Anda di halaman 1dari 12

Interaksi Budaya di Indonesia

Indonesia terdiri dari masyarakat yang heterogen dan kompleks. Masyarakat Indonesia
yang terdiri dari aneka-ragam agama, bahasa, kebudayaan, kelompok etnik, ras, dan lainnya
tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial lazim dikenali dengan mayarakat multikultural. Multikultural
dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap berbagai kebudayaan.
Masyarakat multikultural dapat dimaknakan sebagai sekelompok manusia yang hidup
menetap di satu tempat, namun memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri. Dari istilah
multikultural akhirnya muncul istilah derivatnya yaitu multikulturalisme. Istilah ini dapat
diartikan sebagai pandangan tentang realitas keanekaragaman budaya. Multikulturalisme
dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam politics of
recognition. Kekuatan multikulturalisme ini, menurut penulis sangat relevan diterapkan dalam
proses globalisasi budaya oleh bangsa Indonesia. Budaya Indonesia dalam hal ini didukung oleh
tiga unsur utamanya yakni: tradisi, nasional, dan global.
a. Pertama, kekayaan seni budaya tradisional. Dari wilayah Sabang sampai Merauke, dari
Pulau Rote sampai Talaud, terdapat berbagai kesenian tradisi yang hidup menyatu
dengan kebudayaan masyarakatnya. Kesenian tradisi ini sangat banyak jenis dan
genrenya. Di Aceh ditemui genre seni: shaman, rapai Pasai, rapai dabus, rapai lahee,
rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola Aceh, meurukon, dan
sandiwara Aceh. Pada masa kini berkembang tari kreasi baru, yang berbasis dari tari-
tarian tradisional. Di antara contoh tari kreasi baru adalah Tari Ranup Lampuan,
Rampoe Aceh, Pemulia Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan
lainnya. Istilah seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna
pernyataan atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua
kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh delapan orang laki-laki dan dua
orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu.
Seluruh gerakan Tari Seudati berada di bawah pimpinan seorang syeh seudati. Musik
dalam Tari Seudati hanya berbentuk bunyi yang ditimbulkan oleh hentakan kaki, kritipan
tangan, serta tepukan dada para penari, yang diselingi dengan syair lagu dari aneuk
syeh. Ini baru sebahagian kecil kesenian Aceh, masih banyak lagi yang lainnya.
Sumatera Utara yang terdiri dari delapan kelompok etnik setempat ditambah suku-suku
pendatang dari Nusantara dan etnik-etnik dunia, menjadikan kawasan ini kaya akan
seni budaya. Di antara seni budaya yang khas berasal dari Sumatera Utara adalah tari
tortor dalam kebudayaan Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola.
Repertoar tortor itu di antaranya adalah Tortor Somba-somba, Tortor Nauli Bulung,
Tortor Saoan, Tortor Hatasopisik, Tortor Naposo Bulung, dan lainnya. Dalam budaya
Karo dikenal pula landek, seni tari tradisional Karo. Contohnya Tari Peseluken, Mulih-
mulih, Piso Surit, Guro-giro Aron, dan lainnya. Seni musik tradisional dari
kawasan ini di antaranya ensambel gondang sabangunan Batak Toba, gondang hasapi,
berbagai lagu (ende), gordang sambilan, gordang tano, gondang aek, gonrang sipitu-pitu,
gonrang dua, gendang telu sedalanen, gendang lima sedalanen, sikambang, musik
ronggeng Melayu, musik Makyong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Lagu-lagu
Melayu Deli yang berasal dari Sumatera Utara juga memberikan identitas yang khas
Melayu Sumatera Utara. Lagu seperti Kuala Deli, Seri Langkat, Zapin Deli, Zapin
Serdang, menguatkan identitas kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Dari kawasan
Mandailing ada musik jeir dan onang-onang. Begitu juga dari Nias ada tarian hombo
batu (melompati batu), maena, faluaya, maluaya, dan lain-lainnya. Di Sumatera Barat,
wilayah budaya Minangkabau terdapat ensambel musik tradisional talempong, dengan
berbagai derivatnya seperti talempong unggan, talempong jao, talempong rea, talempong
pacik, talempong pentatonik, dan talempong diatonik. Multikulturalisme tepat diterapkan
di Indonesia karena realitas kebudayaan masyarakatnya yang sangat majemuk. Tentu
saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan
beraneka ragam. Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi
pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhinneka tunggal ika serta mewujudkan
suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun,
dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi
terbentuknya multikul-turalisme di masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan
mempergelarkan kesenian masing-masing budaya (etnik). Bagaimanapun salah satu
unsur kebudayaan, yaitu seni, dapat merekatkan konsep dan perilaku yang berbasis
pada multikulturalisme. tari gamat, tari piring, tari galombang, randai, dikie, salawaik
talam, zapin, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini memperlihatkan betapa
kayanya seni budaya di kawasan ini. Selanjutnya di Jawa ada pula tradisi wayang
kulit purwa. Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan
berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan berbagai
unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang
di dalamnya terdapat perpaduan antara seni suara, seni musik (gamelan), dan seni rupa,
merupakan bentuk kesenian sangat disukai masyarakat Jawa. Menurut penelitian para
ahli, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada
abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa yang dipakai untuk menyebarkan
agama Islam. Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata
yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkem-bangan
selanjutnya juga menampilkan cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga
merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita-
cerita tersebut pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula
pertunjukan kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang menjadi
pertunjukan wayang golek, wayang beber, wayang orang (wong), dan sebagainya.
Selain itu ada pula reyog Ponorogo yang berasal dari kawasan Ponorogo Jawa
Timur. Ditambah lagi dengan teater ludruk. Begitu pula dengan tari-tarian seperti
Bedhaya Ketawang, Srimpi, Tari Tayub atau Ronggeng, dan lain-;lainnya.
Ensambel gamelan yang sebahagian besar merupakan alat musik yang terbuat dari
logam perunggu dengan tangga nada pelog dan slendronya menjadi ciri khas tradisi
karawitan atau musik Jawa. Di Kalimantan dijumpai tarian jepen, yaitu tarian zapin yang
berasal dari Timur Tengah dan menjadi ciri khas kawasan Kalimantan. Lagu Paris
Berantai menjadi ciri khas daerah ini pula, khususnya di wilayah Selatan Kalimantan.
Tari-tarian dan musik sapeh dari budaya masyarakat Dayak dengan suku-sukunya
seperti Modang, Kenyah, Muruts, Kadazan, Iban, Melanau, dan lainnya memberikan
siasana dan nuansa tersendiri kesenian-kesenian di Pulau Kalimantan. Sulawesi pula
menyumbangkan berbagai kesenian tradisinya seperti ensambel gendangnya, dengan
berbagai tarian dan musik. Ada genre musik kecapi, musik gendang tradisi Bugis, suling
culalabai, suling buluh. Ada pula Tari Pelangi, Tari Paduppa Bosara, Tari Pattenung, Tari
Pajoge, Tari Anak Masari, dan lain-lainnya. Kesemua ini memberikan identitas khas
kepada seni budaya di kawasan Sulawesi. Begitu juga di wilayah-wilayah lain di seluruh
Indonesia. Keberadaan seni tradisi di seluruh kepulauan di Indonesia ini, merupakan
perwujudan alamiah, bahwa secara realitas Indonesia adalah multikultur, tidak
monokultur. Seni budaya yang ada ini menjadi modal dasar dalam membina konsep
multikulturalisme ala Indonesia, tepatnya bhinneka tunggal ika. Ide multikultu-ralisme
yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah untuk kepentingan integrasi nasional,
bukan untuk menjadi daerah-daerah merdeka, dan dibumbui oleh benih-benih
disintegrasi, yang diakibatkan oleh ketidakadilan. Budaya tradisi ini juga menjadi
dasar utama dalam membentuk budaya nasional Indonesia.
b. Kedua, seni budaya nasional. Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah
meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang
termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara
Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya
biar berbeda-beda tetapi tetap satu). Selengkapnya pasal 32 ayat (1) dan (2) berbunyi
sebagai berikut:
1. Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya. (2) Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
2. Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali yang keempat tersebut di atas,
pada pasal (1) memberikan arahan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengem-bangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa
Indonesia sadar bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi,
namun untuk mempertahankan jati diri masyarakat diberi kebebasan dan bahkan
sangat perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi atau
etniknya). Pada pasal (2) pula, negara menghormati dan memelihara bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa
bahasa daerah (dan juga kesenian atau budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting
dari kebudayaan nasional. Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan
(bahasa) etnik atau daerah—bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa
Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan
penjumlahan budaya etnik. Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya kita telah
memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini, mereka
mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan
nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari
berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an. Sebahagian
tulisan ini merupakan hasil dari Permusyawaratan Perguruan Indonesia di
Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Juni 1935. Di antara intelektual budaya
yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA)
pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di
Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter dan pengarang;
Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri
dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa.15 Gagasan-gagasan mereka secara
garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana yang berasal dari
Sumatera, berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam
artikelnya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai
muncul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang
berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia
Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan
suku bangsa di daerah. STA menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak
terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia, dan dapat membebaskan diri
dari kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan
semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan satu
kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak
unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat.
Unsur yang diambil terutama dalam 4 bidang yaitu teknologi, orientasi ekonomi,
organisasi, dan sains (ilmu pengetahuan). Orang Indonesia harus mempertajam
rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat
sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya. Sanusi Pane yang juga berasal dari
Sumatera, menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan
Timur, harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan, dan gotong-royong, yang
bertentangan dengan kebudayaan Barat yang sangat berorientasi kepada materi,
intelektualisme, dan individualisme. Sanusi Pane tidak begitu setuju dengan STA
yang dianggapnya dalam menggagas kebudayaan nasional Indonesia terlalu
berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan
pra-Indonesia. Karana itu berarti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budaya
dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru. Poerbatjaraka menganjurkan agar
orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat
membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar
kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. Ki Hajar
Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah. Soetomo menganjurkan pula agar dasar-dasar sistem pendidikan
pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional
Indonesia, yang ditentang oleh STA. Sementara itu, Adinegoro mengajukan
sebuah gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia
didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudaya-annya harus
memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit
(peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat. Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke
dalam praktik, agar fungsional dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah
gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula
gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia
merdeka. Koentjaraningrat (1995) seorang ilmuwan antropologi kenamaan
Indonesia, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi,
yaitu: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi identitas
kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan
pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang
bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam
fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1)
harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang
zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan
wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara
Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas
Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang
dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan
diri dengan kebudayaan tersebut. Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu
dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat
nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara
Indonesia yang dapat dipahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang
berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang
aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi
sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di
antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa. Menurut
penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia, selain orientasi dan
fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran
dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya
proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan bersifat pemaksaan
pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula
menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula
bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik Indonesia.
Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis antara budaya etnik dan setiap etnik
merasa memilikinya. Budaya nasional kita yang dapat kita rasakan wujudnya
adalah bahasa Indonesia. Kemudian pakaian dalam bentuk peci, batik, jas, kebaya,
baju kurung juga menjadi pakaian nasional. Kesenian seperti keroncong, tari
serampang dua belas, tari poco-poco, tari mamere, dangdut, dapat pula kita
kategorikan sebagai kesenian nasional Indonesia. Sistem pertanian subak di Bali,
budaya kegotongroyongan, sikap peramah, pemaaf, suka mengolah secara kreatif
budaya seluruh dunia, adalah beberapa hal yang mendukung kebudayaan nasional.
Budaya nasional ini menjadi jati diri tersendiri bagi bangsa Indonesia. Budaya
nasional dibentuk dan didukung terutama oleh budaya etnik atau daerah. Untuk
itu diperlukan pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya etnik atau
tradisi Indonesia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Agar kita memiliki jati
diri yang kokoh seacara etnik dan nasional maupun transnasional. Caranya ialah
seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pagelaran seni pertunjukuan, pameran seni rupa, penayangan budaya etnik dalam
media massa seperti televisi, koran, video, internet, dan media-media lainnya.
Selain itu, setiap etnik di Indonesia juga jangan hanya mengapresiasi kesenian
etniknya sendiri. Mereka harus mampu menjadi pengamat outsider bagi kesenian-
kesenian etnik lain. Kesadaran kultural tentang keberanekaragaman adalah
anugerah dan kekayaan dari Tuhan dan perlu terus menerus ditumbuhkembangkan,
bukan saling menghina dan mengejek. Agama, budaya, dan konsep ketatanegaraan
kita juga menganjurkan tentang pentingnya menghargai perbedaan kultural ini.
c. Ketiga, seni budaya global di Indonesia. Seiring dengan derasnya proses globalisasi di
abad ke-20, maka bangsa Indonesia pun turut masuk dalam arus tersebut di era ini.
Namun gejala rintisan itu sudah dimulai sejak interaksi bangsa kita dengan berbagai
kebudayaan dunia, seperti: China, India, Arab, dan Eropa. Interaksi ini tanpa terasa
mengakibatkan perubahan terhadap kebudayaan Nusantara. Dalam bahasa misalnya
berbagai kosa kata Belanda, Inggris, Portugis, China, India, Arab dan lainnya
menjadi bagian yang menyatu dengan bahasa Indonesia. Demikian pula, kalu kita
telusuri dalam seni budaya, beberapa genre seni di Indonesia, seperti bangsawan, tonil,
sandiwara, gambang kromong, keroncong, dan lain-lainnya adalah sebagai hasil dari
proses interaksi dengan berbabai budaya luar tersebut. Selain itu, secara internal
setiap etnik yang ada di Nusantara ini juga saling mempengaruhi etnik lainnya,
dalam menghasilkan seni budaya. Sebagai contoh dari sisi repertoar, beberapa lagu
Melayu diadopsi oleh etnik Batak Toba dalam salah satu genre musiknya yakni
ensambel musik tiup Batak. Demikian pula lagu-lagu Jawa, Sunda, Minangkabau
diambil oleh seniman ronggeng Melayu difungsikan dalam pertunjukan kesenian
ronggeng. Adakalanya pula kesenian akulturasi antaretnik Nusantara ini ditambah lagi
dengan akulturasinya dengan budaya dunia, yang mengarah kepada proses globalisasi
tersebut. Dalam era belakangan ini, berbagai seni budaya dunia sudah menjadi
bahagian yang menyatu dengan budaya Nusantara. Umumnya seni budaya yang seperti
ini, didukung oleh promosinya melalui media massa seperti radio, televisi, internet
dengan berbagai aplikasinya. Sehingga di ruang-ruang dengar kita di manapun dapat
menonton dan mendengarkan berbagai seni budaya, baik yang terutama berasal dari
kebudayaan Barat, maupun Asia, Amerika Latin, dan lain-lainnya. Apalagi industri-
industri film ala Hollywood, Bollywood, opera sabun Amaerika Latin, film-film dari
Turki sudah membanjiri televisi-televisi dan Muhammad Takari, “Interaksi Budaya
Lokal dan Nasional Indonesia dengan Dunia dalam Konteks Globalisasi.” Demikian
pula berbagai perusahaan penerbangan menyediakan film-film di depan tempat duduk
penumpang, dengan suguhan berbagai jenis: musik atau film pilihan sesuai dengan
selera zaman, dan penumpang tinbggal memilih budaya global yang “disukainya.” Di
kalangan anak-anak muda di seluruh dunia, mereka juga disajikan pertunjukan-
pertunjukan baik yang bersifat siaran maupun live di berbagai kota-kota besar di
Indonesia, dengan menghadirkan seniman-seniman dunia dan juga nasional yang
mebawakan seni dunia. Semua ini menjadi bagian dari proses globalisasi, yang
menghilangkan batas-batas budaya seperti sudah diuraikan sebelumnya. Budaya
global ini, membuat setiap insan di dunia mengarah kepada keseragaman. Namun di
sisi lain keberagaman diisi oleh budaya-budaya tradisi dan nasional. Ketiga lapisan
kesenian ini sebenarnya diperlukan oleh bangsa Indonesia, untuk saling melengkapi dan
komplementer, dalam kerangka memperkuat jatidiri kebudayaannya.
Interaksi adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek
mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Ide efek dua arah ini penting dalam konsep
interaksi, sebagai lawan dari hubungan satu arah pada sebab akibat. Kombinasi dari interaksi-
interaksi sederhana dapat menuntun pada suatu fenomena baru yang mengejutkan. Dalam
berbagai bidang ilmu, interaksi memiliki makna yang berbeda. Budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia. Jadi, interaksi budaya adalah hubungan antara dua atau lebih cara / pola
hidup pada masyarakat.
Contohnya, kuliner sebagai budaya semua makhluk hidup sangat membutuhkan makanan untuk
bertahan hidup. Manusia, khususnya di era modern ini teleh mengenal berbagai cara untuk
mengolah makanan yang tentu saja menghasilkan jenis-jenis masakan yang sangat beragam.
Kuliner dapat dikatakan sebagai budaya karena dari pola hidup masyarakat pada suatu daerah
dapat menghasilkan suatu kuliner yang khas. Masakan Indonesia merupakan pencerminan
beragam budaya dan tradisi berasal dari kepulauan Nusantara yang terdiri dari sekitar 6.000
pulau dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum dan hampir
seluruh masakan Indonesia kaya dengan bumbu berasal dari rempah-rempah seperti kemiri,
cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren dengan diikuti
penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh
melalui perdagangan yang berasal seperti dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa. Pada
dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada,
keanekaragaman masakan regional yang dipengaruhi secara lokal oleh kebudayaan Indonesia
serta pengaruh asing. Sebagai contoh, beras yang diolah menjadi nasi putih, ketupat atau lontong
(beras yang dikukus) sebagai makanan pokok bagi mayoritas penduduk Indonesia namum untuk
bagian timur lebih umum dipergunakan juga jagung, sagu, singkong, dan ubi jalar. Bentuk
lanskap penyajiannya umumnya disajikan di sebagian besar makanan Indonesia berupa makanan
pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur di sisi piring.
Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah terlibat dalam perdagangan dunia berkat lokasi dan
sumber daya alamnya. Teknik memasak dan bahan makanan asli Indonesia berkembang dan
kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, Cina, dan akhirnya Eropa. Para
pedagang Spanyol dan Portugis membawa berbagai bahan makanan dari benua Amerika jauh
sebelum Belanda berhasil menguasai Indonesia. Pulau Maluku yang termahsyur sebagai
"Kepulauan Rempah-rempah", juga menyumbangkan tanaman rempah asli Indonesia kepada
seni kuliner dunia. Seni kuliner kawasan bagian timur Indonesia mirip dengan seni memasak
Polinesia dan Melanesia. Masakan Sumatera, sebagai contoh, seringkali menampilkan pengaruh
Timur Tengah dan India, seperti penggunaan bumbu kari pada hidangan daging dan sayurannya,
sementara masakan Jawa berkembang dari teknik memasak asli nusantara. Unsur budaya
masakan Cina dapat dicermati pada beberapa masakan Indonesia. Masakan seperti bakmi, bakso,
dan lumpia telah terserap dalam seni masakan Indonesia. Tantangan besar dewasa ini ialah
bagaimana memajukan interaksi yang fleksible dalam kehidupan lintas bangsa-bangsa.
Sedemikian peliknya budaya multikultural bangsa-bangsa sehingga banyak orang hanya
memperhatikan budaya-budaya mainstream yang amat menonjol. Sebab de facto menunjukkan
bahwa budaya mainstream mendominasi budaya-budaya di sebuah negara.

Hal yang patut kita ingat ialah dalam interaksi kita harus memperhatikan nilai-nilai yang
berlaku umum. Umumnya nilai-nilai yang berlaku umum dapat mempersatukan dan telah
diterima semua orang dari segala budaya, agama, bahasa dan negara. Salah satu contoh nilai
yang berlaku umum ialah budaya tertib dan tepat waktu. Selain itu nilai-nilai seperti cinta dan
pengasihan ialah nilai-nilai yang berlaku umum. Semua orang di dunia tahu bahwa nilai-nilai
universal membuat semua orang dapat bertemu. Isi pembicaraan lisan harus selalu kita
pertimbangkan dari 2 segi menurut benar atau tidaknya yakni pertimbangan etis dan hukum.
Pertimbangan etis memiliki jangkauan yang terbatas menurut kondisi, budaya dan lingkungan
terbatas. Namun pertimbangan isi pembicaraan menurut norma hukum jauh lebih luas dan
berlaku universal. Biasanya norma hukum mencakup pertimbangan idiologi, sosial-budaya,
hukum (UU, dll), hankam, politik dan norma-norma (agama, sosial, kesopanan, adat,
transendensi, teknologi, hukum dan susila), maka apa yang lazim atau benar menurut kebenaran
etis belum tentu benar menurut norma hukum. Kelemahan dari komunikasi lisan ialah
komunikasi itu bersifat langsung dan tidak menggunakan perantara atau simbol-simbol.
Pembicaraan lisan bersifat langsung karena orang melalui mulut dan suara langsung
menggunakannya. Oleh karena itu pembicaraan lisan sering tidak berdasarkan banyak
pertimbangan. Pembicaraan lisan langsung mengalir dan tanpa berpikir panjang. Oleh karena
mengalir cepat, maka isi komunikasi lisan sering mengandung kesalahan. Kita perlu belajar dari
banyak kesalahan dari kasus salah ucap yang dialami banyak tokoh, juga mungkin sudah pernah
kita alami sendiri tanpa kita sadari. Kita perlu menjadikan kasus salah ucap sebagai titik acuan
bagi semua komponen bangsa untuk merefleksikan dan membaharui diri dalam melakukan
interaksi yang fleksibel dan diterima. Kita harus belajar dari kesalahan agar menjadi semakin
bijaksana dan baik hari demi hari.
Referensi :

1. https://www.kompasiana.com/1b3las-mk/591ebd777497732c2ce171a7/tantangan-fleksibilitas-
interaksi-dunia-multikultural-dan-multiagama?page=2
2. https://www.gurupendidikan.co.id/interaksi-sosial-budaya/

Anda mungkin juga menyukai