Anda di halaman 1dari 16

Nama : Nysa Maydina Siahaan

Nim : 2191111006
Kelas : Reguler A 2019
Mata Kuliah : Penilaian Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

A. KOMPONEN TES BAHASA


Komponen atau unsur bahasa yang diteskan adalah meliputi hal-hal yang menjadi cakupan
pembelajaran bahasa. Cakupan pembelajaran bahasa, seperti dikemukakan diatas, adalah
meliputi kompetensi bahasa (Kompetensi Linguistik), kompetensi berbahasa (kompetensi
komunikatif), dan kompetensi bersastra.
1. Tes Kompetensi Bahasa
Kompetensi bahasa seseorang berkaitan dengan pengetahuan tentang system bahasa,
tentang struktur, kosa kata, atau seluruh aspek kebahasaan yang saling berhubungan (Brown,
1980:27-28).
a. Tes Struktur Gramatikal
Tes ini berkaitan dengan kegramatikalan kegiatan berbahasa. Kegramatikalan
kalimat sangat menentukan apakah suatu penuturan dapat diterima karena bermakna atau
sebaliknya ditolak karena tidak secara cermat menyampaikan maksud tertentu.
b. Tes Kosa kata
Kosa kata dalam suatu bahasa biasanya jumlah banyak sekali.Akan tetapi, hanya
sebagian kosakata yang dipergunakan secara aktif dalam kegiatan berkomunikasi sedangkan
yang lain jarang digunakan.

2. Tes Kompetensi Berbahasa


Kegiatan berbahasa merupakan tindak mempergunakan bahasa secara nyata untuk maksud
berkomunikasi. Kemampuan berbahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok memahami
(comprehension) dan mempergunakan (production), masing-masing bersifat reseptif dan
produktif. Kemampuan reseptif merupakan proses decoding, proses usaha memahami apa yang
dituturkan orang lain. Sebaliknya kemampuan produktif merupakan proses encoding, proses
usaha mengkomunikasikan ide, pikiran, atau perasaan melalui bentuk-bentuk kebahasaan.
a. Tes Kompetensi Aktif Reseptif
Tes Kemampuan Reseptif Kemampuan reseptif terdiri dari dua macam kemampuan
berbahasa, kemampuan berbahasa, kemampuan membaca dan menyimak. Dalam hal ini
membaca merupakan kegiatan yang memahami konteks ekstralinguistik melalui sarana
linguistik.Kegiatan membaca sarana bahasa disampaikan secara tertulis, tetapi dalam
menyimak disampaikan secar lisan yang berupa lambang bunyi. Jika dalam kegiatan
membaca diperlukan pengetahuan tentang sitem ejaan, dalam menyimak diperlukan
kemampuan mengenai system bunyi bahasa yang bersangkutan. Tes kemampuan reseptif
umumnya menuntut siswa untuk memahami secara kritis informasi yang disampaikan dalam
suatu wacana tertentu.
b. Tes Kemampuan Aktif Produktif
Tes Kemampuan Produktif Kemampuan produktif terdiri dua macam kemampuan
berbahasa, kemampuan menulis. Kegiatan berbicara merupakan kegiatan mengahsilkan
bahasa dan mengkomunikasikan ide dan pikiran secara lisan. Masalah kelancaran dan
ketetapan bahasa serta kejelasan pikiran merupakan hal yang sering diteskan (dinilai)
dalam kegiatan berbicara.

3. Tes Kompetensi Bersastra


Tes terdiri dari aspek kompetensi dan perfomasi, tes kesustraan dapat dibedakan menjadi tes
pengetahuan tentang sastra dan kemampuan apresiasi sastr.Pentingnya pengetahuan sastra
merupakan ³alat bantu¥, maka tes pengetahuan tentang sastra harus bukan merupakan prioritas.
Tes sastra harus diprioritaskan pada usaha mengungkap kemampuan mengapresiasi sastra siswa
dan secara langsung berhubungan dengan karya sastra. Tes yang bersifat apresiatif akan
menopang tercapainya tujuan pengajaran sastra yang berkadar apresiatif.

B. JENIS-JENIS TES KOMPETENSI KEBAHASAAN


Tes kebahasaan yang dilakukan mungkin hanya menyangkut satu aspek bahasa secara sendiri,
mungkin dua aspek atau lebih sekaligus, atau mungkin langsung dikaitkan dengan pemakaian
bahasa secara faktual sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa. Dilihat dari segi kesejarahan
munculnya berbagai jenis tes kebahasaan, berturut-turut tes yang dikenal didunia pembelajaran
bahasa adalah tes diskret, integratif, pragmatik, komunikatif, dan otentik. Kelima jenis tes yang
dimaksud berikut dibicarakan, sedang masalah jenis tes yang akan dipakai para pengguna
dipersilahkan mempertimbangkannya yang tentunya mesti sesuai dengan kompetensi yang
dibelajarkan dan indikator capaian belajar yang akan diukur. Berbagai jenis tes kebahasaan
tersebut berkaitan dengan pandangan terhadap bahasa. Tes kebahasaan yang pertama bersifat
dikrit, integrative, pragmatik dan komunikatif.

1. Tes Diskret
Tes diskret (discrete point test) adalah tes yang hanya menekankan atau menyangkut satu
aspek kebahasaan pada satu waktu (Oller, 1997:37). Tiap satu butir soal hanya dimaksudkan
untuk mengukur satu aspek kebahasaan, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata.
Oller juga mengemukakan bahwa tes yang bersifat diskret tidak hanya menyangkut aspek
kebahasaan saja, melainkan jug dapat berbagai macam kemampuan berbahasa. Jika sebuah tes
secara khusus hanya dimaksudkan mengukur salah satu kemampuan berbahasa saja, misalnya
menyimak, membaca, berbicara, atau menulis, tanpa mengaitkannya dengan kemampuan yang
lain, tes kemampuan berbahasa tersebut termasuk diskret.
Sebagai contoh misalnya, tes kemampuan menyimak yang hanya menuntun peserta didik
untuk mengenali perbedaan fonem-fonem tertentu, atau aspek kebahasaan yang lain, yang
didengarkan seperti fakta, dengan pakta, kafan dengan kapan. Dalam bahasa inggris misalnya,
peserta didik diminta untuk mengenali piil dengan peel dan sebagianya. Untuk keterampilan
berbicara, misalnya peserta didik hanya diminta untuk melafalkan kata-kata atau kalimat-kalimat
tertentu terlepas dari konteks komunikatif atau situasi. Dengan menggunakan pendekatan diskrit,
contoh soal yang mungkin dihasilkan tampak seperti berikut ini.
Kata-kata yang dibentuk oleh konsonan bilabial adalah …
A. membeli
B. tertawa
C. sederhana
D. bersua
Berdasarkan contoh di atas, kita dapat melihat bahwa satu butir soal hanya dimaksudkan
untuk mengukur satu aspek kebahasaan tertentu, dalam hal ini aspek fonologi. Menurut Oller
(1979:37), tes diskrit adalah tes yang hanya menekankan atau menyangkut satu spek kebahasaan
pada satu waktu. Pengertian aspek kebahasaan di sini meliputi juga aspek keterampilan
berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Oleh karenanya, sebuah tes yang
secara khusus dimaksudkan untuk mengukur salah satu aspek dari empat aspek keterampilan
berbahasa tersebut tanpa dikaitkan atau dipadukan dengan aspek lainnya, juga termasuk ke
dalam jenis tes diskret.
Menurut Brown (1980 dalam Nurgiantoro, 1987:157), pendekatan driskrit didasari oleh teori
strukturalisme dalam linguistik dan teori behaviorisme dalam psikologi. Konsep yang mendasar
dari kedua teori tersebut menyebutkan bahwa suatu bentuk keseluruhan dapat dipecah menjadi
bagianbagian tertentu. Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, teori menganut paham
bahwa setiap subaspek kebahasaan dapat diajarkan dan diteskan secara terpilah dan mandiri,
terlepas dari konteks keseluruhan dan situasi pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Pendekatan ini dalam pengajaran bahasa masih populer hingga menjelang berlkukanya
Kurikulum 1984. Sebelumnya, orientasi pengajaran bahasa berlandaskan pada pendekatan
struktural. Oleh karena itu, tidak heran jika pengajaran bahasa itu sarat dengan teori bahasa, dan
miskin dengan praktik berbahasa. Hal ini berdampak pada pemberian tes yang lebih menekankan
pada pemberian tes secara diskrit terhadap aspek-aspek kebahasaan dan kesastraan yang bersifat
teoretis.
Filosofis tes diskret yang beranggapan bahwa keseluruhan itu sama dengan jumlah bagian-
bagiannya bertentangan dengan hakikat berbahasa. Dalam kenyataannya, bahasa merupakan satu
kesatuan yang padu dari berbagai unsurnya serta tidak bisa dilepaskan dari konteks
pemakaiannya. Hal inilah yang tidak dipertimbangkan oleh pendekatan diskrit, baik dalam
pembelajaran maupun dalam pengevaluasiannya. Meskipun begitu, bukan berarti pendekatan
diskrit dianggap pendekatan terburuk dan tidak dibenarkan pemakaiannya dalam evaluasi
pembelajaran bahasa. Sebenarnya, dalam hal-hal tertentu, pendekatan ini malah lebih disarankan
untuk digunakan. Sebagai contoh, untuk melatih perbedaan bunyi kata tertentu dari bunyi-bunyi
kata lain yang hampir mirip, mungkin kita lebih tepat menggunakan pendekatan diskrit. Melalui
tes menyimak, anak diminta untuk mengidentifikasi bunyi-bunyi fonologis kata-kata berikut,
misalnya:
Bahasa Inggris: Bahasa Indonesia:
(a) sleep - slip (a) syarat - sarat
(b) ship - sheep (b) folio - polio
(c) neat - knit (c) syah - sah
Pandangan teori diskrit yang memecah belah unsur kebahasaan dan mengisolasi-kannya dari
konteks pemakaian berbahasa dipandang orang sebagai kelemahan yang mendasar. Hal ini
seiiring dengan munculnya pandangan baru dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan struktural
yang selama ini digunakan sebagai landas pijak dalam pembelajaran bahasa dikritik oleh para
pakar pembelajaran bahasa yang berorientaikan pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal
ini menandai lahirnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini
menekankan aspek fungsi komunikatif bahasa yang bersifat alami dalam pembelajaran bahasa.
Dengan demikian, pengelolaan proses belajar-mengajarnya lebih diarahkan pada pemajanan
keterampilan berbahasa dalam berbagai konteks dan situasi berbahasa.
Berdasarkan pandangan tersebut, pendekatan diskrit dalam evaluasi bahasa dianggap tidak
sesuai dengan ruh pengajaran bahasa yang seharusnya. Pendekatan diskrit dianggap tidak akan
sanggup membangun keterampilan berbahasa siswa yang sesuai dengan life skills, yang sesuai
dengan kenyataan pemakaian bahasa yang sesungguhnya di masyarakat. Oleh karenanya, tes
kebahasaan diskrit yang hanya mengukur aspek kebahasaan yang terisolasi dari konteks
pemakaian bahasa secara wajar, seharusnya dibatasi untuk aspek-aspek tertentu yang memang
mengharuskan pelatihan dan pengetesan secara diskret.

2. Tes Integratif
Tes yang bersifat integrative muncul sebagai reaksi terhadap teori tes diskrit.Jika teori
diskrit aspek-aspek bahasa dan keterampilan berbahasa dilakukan secar terpisah dalam tes
integrative aspek dan keterampilan berbahasa itu dicakup secara bersamaan. Tes integrative
ditekanakan pada adanya dua aspek kebahasaan atau keterampilan berbahasa yang diujikan pada
saat bersamaan.Berikut contoh-contoh tes yang bersifat integratif baik yang menyangkut aspek-
aspek kebahasaan, keterampilan berbahasa keduaanya.
a. Menyusun kalimat
Dalam tes ini, disediakan seperangkat kalimat (untuk satu soal) yang katakatanya
diacaksehingga kalimat ini tidak memiliki makna gramatikal
Contoh:
(a) Terkejut ±sedih ia- itu-mendengarsangat-berita-yang
(b) tsukue-arimasu-wa-hon-naka-ni
untuk contoh diatas, siswa diminta menyusun sendiri kalimat jawabannya.Model yang lain,
kita dapat menyediakan kalimat-kalimat jawaban dan siswa tinggal memilih yang dianggapnya
paling tepat.

Untuk contoh soal diatas , misalnya:


(a) ia itu yang terkejut sangat sedih mendengar berita itu
(b) ia yang terkejut sangat sedih itumendengar berita
(c) ia sangat terkejut mendengar berita yang sedih itu
(d) ia yang sangat terkejut mendengar berita sedih itu

Bahasa jepang:
(a) hon wa tsukue no naka ni arimasu
(b) hon ni naka no tsukue wa arimasu
(c) hon no tsukue wa naka ni arimasu
(d) tsukue ni hon naka hon wa arimasu

b. Menafsirkan Wacana Singkat yang dibaca atau di dengar


Dalam kegiatan ini setelah siswa membaca tau mendengar sebuah wacana singkat,
kemudian disuruh menafsirkan isi wacana tersebut baik dengan cara menuliskan(atau
mengucapkan)dengan bahasa sendiri maupun memilih sejumlah alternative yang telah
disediakan.

c. Memahami Bacaan yang dibaca atau didengar


Soal ini juga dimaksudkan untuk mengukur kemampuan reseptif membaca dan
menyimak. Letak perbedaannya wacana yang diteskan di sini lebih panjang dan biasanya
terdiri dari beberapa nomor soal. Sebaliknya, tes yang sama untuk mengukur kemampuan
menyimak tidak banyak dilakukan orang dibanding kemampuan(pemahaman)membaca.
Tes yang diberikan harus benarbenar menuntut siswa untuk memahami secara kritis
wacana yang dibaca (didengar).

d. Menyusun sebuah alinea berdasarkan kalimat-kalimat yang disediakan


Untuk menyusun sebuah alinea diperlukan kemampuan untuk menghubungkan kalimat
yang satu dengan ide yang lain. Tes ini menuntut kemampuan siswa yang menyangkut
beberapa aspek dan keterampilan berbahasa, bahkan juga termasuk unsur ekstralinguistik.

Sebagai reaksi atas pendekatan diskrit dalam evaluasi pebelajaran bahasa dan sastra adalah
munculnya pendekatan baru yang disebut pendekatan integratif. Jika dalam tes diskrit aspek-
aspek kebahasaan dan aspek kesastraan dilakukan secara terpilah, dalam tes integratif aspek-
aspek dimaksud diintegrasikan atau disatukan secara bersamaan. Dalam hal ini, tes integratif
berusaha mengukur beberapa aspek kemampuan siswa secara integratif dalam satu waktu
tertentu.
Coba Anda bandingkan contoh tes diskrit di atas dengan contoh tes berikut. Dalam sebuah
tes disediakan beberapa buah kalimat yang masih acak. Para peserta tes diminta untuk
menyusun kalimat-kalimat acak terebut menjadi sebuah paragraf yang runtun dan padu. Mari
kita perhatikan contohnya!
Cermati beberapa kalimat acak beriku ini!
a. Maksudnya, selalu tergantung dari pasaran produk-produk agraris tersebut.
b. Hal ini kadang-kadang diciptakan oleh negara-negara yang kuat ekonominya.
c. Perekonomian agraris memang mempunyai banyak kelemahan.
d. Perekonomian agraris antara lain tidak mampu mandiri.
e. Kalau pasaran lesu, perekonomian agraris ikut lesu.
f. Padahal, kelesuan ini tidak selalu merupakan siklus ekonomi yang alamiah wajar.
Susunan yang paling logis dari kalimat-kalimat acak di atas adalah …
A. C-e-f-b-d-a
B. E-b-c-d-a-f
C. C-d-a-e-f-b
D. E-b-d-f-a-c
E. C-f-e-b-a-d
Apa yang dapat Anda simpulkan dari contoh di atas? Jika Anda diminta menyusun kalimat-
kalimat acak di atas, yang mana pilihan Anda? Pengetahuan dan keterampilan apa yang Anda
kerahkan untuk sampai pada pilihan Anda itu? Ya, kita tidak mungkin dapat menyusun kalimat-
kalimat itu dengan baik kalau kita tidak memiliki pengetahuan tentang tata kalimat, tata wacana,
terutama pengetahuan tentang ide pokok, ide penjelas, syarat pembentukan paragraf, dan lain-
lain. Artinya, terdapat beberapa kemampuan dan keterampilan yang diukur melalui tes di atas.
Inilah yang dimaksud dengan tes integratif.
Pendekatan integratif dalam tes didasari oleh pandangan ilmu jiwa Global yang
berpandangan bahwa keseluruhaan tidak sama dengan jumlah bagianbagiannya. Walaupun
bahasa terdiri atas berbagai komponen dengan segala kespesifikkannnya, namun bahasa yang
alami bukanlah merupakan gabungan dari berbagai komponennya itu. Oleh karena itu, tes
integratif tidak memilah aspek kebahasaan dan kesastraan secara tersendiri dan diteskan secara
tersendiri pula. Tes integratif tidak secara khusus mengeteskan salah satu aspek kebahasaan
tertertentu atau aspek kesastraan tertentu secara mandiri. Jika tes bahasa dipilah berdasarkan
aspek-aspeknya secara khusus, sifat alami dari bahasa itu menjadi hilang.
Tes integratif sejalan dengan pembelajaran bahasa yang berlandaskan pendekatan integratif.
Dalam pendekatan integratif, baik dalam tes maupun pembelajaran, aspek-aspek tes atau aspek-
aspek pembelajaran itu selalu dikaitkan dengan konteks pemakaian bahasa secara wajar
sebagaimana halnya penggunaan bahasa yang hidup di masyarakat. Yang demikian itu adalah
cerminan dari hakikat kompetensi komunikatif. Bahkan, menurut Oller (1979), tes kebahasaan
yang sesuai dengan kompetensi komunikatif , tes yang sesuai dengan konteks pemakaian bahasa
secara wajar tergolong juga ke dalam tes pragmatik. Menurutnya, tes pragmatik sudah pasti
tergolong juga tes integratif, tetapi tes integratif belum tentu tes pragmatik. Artinya, dalam tes
integratif masih dimungkinkan terjadi pengisolasian, bersifat artifisial, tidak mencerminkan
pemakaian bahasa yang sesungguhnya.
Lalu, apa perbedaan tes integratif dan tes pragmatik? Kadang-kadang antara tes integratif
dan tes pragmatik sulit dibedakan. Demikian, juga untuk kasus-kasus tertentu, tes integratif akan
sulit dibedakan dari tes diskrit. Akan tetapi, tes diskrit sangat berbeda dengan tes pragmatik,
sehingga kedua pendekatan tes ini dapat dibedakan dengan jelas. Oleh karenanya, Burhan
Nurgiantoro memberikan batasan untuk tes integratif dengan adanya minimal dua aspek
kebahasaan (dan atau kesastraan) yang diujikan pada saat yang bersamaan (Nurgiantoro,
1987:160).
3. Tes Pramatik
Tes pragmatik muncul sebagai reaksi tes dikrit yang dipandang banyak kelemahannya. Teori
diskrit yang memecahkan unsur kebahasaan dan kemudian diteskan secara terpisah dan terisolasi
bersifat sangat artifisial. Artinya belum dapat mencerminkan kemampuan siswa mempergunakan
bahasa sesuai dengan fungsi komunikatif. Tes pragmatik, di pihak lain, merupakan suatu
pendekatan dalam tes keterampilan (skills).
Teori tes pragmatik sejalan dengan (atau berasal dari) pedekatan komunikatif dalam
pengajaran bahasa yang menekankan pembentukann kompetensi berbahasa kemampuan
berbahasa dalam fungsi komunikatif secara wajar. Tes pragmatik dapat diartikan sebagai suatu
prosedur atau tugas yang menuntut siswa untuk mengahasilkan urut-urutan unsur bahasa sesuai
dengan pemakaian bahasa itu secara nyata dan sekaligus menuntut siswa untuk menghubungkan
unsur-unsur bahasa tersebut dengan konteks ekstralinguistik (Oller. 1979:39)
Berikut akan diberikan beberapa contoh tes kebahasaan yang bersifat pragmatic. Tes-tes
yang dicontohkan sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru buat kita, dalam arti telah
banyak didengar dan (mungkin) dilaksanakan.

(1) Dikte
Dalam tes ini siswa dituntut untuk mampu memahami makna dari sesuatu yang didengar dan
kemudian menuliskannya dengan sekaligus mengatasi kendala waktu. Menurut Oller dikte
sabagai tes kebahasaan sangat sesuai dengan kriteria validitas konstruk karena(a)mencerminkan
lanadasan teoritis kebahasaan(b)berkorelasi secara positif dengan tes kebahasaan lain yang
sejenisdan(c)kesalahan-kesalahan dalam dikte berkaitan erat dengan kesalahanyang dibuat siswa
dalam pemakaian bahasa yang nyata.
Prosedur dikte dapat dibuat secara bervariasi dengan teknik-teknik yang berupa dikte
standar, dikte sebagian, dikte dengan gangguan suara, dikte komposisi, dan produksi lisan
imitasi.
(2) Berbicara
Tes keterampilan berbicara lebih mendapat perhatian karena ia paling mencerminkan
kemampuan berbahasa seseorang. Tes keterampilan berbicara (ekspresi lisan) yang bersifat
pragmatik
(3) Pemahaman Parafrase
Sebuah wacana singkat disajikan kepada siswa, lisan atau tertulis, kemudian siswa, lisan
atau tertulis, kemudian siswa diminta untuk memilih salah satu dari beberapa
paraphrasealternative yang disediakan yang maknanya paling sesuai dengan wacana.
Rangsang yang diperdengarkan Jawaban dalam lembar tugas
-pram yang datang pukul 10.00 lebih dahulu
(a) pram datang paling dahulu Lebih dahulu daripada zan, tetapi terlambat
(b) zul zul datang sesudah Zan Satu jam daripada zul
(c) Zul datang sebelum Zan
(d) Zan datang sebelum Pram

(4) Jawaban Pertanyaan


Tugas ini berupa tes komprehensi dengar (lisan). Sebuah pertanyaan yang diajukan melalui
sarana pendengaran (rangsang yang diperdengarkan), dan diikuti beberapa alternative jawaban
secara tertulis yang terdapat dalam lembar tugas.
Rangsang yang diperdengarkan Jawaban dalam lembar tugas
-Mahalkah baku pengangan yang diwajibkan itu?
(a) bersama kawan-kawanmu
(b) uangmu pasti mencukupi
(c) beberapa jam yang lalu
(d) tak seindah bentuknyakan

4. Tes Komunikatif
Sebenarnya ada tumpang-tindih antara tes pragmatik dan tes komunikatif; bahkan tak jarang
keduanya disamakan. Keduanya sama-sama berpandangan bahwa pembelajaran dan tes bahasa
haruslah berangkat dari penggunaan bahasa yang sesungguhnya, bukan tes tentang sistem bahasa
dan dalam keadaan terisolasi. Kedua jenis tes ini sama-sama menekankan pentingnya tes
kemampuan berbahasa (kinerja bahasa, performansi bahasa), dan bukan tes terhadap unsur-unsur
bahasa (diskret). Tampaknya, adanya perbedaan itu lebih disebabkan oleh penamaan yang
diberikan oleh orang yang berbeda.
Tes komunikatif atau tes kompetensi komunikatif terlihat lebih ketat memprasyaratkan
adanya konteks pemakaian bahasa. Tes komunikatif dilakukan sejalan dengan penggunaan
pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini menekankan pada
pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan berkomunikasi.
Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan bahasa) dapat bersifat aktif-reseptif (menyimak,
membaca) dan aktif-produktif (berbicara, menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan
semua aspek bahasa (whole language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga
melibatkan seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic language)
menjadisemacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa otentik adalah
bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya dalam berkomunikasi
sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya juga menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa dalam konteks yang
jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills). Konteks haruslah dikreasikan sedemikian
rupa dengan melibat berbagai faktor penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud bahasa yang
mesti dipergunakan sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes pemahaman terhadap sebuah dialog
(menyimak), maka harus dapat dikenali siapa yang berbicara, bagaimana situasi, topik
pembicaraan, dll. Tes terhadap komponen bahasa, misalnya kosakata atau struktur, jika
diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus berdasarkan konteks; hal ini misalnya terkait
dengan tujuan remedial Artinya, kosakata dan struktur itu diambil dari konteks tertentu. Dalam
tes prakomunikatif, terutama dalam tes pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan
tentu masih diperlukan.

5. Asesmen Otentik
Sebagaimana halnya portofolio, sejak era KBK/KTSP, penilaian otentik (authetic
assessment) kini sedang naik daun. Dalam arti disarankan dan banyak digunakan untuk
mengukur hasil pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa. Portofolio juga merupakan salah
bentuk penilaian otentik. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus
Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian KBM dapat dinilai secara objektif,
apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja. Lagi pula amat
banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama KBM sehingga penilaiannya haruslah dilakukan
selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Seajalan dengan teori Bloom,
penilaian haruslah mencakup ranah kognitif,afektif, dan psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, nontes dan tes dan kapan saja
Misalnya dengan cara: tes (ulangan), penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan
lapangan/harian, portofolio, dll. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara (model),
menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut
sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret,
benar-benar hasil tampilan siswa, dan akurat dan bermakna. Tes otentik dapat dimaknakan
bermaca-macam, tergantung oleh siapa dan untuk lingkup apa, namun umumnya bersifat saling
melengkapi. Penilaian otentik menunjuk pada pemberian tugas kepada pembelajar untuk
menampilkan kemampuannya mempergunakan bahasa target secara bermakna dan kemudian
dinilai.

C. JENIS-JENIS TES KOMPETENSI KESASTRAAN


Burhan Nurgiyantoro (1988: 179) membedakan tes kesastraan itu atas: tes pengetahuan sastra
dan tes kemampuan apresiasi sastra. Pengetahuan tentang sastra meliputi pengetahuan yang
bersifat teoretis dan historis. Pentingnya pengetahuan sastra dimaksudkan sebagai alat bantu
dalam mengapresiasi karya sastra. Sesuai dengan peranannya sebagai “alat bantu”, maka tes
pengetahuan tentang sastra bukanlah merupakan prioritas utama dalam tes kesastraan.
Tes kesastraan harus diprioritaskan pada usaha mengungkap kemampuan siswa dalam
mengapresiasi sastra yang secara langsung berhubungan dengan karya sastra. Tes yang bersifat
apresiatif akan menopang tercapainya tujuan pengajaran sastra yang berkadar apresiatif. Tes
kesastraan yang apresiatif itu sendiri mempunyai beberapa tingkatan, dari tingkatan yang
sederhana hingga ke tingkatan yang lebih kompleks. Tingkatan-tingkatan tes kesastraan
berdasarkan kategori Moody. Tes Kesastraan Kategori Moody Untuk keperluan hasil belajar
sastra, Moody dalam Nurgiyantoro (1988:309) membedakan tes kesastraan ke dalam empat
kategori. Keempat kategori dimaksud disusun mulai dari tingkatan yang sederhana hingga
tingkatan yang kompleks. Berikut akan diuraikan keempat tingkatan Moody tersebut.
1. Tes Kesastraan Tingkat Informasi
Tes kesastraan tingkat informasi mengungkap kemampuan siswa serkaitan dengan hal-hal
pokok dalam sastra. Tes ini berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan: apa yang terjadi, di
mana, kapan, berapa, nama, namanama pelaku, dan sebagainya. Data yang berkaitan dengan
sebuah karya meliputi pertanyaan di seputar genre sastra, kejadian pokok, kapan terjadi, di mana
terjadi, siapa saja tokoh (utama/pembantu) yang terlibat, bagaimana akhir cerita, bagaimana
nasib tokoh, dan sebagainya. Data-data yang dapat membantu penafsiran antara lain berupa
biografi pengarang: siapa namanya, dilahirkan di mana, kapan, apa pekerjaannya, status sosial,
karya yang keberapa, tahun berapa karya itu ditulis, tahun berapa terbit, di mana dan siapa
penerbitnya, dan lain-lain.
Di bawah ini dicontohkan butir-butir soal pada tataran tingkat informasi.
1) - Siapakah pengarang novel Belenggu?
- Di mana pengarang itu tinggal?
- Apa pekerjaannya?
2) - Siapakah penulis novel Pada Sebuah Kapal?
- Siapa tokoh utamanya?
- Dengan siapa sang tokoh utama itu menikah?
- Siapa yang dicinta sang tokoh utma sebelum dan sesudah dia menikah?
Bentuk tes pilihan ganda dapat dilihat dalam contoh berikut.
Pada akhir cerita, tokoh Tono dalam Belenggu memutuskan untuk…
A. mendalami ilmu kedokteran
B. menikah dengan Yah setelah bercerai dengan Tini
C. kembali kepada Tini setelah Yah pergi
D. kawin dengan wanita lain

2. Tes Kesastraan Tingkat Konsep


Tes kesastraan tingkat konsep berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana data-data atau
unsur-unsur karya sastra itu diorganisasikan. Unsurunsur karya merupakan hal pokok yang
dipersoalkan dalam tes tingkat ini. Tes ini menyangkut pertanyaan-pertanyaan: apa sajakah
unsur-unsur yang terdapat dalam fiksi dan puisi, mengapa pengarang justru memilih unsur yang
seperti itu, apa efek pemilihan unsur itu, apa hubungan sebab akibat unsur atau
peristiwaperistiwa itu, apa konflik pokok yang dipermasalahkan, konflik apa sajakah yang
timbul, faktor-faktor apa saja yang terlibat dalam atau mempengaruhi terjadinya konflik, dan
sebagainya.
Untuk dapat mengerjakan butr-butir soal tingkat konsep, di samping perlu mempunyai bekal
teoretis, siswa harus membaca karya tertentu tidak sekedar mengetahui isinya secara garis besar
saja, melainkan harus disertai sikap kritis dan analitis. Kemampuan kognitif yang dibutuhkan
tidak sekedar kemampuan memahami saja, melainkan juga kemampuan menganalisis dan
memperhubungkan berbagai unsur dalam suatu karya. Masalah-masalah yang ditanyakan dalam
tingkat konsep, juga untuk tingkatan-tingkatan lain kategori Moody, tidak bersifat teoretis,
melainkan lebih langsung berorientasi pada karya tertentu, baik prosa maupun puisi.
Di bawah ini dicontohkan butir-butir soal tingkat konsep:
a) Apa hubungan antara Guru Isa dengan Hazil dalam Jalan Tak Ada Ujung?
b) Apa hubungan antara Fatimah dengan Hazil?
c) Apa konflik atau masalah utama yang terdapat dalam novel itu?
d) Faktor apa sajakah yang semakin membebani penderitaan batin Guru Isa?
e) Mengapa Guru Isa tidak marah pada Hazil dan Fatimah?
f) Mengapa Guru Isa pada akhirnya dapat membebaskan diri dari rasa takutnya dan
dapat membangkitkan potensi dirinya?

3. Tes Kesastraan Tingkat Perspektif


Tes kesastraan pada tingkat perspektif berkaitan dengan pandangan siswa, atau pembaca
karya sastra pada umumnya. Bagaimana pandangan dan reaksi siswa terhadap sebuah karya akan
ditentukan oleh kemampuannya memahami karya yang bersangkutan. Masalah-masalah dalam
tes tingkat ini antara lain berupa pertanyaan: apakah karya sastra ini (sebut misalnya sebuah
novel: Burung-burung Manyar) berarti atau ada manfaatnya, apakah ia sesuai dengan realitas
kehidupan, apakah cerita (juga: kejadian, tokoh-tokoh situasi, konflik) bersifat tipikal, bersifat
tipikal dalam realitas kehidupan yang mana, apakah ada kemungkinan bahwa cerita (situasi,
konflik, penokohan, atau pelaraian) semacam itu terjadi di tempat lain, kesimpulan apakah yang
dapat diambil dari karya atau cerita itu, apa manfaat karya atau cerita itu bagi saya (kita), dan
lain-lain yang sejenis.
Tes kesastraan tingkat perspektif menuntut siswa untuk mampu memperhubungkan antara
sesuatu yang ada dalam karya sastra dengan sesuatu yang berada di luar karya itu. Untuk itu,
perlu adanya kerja analisis terhadap karya yang bersangkutan dan kehidupan di masyarakat,
kemudian menilai dan membandingkan di antara keduanya. Tes tingkat perspektif ini, karenanya,
merupakan tes kemampuan kognitif tingkat tinggi. Adapun contoh butir-butir soal tingkat
perspektif ini antara lain:
a) Kesimpulan apakah yang Anda ambil setelah membaca novel Belenggu?
b) Apakah Anda merasakan adanya manfaat setelah membaca novel Belenggu?
c) Jika ada, manfaat apa sajakah itu?
d) Ceritakan keadaan sosial Tono dan Yah dalam Belenggu “pada waktu itu” sehingga
antara keduanya seperti “tak mungkin dipersatukan dalam perkawinan”!
4. Tes Kesastraan Tingkat Apresiasi
Tes kesastraan pada tingkat apresiasi berkisar pada permasalahan bahasa sastra dengan
linguistik. Usaha mengenali dan memahami bahasa sastra melalui ciri-cirinya, kemudian
membandingkan keefektifan penggunaannya dengan penuturan bahasa secara umum dalam
mengungkapkan hal yang kurang lebih sama. Itulah terutama yang dipermasalahkan dalam tes
tingkat apresiasi. Tes pada tingkat apresiasi tersebut antara lain menyangkut hal-hal seperti:
mengapa pengarang justru memilih bentuk, kata, atau ungkapan yang seperti itu, apakah
pemilihan itu memang lebih tepat dibandingkan bentuk-bentuk linguistik yang lain, apa efek
pemilihan bentuk, kata, ungkapan, kalimat, dan gaya bagi karya itu secara keseluruhan, jenis atau
ragam bahasa apa yang dipergunakan dalam karya itu, penyimpangan kebahasaan apa saja yang
terdapat di dalamnya, apa efek penyimpangan kebahasaan itu, bagaimana cara
mengaktualisasikan penuturan dalam karya itu, dan lain-lain yang sejenis.
Pada tes tingkat apresiasi ini, siswa dituntut untuk mampu mengenali, menganalisis,
membandingkan, menggeneralisir, dan menilai bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan
dalam sebuah karya yang dibahas. Untuk itu, di samping diperlukan sikap kretis, juga harus
disertai pengetahuan tentang linguistik secara umum yang memadai.
Butir-butir soal tingkat apresiasi tersebut dicontohkan di bawah ini.
a) Mengapa Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem dan Y.B. Mangunwijaya dalam
Burung-burung Manyar justru banyak memilih kata-kata dan ungkapan Jawa untuk
mengungkapkan maksud-maksud tertentu ?
b) Apakah pemakaian kata-kata dan ungkapan Jawa dalam Pengakuan Pariyem dan
Burung-burung Manyar efektif, dan apakah memang lebih tepat bila dibandingkan
dengan pemakaian kata-kata dan ungkapan bahasa Indonesia?
Ambil satu atau dua buah sajak Amir Hamzah yang mengandung kata-kata arkais, misalnya
“Hanya Satu”
a) Apa fungsi dan efek pemakaian kata-kata arkais dalam sajak itu?
b) Seandainya kata-kata arkais itu diganti dengan kata-kata lain yang “baru” apakah juga
tepat?

Anda mungkin juga menyukai