Anda di halaman 1dari 4

Musik Samrah Kesenian Melayu Betawi

Nidia Rahma, 1406613265

I. Pendahuluan

Tradisi lisan (Oral Tradition) menurut Jan Vansina (2004) adalah kesaksian lisan
yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kemudian dalam
tradisi lisan terdapat sastra lisan yang menurut Hutomo (1991:1) merupakan kesusastraan
yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan turun-
temurun secara lisan dari mulut ke mulut. Jenis-jenis atau corak sastra lisan dapat dibedakan
menjadi tiga bagian, yakni: (1) bahan yang bercorak cerita; mitos, legenda, epik, balada,
memori, atau cerita biasa, (2) bahan yang bercorak bukan cerita; ungkapan, nyanyian,
peribahasa, teka-teki, puisi lisan, undang-undang atau peraturan adat, (3) bahan yang
bercorak tingkah laku; drama panggung dan drama arena (Hutomo, 1991:62).

Tradisi lisan yang akan dianalisis kali ini adalah musik atau orkes samrah yang
merupakan salah satu kesenian Betawi. Kesenian ini sudah berkembang di Batavia sejak abad
ke-17 yang bermula di Tanah Abang. Menurut Dimas pemain Arkodium, anggota Sanggar
Pelangi, “Tanah abang tahun 1918 sebagai pusat perdagangan terbesar di Asia sehingga
saudagar-saudagar dari Arab, India, melayu dan orang pribumi berkumpul bersama sambil
membawa alat musik”. Kesenian ini identik dengan alat musik Harmonium yang merupakan
alat musik yang dibawa oleh orang India.

II. Deskripsi Pertunjukan

Orkes samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian, seperti halnya
pada acara Pegelaran Musik Samrah tanggal 8 Oktober 2017 di Setu Babakan, Kampung
Budaya Betawi, Jagakarsa. Acara ini dimulai pukul 04.00 setelah persiapan kurang lebih satu
jam. Berjumlah 12 orang termasuk pemusik dan penyanyi. Alat musik yang digunakan yaitu
harmonium, biola, gitar elektrik, tamborin, bass, suling, keyboard, drum, dan kecrekan.
Penyanyinya terdiri dari dua orang perempuan dan satu laki-laki. Seperti yang dituturkan
pembawa acara bahwa pada awalnya semua pemain musik dan penyanyi hanya laki-laki.
Dahulu di Betawi hiburan diidentikkan dengan hal-hal negatif sehingga perempuan tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan unsur Islam yang diangkat kesenian ini.
Kehadiran penyanyi perempuan karena seiring perkembangan zaman.
Samrah atau sambrah berasal dari bahasa Arab “samarakh” yang berarti ‘berkumpul,
bersilahturahmi’. Oleh karena itu, pada awalnya orkes musik ini diadakan untuk menghibur
hati dan meningkatkan jiwa spritual para orang tua dengan berkumpul sambil bernyanyi
bersama. Pada awalnya kesenian ini menggunakan alat musik harmonium, tetapi karena alat
musik tersebut tidak lagi berproduksi dan hanya ada di Paskitan dan India, sehingga diadakan
pembaharuan dengan menggunakan arkodium. Selain harmonium, alat musik asli lainnya
adalah kontra bass, biola, dan gendang lontong. Kontra bass juga diganti dengan bass elektrik
karena lebih mudah dipelajari.

Adanya penampilan samrah tradisi atau samrah modern tergantung permintaan,


perbedaannya hanya terletak pada alat musik dan lagu yang dibawakan. Samrah yang tradisi,
umumnya membawakan lagu-lagu lama yang tidak ada penciptanya (noname). Akan Tetapi
pada pertunjukan samrah yang ditampilkan adalah samrah modern. Dahulu, samrah dipakai
untuk upacara keagamaan seperti maulid, sunatan, dan juga pernikahan. Di kesenian Betawi,
samrah menjadi orkes samrah, tari samrah, dan tonil samrah (teater) yang menggunakan
bahasa Melayu Betawi. Dalam hal kostum, para pemain orkes samrah memakai baju koko,
peci, dan selendang atau sarung.

Sementara itu, lagu-lagu yang dimainkan sebagian besar bernapaskan religi, yang
terdapat pesan-pesan di dalamnya. Hal itu, karena budaya Betawi sangat kuat dengan nilai
Islami. Betawi terletak di garis pantai laut Indonesia, sehingga budaya Melayunya amat kuat
dan berpengaruh besar terhadap kesenian di daerah ini. Lagu-lagunya yang dibawakan berisi
pantun-pantun nasihat. Jumlah lagu yang dibawakan tidak menentu, umumnya tujuh sampai
delapan lagu.

Lagu pertama yang dibawakan adalah lagu yang berjudul “Assalamuailakum”, yang
selalu dibawakan dan dinyanyikan di awal penampilan untuk menyapa para penonton. Lagu-
lagu lain yang dibawakan diantaranya “Gunung Serempak”, “Malam Minggu”, “Pilih Aje”
dan “Yale-yale”. Dalam lagu-lagu tersebut terdapat pantun yang berupa nasihat mengenai
akal, budi pekerti, kejujuran, kepandaian, dan menuruti orang tua. Pantun-pantun tersebut
juga disampaikan oleh pembawa acara dengan tujuan untuk menghibur penonton.

Pada setiap penampilan penonton diajak berpatisipasi dan diminta ikut bernyanyi.
Para penyanyi juga turun menghampiri penonton sehingga menarik perhatian penonton.
Acara ini berakhir sekitar pukul setengah enam karena cuaca yang tidak mendukung, ditutup
dengan sebuah pantun oleh pembawa acara dan lagu berjudul “Seroja”, berikut bunyi
pantunnya;

makan kue, kue serabi,


makannya campur gula
ini dia budaya betawi
kalau bukan kita siapa lagi yang menjaga

III. Penutup

Penampil orkes samrah ini berasal dari Sanggar Pelangi. Samrah di Jakarta hanya ada
dua, yaitu Sanggar Pelangi yang terletak di Condet dan Cipta Kenanga di Kemang. Sanggar
Pelangi berdiri sejak 2004, yang tujuan awal didirikannya komunitas ini adalah untuk
melestarikan budaya Betawi khususnya samrah. Setiap tahun diadakan pelatihan samrah di
Balai Kesenian Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Latihan rutin juga diadakan setiap hari
selasa di Sanggar, jam satu sampai lima sore. Para pemusik awalnya adalah pengamen-
pengamen yang kemudian diajak berlatih untuk lebih mencintai dan mengenal budaya yang
kemudian mulai menyukai dengan sendirinya. Mereka tidak hanya tampil di daerah Jakarta,
tetapi juga ke luar kota bahkan ke Singapura

Sejak pertengahan 2016 kesenian mulai dikembangkan kembali oleh pemerintah


daerah. Pemerintah mulai gencar mengadakan kegiatan yang mengangkat kesenian dan
budaya di Indonesia. Akan tetapi, saat ini penyebaran kesenian ini hanya melalui mulut ke
mulut, seperti teman ke teman. Oleh karena itu, diharapkan kedepannya kesenian Betawi
bergenre Samrah ini dapat lebih dikenal masyarakat, terus berkembang dan dibudidayakan.
Anak muda juga diharapkan lebih mempelajari dan mencintai lagi budaya Indonesia.

Sumber Data :

Hutomo, S.S. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya:
HISKI Komisariat Jawa Timur

Vansina, Jan. 2004. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Yogyakarta: Ombak

https://sumber.com/jalan-jalan-kuliner/dki-jakarta/budaya/budaya-dki-jakarta/sumber/orkes-
samrah.html

wawancara dengan Dimas mahasiswa IKJ, pemain Arkodium musik samrah Sanggar Pelangi
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai