Anda di halaman 1dari 15

A. PENDAHULUAN 1.

Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah dan merupakan suatu hasil karya, cipta, rasa dan karsa yang turun temurun dari para pendahulunya. Kesenian berperan sebagai penyangga kebudayaan, yang diciptakan oleh suatu kelompok masyarakat dan memperlihatkan karakteristik maupun latar belakang sejarah dari daerah tersebut. Hal itu serupa dengan apa yang dikatakan oleh Khayyam (1981 : 16) kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan. Kesenian merupakan ekspresi kebudayaan manusia. Kesenian timbul karena proses sosialisasi budaya. Kesenian tentunya didukung oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dan juga dapat menunjukkan karakteristik serta sejarah budaya dari suatu daerah. Indonesia merupakan negara yang berbentuk kepulauan, memiliki banyak suku yang tentunya terdapat perbadaan kesenian. Karena berbentuk negara yang memiliki banyak suku inilah menjadikan Indonesia memiliki kekayaan potensi budaya dan keunikan tersendiri di mata dunia. Mack (2001:3) mengungkapkan bahwa : Indonesia memiliki suatu kekayaan dan potensi budaya yang sangat unik di dunia masa kini, dan perlu dikembangkan dan ditingkatkan dari pada kekeayaan ini akan direndahkan oleh impor-impor buruk dari luar negeri. Suatu kesenian dalam proses penciptaan atau kelahirannya tentu sangat terpengaruh dari lingkungannya, atau dengan kata lain terpengaruh oleh aspek kosmologinya. Selain dari aspek kosmos, suatu kesnian berkembang tentu saja seiring dengan sistem-sistem yang berkembang dimasyarakatnya. Sistem tesebut bisa dari sistem kekerabatan yang berkembang, pola kehidupan masyarakat, agama atau kepercayaan dan lain sebagainya. Salah satu kesenian tradisional Indonesia tersebut diantaranya yaitu kesenian tarawangsa. Kesenian Tarawangsa ini berasal dari daerah Jawa Barat. Secara spesifik kesenian Tarawangsa ini berkembang di daerah Rancakalong Sumedang. Kesenian ini memiliki keunikan tersendiri yang menarik untuk dikaji.

Berdasarkan pemaparan di atas penulis mencoba untuk mengkaji kesenian Tarawangsa ini. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka muncul rumusan masalah dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana bentuk kesenian Tarawangsa dan hubungan dari sistem yang berkembang di masyarakat dengan kesenian Tarawangsa tersebut? 3. Tujuan Dari permasalahan yang telah di uraikan dalam rumusan masalah di atas, tujuan penulisan karya ilmiah ini yaitu untuk mengetahui, memaparkan dan mendeskripsikan tentang : a. Bagaimana bentuk kesenian Tarawangsa dan hubungan dari sistem yang berkembang di masyarakat dengan kesenian Tarawangsa tersebut? 4. Landasan Teori Kesenian tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan yang lahir dari kebudayaan setempat dan berkembang secara turun-temurun oleh nenek moyang kita. Kesenian tersebut yang berkembang di masyarakat tersebut

memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa lainnya. Kesenian tradisional tidak lepas dari tradisi masyarakat setempat, seperti halnya yang diungkapkan Nurlaela ( 2009 : 9 ) bahwa : Kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar, serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat dan lingkungannya. Pengolahannya berdasar atas cita-cita masyarakat dan pendukungnya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda. Berdasarkan hal tersebut bisa dikatakan bahwa suatu kesenian itu muncul dan berkembang sesuai dengan pola pikir dan kehidupan masyarakatnya yang terbentuk sebagai cita-cita atau tujuan masyarakat itu sendiri. Kemudian Nakagawa (1999:6) menyebutkan bahwa : Untuk menjelaskan musik tersebut

kita harus menyadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat; musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Berdasarkan pernyataan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa suatu kesenian itu bisa memperlihatkan bagaimana sistem sosial yang berkembang di masyarakatnya. Dan juga sebaliknya bahwa dengan kita melihat suatu sistem yang berkembang di masyarakat maka kita juga bisa mengetahui bagaimana keseniannya. Dalam bentuk penyajiannya suatu kesenian pasti memiliki tujuan. Pada masyarakat Indonesia, kesenian atau seni dijadikan segabai alat atau media untuk ritus atau kegiatan lainnya. Dapat dikatakan bahwa seni diperuntukan sebagai alat bukan seni untuk senii itu sendiri. Sumardjo (2000:92) menyebutkan bahwa : Filosofi seni orang Indonesia dahulu adalah menganggap seni sebagai alat, seni untuk sesuatu (agama, moral, hiburan, pengetahuan, dan lain-lain. Pernyataan Sumardjo tersebut menguatkan bahwa kesenian tradisional di Indonesia memang diperuntukan untuk sesuatu hal, dalam artian seni ini menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kesenian ini sendiri harus selalu ada pada acara-acara tertentu dan bisa memiliki kedudukan yang tinggi. Khayam, (1981 :38) mengungkapkan bahwa:

Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri, masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga keseniaan mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menukarkan, mengembangkan untuk kemudian mencipta kebudayaan baru lagi. Salah satunya kesenian sebagai alat diantaranya yaitu seni bisa menjadi representasi dari kebutuhan rohaniah suatu masyarakat. Arifninetrirosa (2005: 7) mengungkapkan bahwa : kesenian tradisional merupakan salah satu bentuk ekspresi keinginan masyarakat yang berkembang dan diwujudkan dalam berbagai bentuk dan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan rohani masyarakat dan dilakukan secara turun-temurun.

Kemudian bila dilihat dari fungsi kesenian tradisional Indonesia pada perkembangannya memang memiliki keragaman fungsi. Ada tiga wilayah pengelompokan fungsi seni yang diungkapkan oleh Soedarsono, yaitu sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi, dan sebagai presentasi estetis. Para peneliti mengungkapkan bahwa fungsi seni pertunjukan pada masyarakat setelah mereka mengenal peradaban bercocok tanam, yaitu ketika masyarakat sudah tidak lagi berpindah-pindah tempat untuk menemukan dan mengumpulkan makanan. Pada zaman dahulu masyarakat Indonesia bersifat nomaden atau berpindah tempat, maka setiap harinya mereka disibukan untuk mencari tempat baru untuk pemenuhan kebutuhannya. Namun kemudian pola kehidupan nomaden tersebut beralih menjadi bercocok tanam sehingga membentuk suatu peradaban yang melahirkan kebudayaan diantaranya kesenian. Kesenian ini terlahir pada waktuwaktu luang masyarakat setelah berkegiatan sehari-hari. 5. Metode Karya ilmiah atau paper ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana bentuk kesenian Tarawangsa dan bagaimanakah hubungan dari sistem sosial yang berkembang di masyarakat dengan kesenian Tarawangsa itu sendiri. Dalam penulisannya, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.

B. ISI PEMBAHASAN 1. Masyarakat Sunda Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kerana letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang

banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat. Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.

Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan. Orang sunda memiliki pola kehidupan yang bergotong royong, dalam kehidupan bermasyarakatnya mereka cendurung saling bekerjasama, seperti pada perayaan keagamaan, hajatan dan lain sebagainya.

2.

Tarawangsa

a. Sejarah Tarawangsa Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian yaitu alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Merujuk pada pernyataan Ubun

Kubarsah (1995) bahwa istilah Tarawangsa memiliki pengertian sebagai alat musik tradisional khas Sunda yang dimainkan dengan cara digesek, yang memiliki 2 (dua) dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi. Namun yang digesek hanya satu dawai, sedangkan dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari telunjuk tangan kiri. Istilah Tarawangsa juga diartikan sebagai nama salah satu ensambel kecil yang terdiri dari sebuah alat gesek yang disebut Tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang disebut kacapi. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-1516, merupakan adaptasi dari alat gesek

bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab. Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. b. Alat Musik Yang Digunakan (1) Rebab (Ngek-ngek) Alat musik yang digunakan pada kesenian Tarawangsa ini ada dua macam, yaitu rebab dan kecapi. Rebab dalam kesenian Tarawangsa ini sering disebut Ngek-ngek, hal tersebut berdasarkan pada suara yang dihasilkan oleh rebab tersebut yang berbunyi ngek. Pendekatan tersebut berdasarkan pendengaran masyarakat Sunda. Hal tersebut senada dengan pernyataan Soepandi (1976:11) bahwa :

Dalam sebutan lain tarwangsa dinamaingek-ngek atau Jentreng. Kedua istilah ini adalah pengambilan dari pada suara instrument tersebut. digesek mengeluarkan suara ngeek (pendengaran masayarakat Sunda), maka alat tersebut disebut ngek-ngek. Alat musik Ngek-ngek ini berfungsi sebagai murba lagu atau pembawa lagu, dan sebagai anggeran wiletan atau patokan. Menurut sistem

pengklasifikasian alat musik dari Curt Sachs,Ngek-ngek diklasifikasikan sebagai chordophone, sub klasifikasi neck-lute. Bahan- bahan yang digunakan untuk membuat alat musik ini yaitu kayu dan kawat, kayu yang digunakan biasanya kayu adalah kayu kenanga (Cananga odorata), jengkol (Pithecollobium Jiringa), dadap (Erythrina), atau kemiri (Aleurites moluccana). Kayu berfungsi sebagai resonator dan kawat berfungsi sebagai sumber bunyi, dengan bantuan alat penggesek yang disebut pangeset yang terbuat dari kayu lame (Alstonia scolaris) dan tali penggeseknya terbuat dari bulu-bulu buntut kuda. Alat musik Ngek-ngek biasanya berwarna hitam, coklat, dan keputihputihan atau warna asli kayu. Alat musik ini mempunyai bentuk

sederhana. Hiasannya tidak begitu menonjol, hiasan kecil hanya terdapat pada ujung atas tiang, biasanya berbentuk putik. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang nara sumber bernama Bapak Ayut, secara keseluruhan bentuk alat musik Ngek-ngek menggambarkan seorang perempuan yang cantik dan berbudi. Pencitraan perempuan sebagai simbol dari alat musik tersebut berhubungan dengan kehidupan masyarakat Rancakalong sebagai masyarakat agraris yang sangat menghormati sosok Dewi Sri yang merupakan sosok seorang perempuan. Penggambaran sosok perempuan pada alat musik Ngek-ngek dapat kita lihat dari penamaan bagian-bagian rancang bangun dari Ngek-ngek.

Berikut ini adalah gambar alat musik Ngek-ngek :

Rancang bangun alat musik tarawangsa terdiri atas ; (a) Parungpung, yaitu wadah gema (resonator) yang terdiri

atas raray,bobokong, udel. (b) Tihang, yaitu tiang yang berfungsi sebagai badan dari Ngek-ngek. (c) Pureut, yaitu pemutar yang befungsi untuk mengatur ketegangan kawat(menyetem). (d) Inang, (berbentuk piramid) yang digunakan untuk menegangkan kawat (menyetem) dengan cara digeser-geser. (e) Suku, yaitu kaki, berfungsi sebagai penyangga badan Ngek-ngek. Selain pada segi bentuk dan nama bagian-bagian rancang bangun Ngekngek, bentuk simbolis lainnya dapat kita lihat pada jumlah kawat (dawai) yang digunakan. Kawat tersebut berjumlah 2 (dua) utas, kawat sebelah kiri bernada 1 (da) sedangkan kawat sebelah kanan bernada 5 (la). Jumlah kawat pada alat musik ini menggambarkan keyakinan akan konsep dualisme, yaitu faham yang memandang bahwa alam ini terdiri atas dua macam hakekat yang berpasangan. Contoh; malam-siang, pria-wanita, baik-buruk, hidup-mati, bagus-jelek, dan lain sebagainya.

(2) Kacapi (Jentreng)

Kacapi atau Jentreng ini adalah sebuah alat musik khas daerah Rancakalong yang menyerupai kecapi dengan 7 (tujuh) dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini terbuat dari bahan kayu, kawat, dan pakupaku. Kayu berfungsi sebagai resonator, sedangkan kawat berfungsi sebagai sumber bunyi. Berdasarkan sistem pengklasifikasian alat musik dari Curt Sachs, kacapimasuk dalam klasifikasi chordophone. Fungsi alat musik ini yaitu sebagai balungan gending atau kerangka gending yang menjadi pola dari suatu lagu. Bentuk dari Jentreng ini sendiri sama dengan Kacapi Indung pada Kacapi Cianjuran. Hal yang membedakan yaitu jumlah senar yang dipakai. Senar pada Kacapi Cianjran berjumlah 18 dawai, sedangkan pada Kacapi Jentreng hanya berjumlah 7. Jumlah 7 (tujuh) dawai merupakan simbol dari jumlah hari dalam satu minggu yang mengatur kehidupan manusia.

(3) Pangeset

Pangeset adalah alat yang digesekan pada dawai tarawangsa, alat ini berfungsi untuk menghasilkan bunyi. Pangeset tarawangsa ini biasanya terbuat
9

dari bahan kayu lame dan tali penggeseknya terbuat dari bulu ekor kuda atau dari senar nilon. c. Cara Memaninkan dan laras yang digunakan Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng. Alat musik tarawangsa dimainkan ada dalam laras pelog maupun salendro berdasarkan pada repertoar yang dimainkan. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat,Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaan, Karatonan, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Rendeu, Pagelaran, Ayun ambing, Reundeuh rendang, Kembang gadung, Onde, Legon (koromongan), dan Panglima. Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimah, Bajing luncat, Pangapungan, Bojong kaso, dan Cuklek. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.

10

d. Bentuk pertunjukan Kesenian Tarawangsa ini bisa dilakukan oleh perseoranganbagi orang yang mampu maupun secara kolektif. Tempat yang biasa dipakai yaitu rumah yang punya hajat atau rumah dari orang yang berpengaruh seperti RT atau RW, dan acara ini melibatkan satu kampung. Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Untuk lebih jelas, berikut adalah urutan lagu pada kesenian Tarawangsa dan tarian di dalamnya : (1) Lagu Pangambat Pangambat berarti mengundang. Lagu Pangambat ini ditujukan untuk mengundang kedatangan Dewi Sri. Para penari menari dengan gemulai penuh rasa hormat dalam mengundang Dewi Sri. (2) Lagu Pangapungan Pangapungan berarti terbang. Lagu ini menyimbolkan kedatangan Dewi Sri dengan cara terbang ke tempat dimana kesenian ini dimainkan. Gerakan tari dari para penari yaitu menari gemulai dengan

membentangkan selendang yang dipakai.

11

(3) Lagu Pamapag Pamapag atau mapag berarti menjemput. Lagu ini menggambarkan penjemputan masyarakat akan kedatangan Dewi Sri. Gerak tari menjadi gembira dan agak cepat. (4) Lagu Panganginan Panganginan berasal dari kata ngangin yang berarti beristirahat. Lagu dini menggambarkan Dewi Sri yang sedang beristirahat. Gerakan tari menjadi lambat kembali dan para penari seperti sedang mengipasi Dewi Sri. (5) Lagu Panimang Panimang berarti menimang. Lagu ini ditujukan agar Dewi Sri merasa betah berada di tempat kesenian tarawangsa digelar. Gerakan tarian seperti sedang memanjakan Dewi Sri. (6) Lagu Lalayaran Dalam lagu ini menggambarkan tentang penghormatan kedapa Dewi Sri. gerakan tarian menjadi cepat. (7) Lagu Pangbalikan Pangbalikan berarti kembali. Lagu ini untuk mengembalikan Dewi Sri ke tempatnya semula. Gerakan tarian seperti orang yang mengantar pulang dengan rasa hormat. e. Contoh Pola Petikan Kacapi Jentreng (1) Lagu Pamapag Ka Ku Ka Ku Ka Ku . 5 . 5 . 1 5 . 5 . 5 5 1 5 1 1 1 1 . 2 . 2 4 . 1 5 . 1 1 1 5 . 5 5 5 5 . 5 . 1 . 1 1 . 1 4 1 4

Keterangan : Ka = tangan kiri (kenca)

Ku = tangan kanan (katuhu)

12

(2) Lagu Panimang Ka Ku Ka Ku Ka Ku . 2 . 2 . 5 1 1 1 1 1 1 5 2 5 2 . 2 . 5 . 5 . 5 . 1 . 2 . 5 . 2 5 2 5 . 5 . . 2 5 5 . 2 1 1 1 . . 2 3 5 . . . 2 5 5 . 5 1 1 1 1 1 2 1 . 5 . 2 . 5 2 4 5 . 5 .

2 1 . 1 2 1 . 1 2 1

1 5 1 1

54 . 2

Keterangan : Ka = tangan kiri (kenca) Ku = tangan kanan (katuhu)

3. Hubungan Sistem Masyarakat dengan Tarawangsa Seperti telah disebutkan di atas bahwa masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang sangat erat dengan kerja sama. Hal tersebut tercermin dari pertunjukan tarawangsa yang terdiri dari banyak orang yaitu terdiri dari pemain alat musik dan penari. Kemudian bentuk permainan alat musik Tarawangsa yang berbentuk ensemble mencerminkan bahwa sistem kerjasama sangat erat terlihat dari kesenian ini.

C. KESIMPULAN Kesenian yang berkembang di Indonesia memiliki fungsi sebagai ritus, salah satunya yaitu kesenian Tarawangsa ini sendiri. Tarawangsa dimainkan atau dipertunjukan sebagai simbol penghormatan kepada yanh Maha Kuasa karena telah memberikan rizki yang melimpah lewat hasil panen. Sistem sosial yang berkembang pada masyarakat Sunda dapat terlihat pada kesenian tarawangsa ini. Sistem sosial tersebut yaitu berupa kerjasama, sistem kerja sama ini tercermin lewat pertunjukan Tarawangsa yang dilakukan oleh banyak orang bahkan warga sekampung.
13

Simbol-simbol kehidupan terdapat pada alat musik dalam kesenian Tarawangsa ini. Seperti alat musik Ngek-ngek yang melambangkan perempuan dan dua dawai yang dipakai melambangkan dunia atas dan dunia bawah. Begitu pula dengan Kacapi yang melambagkan dunia yang subur.

14

DAFTAR PUSTAKA

Arifninetrirosa. 2005. Pemeliharaan Kehidupan Budaya Kesenian Tradisional Dalam Pembangunan Nasional. Sumatra Utara : e-USU respisitory

Khayyam, Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta : Sinar harapan.

Mack, Dieter. 2001. Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realitas. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Nakagawa, Shin. 1999. Musik dan Kosmos. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Soepandi, Atik. 1976. Khasanah Kesenian Daerah Jawa barat. Bandung : Laboraturium Kesenian. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung : Penerbit ITB.

Sumardjo, Jakob. 2003. Simbol- Simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung : Kelir.

15

Anda mungkin juga menyukai