Anda di halaman 1dari 13

BAB VIII

TES BAHASA

Tes bahasa merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik yaitu ilmu
yang mempelajari seluk beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum
seperti yang dilakukan dalam ilmu linguistik umum yang membahas masalah-
masalah umum seperti latar belakang dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa
dapat pula bersifat ilmiah, teoritis, dan rinci seperti yang dilakukan dalam ilmu
linguistik murni atau linguistik teoritis yang menyajikan kajian-kajian tentang
seluk beluk tata bahasa transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian
tertentu tentang makna dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang
psikologi dan psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan
pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ketiga yaitu
evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen dalam penyelenggaraan
pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya yaitu
kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen
kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan
komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.

A. Komponen Tes Bahasa


Komponen bahasa yang diteskan adalah meliputi hal-hal yang menjadi
cakupan pembelajaran bahasa. Cakupan pembelajaran bahasa tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Tes Kompetensi Bahasa
Tes kompetensi kebahasaan secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tes
struktur bahasa dan kosa kata. Struktur bahasa dan kosa kata merupakan aspek
yang penting, karena pada dasarnya tindak berbahasa merupakan pengoperasian
kedua aspek ini.
a. Tes Struktur Garamatikal
Struktur bahasa pada umumnya dibedakan ke dalam morfologi dan sintaksis.
Struktur sintaksis merupakan hal yang lebih penting daripada morfologi karena
sintaksis merupakan struktur bahasa yang tertinggi.
b. Tes kosakata
Kosakata dalam suatu bahasa biasanya jumlahnya banyak sekali. Dalam kaitan
ini, tes penguasaan kosakata yang baik adalah berkaitan dengan konteks, sebab,
di samping pertimbangan komunikatif bahasa, kosakata umumnya memiliki
makna tertentu setelah dimasukkan dalam konteks.
2. Tes Kompetensi Berbahasa
Tes ini juga disebut dengan tes performansi karena pda dasarnya tes
kemampuan berbahasa mengukur kemampuan seseorang dalam kegiatan
berbahasa. Tinggi rendahnya kompetensi berbahasa seseorang pada umumnya
tercermin dari kemampuan berbahasanya. Kompetensi berbahasa dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu kompetensi memahami (comprehension) dan
kemampuan menggunakan (production), masing-masing bersifat reseptif dan
produktif.
a. Tes Kompetensi Aktif Reseptif
Kompetensi aktif reseptif terdiri dari kemampuan membaca dan menyimak.
Kegiatan membaca merupakan usaha memahami informasi usaha yang
disampaikan melalui lambing tulisan. Kegiatan menyimak juga merupakan
memahami konteks ekstralinguistik atau informasi melalui sarana linguitik. Tes
kemampuan reseptif ini menuntut peserta didik untuk memahami secara kritis
informasi yang disampaikan dalam suatu wacana tertentu.
b. Tes Kompetensi Aktif Produktif
Kompetensi aktif produktif terdiri dari kemampuan menulis dan berbicara.
Kegiatan berbicara merupakan kegiatan menghasilkan bahasa dan
mengomunikasikan ide dan pikiran secara lisan. Kegiatan menulis tidak
berbeda dengan kegiatan berbicara, yaitu kegiatan menghasilkan bahasa dan
mengomunikasikan secara tertulis. Tes keterampilan menulis akan berkisar
pada ketepatan bahasa yang dipergunakan dan kejelasan pikiran yang
ditemukan.
3. Tes Kesastraan
Tes kesastraan harus diprioritaskan pada usaha mengungkapkan kompetensi
mengapresiasi sastra peserta didik atau kompetensi bersastra, dan secara langsung
berhubungan dengan berbagai karya sastra. Tes kesastraan terdiri dari tes
pengetahuan tentang sastra dan tes apresiasi sastra. Tes yang bersifat apresiatif
akan menopang tercapainya pengajaran sastra yang berkadar apresiatif, bukan
hanya teoretis.

B. Jenis Tes Bahasa


Dilihat dari segi kesejarahan munculnya berbagai jenis tes kebahasaan, tes
bahasa dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Tes Diskret
Tes diskret hanya menekankan atau menyangkut satu aspek kebahsanaan
pada satu waktu. Tiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
aspek kebahasaan, misalnya fonologi, mrofologi dan sebagainya. Tes diskret juga
dapat menyangkut tes keterampilan berbahasa. Dasar pemikiran tes diskret (juga
dalam hal pengajaran) adalah teori strukturalisme (linguistik) dan behaviorisme
(psikologi). Kedua teori itu beranggapan bahwa keseluruhan dapat dipecah-pecah
ke dalam bagian-bagian atau, keseluruhan adalah jumlah dari bagian-bagian. Tiap
bagian tersebut (kebahasaan dan keterampilan) dapat diajarkan dan diteskan
secara terpisah. Pembelajaran dan pengujian kebahasaan dalam teori ini
mengabaikan konteks. Tes yang dilakukan terhadap aspek-aspek kebahasaan
secara diskret dianggap mewakili keseluruhan jika pengambilan sampel bahan
yang diteskan mewakili aspek kebahasaan tertentu yang diteskan.

2. Tes Integratif
Tes integratif muncul sebagai reaksi terhadap tes diskret. Dalam tes ini, aspek-
aspek kebahasaan tidak dipisahkan, malainkan dalam wujud bahasa yang
merupakan kesatuan yang padu. Tes ini merupakan bentuk tes yang mengukur
lebih dari satu unsur kebahasaan atau satu keterampilan berbahasa dalam satu
waktu. Dalam tes integratif, ada beberapa unsur kebahasaan atau keterampilan
berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan. Dalam satu kali tes
minimal ada dua aspek atau keterampilan yang diukur. Aspek-aspek kebahasaan
tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan sehingga ada keterkaitan antarunsur
atau antarketerampilan. Bahasa yang alamiah bukanlah kumpulan dari unsur-
unsur bahasa semata. Dalam tes keterampilan bahasa, bahkan akan lebih baik jika
juga mempertimbangkan aspek konteks. Tes integratif memang sudah
memadukan beberapa unsur kebahasaan, tetapi belum tentu kontekstual. Tes ini
dapat berbentuk: menyusun kalimat, menafsirkan wacana singkat yang dibaca
atau didengar, memahami bacaan yang dibaca atau didengar, dan menyusun
alinea berdasarkan kalimat-kalimat yang disediakan.

3. Tes Pragmatik
Tes pragmatik dapat diarikan sebagai prosedur atau tugas yang menuntut
peserta didik menghasilkan urutan-urutan bahasa sesuai dengan pemakain bahasa
itu secara nyata, sekaligus menuntut peserta didik untuk menghubungkan bahasa
tersebut dengan konteks ekstralinguistik. Tes pragmatik berangkat dari pandangan
bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang dinyatakan memiliki
kompetensi berbahasa, jika mampu mempergunakan bahasa itu dalam konteks
yang sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam tes
keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar mampu
mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang
sesungguhnya. Dalam tes pragmatik tak ada lagi tes struktur/kosakata secara
tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan terlibat dan langsung dikaitkan dengan
unsur ekstralinguistik sekaligus. Contoh bentuk-bentuk tes kebahasaan bersifat
pragmatik antara lain: dikte, berbicara, pemahaman parafrase, jawaban
pertanyaan, dan tes cloze.

4. Tes Komunikatif
Tes komunikatif dilakukan sejalan dengan penggunaan pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini menekankan pada
pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan
berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan bahasa) dapat
bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan aktif-produktif (berbicara,
menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan semua aspek bahasa (whole
language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga melibatkan
seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic language)
menjadi semacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa
otentik adalah bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang
sesungguhnya dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya
juga menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa
dalam konteks yang jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills).
Konteks haruslah dikreasikan sedemikian rupa dengan melibat berbagai faktor
penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud bahasa yang mesti dipergunakan
sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes pemahaman terhadap sebuah dialog
(menyimak), maka harus dapat dikenali siapa yang berbicara, bagaimana situasi,
topik pembicaraan, dan lain-lain. Tes terhadap komponen bahasa, misalnya
kosakata atau struktur, jika diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus
berdasarkan konteks; hal ini misalnya terkait dengan tujuan remidial . Artinya,
kosakata dan struktur itu diambil dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif,
terutama dalam tes pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu
masih diperlukan. Dengan demikian, tes komunikatif harus didesain sedemikian
rupa agar terdapat kemiripan antara kemampuan berbahasa yang diteskan dengan
kenyataan penggunaan bahasa sehari-hari dalam konteks tertentu.

5. Asesmen Otentik
a. Hakikat Penilaian Otentik
Model penilaian otentik (authentic assessment) dewasa ini banyak dibicarakan
di dunia pendidikan karena model ini direkomendasikan, atau bahkan harus
ditekankan, penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar pembelajar.
Asesmen otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan
demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat
dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil
akhir (produk) saja. Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan
selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika
dilihat dari sudut pandang teori Bloom, sebuah penilaian haruslah mencakup
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes
dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan
pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Misalnya,
dengan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan,
wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-
lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut
berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut
sebagai pe- nilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin:
objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan
bermakna. Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk
mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna.
Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan
yang te- lah diketahui pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari
pengetahuan yang telah dikuasai. Sebagaimana dinyatakan Mueller (2008)
penilaian otentik merupakan: a form of assessment in which students are asked to
perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential
knowledge and skills. Jadi, penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang
menghendaki pembelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara
bermakna yang merupakan penerapan esensi pengeta- huan dan keterampilan.
Menurut Stiggins (Mueller, 2008), penilaian otentik merupakan penilaian kinerja
(perfomansi) yang meminta pembelajar untuk mendemonstrasikan keterampilan
dan kompetensi tertentu yang me- rupakan penerapan pengetahuan yang
dikuasainya.
Penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing
something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengeta-
huan yang telah dikuasai secara teoretis. Penilaian otentik lebih menuntut
pembelajar mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan
mengkreasikan jawaban atau produk. Siswa tidak sekedar diminta merespon
jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu
mengkreasikan dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh
pengetahuan teoretis. Dalam penilaian kemampuan bersastra misalnya, pembelajar
mampu menganalisis karakter tokoh dalam sebuah fiksi,
mempertanggungjawabkan kinerjanya tersebut secara argumentatif, membuat
resensi teks kesastraan, dan lain-lain.

b. Penilaian Otentik versus Penilaian Tradisional


Penilaian otentik sebenarnya telah lama dikenal di dunia pendidikan, tetapi
baru naik daun di era KTSP. Sebenarnya, bentuk-bentuk penilaian otentik bukan
merupakan barang asing bagi para pendidik di Indonesia karena sebagian (baik
sebagai pelaku maupun pemilihan bentuk) telah melakukan penilaian model itu.
Hanya memang pada umumnya kita lebih akrab dengan penilaian model
tradisional. Penilaian tradisional dalam kaitan ini dilihat sebagai penilaian yang
lebih banyak menyadap pengetahuan yang telah dikuasai siswa sebagai hasil
belajar yang pada umumnya ditagih lewat bentuk bentuk tes objektif. Di pihak
lain, penilaian otentik lebih menekankan pada pemberian tugas yang menuntut
pembelajar menampilkan, mempraktikkan, atau mendemonstrasikan hasil
pembelajarannya di dunia nyata secara bermakna yang mencerminkan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan dalam suatu mata pelajaran. Singkatnya, penilaian
tradisional lebih menekankan tagihan penguasaan pengetahuan, sedangkan
penilaian otentik kinerja atau tampilan yang mencerminkan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan.
Secara lebih konkret Mueller (2008) menunjukkan adanya persamaan dan
perbedaan antara penilaian tradisional dan penilaian otentik. Penilaian tradisional
antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Misi sekolah adalah mengembangkan warga negara yang produktif.
b. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus menguasai
disiplin keilmuan dan keterampilan tertentu.
c. Sekolah mesti mengajarkan siswa disiplin keilmuan dan keterampilan
tersebut.
d. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, guru harus mengetes siswa
untuk mengetahui tingkat penguasaan keilmuan dan keterampilan itu.
e. The curriculum drives assessment; the body of knowledge is determined
first.

Di pihak lain, penilaian otentik memiliki karakteristik sebagai berikut.


a. Misi sekolah adalah mengembangkan warga negara yang produktif.
b. Untuk menjadi warga negara produktif, seseorang harus mampu
menunjukkan penguasaan melakukan sesuatu secara bermakna dalam
dunia nyata.
c. Sekolah mesti mengembangkan siswa untuk dapat mendemonstrasikan
kemampuan/keterampilan melakukan sesuatu.
d. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, guru harus meminta siswa
melakukan aktivitas tertentu secara bermakna yang mencerminkan
aktivitas di dunia nyata.
e. Assessment drives the curriculum; the teachers first determine the tasks
that student will perform to demonstrate their mastery.

c. Manfaat Penggunaan Penilaian Otentik


Mengapa penilaian otentik kini disarankan penggunaannya, apakah model
itu berbeda dan menjanjikan hasil yang secara teoretis berbeda dengan model
penilaian tradisional? Karena penilaian otentik menekankan capaian pembelajar
untuk menunjukkan kinerja, doing something, kesiapan pembelajaran untuk
berunjuk kerja selepas mengikuti kegiatan pembelajaran tentu lebih signifikan.
Selain itu, ada beberapa manfaat lain penggunaan penilaian otentik, sebagaimana
dikemukakan Mueller (2008), yaitu sebagai berikut.
Pertama, penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya
pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai indikator capain
kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur capaian
pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak langsung.
Kedua, penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk
mengonstruksikan hasil belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta
pembelajar mengulang apa yang telah dipelajari karena hal demikian hanyalah
melatih mereka menghafal dan mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan
penilaian otentik pembelajar diminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah
diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi konkret.
Ketiga, penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan
pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu.
Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional, antara kegiatan
pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau sengaja
dipisahkan.
Keempat, penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk
menampilkan hasil belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling
baik. Singkatnya, model ini memungkinkan pembelajar memilih sendiri cara,
bentuk, atau tampilan yang menurutnya paling efektif.

d. Pengembangan Penilaian Otentik


Mueller (2008) mengemukakan sejumlah langkah yang perlu ditempuh dalam
pengembangan penilaian otentik, yaitu yang meliputi (i) penentuan standar; (ii)
penentuan tugas otentik; pembuatan kriteria; dan (iv) pembuatan rubrik.
a) Penentuan Standar
Standar dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan tentang apa yang harus
diketahui atau dapat dilakukan pembelajar. Di samping standar ada goal
(tujuan umum) dan objektif (tujuan khusus), dan standar berada di antara
keduanya. Standar dapat diobservasi (observable) dan diukur (measurable) ke-
tercapaiannya. Istilah umum yang dipakai di dunia pendidikan di Indonesia
untuk standar adalah kompetensi sebagaimana terlihat pada KBK dan KTSP.
Di kurikulum tersebut dikenal adanya istilah standar kompetensi lulusan dan
kompetensi dasar.
b) Penentuan Tugas Otentik
Tugas otentik adalah tugas-tugas yang secara nyata dibebankan kepada
pembelajar untuk mengukur pencapaian kompetensi yang dibelajarkan, baik
ketika kegiatan pembelajaran masih berlangsung atau ketika sudah ber- akhir.
Pengukuran hasil pencapaian kompetensi pembelajar yang secara realistik
dilakukan di kelas dapat bersifat model tradisional atau otentik sekaligus
tergantung kompetensi atau indikator yang akan diukur. Tugas otentik
(authentic task) sering disinonimkan dengan penilaian otentik (authentic
assessment) walau sebenarnya cakupan makna yang kedua lebih luas.
Permasalahan yang segera muncul adalah tugas-tugas apa atau model-model
pengukuran apa yang dapat dikategorikan sebagai tugas atau penilaian otentik.
Semua kegiatan pengukuran pendidikan harus mengacu pada standar (standar
kompetensi, kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya
dengan pemberian tugas-tugas otentik. Pemilihan tugas-tugas tersebut pertama-
tama haruslah merujuk pada kompetensi mana yang akan diukur
pencapaiannya. Kedua, dan inilah yang khas penilaian otentik, pemilihan
tugas-tugas itu harus mencerminkan keadaan atau kebutuhan yang
sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam sebuah penilaian otentik mesti
terkandung dua hal sekaligus: sesuai dengan standar (kompetensi) dan relevan
(bermakna) dengan kehidupan nyata.
c) Pembuatan Kriteria
Jika standar (kompetensi, kompetensi dasar) merupakan arah dan acuan
kompetensi pembelajaran yang dibelajarkan oleh pendidik dan sekaligus akan
dicapai dalam oleh subjek didik, proses pembelajaran haruslah secara sadar
diarahkan ke capaian kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian
pula halnya dengan penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur kadar
capaian kompetensi sebagai bukti hasil belajar. Untuk itu, diperlukan kriteria
yang dapat menggambarkan capaian kompetensi yang dimaksud. Kriteria
merupakan pernyataan yang menggambarkan tingkat capaian dan bukti-bukti
nyata capaian belajar subjek belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan.
Kriteria lazimnya juga telah dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran.
d) Pembuatan Rubrik
Penilaian otentik menggunakan pendekatan penilaian acuan kriteria (criterion
referenced measures) untuk menentukan nilai capaian subjek didik. Dengan
demikian, nilai seorang pembelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja
ditampilkannya secara nyata yang menunjukkan tingkat capaian kompetensi
yang dibelajarkan. Untuk menentukan tinggi rendahnya skor kinerja yang
dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala untuk memberikan skor- skor tiap
kriteria yang telah ditentukan. Alat yang dimaksud disebut rubrik (rubric).
Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penyekoran (scoring scale) yang
dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap kriteria terhadap
tugas-tugas tertentu (Mueller, 2008). Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal
pokok yang harus dibuat, yaitu kriteria dan tingkat capaian kinerja (level of
performance) tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial standar (kompetensi)
yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan kon- kret
mewakili standar yang diukur capaiannya. Dengan membatasi kriteria pada
hal-hal esensial, dapat dihindari banyaknya kriteria yang dibuat yang
menyebabkan penilaian menjadi kurang praktis. Selain itu, kriteria haruslah
dirumuskan atau dinyatakan (jadi: berupa pernyataan dan bukan kalimat)
singkat padat, komunikatif, dengan bahasa yang gramatikal, dan benar-benar
mencerminkan hal-hal esensial (dari standar/kompetensi) yang diukur. Dalam
sebuah rubrik, criteria mungkin saja atau boleh juga dilabeli dengan kata-kata
tertentu yang lebih mencerminkan isi, misalnya dengan kata-kata: unsur yang
dinilai.

e. Jenis Asesmen Otentik


Ada banyak tugas dan kegiatan penilaian pembelajaran yang dapat
dikelompokkan ke dalam asesmen otentik. Misanya, menggungkapkan kemabali
pesan yang didengar, dibaca, atau dilihat baik secara lisan atau tertulis,
wawancara, pertanyaan terbuka, membuat karya tulis tertentu, demontrasi,
pengamatan oleh guru, portofolio, penilain diri sendiri atau oleh teman, dll.
Beberapa jenis penilaian otentik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Penilaian Kinerja (Performance Assessment)
Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menguji kemampuan peserta didik dalam
mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, menguji apa yang mereka
ketahui dan dapat dilakukan, sebagaimana dikemukakan dalam situasi nyata dan
dalam konteks tertentu.
b. Wawancara Lisan (Oral Interview)
Wawancara lisan sebenarnya dapat juga disebut penilaian kinerja kebahasaan.
Dalam aktivitas ini, terjadi Tanya jawab antara pihak yang diwawancarai (peserta
didik) dan pewawancara (guru) tentang apa saja yang diinginkan informasinya
oleh pewawancara.
c. Pertanyaan Terbuka (Constructed-Response Items)
Penilaian dilakukan dengan memberi pertanyaan (stimulus) atau tugas yang
harus dijawab atau dilakukan oleh peserta didik secara tertulis atau lisan.
Pertanyaan haruslah yang memaksa peserta didik untuk mengreasikan jawaban
sekaligus mencerminkan penguasan terhadap pengetahuan tertentu. Jawaban
siswa harus mencerminkan kualitas berpikir, pengembangan argument, penjelasan
sebab akibat sesuatu, dan akhirnya sampai pada kesimpulan.

d. Menceritakan Kembali Teks atau Cerita (Story or Text Reteling)


Pemberian tugas kepada peserta didik untuk menceritakan kembali wacana
yang didengar atau dibaca merupakan kegiatan yang pasti diakrabi oleh guru.
Artinya, mereka telah terbiasa memberikan tugas itu kepada peserta didik lewat
pembelajaran menyimak dan membaca walau mungkin guru tidak mengetahui
behwa pemberian tugas itu merupakan salah satu jenis asesmen otentik.
e. Portofolio (Portfolio)
Portofolio merupakan kumpulan karya peserta didik yang dikumpulkan secara
sengaja, terencana, dan sistemik yang kemudian dianalisis secara cermat untuk
menunjukkan perkembangan kemajuan mereka setiap waktu. Callison (2009)
menyatakan bahawa portofolio sebagai salah satu asesmen otentik tepat dipakai
dalam penilain proses.
f. Proyek (Projects)
Peserta didik perlu dilatih untuk bekerja bersama dengan kawannya dalam
kelompok-kelompok kecil untuk menghasilkan karya tertentuyang
membanggakan buat mereka. Asesmen proyek dapat berupa tugas melakukan
penelitian kecil-kecilan (tetapi besar buat peserta didik). Tugas proyek merupakan
kegiatan investigasi dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian,
pengolahan, dan penyajian data, sampai pembuatan laporan (Depdiknas, 2009).
6. Perlukah Tes Tradisional Dipertahankan?
Tes tradisional dimaksudkan sebagai tes yang “hanya” menuntut aktivitas
peserta didik untuk memilih jawaban, menunjukkan penguasaan pengetahuan,
memanggil kembali atau rekognisi, soal dan jawaban disusun guru sehingga
hasilnya pada hahikatnya merupakan bukti tidak langsung. Artinya, tinggi
rendahnya skor seorang peserta didik belum tentu sekaligus mencerminkan
tingkat kompetensinya.
Perbedaan diantara penilaian tradisional versus otentik tidak perlu dibesar-
besarkan. Bagaimana pun juga, dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kedua
tetap saja sama-sama dibutuhkan. Kedua model itu meimiliki keunggulan masing-
masing. Tagihan terhadap pengetahuan yang dimiliki pebelajar tidak dapat
dikesampingkan begitu saja karena ia akan mendasari pembelajar untuk dapat
berunjuk kerja secara benar, dan penguasaan terhadap pengetahuan itu lebih tepat
diukur dengan tes tradisional. Namun, penilaian tidak benar jika hanya berurusan
dengan hal-hal seperti itu. Kedua model penilaian tersebut disarankan sama-sama
dipergunakan untuk mengukur kompetensi yang sesuai, namun dengan penekanan
penilaian otentik. Jadi, penggunaan keduanya itu bersifat saling melengkapi.

Anda mungkin juga menyukai