TES BAHASA
Tes bahasa merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik yaitu ilmu
yang mempelajari seluk beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum
seperti yang dilakukan dalam ilmu linguistik umum yang membahas masalah-
masalah umum seperti latar belakang dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa
dapat pula bersifat ilmiah, teoritis, dan rinci seperti yang dilakukan dalam ilmu
linguistik murni atau linguistik teoritis yang menyajikan kajian-kajian tentang
seluk beluk tata bahasa transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian
tertentu tentang makna dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang
psikologi dan psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan
pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ketiga yaitu
evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen dalam penyelenggaraan
pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya yaitu
kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen
kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan
komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
2. Tes Integratif
Tes integratif muncul sebagai reaksi terhadap tes diskret. Dalam tes ini, aspek-
aspek kebahasaan tidak dipisahkan, malainkan dalam wujud bahasa yang
merupakan kesatuan yang padu. Tes ini merupakan bentuk tes yang mengukur
lebih dari satu unsur kebahasaan atau satu keterampilan berbahasa dalam satu
waktu. Dalam tes integratif, ada beberapa unsur kebahasaan atau keterampilan
berbahasa yang harus harus dilibatkan, dan itu dipadukan. Dalam satu kali tes
minimal ada dua aspek atau keterampilan yang diukur. Aspek-aspek kebahasaan
tidak saling dipisahkan, melainkan dipadukan sehingga ada keterkaitan antarunsur
atau antarketerampilan. Bahasa yang alamiah bukanlah kumpulan dari unsur-
unsur bahasa semata. Dalam tes keterampilan bahasa, bahkan akan lebih baik jika
juga mempertimbangkan aspek konteks. Tes integratif memang sudah
memadukan beberapa unsur kebahasaan, tetapi belum tentu kontekstual. Tes ini
dapat berbentuk: menyusun kalimat, menafsirkan wacana singkat yang dibaca
atau didengar, memahami bacaan yang dibaca atau didengar, dan menyusun
alinea berdasarkan kalimat-kalimat yang disediakan.
3. Tes Pragmatik
Tes pragmatik dapat diarikan sebagai prosedur atau tugas yang menuntut
peserta didik menghasilkan urutan-urutan bahasa sesuai dengan pemakain bahasa
itu secara nyata, sekaligus menuntut peserta didik untuk menghubungkan bahasa
tersebut dengan konteks ekstralinguistik. Tes pragmatik berangkat dari pandangan
bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi, maka seseorang dinyatakan memiliki
kompetensi berbahasa, jika mampu mempergunakan bahasa itu dalam konteks
yang sesungguhnya. Tes pragmatik merupakan pendekatan dalam tes
keterampilan berbahasa untuk mengukur seberapa baik pembelajar mampu
mempergunakan elemen bahasa sesuai dengan konteks berbahasa yang
sesungguhnya. Dalam tes pragmatik tak ada lagi tes struktur/kosakata secara
tersendiri, tetapi semua unsur kebahasaan terlibat dan langsung dikaitkan dengan
unsur ekstralinguistik sekaligus. Contoh bentuk-bentuk tes kebahasaan bersifat
pragmatik antara lain: dikte, berbicara, pemahaman parafrase, jawaban
pertanyaan, dan tes cloze.
4. Tes Komunikatif
Tes komunikatif dilakukan sejalan dengan penggunaan pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan ini menekankan pada
pembelajaran bahasa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa untuk keperluan
berkomunikasi. Penggunaan bahasa (atau komunikasi dengan bahasa) dapat
bersifat aktif-reseptif (menyimak, membaca) dan aktif-produktif (berbicara,
menulis). Dalam sebuah tes komunikatif terlibatkan semua aspek bahasa (whole
language) sebagaimana halnya orang berkomunikasi yang juga melibatkan
seluruh unsur kebahasaan. Penggunaan bahasa yang otentik (authentic language)
menjadi semacam keniscayaan, dan itu juga terlihat dalam tes bahasa. Bahasa
otentik adalah bahasa yang dijumpai dalam penggunaan bahasa yang
sesungguhnya dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal yang demikian sebenarnya
juga menjadi tuntutan tes pragmatik.
Wujud tes komunikatif adalah tes pemahaman dan penggunaan bahasa
dalam konteks yang jelas; jadi ia berupa tes kemampuan berbahasa (skills).
Konteks haruslah dikreasikan sedemikian rupa dengan melibat berbagai faktor
penentu sehingga pembelajar tahu apa wujud bahasa yang mesti dipergunakan
sesuai dengan konteks itu. Misalnya, tes pemahaman terhadap sebuah dialog
(menyimak), maka harus dapat dikenali siapa yang berbicara, bagaimana situasi,
topik pembicaraan, dan lain-lain. Tes terhadap komponen bahasa, misalnya
kosakata atau struktur, jika diperlukan, boleh dilakukan tetapi tetap harus
berdasarkan konteks; hal ini misalnya terkait dengan tujuan remidial . Artinya,
kosakata dan struktur itu diambil dari konteks tertentu. Dalam tes prakomunikatif,
terutama dalam tes pembelajaran bahasa asing, tes komponen kebahasan tentu
masih diperlukan. Dengan demikian, tes komunikatif harus didesain sedemikian
rupa agar terdapat kemiripan antara kemampuan berbahasa yang diteskan dengan
kenyataan penggunaan bahasa sehari-hari dalam konteks tertentu.
5. Asesmen Otentik
a. Hakikat Penilaian Otentik
Model penilaian otentik (authentic assessment) dewasa ini banyak dibicarakan
di dunia pendidikan karena model ini direkomendasikan, atau bahkan harus
ditekankan, penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar pembelajar.
Asesmen otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan
demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat
dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil
akhir (produk) saja. Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan
selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika
dilihat dari sudut pandang teori Bloom, sebuah penilaian haruslah mencakup
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes
dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan
pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Misalnya,
dengan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan,
wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-
lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut
berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut
sebagai pe- nilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin:
objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan
bermakna. Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk
mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna.
Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan
yang te- lah diketahui pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari
pengetahuan yang telah dikuasai. Sebagaimana dinyatakan Mueller (2008)
penilaian otentik merupakan: a form of assessment in which students are asked to
perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential
knowledge and skills. Jadi, penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang
menghendaki pembelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara
bermakna yang merupakan penerapan esensi pengeta- huan dan keterampilan.
Menurut Stiggins (Mueller, 2008), penilaian otentik merupakan penilaian kinerja
(perfomansi) yang meminta pembelajar untuk mendemonstrasikan keterampilan
dan kompetensi tertentu yang me- rupakan penerapan pengetahuan yang
dikuasainya.
Penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing
something, melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengeta-
huan yang telah dikuasai secara teoretis. Penilaian otentik lebih menuntut
pembelajar mendemonstrasikan pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan
mengkreasikan jawaban atau produk. Siswa tidak sekedar diminta merespon
jawaban seperti dalam tes tradisional, melainkan dituntut untuk mampu
mengkreasikan dan menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh
pengetahuan teoretis. Dalam penilaian kemampuan bersastra misalnya, pembelajar
mampu menganalisis karakter tokoh dalam sebuah fiksi,
mempertanggungjawabkan kinerjanya tersebut secara argumentatif, membuat
resensi teks kesastraan, dan lain-lain.