39)
Berikut akan diberikan beberapa contoh tes kebahasaan yang bersifat pragmatic. Tes-tes
yang dicontohkan sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru buat kita, dalam arti telah
banyak didengar dan (mungkin) dilaksanakan.
(1) Dikte
Dalam tes ini siswa dituntut untuk mampu memahami makna dari sesuatu yang didengar dan
kemudian menuliskannya dengan sekaligus mengatasi kendala waktu. Menurut Oller dikte
sabagai tes kebahasaan sangat sesuai dengan kriteria validitas konstruk karena(a)mencerminkan
lanadasan teoritis kebahasaan(b)berkorelasi secara positif dengan tes kebahasaan lain yang
sejenisdan(c)kesalahan-kesalahan dalam dikte berkaitan erat dengan kesalahanyang dibuat siswa
dalam pemakaian bahasa yang nyata.
Prosedur dikte dapat dibuat secara bervariasi dengan teknik-teknik yang berupa dikte
standar, dikte sebagian, dikte dengan gangguan suara, dikte komposisi, dan produksi lisan
imitasi.
(2) Berbicara
Tes keterampilan berbicara lebih mendapat perhatian karena ia paling mencerminkan
kemampuan berbahasa seseorang. Tes keterampilan berbicara (ekspresi lisan) yang bersifat
pragmatik
(3) Pemahaman Parafrase
Sebuah wacana singkat disajikan kepada siswa, lisan atau tertulis, kemudian siswa, lisan
atau tertulis, kemudian siswa diminta untuk memilih salah satu dari beberapa
paraphrasealternative yang disediakan yang maknanya paling sesuai dengan wacana.
Rangsang yang diperdengarkan Jawaban dalam lembar tugas
-pram yang datang pukul 10.00 lebih dahulu
(a) pram datang paling dahulu Lebih dahulu daripada zan, tetapi terlambat
(b) zul zul datang sesudah Zan Satu jam daripada zul
(c) Zul datang sebelum Zan
(d) Zan datang sebelum Pram
4. Tes Komunikatif
Sebenarnya ada tumpang-tindih antara tes pragmatik dan tes komunikatif; bahkan tak jarang
keduanya disamakan. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa pembelajaran dan tes bahasa
haruslah berangkat dari penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes tentang sistem bahasa
dan dalam keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini sama-sama menekankan pentingnya tes
kemampuan berbahasa (kinerja bahasa, performansi bahasa), dan bukan tes terhadap unsur-unsur
bahasa (diskret). Tampaknya, adanya perbedaan itu lebih disebabkan oleh penamaan yang
diberikan oleh orang yang berbeda.
Tes komunikatif atau tes kompetensi komunikatif terlihat lebih ketat memprasyaratkan
adanya konteks pemakaian bahasa. Tes komunikatif dilakukan sejalan dengan penggunaan
pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini menekankan pada
pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan berkomunikasi.
Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak,
membaca) dan aktif-produktif (berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan
semua aspek bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga
melibatkan seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic language)
menjadisemacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa otentik adalah
bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya dalam berkomunikasi
sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya juga menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang
jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah dikreasikan sedemikian
rupa dengan melibat berbagai faktor penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud bahasa yang
mesti dipergunakan sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes pemahaman terhadap sebuah dialog
(menyimak), maka harus dapat dikenali siapa yang berbicara, bagaimana situasi, topik
pembicaraan, dll. Tes terhadap komponen bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika
diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus berdasarkan konteks; hal ini misalnya terkait
dengan tujuan remedial Artinya, kosakata dan struktur itu diambil dari konteks tertentu. Dalam
tes prakomunikatif, terutama dalam tes pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan
tentu masih diperlukan.
5. Asesmen Otentik
Sebagaimana halnya portofolio, sejak era KBK/KTSP, penilaian otentik (authetic
assessment) kini sedang naik daun. Dalam arti disarankan dan banyak digunakan untuk
mengukur hasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa. Portofolio juga merupakan salah
bentuk penilaian otentik. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus
Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian KBM dapat dinilai secara objektif,
apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja. Lagi pula amat
banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya haruslah dilakukan
selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Seajalan dengan teori Bloom,
penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif, dan psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan saja
Misalnya dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan
lapangan/harian, portofolio, dll. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara (model),
menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut
sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret,
benar-benar hasil tampilan siswa, dan akurat dan bermakna. Tes otentik dapat dimaknakan
bermaca-macam, tergantung oleh siapa dan untuk lingkup apa, namun umumnya bersifat saling
melengkapi. Penilaian otentik menunjuk pada pemberian tugas kepada pembelajar untuk
menampilkan kemampuannya mempergunakan bahasa target secara bermakna dan kemudian
dinilai.