Anda di halaman 1dari 25

setiap kegiatan belajar perlu diadakan penilaian termasuk dalam pembelajaran kegiatan berbicara.

Cara yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu berbicara adalah tes
kemampuan berbicara.

Pada prinsipnya ujian keterampilan berbicara memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berbicara, bukan menulis, maka penilaian keterampilan berbicara lebih ditekankan pada praktik
berbicara.Untuk mengetahui keberhasilan suatu kegiatan tertentu perlu ada penilaian. Penilaian
yang dilakukan hendaknya ditujukan pada usaha perbaikan prestasi siswa sehingga menumbuhkan
motivasi pada pelajaran berikutnya. Penilaian kemampuan berbicara dalam pengajaran berbahasa
berdasarkan pada dua faktor, yaitu faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan
meliputi lafal, kosakata, dan struktur sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi materi, kelancaran
dan gaya[1].

Dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang pada prinsipnya harus memperhatikan lima
faktor, yaitu: a) Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal atau konsonan) diucapkan dengan tepat?; b)
Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta rekaman suku kata memuaskan?; c)
Apakah ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internall
memahami bahasa yang digunakan?; d) Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan
urutan yang tepat?; e) Sejauh manakah “kewajaran” dan “kelancaran” ataupun “kenative-speaker-
an” yang tecermin bila sesorang berbicara?

Tes Kompetensi Berbicara

Berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa
setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian
manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara. Untuk dapat berbicara dalam
suatu bahasa secara baik, pembicara harus menguasai lafal, struktur, dan kosakata yang
bersangkutan.[2] Di samping itu, diperlukan juga penguasaan masalah dan atau gagasan yang akan
disampaikan, serta kemampuan memahai bahasa lawan bicara.

Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan
menyampaikan maupun menerima gagasan. Lambang yang berupa tanda-tanda visual seperti yang
dibutuhkan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak diperlukan. Itulah sebabnya orang yang
buta huruf pun dapat melakukan aktivitas berbicara secara baik, misalnya para penutur asli. Penutur
yang demikian mungkin bahkan tidak menyadari kompetensi kebahasaannya, tidak “mengerti”
sistem bahasanya sendiri. Kenyataan itu sekali lagi membuktikan bahwa peguasaan bahasa lisan
lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan berbicara seharusnyalah
mendapat perhatian yang cukup dalam pembelajaran bahasa dan tes kemampuan berbahasa.

Dalam situasi yang normal, orang melakukan kegiatan berbicara dengan motivasi ingin menemukan
sesuatu kepada orang lain, atau karena ingin memberikan reaksi terhadap sesuatu yang
didengarnya. Pembicaraan dalam situasi yang demikian, kejelasan penuturan tidak semata-mata
ditentukan oleh ketepatan bahasa (verbal) yang dipergunakan saja, melainkan amanat dibantu oleh
unsur-unsur paralinguistik seperti gerak-gerakan tertentu, ekspresi wajah, nada suara, dan
sebagainya, suatu hal yang tidak ditemui dalam komunitas tertulis. Situasi pembicaraan (serius,
santai, wajar, tertekan) dalam banyak hal juga akan memengaruhi keadaan dan kelancaran
pembicaraan.

Hal lain yang mempengaruhi keadaan pembicaraan adalah masalah apa yang menjadi topik
pembicaraan dan lawan bicara. Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial, dan karenanya
harus diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara peserta didik  dalam suatu bahasa (Oller:
1979:305).[3] Atau paling tidak, tes berbicara hendaknya mampu mencerminkan situasi yang
menghadirkan kedua faktor tersebut. Tes kemampuan berbicara yang memertimbangkan faktor-
faktor tersebut, dan karenanya pembicaraan mendekati situasi yang normal, boleh dikatakan telah
memenuhi  harapan tes pragmatik dan bermakna sebagaimana tuntutan tes otentik.

Di bawah ini akan dicontohkan berbagai bentuk tes kompetensi berbicara. Akan tetapi, tugas-tugas
tes yang ditekankan pada tugas-tugas pragmatik atau otentik, sedang tugas-tugas yang bersifat
disket atau mungkin integratif sengaja ditinggalkan. Tugas-tugas tes pragmatik atau otentik
menghendaki peserta didik telah menguasai tahap elementer dalam suatu bahasa, atau paling tidak
sudah dapat memergunakan bahasa itu untuk aktivitas berbicara.

Tugas Berbicara Otentik

Tugas berbicara otentik dimaksudkan sebagai tes berbicara yang memenuhi kriteria asessmen
otentik. Hal ini perlu dikemukakan kembali karena pada kenyataan praktik pemberian tugas
berbicara di sekolah belum tentu berkadar otentik. Misalnya, pembelajaran pelafalan
(pronunciation) dalam bahasa target yang melatih ketepatan pelafalan peserta didik, pengucapan
kata, tekanan kata, pola dan tekanan kalimat, dan lain-lain. Kegiatan tersebut penting dalam
penguasaan bahasa target, dan bahkan menjadi prasyarat kompetensi berbahasa lisan, namun
berkadar otentik. Tugas-tugas semacam itu dalam sudut pandang pendekatan komunikatif dikenal
sebagai tugas prakomunikatif.

Dalam tugas berbicara otentik terdapat dua hal pokok yang tidak boleh dihilangkan, yaitu benar-
benar tampil berbicara (kinerja bahasa) dan isi pembicaraan mencerminkan kebutuhan realitas
kehidupan (bermakna).[4] Jadi, dalam assesmen otentik peserta didik tidak sekedar ditugasi untuk
berbicara, berbicara dalam arti sekedar praktik memergunakan bahasa secara lisan, melainkan juga
menyangkut isi pesan yag dijadikan bahan pembicaraan. Dalam kebutuhan sehari-hari, misalnya di
kantor atau di dunia pekerjaan, orang terlibat pembicaraan pasti karena ada sesuatu yang perlu
dibicarakan dan bukan berbicara sekedar praktik berbahasa. Hal inilah yang kemudian diangkat
dalam asesmen otentik kompetensi berbahasa lisan: berbicara dalam konteks yang jelas. Konteks
menunju pada berbagai faktor penentu: siapa yang berbicara, situasi pembicaraan, isi dan tujuan
pembicaraan, dan lain-lain.

Tugas berbicara sebagai bentuk asesmen otentik harus berupa tugas-tugas yang ditemukan dan
dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Jadi, tugas berbicara otentik mengambil model aktivitas bentuk-
bentuk berbicara sehari-hari sehingga kompetensi yang dikuasai peserta didik bersifat aplikatif.
Orang berbicara karena ingin menyampaikan sesuatu lewat bahasa, maka penggunaan bahasa yang
benar adalah yang sesuai dengan konteks penggunaan. Jadi, pada intinya ketepatan bahasa dalam
berbahasa lisan dilihat dari ketepatan bahasa yang dipakai dan kejelasan komunikasi yang dituturkan
dalam konteks pembicaraan yang jelas. Untuk itu, tugas-tugas berbicara yang dipilih untuk
mengukur kompetensi berbahasa lisan peserta didik haruslah yang memungkinkan peserta didik
mengungkapkan keduanya: berunjuk kerja bahasa untuk menyampaikan informasi.
Bentuk Tugas Kompetensi Berbicara

Ada banyak bentuk tugas yang dapat diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kompetensi
berbicaranya dalam bahasa target. Apapun bentuk tugas yang dipilih haruslah yang memungkinkan
peserta didik untuk tidak saja mengekspresikan kemampuan berbahasanya, melainan juga
mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi. Dengan demikian, tes
tersebut bersifat fungsional, disamping dapat juga mengungkap kemampuan peserta didik berbicara
dalam bahasa yang bersangkutan mendekati pemakaiannya secara normal. Selain itu, pemberian
tugas hendaklah juga dilakukan dengan cara yang menarik menyenangkan agar peserta uji tidak
merasa tertekan dan dapat mengungkapkan kompetensi berbahasanya secara normal dan maksimal.

Berbicara Berdasarkan Gambar

Untuk mengungkapkan kemampuan berbicara pembelajar dalam suatu bahasa, gambar dapat
dijadikan rangsang pembicaraan yang baik. Rangsang yang berupa gambar sangat baik untuk
dipergunakan anak-anak usia sekolah dasar ataupun pembelajar bahasa asing pada tahap awal. Akan
tetapi, rangsang gambarpun dapat pula dipergunakan pada pembelajar yang kemampuan
berbahasanya telah (lebih) tinggi tergantung pada keadaan gambar yang dipergunakan itu sendiri.
Burt dkk (Oller, 1979:47-48, 304-314) menyusun gambar-gambar menarik yang dimaksudkan untuk
mengungkap kemampuan berbicara peserta didik yang potensial untuk tes yang berkadar pragmatik.
Gambar yang dimaksud kemudian disebutnya sebagai the Bilingual Syntax measure.

Rangsang gambar yang dapat dipakai sebagai rangsang berbicara dapat dikelompokkan ke dalam
gambar objek dan gambar cerita. Gambar objek merupakan gambar tentang objek tertentu yang
berdiri sendiri seperti binatang, kendaraan, pakaian, alam dan berbagai objek yang lain yang
kehadirannya tidak memerlukan bantuan objek gambar lain. Gambar cerita adalah gambar susun
yang terdiri dari sejumlah panel gambar yang saling berkaitan yang secara keseluruhan membentuk
sebuah cerita.

1) Objek Gambar

Gambar objek adalah gambar yang masing-masing memiliki nama satu kata dan merupakan gambar-
gambar lepas yang antara satu dengan yang lain kurang ada kaitannya. Gambar objek dapat
dijadikan rangsang berbicara unuk peserta didik tingkat awal, misalnya taman kanak-kanak, atau
pembelajar bahasa asing tingkat pemula yang masih dalam tahap melancarkan lafal bahasa dan
memahami makna kata. Gambar-gambar tersebut contohnya sebagai berikut.
Gambar 1. Contoh Gambar Objek

Untuk maksud mengungkap kemampuan berbicara, misalnya, peserta didik diminta untuk
menyebutkan, menemukan nama-nama gambar objek tersebut, atau bahkan merangkai kalimat
berdasarkan gambar. Misalnya, kita mengajukan pertanyaan seperti “gambar apakah ini?”,
“bukankah ini gambar katak?”, “kalau ke luar negeri kita naik apa agar cepat?”, dan sebagainya.

Namun, sebenarnya tugas peserta didik yang sekedar menyebutkan atau menemukan nama-nama
gambar tersebut tidak alamiah, tidak wajar, peserta didik sudah tahu jawabannya, karena tidak
pragmatik, tidak otentik. Tugas yang dilakukan dengan gambar tersebut tidak bermakna karena tidak
berada dalam kaitannya dengan situasi konteks. Tugas seperti di atas tidak memaksa peserta didik
untuk menunjukkan kemampuan berbicaranya, baik yang menyangkut ketepatan aspek linguistik
maupun unsur ekstraliguistik. Oleh karena itu, penggunaan media tersebut untuk maksud
merangsang berbicara peserta didik sebaiknya dibatasi.

2) Gambar Cerita

Gambar cerita adalah rangkaian gambar yang membentuk sebuah cerita. Ia mirip komik, atau mirip
buku gambar tanpa kata (wordless picture books), yaitu buku-buku gambar cerita yang alur
ceritanya disajikan lewat gambar-gambar,atau gambar-gambar itu sendiri menghadirkan cerita.
Kalaupun dalam gambar-gambar itu disertai kata-kata, bahasa verbal tersebut sangat terbatas.
Gambar cerita atau buku gambar tanpa kata bervariasi tingkat kompleksitasnya dari yang sederhana
dan mudah dikenali sequensialnya sampai yang abstrak. Dilihat dari sifat alamiah gambar cerita
tersebut, ia terlihat potensial untuk dijadikan bahan rangsang berbicara.

Gambar cerita berisi suatu aktivitas, mencerminkan maksud atau gagasan tertentu, bermakna, dan
menunjukkan situasi konteks tertentu. Untuk menunjukkan urutan gambar, panel-panel gambar
tersebut dapat diberi nomor urut, namun dapat pula tanpa nomor agar peserta didik menemukan
logika urutannya sendiri. Jadi, pada intinya gambar cerita itu sudah menunjukkan makna tertentu.
Maka, tugas berbicara berdasarkan rangsang gambar cerita tidak lain adalah tugas menceritakan
makna gambar itu atau menjawab pertanyaan yang terkait.

Gambar 2. Contoh Gambar Cerita


Tugas-tugas pragmatik atau otentik yang diberikan kepada peserta didik untuk berbicara
berdasarkan gambar-gambar yang disediakan tersebut dapat dengan cara-cara sebagai berikut;
Pertama, Pemberian pertanyaan secara terbuka untuk dijawab semua peserta didik termasuk
asesmen otentik. Namun pertanyaan yang diajukan harus yang menuntut mereka berpikir tingkat
tinggi dan bukan sekedar pertanyaan hafalan atau menagih fakta dan konsep. Berdasarkan gambar-
gambar yang disediakan, misalnya seperti dalam gambar di atas, kita mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang bersifat pragmatis. Pertanyaan yang dimaksud hendaklah yang memungkinkan
peserta didik mengungkapkan kemampuan berbahasa dan pemahaman terhadap kandungan makna
gambar. Untuk gambar cerita di atas, misalnya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut: a) Mengapa pemburu memanjat pohon dengan ketakutan?; b) Bagaimana sikap kera demi
melihat pemburu yang ketakutan?; c) Bagaimanakah karakter pemburu yang justru menembak
kera?; d) Mengapa harimau yang semula mengejar pemburu kini datang lagi?

Sekali lagi, perlu dicatat bahwa tidak semua pertanyaan yang diajukan pasti berupa tugas pragmatik.
Pertanyaan yang dimaksud adalah yang dengan mudah dijawab karena memang hanya itu
jawabannya. Misalnya pertanyaan yang dimulai dengan kata “siapa”. Siapa yang mengejar
pemburu?, siapa yang menolog pemburu?, yang jawabannya telah jelas, yaitu harimau dan kera.
Jawaban peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan pragmatis di atas dimungkinkan sekali
berbda-beda. Untuk itu perlu ditentukan kinerja jawaban yang tepat dan yang sebaiknya. Oller
(197:313) mengemukakan bahwa penilaian dapat dilakukan secara terpisah, yaitu dari segi
ketepatan (struktur) bahasa dan kelayakan konteks. Namun, ia menambahkan bahwa kelayakan
konteks haruslah mendapat penekanan.

Kedua, Bercerita dimana pertanyaan-pertanyaan yang disajkan di atas hanya menuntut peserta didik
untuk memberikan jawaban yang sesuai yang biasanya hanya terdiri dari satu kalimat. Pertanyaan-
pertanyaaan seperti itu walaupun terarah, agak membatasi kreativitas imajinatif peserta didik. Tugas
pragmatik atau otentik yang lebih memberi kebebasan peserta didik, disamping juga lebih
mengugkap kemampuan berbahasa dan pemahaman kandungan makna secara logis, adalah
meminta mereka untuk bercerita sesuai dengan gambar yang disedikan. Jika tugas itu meminta
peserta didik untuk menceritakannya secara tertulis, tugas ini menjadi tugas menulis.

Untuk menilai kompetensi berbicara peserta didik, kita dapat membuat dan menggunakan rubrik
yang sengaja disiapkan untuk maksud itu. Komponen penilaian harus melibatkan unsur bahasa dan
kandungan makna. Namun demikian, karena tugas yang demikian lebih tepat dilakukan dalam tes
proses yang sekaligus menjadi bagian dari strategi pembelajaran, guru jga perlu mencatat kesalahan-
kesalahan kebahasaan yang dilakukan peserta didik untuk dibetulkan kemudian. Ingat, kita
sebaiknya tidak memotong pembicaraan peserta didik agar mereka tidak terganggu dan justru
mematikan keberanian. Rubrik penilaan yang dimaksudkan dicontohkan sebagai berikut.

Tabel 1: Contoh Rubrik Penilaian Berbicara Berdasarkan Rangsang Gambar

Tingkat  Capaian
Aspek yang Kinerja
No.
Dinilai
1 2 3 4 5

1 Kesesuaian
dengan gambar

2 Ketepatan
logika urutan
cerita

3 Ketepatan
makna
keseluruhan
cerita

4 Ketepatan kata

5 Ketepatan
kalimat

6 Kelancaran

Jumlah skor

Berbicara Berdasarkan Rangsangan Suara

Tugas berbicara berdasarkan rangsang suara yang lazim dipergunakan adalah suara yang berasal dari
siaran radio atau rekaman yang sengaja dibuat untuk maksud itu. Program radio yang dimaksud
dapat bermacam, misalnya siaran berita, sandiwara, atau program-program lain yang layak. Jika
program siaran radio yang dipilih waktunya tidak berkesesuaian dengan waktu pembelajaran di
sekolah, kita dapat merekam program itu dan menghadirkannya dalam bentuk rekaman. Atau, kita
sengaja menugasi peserta didik untuk mendengarkan siaran tertentu pada radio tertentu pada jam
tertentu untuk kemudian menceritakannya di sekolah.

Tugas ini memang sangat terkait dengan tes kompetensi menyimak. Pengaitan antara kedua
kompetensi itu justru harus ditekankan dalam pembelajaran bahasa sehingga pembelajaran yang
dimaksud memenuhi tuntutan whole language. Jika kita memilih bentuk ini sebagai tugas yang harus
dilakukan peserta didik, tugas yang diberikan dapat bermacam-macam salah satunya ditunjukkan di
bawah.

Dengarkan siaran sandiwara radio yang telah direkam ini dengan baik. Anda boleh menuliskan hal-
hal yang penting. Setelah itu, Anda minta untuk menceritakannya kembali di depan kelas. Kinerja
peserta didik  kemudian dinilai dengan memergunakan rubrik penilaian. Kita dapat membuat sendiri
rubrik itu dengan melibatkan komponen kebahasaan dan isi pesan yang diungkapkan. Rubrik yang
dimaksud misalnya dicontohkan di bawah.

Berbicara Berdasarkan Rangsangan Suara

Tugas berbicara berdasarkan rangsang suara yang lazim dipergunakan adalah suara yang berasal dari
siaran radio atau rekaman yang sengaja dibuat untuk maksud itu. Program radio yang dimaksud
dapat bermacam, misalnya siaran berita, sandiwara, atau program-program lain yang layak. Jika
program siaran radio yang dipilih waktunya tidak berkesesuaian dengan waktu pembelajaran di
sekolah, kita dapat merekam program itu dan menghadirkannya dalam bentuk rekaman. Atau, kita
sengaja menugasi peserta didik untuk mendengarkan siaran tertentu pada radio tertentu pada jam
tertentu untuk kemudian menceritakannya di sekolah.

Tugas ini memang sangat terkait dengan tes kompetensi menyimak. Pengaitan antara kedua
kompetensi itu justru harus ditekankan dalam pembelajaran bahasa sehingga pembelajaran yang
dimaksud memenuhi tuntutan whole language. Jika kita memilih bentuk ini sebagai tugas yang harus
dilakukan peserta didik, tugas yang diberikan dapat bermacam-macam salah satunya ditunjukkan di
bawah.

Dengarkan siaran sandiwara radio yang telah direkam ini dengan baik. Anda boleh menuliskan hal-
hal yang penting. Setelah itu, Anda minta untuk menceritakannya kembali di depan kelas. Kinerja
peserta didik kemudian dinilai dengan memergunakan rubrik penilaian. Kita dapat membuat sendiri
rubrik itu dengan melibatkan komponen kebahasaan dan isi pesan yang diungkapkan. Rubrik yang
dimaksud misalnya dicontohkan di bawah.

Tabel 2: Contoh Rubrik Penilaian Berbicara Berdasarkan Rangsang Suara

Tingkat  Capaian
Aspek yang Kinerja
No
Dinilai
1 2 3 4 5

1 Kesesuaian isi
pembicaraan

2 Ketepatan logika
urutan cerita

3 Ketepatan
makna
keseluruhan
cerita

4 Ketepatan kata

5 Ketepatan
kalimat

6 Kelancaran

Jumlah skor

Berbicara Berdasarkan Rangsang Visual dan Suara

Berbicara berdasarkan rangsang visual dan suara merupakan gabungan antara berbicara
berdasarkan gambar dan suara di atas. Namun, wujud visual yang dimaksud sebenarnya lebih dari
sekedar gambar. Selain wujud gambar diam, ia juga berupa gambar gerak dan gambar aktivitas.
Contoh rangsang yang dimaksud yang paling banyak dikenal adalah siaran televisi, video, atau
berbagai bentuk rekaman sejenis. Siaran televisi juga dapat direkam untuk kemudian dibawa di
kelas, misalnya karena jika siaran yang diperlukan tidak berkesuaian waktu dengan jam
pembelajaran di sekolah. Siaran televisi yang dipilih dapat berupa siaran berita, sinetron, acara flora
dan fauna, dan lain-lain yang di dalamnya terkandung unsur pendidikan atau unsur penting lainya.

Tugas bentuk ini terlihat didominasi dan terkait dengan kompetensi menyimak, namun juga terdapat
bentuk-bentuk lain yang memerlukan pengamatan dan pencermatan seperti gambar, gerak, tulisan,
dan lain-lain yang terkait langsung dengan unsur suara dan secara keseluruhan menyampaikan suatu
kesatuan informasi. Tugas menonton siaran televisi dapat langsung di kelas atau di rumah dengan
menunjuk pada siaran tertentu. Tugas yang diberikan kepada peserta didik misalnya berbunyi
sebagai berikut.

Cermatilah  siaran berita (juga: sinetron, dunia binatang, dan lain-lain) televisi pada pukul 18.00 WIB.
Catatlah ha-hal penting. Setelah itu, Anda diminta untuk menceritakannya kembali di depan kelas.

Penilaian yang dilakukan dapat memergunakan rubrik seperti pada contoh penilaian berdasarkan
rangsang suara dan atas dengan sedikit penambahan komponen.

Tabel 3: Contoh Rubrik Penilaian Berbicara Berdasarkan Rangsang Visual dan Suara

Tingkat  Capaian
Aspek yang Kinerja
No.
Dinilai
1 2 3 4 5

1 Kesesuaian isi
pembicaraan

2 Ketepatan
logika urutan
berita

3 Ketepatan
detail peristiwa

4 Ketepatan
makna
keseluruhan
bicara

5 Ketepatan kata

6 Ketepatan
kalimat

7 Kelancaran

Jumlah skor

Bercerita
Tugas ini dalam jenis asesmen otentik berupa tugas menceritakan kembali teks atau cerita ( retelling
texts or story). Jadi, rangsang yang dijadikan bahan untuk bercerita dapat berupa buku yang sudah
dibaca, berbagai cerita (fiksi dan cerita lama), berbagai pengalaman (pengalaman bepergian,
pengalaman berlomba, pengalaman berseminar), dan lain-lain.

Sebagai bagian asesmen otentik, penilaian kinerja bercerita juga praktis dilakukan lewat pembuatan
rubrik. Rubrik dapat dibuat sendiri oleh guru berdasarkan bahan tugas yang diberikan, misalnya
tugas menceritakan kembali isi buku cerita (fiksi) yang dibaca. Di bawah dicontohkan rubrik penilaian
tugas bercerita berdasarkan buku cerita yang dibaca yang mirip dengan rubrik penilaian berdasarkan
rangsnag gambar di atas.

Tabel 4: Contoh Rubrik Penilaian Tugas Menceritakan Kembali Buku Cerita

Tingkat  Capaian
Aspek yang Kinerja
No
Dinilai
1 2 3 4 5

1 Ketepatan isi
cerita

2 Ketepatan
penunjukan
detil cerita

3 Ketepatan
logika cerita

4 Ketepatan
makna
keseluruhan
cerita

5 Ketepatan
kata

6 Ketepatan
kalimat

7 Kelancaran

Jumlah skor

Wawancara

Wawancara biasanya dilakukan terhadap seorang pembelajar yang kompetensi berbahasa lisannya,
bahasa target yang sedang dipelajarinya, sudah cukup memadai sehingga memungkinan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bahasa itu. Kegiatan wawancara dalam rangkaian
tes kompetensi  berbahasa lisan termasuk ke dalam jenis asesmen otentik dan bukan sekedar
kegiatan untuk mengetahui informasi tertentu tentang jati diri peserta uji.

Kegiatan wawancara dilakukan oleh dua (beberapa) orang penguji dalam praktik yang sering terjadi
di sekolah hanya seorang penguji terhadap peserta didik atau calon tertentu selama jangka waktu
tertentu, misalnya minimum sepuluh menit untuk seorang calon. Wawancara dimaksudkan untuk
menilai kompetensi berbahasa peserta uji lewat pertanyaan tentang berbagai masalah keseharian.

Pewawancara hendaknya mengusahakan agar calon tetap tenang, tidak merasa tertekan, tidak
merasa seperti sedang diuji, sehingga bahasa yang diungkapkan dapat mencerminkan kemampuan
yang sebenarnya. Biasanya, kesadaran calon bahwa ia sedang diuji akan memengaruhi mentalnya
sehingga bahasanya pun akan berpengaruh pula, misalnya tidak lancar, sering terjadi kesalahan atau
bahkan mungkin tidak dapat berbicara. Oleh karena itu, pada awal dimulainya wawancara, penguji
sebaiknya menanyakan hal-hal yang mudah dijawab calon agar tumbuh keberanian dan rasa percaya
dirinya.

Masalah yang ditanyakan dalam wawancara dapat menyangkut berbagai hal, tetapi hendaknya
disesuaikan dengan tingkat pengalaman peserta uji misalnya usia, sekolah, dan kemampuan
berbahasa. Alat penilaian yang dipergunakan perlu diaspkan sebelum wawancara dimulai.
Pewawancara perlu menyiapkan seperangkat alat dan teknik penilaian yang disepakati bersama.
Penilaian itu sendiri diberikan setelah wawancara selesai. Akan tetapi, selama berlangsung
wawancara, penguji telah mencatat dalam hati nilai masing-masing komponen yang dinilai sesuai
dengan kemampuan peserta didik. Ada beberapa model penilaian wawancara, misalnya model the
foreign service institute atau model yang kita kembangkan sendiri. Kedua model tersebut di bawah
ditunjukan.

1)     Model penilaian wawancara

Model di sini dimaksudkan sebagai model penilaian yang dikembangkan oleh guru atau
pewawancara sendiri. Untuk membuat model penilaian, kita mesti memasukkan komponen bahasa
dan gagasan masing-masing dengan subkomponennya sebagai aspek yang akan dinilai.

Tabel 5: Contoh Rubrik Penilaian Wawancara

Tingkat  Capaian
No Aspek yang Dinilai Kinerja

1 2 3 4 5

1 Keakuratan dan
keaslian gagasan

2 Ketepatan
argumentasi

3 Keruntutan
penyampaian
gagasan

4 Ketepatan kata

5 Ketepatan kalimat

6 Kelancaran

7 Pemahaman
Jumlah skor

2)     Model penilaian the foreign service institute   

Model ini dikembangkan untuk menilai wawancara dalam bahasa kedua (bahasa asing, bahasa
inggris) oleh The Foreign Servise Institute. Model ini mencakup tiga komponen, yaitu tujuan,
komponen dan deskripsi kefasihan, serta penyekoran yang ketiganya saling terkait. Model ini hanya
mencakup komponen kebahasaan saja, dan tidak mengukur komponen gagasan. Selain itu, hal lain
yang perlu dicatat adalah bahwa skor tingkat kefasihan (1-6) akan berbeda untuk tiap komponen
tergantung bobot masing-masing. Misalnya, skor tingkat kefasihan 4 untuk tata bahasa, kosakata,
dan kelancaran masing-masing atau menjadi 24, 16, dan 8 karena bobotnya berbeda. Besar kecilnya
bobot menunjukkan tingkat pentingnya komponen yang bersangkutan. Di bawah ini ditunjukkan
model penilaian yang dimaksud.

3)     Tujuan wawancara

Tujuan utama dilakukannya wawancara adalah untuk menentukan tingkat kefasihan berbahasa
calon. Adapun tingkat-tingkat kelancaran atau kefasihan yang dimaksud dideskripsikan sebagai
berikut: a) Mampu memenuhi kebutuhan rutin untuk bepergian dan tata krama berbahasa secara
minimal; b) Mampu memenuhi kebutuhan rutin sosial untuk keperluan pekerjaan secara terbatas; c)
Mampu berbicara dengan ketepatan tata bahasa dan kosa kata untuk berperan serta dalam
umumnya percakapan formal dan nonformal dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan
profesional; d) Mampu memergunakan bahasa itu dengan fasih dan tepat dalam segala tingkat
sesuai dengan kebutuhan profesional; e) Mampu memergunakan bahasa itu dengan fasih sekali
(asing: setaraf dengan penutur asli terpelajar).

Komponen alat penilaian dan deskripsi kefasihan

Untuk menentukan tingkat kemampuan berbicara peserta uji yang sesuai dengan ke-4 (ke-5)
tingkatan di atas (dalam tabel konversi nanti akan terlihat bahwa kemungkinan  nilai tertinggi yang
dapat dicapai seorang calon adalah tingkatan ke-4 +), artinya, lebih dari 4 dan kurang dari 5.
Dipergunakan alat penilaian yang terdiri dari komponen-komponen tekanan, tata bahasa, kosakata,
kefasihan, dan pemahaman. Penilaian tiap komponen tersebut disusun secara berkala: 1-6, skor 1
berarti sangat kurang, sedang skor 6 berarti sangat baik. Adapun deskripsi kefasihan untuk masing-
masing komponen tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, tekanan kendalanya yaitu: 1) Ucapan sering tidak dapat dipahami; 2) Sering terjadi
kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan pemahaman, menghendaki untuk selalu diulang;
3) Pengaruh ucapan asing (daerah) yang memaksa orang mendengarkan dengan teliti, salah ucap
yang menyebabkan kesalahpahaman; 4) Pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan
tidak menyebabkan kesalahpahaman; 5) Tidak terjadi salah ucapan yang mencolok, mendekati
ucapan standar; 6) Ucapan sudah standar (asing: sudah seperti penutur asli).

Kedua, dalam Tata bahasa kendala yang muncul diantaranya: 1) Penggunaan tata bahasa hampir
selalu tidak tepat; 2) Adanya kesalahan dalam penggunaan pola-pola pokok secara tetap yang selalu
mengganggu komunikasi; 3) Sering terjadi kesalahan dalam pola tertentu karena kurang cermat yang
dapat mengganggu komunikasi; 4) Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penggunaan pola
tertentu, tetapi tidak mengganggu komunikasi; 5) Sedikit terjadi kesalahan, tetapi bukan pada
penggunaan pola; 6) Tidak lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan wawancara.

Ketiga, dalam menggunakan kosa kata sering terjadi kesalahan, diantaranya: 1) Penggunaan


kosakata tidak tepat dalam percakapan yang paling sederhana sekalipun; 2) Penguasaan kosakata
sangat terbatas pada keperluan dasar personal (waktu, makanan, transportasi, keluarga); 3)
Pemilihan kosakata sering terjadi tepat dan keterbatasan penguasaannya menghambat kelancaran
komunikasi dalam masalah sosial dan profesional; 4) Pengguaan kosakata teknik tepat dalam
pembicaraan tentang masalah tertentu, tetapi penggunaan kosakata umum bersifat berlebihan; 5)
Penggunaan kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum pun tepat sesuai dengan situasi
sosial; 6) Penggunaan kosakata teknis dan umum luas dan tepat sekali (asing: seperti penutur asli
yang terpelajar).

Keempat, kelancaran dalam berbicara memiliki beberapa kendalah, yaitu: 1) Pembicaraan selalu
terhenti dan terputus-putus sehingga wawancara macet; 2) Pembicaraan sangat lambat dan tidak
ajek kecuali untuk kalimat-kalimat pendek dan telah rutin; 3) Pembicaraan sering tampak ragu,
kalimat tidak lengkap; 4) Pembicaraan kadang-kadang masih ragu, pengelompokkan kata kadang-
kadang juga tidak tepat; 5) Pembicaraan lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang ajek; 6)
Pembicaraan dalam segala hal lancar dan halus (asing: seperti penutur asli yang terpelajar).

Kelima, pemahaman dalam berbicara sering mengalami kenadala, yaitu: 1) Memahami sedikit isi
percakapan yang paling sederhana; 2) Memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu
penjelasan dan pengulangan; 3) Memahami dengan baik percakapan sederhana, dalam hal tertentu
masih perlu penjelasan dan pengulangan; 4) Memahami agak baik percakapan normal, kadang-
kadang pengulangan dan penjelasan; 5) Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal,
kecuali yang bersifat koloqial; 7) Memahami segala sesuatu dalam pembicaraan formal dan koloqial
(asing: seperti penutur asli).

Penyekoran dan penafsiran hasil wawancara

Pemberian skor kepada masing-masing peserta uji  yang diwawancarai dilakukan dengan


memergunakan tabel pembobotan, seperti yang ditunjukkan di bawah. Angka-angka dalam tabel
yang dimaksud hendaknya dilihat secara horisontal. Angka 1 sampai 6 pada larik paling atas adalah
skala tingkatan kemampuan atau deskripsi  kefasihan seperti yang dikemukakan di atas.

Tabel 6: Pembobotan Penilaian Wawancara

Deskripsi
1 2 3 4 5 6 Jumlah
kefasihan

Tekanan 0 1 2 2 3 4

Tata bahasa 6 12 18 24 30 36

Kosakata 4 8 12 16 20 24

Kelancaran 2 4 6 8 10 12

Pemahaman 4 8 12 15 19 23
Jumlah skor

Sebagai contoh penggunaan tabel pembobotan di atas, berikut dicontohkan penyekoran hasil
wawancara terhadap peserta (Tono dan Tini).

Tono : tekanan mendapat (deskripsi kefasihan): 5 (skor:3), tata bahasa: 5 (skor 30), kosakata: 5
(skor:20), kelancaran: 5 (skor:10), dan pemahaman: 6 (skor:23). Jumlah skor : 3+30+20+10+23=86.

Tini : tekanan mendapat 4 (skor : 2), tata bahasa: 4 (skor : 24), kosakata : 4 (skor : 16), kelancaran: 4
(skor : 8), dan pemahaman: 5 (skor : 19). Jumlah skor : 2+24+16+8+19=69.

Penafsiran terhadap jumlah skor di atas dilakukan dengan memergunakan (mencocokkan) tabel
konversi sebaga berikut.

Tabel 7.  Konvensi Tingkat Kefasihan

Rentangan Tingkat
skor kefasihan

16 – 25 0+*)

26 – 32 1

33 – 42 1+

43 – 52 2

53 – 62 2+

63 – 72 3

73 – 82 3+

83 – 92 4

93 – 99 4+

Sumber: Oller, 1979 : 323; Vallete : 1977 : 160.

Keterangan :

*)         tanda + (ples) menunjukkan pada posisi (tingkatan) pertengahan di antara dua tingkatan,
misalnya posisi antara 0 dan 1, antara 1 dan 2, dan seterusnya.

·                Skor hasil wawancara Tono adalah 86, dan berdasarkan tabel konversi di atas ia berada
pada tingkat kefasihan 4 (dalam skala interval 83 – 92). Hal itu berarti bahwa Tono memunyai
tingkatan kefasihan yang dideskripsikan sebagai: “mampu memergunakan bahasa itu dengan fasih
dan tepat dalam segala tingkat sesuai dengan kebutuhan profesional”.

·                Skor Tini adalah 69 yang berdasarkan tabel konversi ia berada pada tingkat kefasihan 3
(skala 63 – 72). Artinya, Tini memunyai tingkat kefasihan berbicara yang dideskripsikan sebagai:
“mampu berbicara dengan ketepatan tata bahasa dan kosakata untuk berperan serta dalam
umumnya percakapan formal dan nonformal dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan
profesional”. 

Berdiskusi dan Berdebat

Tugas berbicara yang dimasukkan dalam bagian ini adalah berdiskusi, berdebat, berdialog, dan
berseminar. Berdiskusi, berdebat, dan berdialog merupakan tugas-tugas berbicara yang paling tidak
melibatkan dua orang pembicara. Bahkan, dalam berseminar lazimnya diikuti banyak peserta walau
belum tentu semuanya mau dan dapat berbicara. Situasi pembicaraan dalam kegiatan berdiskusi,
berdebat, dan berdialog dapat formal, setengah formal atau nonformal, sedang dalam berseminar
mesti formal. Dalam penulisan ini berbagai tugas berbicara tersebut diandalkan berlangsung dalam
situasi formal, maka bahasa yang dipergunakan juga karena harus formal.

Berbagai tugas berbicara tersebut baik dilakukan para peserta didik di sekolah dan terlebih lagi para
mahasiswa untuk melatih kemampuan dan keberanian berbicara. Selain itu, tugas-tugas tersebut
juga baik dan strategis sebagai latihan beradu argumentasi. Dalam aktivitas itu, peserta didik berlatih
untuk mengungkapkan gagasan, menanggapi gagasan-gagasan kawannya secara kritis serta
mempertahankan gagasan sendiri dengan argumentasi secara logis dan dapat dipertaggung
jawabkan. Untuk maksud itu semua, sudah tentu kemampuan dan kefasihan berbicara dalam bahasa
yang bersangkutan sangat menentukan.

Untuk menilai capaian pembelajaran peserta didik dalam tugas-tugas tersebut kita sebaiknya
memergunakan rubrik yang sengaja disiapkan untuk maksud itu. Aspek yang dinilai harus juga
mencakup komponen kebahasaan dan gagasan yang diungkapkan masing-masing dengan
subkomponennya. Rubrik penilaian yang dipergunakan untuk penilaian wawancara di atas
tampaknya juga dapat diterapkan pada tugas ini.

Tabel 8. Contoh Rubrik Penilaian Berdiskusi dan Berdebat

Tingkat  Capaian
No. Aspek yang Dinilai Kinerja

1 2 3 4 5

1 Keakuratan dan
keaslian gagasan

2 Kemampuan
berargumentasi

3 Keruntutan
penyampaian
gagasan

4 Pemahaman

5 Ketepatan kata

6 Ketepatan kalimat

7 Ketepatan stile
penuturan
8 Kelancaran

Jumlah skor

Berpidato

Dilihat dari segi kebebasan peserta didik memilih bahasa untuk mengungkapkan gagasan, berpidato
memunyai persamaan dengan tugas bercerita. Untuk melatih kemampuan peserta didik
mengungkapkan bahasan dalam bahasa yang tepat dan cermat, tugas berpidato baik untuk diajarkan
dan diujikan di sekolah. Ujian berbahasa lisan dengan tugas berpidato pun tinggi kadar
keotentikannya.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran (dan tes) bahasa di sekolah, tugas berpidato dapat berwujud
permainan simulasi. Misalnya, peserta didik bersimulasi sebagai kepala sekolah berpidato dalam
upacara bendera, menyambut tahun baru, hari sumpah pemuda, dan sebagainya. Kompetensi
berbahasa lisan yang berupa aktivitas berpidato cukup populer di sekolah dan perguruan tinggi,
terbukti dengan seringnya diselenggarakannya lomba berpidato antarpeserta didik atau mahasiswa.

Ada beberapa cara untuk menilai tugas berpidato. Cara pertama adalah mengembangkan alat
evaluasi sendiri dengan membuat rubrik penilaian, sedang yang kedua kita dapat mengadopsi model
yang dikembangkan orang. Rubrik untuk menilai kemampuan berpidato tampaknya tidak berbeda
dengan rubrik penilaian tugas bercerita dan wawancara. Rubrik penilaian yang dimaksdukan
dicontohkan di bawah.

Tabel 9. Contoh Rubrik Penilaian Tugas Berpidato

Tingkat  Capaian
No Aspek yang Dinilai Kinerja

1 2 3 4 5

1 Keakuratan dan
keluasan gagasan

2 Ketepatan
argumentasi

3 Keruntutan
penyampaian
gagasan

4 Ketepatan kata

5 Ketepatan kalimat

6 Ketepatan stile
penuturan

7 Kelancaran dan
kewajaran

8 Kebermaknaan
penuturan
Jumlah skor

Rubrik lain yang telah dikembangkan orang misalnya yang dibuat Jakobovits dan Gordon yang
mengembangkan teknik penilaian untuk tugas-tugas laporan lisan yang di sini  dikembangkan untuk
tugas bercerita dan berpidato berhubung ada persamaan sifat dengan skala 0 sampai dengan 10.
Aspek-aspek yang dinilai mencakup berbagai  komponen, tetapi justru tidak mencakup unsur kosa
kata dan struktur kalimat (kebahasaan). Hal itu disebabkan mereka, juga Valette lebih menekankan
komponen isi gagasan daripada kebahasaan. Contoh yang ditunjukkan di bawah adalah model yang
telah dimodifikasi dari Jakobovits dan Gordon, beberapa aspek sengaja dihilangkan dan ditambah
dengan aspek kebahasaan, termasuk penyekoran yang mulai dengan angka 1.

Tabel 10. Penilaian Tugas Berpidato Model Jakobovits dan Gordon

Tingkat
No Aspek yang Dinilai
Capaian

1 Keakuratan informasi 1 2 3 4 5 6
(sangat buruk – 7 8 9 10
akurat sepenuhnya)

2 Hubungan 123456
antarinformasi 7 8 9 10
(sangat sedikit –
berhubungan
sepenuhnya)

3 Ketepatan struktur 1 2 3 4 5 6
(tidak tepat – tepat 7 8 9 10
sekali)

4 Ketepatan kosakata 1 2 3 4 5 6
(tidak tepat – tepat 7 8 9 10
sekali)

5 Kelancaran (terbata- 1 2 3 4 5 6
bata – lancar sekali) 7 8 9 10

6 Kewajaran urutan 1 2 3 4 5 6
wacana (tidak normal 7 8 9 10 Kesimpulan
- normal)
Berbicara diartikan ungkapan pikiran dan perasaan
7 Gaya pengucapan 1 2 3 4 5 6 seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa.
(kaku - wajar) 7 8 9 10 Kemampuan berbicara adalah kemampuan
mengucapkan kata-kata untuk mengespresikan pikiran,
Jumlah skor gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima pesan
atau informasi melaui rangkaian nada, tekanan dan
penjedaan.

Berbicara merupakan sarana kita berkomunikasi satu sama lain. Fungsi bahasa antara lain, antara
lain: Bahasa sebagai sarana komunikasi, Bahasa sebagai sarana kontrol sosial, Bahasa sebagai sarana
memahami diri, Bahasa sebagai sarana ekspresi diri, dan Bahasa sebagai sarana memahami orang
lain

Adapun tahap perkembangan bicara pada anak usia dini ialah tahap penamaan, Tahap Telegrafis,
dan tahap Transformasional. Dan hubungan aspek keterampilan berbicara dengan 3 aspek
keterampilan lainnya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

Faktor  penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut. Faktor kebahasaan meliputi : ketepatan
ucapan, penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, pilihan kata, ketepatan
penggunaan kalimat serta  tata bahasanya, ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan  faktor
nonkebahasaan, meliputi sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku, pendangan harus diarahkan ke
lawan bicara, kesediaan menghargai orang lain, gerak-gerik dan mimik yang tepat, kenyaringan
suara, kelancaran, relevansi, penalaran, penguasaan topik. Tiga faktor penyebab gangguan  dalam
kegiatan berbicara, yaitu: Faktor fisik, Faktor media, Faktor psikologis.

Salah satu bentuk kemampuan berbicara adalah percakapan. Dalam pembalajaran, percakapan ini
sebenarnya dapat menggunakan teknik percakapan terbimbing dan bebas. Metode pembelajaran
berbicara yang baik selalu memenuhi kriteria. Berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh metode
berbicara antara lain: Relevan dengan tujuan, Memudahkan siswa untuk memahami materi
pembelajaran, Mengembangkan butir-butir keterampilan proses, Dapat mewujudkan pengalaman
belajar yang telah dirancang, Merancang siswa untuk bisa belajar, Mengembangkan penampilan
siswa, Tidak menuntut peralatan yang rumit, Mengembangkan kreatifitas siswa, Mudah
melaksanakan, Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.

[1]Haryadi.  Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. (Depdikbud Dirjen Dikti bagian Proyek


Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. 1997), h: 95.

[2]Burhan Nurgiyantoro, Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi (Yogyakarta : Anggota


Ikapi, 2013), h. 399

[3] Ibid, h. 400

[4] Ibid, h. 401

https://azmi648.blogspot.com/2016/02/penilaian-keterampilan-berbicara.html
PEMBELAJARAN BERBICARA DAN PENILAIANNYA

 PEMBELAJARAN BERBICARA DAN PENILAIANNYA

1.    Pembelajaran Berbicara
 Pengertian Berbicara seperti telah kita ketahui bahwa dalam kegiatan menyimak aktivitas
kita awali dengan mendengarkan dan diakhiri dengan memahami atau menanggapi. Kegiatan
berbicara tidak demikian. Kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki
pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat
menerima atau memahami isi pesan itu.
Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama
dengan manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa
menyampaikan isi pikiran dan perasaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan
serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.
Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu
bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan
pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan
disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa
proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara. Dengan rumusan lain
dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui
bahasa lisan.
Anda sudah tidak asing lagi mendengar atau membaca istilah “berbicara” dan bahkan
Anda setiap saat melakukan bicara. Nina dikatakan “berbicara” ketika
ia mengucapkan salam kepada ibunya. “Assalamualaikum.” Ibu Rita dikatakan“berbicara”
ketika membicarakan kenaikan harga minyak tanah dalam pengajian. Ketua RT (Rukun
Tetangga) dikatakan “berbicara” ketika mengajak warganya untuk bekerja bakti
membersihkan jalan dan selokan air dalam rangka menyambut hari ulang tahun kemerdekaan
Republik Indnesia. Dian dikatakan “berbicara” ketika ia bertanya kepada gurunya tentang
pelajaran yang ia belum ketahui. Anda dikatakan “berbicara” ketika Anda menjelaskan atau
menjawab pertanyaan siswa Anda.
Lalu, apakah berbicara itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton
M. Moeliono, dkk., 1998:114) dinyatakan bahwa berbicara adalah berkata; bercakap;
berbahasa; melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan dan sebagainya atau berunding.
Guntur Tarigan (1983 :15) berpendapat bahwa “ berbicara adalah
kemampuanmengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan ,menyatakan serta menyampaikan pikiran , gagasan, dan
perasaan”.Sedangkan sebagai bentuk atau wujudnya berbicara disebut sebagai suatu  alat
untuk mengomunikasikan gagasan yang disusun dan dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Pembelajaran Berbicara.
Jadi, pada hakikatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan
seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan
mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan,
dan perasaan. Pendengar menerima pesan atau informasi melalui rangkaian nada, tekanan,
dan penempatan persendian. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara itu
dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.
Kemampuan berbicara merupakan tuntutan utama yang harus dikuasai oleh seorang
guru. Jika seorang guru menuntut siswanya dapat berbicara dengan
baik, maka guru harus memberi contoh berbicara yang baik hal ini menunjukkan bahwa di
samping menguasai teori berbicara juga terampil berbicara dalam kehidupan nyata. Guru
yang baik harus dapat mengekspresikan pengetahuan yang dikuasainya secara lisan.
 
2.    Kriteria Penilaian Pembelajaran Berbicara

Ada dua jenis penilaian yang digunakan dalam pembelajaran berbicara,


yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dilakukan selama kegiatan
pembelajaran berlangsung untuk menilai sikap siswa dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran. Penilaian hasil dilakukan berdasarkan unjuk kerja yang
dilakukan siswa ketika menyajikan kompetensi berbicara yang dituntut kurikulum atau
mempresentasikan secara individual.
Dalam penilaian proses digunakan lembar penilaian sikap (afektif) yang terdiri dari
aspek: (1) kedisiplinan; (2) minat; (3) kerja sama; (4) keaktifan; dan (5) tanggung jawab.
Dalam penilaian hasil digunakan rubrik penilaian untuk mengetahui kompetensi siswa dalam
berbicara, misalnya menanggapi pembacaan puisi. Ada beberapa aspek yang dinilai, yaitu (1)
kelancaran menyampaikan pendapat/tanggapan; (2) kejelasan vokal; (3) ketepatan intonasi;
(4) ketepatan pilihan kata (diksi); (5) struktur kalimat (tuturan); (6) kontak mata dengan
pendengar; (7) ketepatan mengungkapkan gagasan disertai data tekstual.
Penilaian kompetensi berbicara yang dilakukan dengan unjuk kerja/performance yang
utama perlu diukur adalah yang berkaitan dengan penggunaan bahasa seperti penguasaan
lafal, struktur, dan kekayaan kosa kata. Selain itu, juga penguasaan masalah yang menjadi
bahan pembicaraan, bagaimana siswa memahami topik yang dibicarakan dan
mampu mengungkapkan gagasan di dalamnya, serta kemampuan memahami bahasa lawan
bicara ( Burhan Nurgiyantoro, 2001:276).
Penilaian kemampuan berbicara haruslah membiasakan peserta didik
untuk menghasilkan bahasa dan mengemukakan gagasan melalui bahasa yang
sedang dipelajarinya. Dengan kata lain, penilaian berbicara harus dilakukan dengan praktik
berbicara. Jadi, bentuk penilaian pembelajaran  berbicaraseharusnya memungkinkan siswa
untuk tidak saja mengucapkan kemampuan berbahasanya, melainkan juga mengungkapkan
gagasan, pikiran, dan
perasaannya sehingga penilaian ini bersifat fungsional (Burhan Nurgiyantoro,2001:278).
Berikut contoh model penilaian berbicara:
1. Pembicaraan berdasarkan gambar
a. Pemberian pertanyaan
b. Bercerita (menceritakan gambar)
2. Wawancara
3. Bercerita
4. Berpidato
5. Diskusi
6. Bermain peran
Dalam menggunakan bentuk-bentuk penilaian di atas, pelaksanaannya tetap harus
fokus pada aspek kognitif . Meskipun aspek psikomotor yang berupa
gerakan mulut, ekspresi mata, dan gesture lain juga harus dinilai, 6 tingkatan aspek kognitif
Bloom yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan  berpikir tetap harus menjadi
fokus utama karena berkaitan dengan kemampuan
menuangkan gagasan (Ibid, 2001:291-292). Keenam tingkatan berpikir ( C1 –
C6) dari yang paling rendah hingga paling tinggi (mengingat, memahami, menerapkan,
menganalisis, mensintesiskan, dan mengevaluasi) harus dinilai dengan menggunakan rubrik
dan penyekoran yang tepat sehingga tidak ada siswa yang dirugikan karena kompetensi setiap
siswa terukur dengan alat ukur yang akurat.
Berbicara sebenarnya merupakan kegiatan kompleks yang melibatkan beberapa
faktor. Yaitu kesiapan belajar, kegiatan berpikir, kesiapan mempraktikkan, motivasi, dan
bimbingan. Apabila salah satu faktor tidak dikuasai dengan baik, akan terjadi kelambatan
pada penguasaan bahan pembicaraan dan mutu bicara akan menurun (Mackey dalam Hastuti,
dkk.,1985:6). Semakin tinggi seseorang menguasai kelima unsur itu, semakin baik pula
penampilan dan penguasan bicaranya.
Salah satu model yang digunakan dalam penilaian berbicara (khususnya
dalam berpidato dan bercerita) adalah sebagai berikut; skala penilaian yang digunakan adalah
0—10 (Nurgiyanto, 1980:265).
(a) keakuratan informasi
(b) hubungan antarinformasi
(c) ketepatan struktur dan kosakata
(d) kelancaran
(e) kewajaran
(f) gaya pengucapan.
Untuk masing-masing butir penilaian tidak harus selalu sama bobotnya, bergantung
pada apa yang menjadi fokus penilaian pada saat itu. Yang penting, jumlah semua bobot
penilaian 10 atau 100 sehingga mempermudah mendapatkan nilai akhir, yaitu (jumlah nilai x
bobot):10 atau 100.
Misalnya:
Butir 1, keakuratan informasi berbobot 20,
Butir 2, hubungan antarinformasi berbobot 15,
Butir 3, ketepatan struktur berbobot 20,
Butir 4, kelancaran berbobot 15,
Butir 5, kewajaran urutan wacana berbobot 15,
Butir 6, gaya pengucapan berbobot 15.
Selain itu, alat penilaian dalam berbicara (khususnya wawancara) dapat
berwujud penilaian yang terdiri atas komponen tekanan, tata bahasa, kosakata,
kefasihan, dan pemahaman. Penilaian ini disusun dengan skala: 1 - 6. 1 berarti
sangat kurang dan 6 berarti sangat baik. Berikut ini adalah deskripsi
masingmasing komponen.
a) Tekanan
1. ucapan sering tidak dapat dipahami.
2. sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan pemahaman,
menghendaki untuk selalu diulang.
3. pengaruh ucapan asing (daerah) yang mengganggu dan menimbulkan salah
ucap yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
4. pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan yang
tidak menyebabkan kesalahpahaman.
5. tidak ada salah ucapan yang mencolok, mendekati ucapan standar.
6. ucapan sudah standar.

b) Tata bahasa
1. penggunaan bahasa hamper selalu tidak tepat.
2. ada kesalahan dalam penggunaan pola-pola secara tetap yang
selalu mengganggu komunikasi.
3. sering terjadi dalam pola tertentu karena kurang cermat yang
dapat mengganggu komunikasi.
4. kadang-kadang terjadi kesalahan dalam pengunaan pola tertentu, tetapi tidak
mengganggu komunikasi.
5. sering terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola.
6. tidak lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan berwawancara.

c) Kosakata
1. pengunaan kosakata tidak tepat dalam percakapan yang sederhana sekalipun.
2. penguasaan kosakata sangat terbatas pada keperluan dasar personal.
3. pemilihan kosakata sering tidak tepat dan keterbatasan
penggunannya menghambat kelancaran komunikasi dalam sosial dan profesional.
4. penggunaan kosakata teknis tepat dalam pembicaraan tentang tertentu, tetapi
penggunan kosakata umum secara berlebihan.
5. penggunaan kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum
tepat digunakan sesuai dengan situasi sosial.
6. penggunaan kosakata teknis dan umum luas dan tepat.

d. Kelancaran
1. pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus.
2. pembicaraan sangat lambat dan tidak ajeg kecuali untuk kalimat pendek.
3. pembicaraan sering ragu, kalimat tidak lengka.
4. pembicaraan lancar dan luas tetapi sekali-sekali kurang.
5. pembicaraan dalam segala hal lancar.

e) Pemahaman
1. memahami sedikit isi percakapan yang paling sederhana.
2. memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan
dan Pengulangan.
3. memahami percakapan sederhana dengan baik, kadang-kadang masih perlu
penjelasan ulang.
4. memahami percakapan normal dengan baik, kadang-kadang masih
perlu penjelasan dan pengulangan.
5. memahami segala sesuatu dalam percakapan normal kecuali bersifat kolokial.
6. memahami segala sesuatu dalam percakapan normal.

3. Penilaian Pembelajaran Berbicara


3.1 Penentuan Penilaian
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator.
Di dalam kegiatan penilaian ini terdapat dua komponen penting, yang meliputi: (a) teknik
penilaian, dan (b)bentuk instrumen.
3.1.1 Teknik Penilaian
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan
menafsirkan proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan
keputusan untuk menentukan tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi yang telah
ditentukan. Adapun yang dimaksud dengan teknik penilaian adalah cara-cara yang ditempuh
untuk memperoleh informasi mengenai proses dan produk yang dihasilkan pembelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik. Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam
rangka penilaian ini, yang secara garis besar dapat dikategorikan sebagai teknik tes dan
teknik nontes.
Teknik tes merupakan cara untuk memperoleh informasi melalui pertanyaan yang
memerlukan jawaban betul atau salah, sedangkan teknik nontes adalah suatu cara untuk
memperoleh informasi melalui pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban betul atau salah.
Dalam melaksanakan penilaian perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut ini.
1.      Pemilihan jenis penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan dinilai sehingga
memudahkan dalam penyusunan soal.
2.      Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator.
3.      Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta
didik setelah siswa mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi
seseorang terhadap kelompoknya.
4.      Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam
arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi
dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan siswa.
5.      Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa program remedi.
Apabila siswa belum menguasai suatu kompetensi dasar, ia harus mengikuti proses
pembelajaran lagi, sedang bila telah menguasai kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan.
6.      Peserta didik yang telah menguasai semua atau hampir semua kompetensi dasar dapat diberi
tugas untuk mempelajari kompetensi dasar berikutnya.
7.      Dalam sistem penilaian berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi penilaian dan rancangan
penilaian secara menyeluruh untuk satu semester dengan menggunakan teknik penilaian yang
tepat.
8.      Penilaian dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai aspek pembelajaran: kognitif, afektif
dan psikomotor dengan menggunakan berbagai model penilaian,baik formal maupun
nonformal secara berkesinambungan.
9.      Penilaian merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi tentang hasil
belajar siswa dengan menerapkan prinsip berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat, dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik.
10.  Penilaian merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang
dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai
disertai dengan peta kemajuan hasil belajar siswa.
11.  Penilaian berorientasi pada Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikator. Dengan
demikian, hasilnya akan memberikan gambaran mengenai perkembangan pencapaian
kompetensi.
12.  Penilaian dilakukan secara berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan terus menerus) guna
mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan penguasaan kompetensi siswa,
baik sebagai efek langsung (main effect) maupun efek pengiring (nurturant effect) dari
proses pembelajaran.
13.  Sistem penilaian harus disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang ditempuh dalam
proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi
lapangan, penilaian harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya
teknik wawancara, maupun produk/hasil dengan melakukan observasi lapangan yang berupa
informasi yang dibutuhkan.
3.1.2        Bentuk Instrumen
Bentuk instrumen yang dipilih harus sesuai dengan teknik penilaiannya. Oleh karena
itu, bentuk instrumen yang dikembangkan dapat berupa bentuk instrumen yang tergolong
teknik:
1. Tes tulis, dapat berupa tes esai/uraian, pilihan ganda, isian, menjodohkan
2. dan sebagainya.
3. Tes lisan, yaitu berbentuk daftar pertanyaan.
4. Observasi yaitu dengan menggunakan lembar observasi.
5. Tes Praktik/ Kinerja berupa tes tulis keterampilan, tes identifikasi,
tes simulasi, dan uji petik kerja.           
6. Penugasan individu atau kelompok, seperti tugas proyek atau tugas rumah.
7. Portofolio dengan menggunakan dokumen pekerjaan, karya, dan atau prestasi
siswa.
8.      Penilaian diri dengan menggunakan lembar penilaian diri.
Sesudah penentuan instrumen tes telah dipandang tepat, selanjutnya instrumen tes itu
dituliskan di dalam kolom matriks silabus yang tersedia. Berikut ini disajikan ragam teknik
penilaian beserta bentuk instrumen yang dapat digunakan.

Teknik Penilaian Bentuk Instrumen


• Tes tertulis • Tes pilihan: pilihan ganda, benar-salah,
   menjodohkan dll.
• Tes isian: isian singkat dan uraian
• Tes lisan • Daftar pertanyaan
• Observasi (pengamatan) • Lembar observasi (lembar pengamatan)
• Tes praktik (teskinerja) • Tes tulis keterampilan
• Tes identifikasi
• Tes simulasi
• Tes uji petik kerja
• Penugasan individual atau kelompok • Pekerjaan rumah
• Proyek
• Penilaian portofolio • Lembar penilaian portofolio
• Jurnal • Buku cacatan jurnal
• Penilaian diri Penilaian antarteman • Kuesioner/lembar penilaian diri
  Lembar penilaian antarteman

https://lobikampus.blogspot.com/2016/06/pembelajaran-berbicara-dan-penilaiannya.html

Anda mungkin juga menyukai