Kusherdiyanti Haeri
Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Kusherdiyanti@gmail.com
Abstrak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi lisan manusia yang sangat penting dan
lisan merupakan media utama, demikian halnya dengan bahasa Inggris. Bahasa
Inggris dijadikan sebagai bahasa kedua baik dalam proses kegiatan formal maupun
nonformal. Penggunaan bahasa asing sebagai alat komunikasi lisan sering dijumpai
dalam komunikasi sehari-hari. Jack C. Richard (2002:201) menyatakan bahwa
presentasi terbesar bagi siswa yang belajar bahasa di dunia, mereka belajar bahasa
Inggris adalah untuk mengembangkan kecakapan berbicaranya. Oleh karena itu,
berbicara tidak cukup mengandalkan kemampuan penguasaan kosa kata, tetapi juga
harus memiliki pengetahuan gramatika yang memadai. Speaking activity dapat
diartikan sebagai kegiatan berbicara, dimana kegiatan berbicara yang dimaksud
adalah berbicara dengan bahasa inggris.
Jika dilihat dari asal katanya, kata “speaking” berasal dari kata speak yaitu
“speak is to express opinions; to say; to converse”. Jadi speak disini adalah cara
mengeluarkan atau mengekspresikan pendapat, perkataan yang kita ingin utarakan.
Itulah pengertian speaking secara sederhana dan asal kata dari speaking. Tetapi
dalam arti luas speaking memiliki cangkupan yang cukup besar dalam kehidupan
kita. Seharinya banyak orang di dunia ini yang mengeluarkan pendapatnya sehingga
kita dapat menyimak, menyimpulkan dan juga mengambil sikap dari apa yang
merekautarakan.
Ketika individu berbicara maka akan menghasilkan suatu vokal yang terdiri
dari suara-suara. Terdapat beberapa sistem utama ketika individu berbicara dan
menghasilkan suara, yaitu vokal, larynk, subglottal system, dimana terdiri dari
paru-paru dan gabungan beberapa otot untuk pernapasan dan pelepasan udara dan
tenggorokan. Subglottal system terdiri dari udara yang dibutuhkan untuk berbicara
dimana dihasilkan ketika pernapasan keluar. Dan dari sini pula dapat diambil
pengertian bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan individu untuk
menghasilkan suara, dimana untuk menghasilkan suara ini dibutuhkan beberapa
sistem utama yang terdiri dari vokal, larynk, paru - paru gabungan beberapa otot
untuk pernapasan dan pelepasan udara dan tenggorokan.
Melalui aktivitas speaking atau berbicara kita bisa melakukan interaksi
dengan masyarakat dunia luas. Dalam speaking kita seolah-olah melakukan
penerjemahan dalam melakukannya yang secara tidak langsung membuat otak kita
bekerja dua kali. Hal ini dapat digambarkan seperti ketika anak diberikan
pertanyaan lalu anda mempersiapkannya terlebih dahulu dalam tahap persiapannya
dalam brntuk bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu memindahkannya atau
mentranslatenya kedalam bahasa inggris yang tentu dalam pola yang benar, dengan
demikian otak kita akan bekerja dua kali. Tetapi berbeda bila kita langsung
memikirkan kalimat dalam bahasa inggris.
Mungkin anak akan mengalami kesulitan dalam hal ini, karena dalam
halspeaking atau berbicara anak harus terampil dalam menggunakan kosakata dan
tata cara menggunakannya. Kesulitan speaking biasanya disebabkan:
a. Sulit mengungkapkan ide secara lisan (speaking).
b.Terbatasnya kosakata (vocabulary).
c.Terbatasnya kemampuan tata bahasa (grammar). Sehingga sulit berbicara
dengan aturan yang benar.
d.Terbatasnya melafalkan kata-kata (pronounciation). Sehingga sulit
mengucapkan kata yang diucapkannya dengan benar.
e. Kurangnya keberanian untuk berbicara karena takut salah
Selian itu, ada faktor yang dapat dijadikan dalam aspek kebahasan, yaitu :
a. Ketepatan ucapan (pelafalan).
b. Penekanan atau penempatan nada dan durasi yang sesuai.
c. Pemilihan kata.
d. Ketepatan sasaran pembicaraan.
Namun jika melihat dari unsur kebiasaan, setelah di amati ternyata banyak
orang yang bisa atau lancar dalam berbahasa inggris yang dikarenakan sudah
terbiasa. Dan semakin memperkuat anggapan dari para ahli bahwa “practice make
it perfect” atau bisa karena terbiasa. Bagi siswa yang memiliki motivasi tinggi,
biasanya mereka ingin hasil cepat dan bahkan setelah pelajaran pertama, siswa
memiliki ingin menunjukkan pada temannya atau anggota keluarga mereka bahwa
mereka dapat berbicara bahasa Inggris. Sehingga mereka perlu diberi kesempatan
untuk berbicara bahasa Inggris secepat dan sebanyak mungkin. Selain itu aspek
aspek dalam berbicara menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan untuk
mengamati dan mengembangkan keterampilan seseorang dalam berbicara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja aspek-aspek dalam kegiatan berbicara (speaking)?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui aspek-aspek dalam kegiatan berbicara (speaking)?
D. Manfaat Penulisan
a. Dapat menambah referensi guru/pendidik atau calon pendidik dalam
pembelajaran berbicara (speaking)?.
b. Diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengajar yang berkaitan dengan proses
pembelajaran.
c. Dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Sementara Brown dan Yule dalam Nunan (1989: 26) berpendapat bahwa
berbicara adalah menggunakan bahasa lisan yang terdiri dari ucapan yang pendek,
tidak utuh atau terpisah-pisah dalam lingkup pengucapan. Pengucapan tersebut
sangat erat berhubungan dengan hubungan timbal balik yang dilakukan antara
pembicara satu dengan pendengar.
a. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah
library research, yang bersifat deskriptif dengan memaparkan dan mengkaji aspek-
aspek dalam berbicara. Data-data yang yang diperoleh dalam tulisan ini aberupa
data sekunder yang merupakan pengumpulan data dari berbagai literatur untuk
mendapat atau memperoleh dasar dan kerangka teoritis mengenai masalah yang
dibahas atau mencari informasi yang erat hubungannya dengan rumusan masalah.
Seperti data dari internet, jurnal, artikel, buku, dan lain-lain.
PEMBAHASAN
a. Penilaian Berbicara
Untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran, perlu dilakukan
asesmen atau penilaian. Dengan demikian ketercapaian tujuan dan hasilnya pun
dapat diketahuinya. Sudjana (2011: 3) menjelaskan bahwa, inti penilaian adalah
proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan
kriteria tertentu. Proses pemberian nilai tersebut berlangsung dalam bentuk
interpretasi yang diakhiri dengan judgment. Sukiman (2012: 4) juga
mengungkapkan bahwa, penilaian hasil belajar ujungnya adalah pada kegiatan
pengambilan keputusan tentang proses dan hasil belajar. Untuk mengambil
keputusan secara tepat tentang hasil belajar tersebut perlu didukung oleh data secara
akurat dan terpercaya. Data ini dikumpulkan dengan melalui kegiatan pengukuran
terhadap hasil belajar baik dengan menggunakan instrumen tes maupun non tes.
Hasil belajar adalah segala kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajar. Secara umum dalam sistem pendidikan nasional
diketahui tiga macam hasil belajar, yang merupakan klasifikasi hasil belajar
menurut Benyamin S. Bloom, yang meliputi ranah kognetif, ranah afektif, dan
ranah psikomotoris. Ranah kognetif berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan ranah psikomotoris berkenaan dengan
hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Oleh karena berbicara
merupakan tindakan atau ketrampilan berbahasa, maka objek penilaian hasil belajar
berbicara termasuk ke dalam ranah penilaian psikomotoris.
Menilai keterampilan berbicara peserta didik bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan. Lee (2009: 133) dalam Saddhono (2012: 59) mengungkapkan
bahwa, alat penilaian (tes) harus dapat menilai kemapuan mengkomunikasikan
gagasan yang tentu saja mencakup kemampuan menggunakan kata, kalimat dan
wacana, yang sekaligus mencakup kemampuan kognetif dan psikomotorik.
Kemampuan berbicara merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang cukup
kompleks, karena tidak hanya mencakup intonasi saja, tetapi juga berbagai unsur
berbahasa lainnya.
Menyangkut teknik penilaian berbicara, Lee (2009: 140-148) dalam
Saddhono (2012: 59) mengemukakan bahwa, beberapa teknik penilaian yang dapat
digunakan untuk mengukur ketrampilan berbicara. Teknik tersebut tersebut
diantaranya: (1) tes bercerita, dilakukan dengan cara meminta siswa untuk
mengungkapkan sesuatu (pengalaman atau topik tertentu). Bahan cerita akan
disesuaikan dengan perkembangan atau keadaan pembicara (siswa). Sasaran
utamanya berupa unsur linguistik (penggunaan bahasa dan cara bercerita), serta hal
yang diceritakan, ketepatan, kelancaran dan kejelasannya. (2) tes diskusi, dilakukan
dengan cara disajikan suatu topik dan pembicara diminta untuk mendiskusikannya.
Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan pembicara dalam
menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat, serta menanggapi ide dan
pikiran yang disampaikan oleh peserta yang lain secara kritis. Aspek-aspek yang
dinilai dalam tes diskusi dapat berupa ketepatan penggunaan struktur bahasa,
ketepatan penggunaan kosakata, kefasihan dan kelancaran menyampaikan gagasan
dan mempertahankannya, kekritisan menanggapi pikiran yang disampaikan oleh
peserta diskusi lainnya.
Berbicara merupakan suatu perbuatan atau ketrampilan berbahasa. Maka
ranah hasil belajarnya termasuk hasil belajar yang bersifat psikomotoris. Oleh
karena itu penilaiannya dilakukan dengan teknik tes perbuatan atau tes unjuk kerja
(performance test) atas perbuatan atau ketrampilan berbicara peserta didik.
Sukiman (2012: 149) mengungkapkan bahwa, penilaian unjuk kerja merupakan
penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam
melakukan sesuatu. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian
kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu seperti: praktik
di laboratorium, praktik sholat, praktik olahraga, presentasi, diskusi, bermain peran,
memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/deklamasi, dan lain-lain.
Alat penilaian tes penampilan atau perbuatan berupa skala penilaian (rating
scale) atau daftar cek (checklist). Keduanya dapat digunakan sebagai lembar
penilaian atau lembar observasi. Dalam hal ketrampilan berbicara lebih tepatnya
akan digunakan alat penilaian berupa skala penilaian. Sukiman (2012: 150)
menjelaskan bahwa, skala penilaian adalah alat penilaian yang menggunakan suatu
prosedur terstruktur untuk memperoleh informasi tentang sesuatu yang diobservasi.
Terstruktur maksudnya disusun dengan aturan-aturan tertentu dan secara sistematis.
Penilaian mengenai kemampuan kinerja dapat juga dilakukan dengan
menggunakan skala penilaian (rating scale). Walaupun cara ini serupa
dengan checklist, tapi skala penilaian memungkinkan penilai menilai kemampuan
peserta didik secara kontinum tidak lagi dengan model dikotomi. Dengan kata lain,
kedua cara ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan keterampilan atau
kemampuan kerja yang hendak diukur: checklist hanya memberikan dua katagori
penilaian, sedangkan skala penilaian memberikan lebih dari dua kategori
penilaian.Paling tidak ada tiga jenis skala penilaian, yaitu: (1) numerical rating
scale, (2) graphic rating scale, dan (3) descriptive rating scale. Selain itu, alat
penilaian dalam berbicara dapat berwujud penilaian yang terdiri atas komponen-
komponen tekanan, tata bahasa, kosakata, kefasihan, dan pemahaman. Penilaian ini
adalah deskripsi masing-masing komponen (Nurgiyantoro, 2005: 156).
a. Tekanan
1) Ucapan sering tak dapat dipahami.
2) Sering terjadi kesalahan besar dan aksen kuat yang menyulitkan
pemahaman, menghendaki untuk selalu diulang.
3) Pengaruh ucapan asing (daerah) yang mengganggu dan menimbulkan salah
ucap yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
4) Pengaruh ucapan asing (daerah) dan kesalahan ucapan yang tidak
menyebabkan kesalahpahaman.
5) Tidak ada salah ucap yang menolak, mendekati ucapan standar
6) Ucapan sudah standar.
b. Tata bahasa
1) Penggunaan tata bahasa hampir selalu tidak tepat.
2) Ada kesalahan dalam pemgunaan pola-pola pokok secara tetap yang selalu
mengganggu komunikasi.
3) Sering terjadi kesalahan dalam pola tertentu karena kurang cermat yang
dapat mengganggu komunikasi.
4) Kadang-kadang terjadi kesalahan dalam penggunaan pola tertentu, tetapi
tidak mengganggu komunikasi.
5) Sedikit terjadi kesalahan, tetapi bukan pada penggunaan pola.
6) Tidak lebih dari dua kesalahan selama berlangsungnya kegiatan
wawancara.
c. Kosakata
1) Penggunaan kosakata tidak tepat dalam percakapan yang paling sederhana
sekalipun.
2) Penguasaan kosakata sangat terbatas pada keperluan dasar personal (waktu,
makanan, transportasi, keluar).
3) Pemilihan kosakata sering tidak tepart dan keterbatasan penggunaannya
menghambat kelancaran komunikasi dalam masalah sosial dan profesional.
4) Penggnaan kosakata teknis tepat dalam pembicaraan tentang masalah
tertentu, tetapui penggunaan kosakata umum terasa berlebihan.
5) Penggunaan kosakata teknis lebih luas dan cermat, kosakata umum tepat
digunakan sesuai dengan situasi sosial.
6) Penggunaan kosakata teknis dan umum terkesan luas dan tepat sekali.
d. Kelancaran
1) Pembicaraan selalu berhenti dan terputus-putus.
2) Pembicaraan sangat lambat dan tidak ajeg kecuali untuk kalimat pendek
dan rutin.
3) Pembicaraan sering nampak ragu, kalimat tidak lengkap.
4) Pembicaraan kadang-kadang masih ragu, pengelompokan kata kadang-
kadang tidak tepat.
5) Pembicaraan lancar dan halus, tetapi sekali-kali masih kurang ajeg.
6) Pembicaraan dalam segala hal lancar dan halus.
e. Pemahaman
1) Memahami sedikit isi percakapan yang paling sederhana.
2) Memahami dengan lambat percakapan sederhana, perlu penjelasan dan
pengulangan.
3) Memahami percakapan sederhana dengan baik, dalam hal tertentu masih
perlu penjelasan dan pengulangan.
4) Memahami percakapan normal dengan lebih baik, kadang-kadang mesih
perlu pengulangan dan penjelasan.
5) Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal kecuali yang bersifat
koloqial.
6) Memahami segala sesuatu dalam percakapan normal dan koloqial
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai hal ihwal berbicara, maka
kriteria penilaian yang utama meliputi: komponen vokal atau suara, komponen
kebahasaan, komponen kelancaran, komponen ekspresi, dan komponen gerakan.
Dikatakan kriteria utama oleh karena hampir semua materi pembelajaran berbicara
akan menilai aspek tersebut. Dan oleh karena materi pembelajaran berbicara itu
banyak ragamnya, maka dalam penilaiannya dapat dimungkinkan adanya aspek
atau kriteria tambahan sesuai dengan karakteristik dari materi berbicara yang
dinilai.
Misalnya saja dalam materi pembelajaran berbicara bercerita, berdiskusi
dan berpidato. Dalam materi pembelajaran bercerita misalnya, sasaran penilaiannya
meliputi komponen: penggunaan bahasa (struktur kata, dan kalimat) vokal
(kejelasan, diksi, artikulasi, dan intonasi), gaya bercerita (gesture, movement,
ekpsresi dan penghayatan), ketepatan, kelancaran, dan isi cerita
b. Aspek keterampilan berbicara
Aspek keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek dari empat aspek
keterampilan berbahasa. Aspek keterampilan berbicara adalah keterampilan
berbahasa lisan, untuk mengungkapkan segala pikiran pembicara kepada lawan
bicaranya melalui lisan. Seperti yang diungkapkan Ratih (2002), “Speaking is the
form of oral language that is inevitably used to communicate ideas and
feelings”. Keterampilan berbicara merupakan bentuk bahasa lisan yang digunakan
untuk mengkomunikasikan ide dan perasaan. Berdasarkan Webster
Dictionary (Andi, 2007) ‘Speaking is to utter words, to express thought by words,
to utter speech, discourse, or narague, to talk, to make mention, to tell by writing,
to communicate ideas in any matter’. Dengan berbicara, kita dapat
menyampaikan informasi dan ide, serta membina hubungan kemasyarakatan
dengan mengkomunikasikan sesuatu dengan orang lain.
Aspek keterampilan berbicara ini sangat penting. Bahkan menurut Chaedar
(1993: 19), “Bagi para linguis bahasa itu ialah gejala ujaran yang terbentuk dari
bunyi-bunyi bahasa”. Ujaran di sini sama dengan berbicara. Adanya tulisan
hanyalah gambaran dari ujaran. Lanjutnya, “Kita bisa berbicara tanpa menulis, tapi
kita tidak bisa menulis tanpa berbicara (pada diri sendiri paling tidak)”. Pertama
kali bahasa muncul adalah dengan menggunakan lisan. Seorang siswa belum dapat
dikatakan menguasai bahasa Inggris kalau dia belum dapat menggunakan bahasa
Inggris untuk keperluan komunikasi. Hasil penelitian tentang pengajaran bahasa
asing di Belanda pada tahun 2002 (Asyroful, 2008: 10) menunjukkan bahwa dalam
pengajaran bahasa asing senantiasa menekankan pada kemampuan mendengar dan
berbicara untuk tingkat pemula, sedangkan kemampuan menyimak, berbicara,
membaca dan menulis secara integral diajarkan pada tingkat menengah dan tingkat
atas, hasil penelitian ini bermakna bahwa dalam pengajaran bahasa asing masing-
masing jenjang pendidikan memiliki penekanan yang berbeda-beda.
Fiona Lawtie (1995) juga memandang aspek keterampilan berbicara
merupakan komponen yang penting dalam bahasa Inggris, sebagaimana
dikemukakannya bahwa:
Oral communication is a vital component of the English language arts curriculum
and provides the base for growth in reading, writing, and listening abilities. Oracy
consists of both verbal and nonverbal communication. It is important that teachers
recognize that nonverbal communication is culture specific, and be aware of the
differences that may exist across cultures when students express themselves
nonverbally.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Andi Syakir (2009) bahwa “The success
of English learning is seen generally through the speaking ability”. Keberhasilan
belajar bahasa Inggris adalah dengan menguasai keterampilan berbicara.
Menurut Grugeon et al (Taylor and Francis, 2009) ‘All learning across the whole
curriculum, could be said to begin and end with speaking and listening. It would be
almost impossible to introduce any new topic or revise an old one without some
form of questioning or discussion by the teacher or children’. Pembelajaran bahasa
dimulai dan diakhiri dengan berbicara dan menyimak. Banyak pelajar bahasa
menganggap kemampuan berbicara sebagai ukuran untuk mengetahui suatu bahasa.
Pelajar ini mendefinisikan kefasihan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi
dengan orang lain, jauh lebih banyak daripada kemampuan untuk membaca,
menulis, atau memahami bahasa lisan. Mereka menganggap berbicara sebagai
keterampilan yang paling penting. Mereka bisa memperoleh dan menilai kemajuan
prestasi mereka dalam komunikasi lisan. Jadi kesimpulannya keterampilan
berbicara ini sangat penting dan dapat dijadikan tolak ukur berhasil tidaknya
pembelajar bahasa menguasai bahasa yang dipelajarinya dalam hal ini bahasa
Inggris.
Selain itu, pada aspek keterampilan berbicara terdapat beberapa komponen.
Burnkart (1998) menyebutkan bahwa pembelajar bahasa perlu mengakui bahwa
berbicara mencakup tiga bidang pengetahuan, diantaranya:
1. Mechanics (pronunciation, grammar, and vocabulary), menggunakan kata yang
tepat dalam urutan yang benar dengan pengucapan yang benar
2. Functions (transaction and interaction). Fungsi dari transaction adalah untuk
mengetahui kapan kejelasan suatu pesan harus ada dan interaction adalah untuk
mengetahui kapan pemahaman yang tepat tidak diperlukan
3. Social and cultural rules and norms (turn-taking, rate of speech, length of pauses
between speakers, relative roles of participants). Memahami cara untuk
memperhitungkan siapa yang berbicara kepada siapa, dalam keadaan apa, tentang
apa, dan untuk alasan apa.
Sedangkan menurut Syakur (Mora, 2010: 1), terdapat lima komponen dalam
aspek keterampilan berbicara diantaranya, comprehension, grammar, vocabulary,
pronunciation, and fluency. Begitu juga menurut Andi Syakir (2007), Speaking
skill requires two aspects, namely linguistic and non-linguistic aspect. Linguistic
aspect meliputi, comprehension, pronunciation, grammar and word order,
vocabulary, and general speed of speech, sentence length and etc. Sedangkan Non-
linguistic aspect meliputi, personality dimensions, such as self esteem and
extroversion. Komponen-komponen tersebut harus dikembangkan secara baik
untuk pembelajaran berbicara.
2) Faktor Nonverbal
a) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
Pembicaraan yang tidak tenang, lesu dan kaku tentulah akan memberikan
kesan pertama yang kurang menarik. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya
pembicara sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. (Arsjad dan
Mukti, 1988:21). Sikap ini sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat dan
penguasaan materi. Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan
kegugupan. Namun, sikap ini memerlukan latihan. Kalau sudah terbiasa, lama
kelamaan rasa gugup akan hilang dan akan timbul sikap tenang dan wajar.
b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara
Pandangan pembicara hendaknya diarahkan kepada semua pendengar.
Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar merasa
kurang diperhatikan. Banyak pembicara ketika berbicara tidak memperhatikan
pendengar, tetapi melihat ke atas, ke samping atau menunduk. Akibatnya, perhatian
pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya pendengar merasa terlibat dan
diperhatikan (Arsjad dan Mukti, 1988:21).
e) Kenyaringan suara
g) Relevansi/Penalaran
Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis (Arsjad dan
Mukti, 1988:24). Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan haruslah
logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat
dengan kalimat harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan.
h) Penguasaan Topik
Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain
supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik akan
menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini sangat
penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara (Arsjad dan Mukti,
1988:24).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA