melayu. Hal
ini menyebabkan kedua negara ini memiliki jenis kebudayaan yang hampir sama. Salah satunya adalah tari japin Melayu.
Namun demikian Indonesia adalah sebuah Negara yang memiliki keragaman suku yang dapat memunculkan berbagai jenis
kebudayaan yang cukup berbeda dari daerah satu dengan daerah yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari ragam bentuk pakaian
daerah Sumatera dan Kalimantan yang banyak menggunakan variasi baju kurung, sedangkan daerah Jawa menggunakan kebaya, dan di
Sulawesi menggunakan baju bodo.
Keberagaman ini juga memungkinkan Indonesia memiliki ragam seni budaya daerah yang dapat digunakan sebagai icon atau
simbol untuk mengenalkan objek pariwisata Indonesia ke dunia Internasional. Dengan adanya program pemerintah Visit Indonesia
Year yang mempromosikan objek pariwisata Indonesia ke dunia Internasional, maka seni budaya digunakan sebagai gambaran
pariwisata Indonesia. Namun pada tahun 2000, Indonesia dikejutkan dengan adanya berita bahwa Malaysia memperkenalkan batik
sebagai barang buatan asli Malaysia ke Mancanegara. Namun tidak hanya batik, banyak kekhasan Indonesia seperti naskah kuno dari
Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, rendang, lagu Rasa Sayange, tari Reog, lagu Soleram, lagu Injit-injit
Semut, Gamelan, tari Kuda Lumping, lagu Kakak Tua, tari Piring, lagu Anak Kambing Saya, motif batik perang, badik tumbuk lada, musik
Indang Sungai Ganinggiang, kain ulos, alat musik angklung, lagu Jali-jali juga mengalami hal yang sama. Dan baru-baru ini Malaysia
mengklaim tari Tor tor sebagai salah satu budaya yang berasal dari Malaysia. Hal ini sangat menarik perhatian penulis untuk
menganalisis faktor-faktor bagaimana bangsa Indonesia menanggulangi pengambil-alihan budaya yang dilakukan oleh Malaysia.
Kekayaan budaya Indonesia adalah sebuah warisan besar yang harus kita jaga. Sebagaimana telah dijelaskan dalam wawasan
nusantara, bahwa kebudayaan bangsa merupakan bagian dari wawasan nusantara. Adanya berbagai permasalahan yang dipicu oleh
proses globalisasi tersebut dapat menjadi ancaman bagi kebudayaan suatu bangsa. Seperti kasus yang telah kami paparkan di atas,
yakni klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Beberapa kebudayaan Indonesia diakui oleh Malaysia sebagai kebudayaan asli mereka.
Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan saja demikian. Peristiwa ini merupakan suatu ancaman bagi bangsa Indonesia dan harus segera
diselesaikan. Disinilah ketahanan nasional kita diuji dan harus mampu mewujudkan tujuannya untuk menjaga, mempertahankan, dan
menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Dari latar belakang permasalahan di atas maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah yang menyebabkan budaya di Indonesia terkesan mudah di klaim oleh Malaysia ?
Bagaimanakah peran generasi muda Indonesia dalam menanggapi pengklaiman Malaysia terhadap budaya Indonesia ?
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
Mengetahui penyebab budaya di Indonesia terkesan mudah di klaim oleh Malaysia.
Mengetahui sepak terjang generasi muda dalam memainkan perannya dalam menanggapi pengklaiman terhadap budaya Indonesia
PENGERTIAN BUDAYA
Budaya. Bicara tentang budaya banyak hal yang harus kita kupas secara tuntas karena budaya memiliki pembahasan yang
sangat luas. Apalagi dengan Indonesia yang bernotabene banyak suku sehingga kebudayaan pun tak kalah beragaam.
Jika kita katakan budaya kepada seorang yang awam pasti dalam pikirannya akan muncul bahwa budaya adalah kesenian. Tak
lebih tak kurang. Namun perlu diketahui bahwa kebudayaan tidak hanya berkisar antara kesenian dan kesenian saja, banyak hal yang
dapat menjadi budaya yang dapat pula menjadi tanda pengenal suatu daerah.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Adapun pendapat para ahli mengenai kebudayaan adalah sebagai berikut :
Prof. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan dari sistem gagasan, sistem tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: yang
khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah
kebudayaan nasional
Ki Hajar Dewantoro
Kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya mengandung
nilai-nilai intelektual, moral, etika, dan estetika. kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah puncak-puncak dari
kebudayaan daerah. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih
dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional.
E. B. Tylor
Kebudayaan adalah sebuah sistem yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan (religi), hukum, adat-istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.2 KEBUDAYAAN INDONESIA
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di
Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas
nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan
keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk
memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian
Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.
Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah memilki ciri
khas kebudayaan yang berbeda. Berikut ini beberapa kebudayaan Indonesia berdasarkan jenisnya
Rumah Adat
Rumah adat merupakan bangunan berasitektur kedaerahan yang dapat menjadi ciri khas suatu daerah. Di Indonesia sendiri memiliki
beragam rumah adat, diantaranya adalah :
Mentawai ( Uma )
Rebana ( Jawa )
Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
http://cybergomez.blogspot.com/2012/06/tari-tor-tor-kebudayaan-indonesia-yang.html
http://oktoviarezki.blogspot.com/2012/07/klaim-budaya-indonesia-oleh-malaysia.html
Jump to Comments
pariwisata untuk manfaat ekonomi, kesenian untuk manfaat hiburan, teknologi untuk manfaat kesejahteraan
dan bahkan kebudayaan bisa digunakan untuk manfaat politik.
Tapi seluruh penggunaan manfaat itu tidak boleh merusak pelestarian kebudayaan itu sendiri. Jadi
kebudayaan juga harus dilestarikan, dijaga orisinalitasnya, dirawat eksistensinya di masyarakat, diberikan
ruang untuk hidup. Ketiga aspek penghargaan ini saling terkait satu sama lain. Mereka bisa terdapat dalam
sebuah sikap. Jika digunakan maka bisa terjadi sekaligus pelestarian. Tapi bisa juga hanya salah satu saja
dari aspek diatas, misalnya hanya memanfaatkan saja tanpa mau melestrasikan, atau hanya mengakui saja
tanpa mau menggunakan manfaatnya. Untuk dapat disebut menghargai menurut hemat saya harus
mengandung tiga aspek diatas.
Untuk itu, kata Radhar, kedepannya agar Indonesia tidak kecolongan lagi, pemerintah harus perhatikan
kebudayaan itu. Kita majukan budaya kita supaya kita ada di depan, munculkan budaya kita dalam upacaraupacara, acara-acara, jangan lagu-lagu masa kini yang dinyanyikan oleh Presiden kita, tandasnya.
Apa yang dikutip Republika diatas adalah suatu bentuk usaha penggunaan manfaat sebagai upaya
pengakuan dan pelestarian yang diharapkan mampu mencegah kita dari kecolongan lagi. Tapi harapan itu
kelihatannya masih sumir. Kenapa demikian? Untuk tahu jawabannya kita mesti pahami duduk persoalannya.
Pertama perlu dipahami apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Malaysia menggunakan kebudayaan
Indonesia untuk mengambil manfaat ekonomi pariwisata. Kemudian masyarakat Indonesia lebih
menyuarakan keberatannya atas pengakuan. Ini dua hal yang berbeda. Penggunaan manfaat tidak otomatis
menjadi pengakuan jika tidak disertai suatu pernyataan resmi seperti mengusahakan hak paten misalnya.
Pernahkah kita dengar pernyataan resmi dari pemerintah Malaysia tentang klaim Tari Pendet ini?
Kata klaim pada tari Pendet sejauh ini saya lihat hanya ada di media, entahlah untuk tujuan apa media
melakukan itu tapi masyarakat menjadi percaya bahwa Malaysia melakukan klaim. Lantas mulai muncul
suara yang mengatakan semua ini akibat kita yang kurang menghargai kebudayaan kita sendiri.
Lantas kalau kita sudah menghargai kebudayaan kita maka apakah Malaysia tidak akan melakukan itu lagi?
Saya skeptis. Saya kira Malaysia hanya mau dan bisa menggunakan manfaatnya, saya kira juga mereka tidak
akan mampu melestarikan apalagi mengakuinya. Untuk melestarikan itu berat, kebudayaan itu harus hidup
dalam epistimologi masyarakatnya. Ketika kebudayaan itu lestari dalam sebuah masyarakat maka akan
memperoleh pengakuan.
Sekarang siapa yang mau percaya tari Pendet yang sarat dengan ornamen Bali itu adalah kebudayaan
Malaysia? Hanya orang bodoh yang akan percaya.
Lalu kenapa Malaysia jalan terus? Seperti yang saya katakan diatas, Malaysia bukan mau mengklaim, karena
memang tidak bisa, tapi hanya mampu menggunakan manfaatnya. Kalau sudah begini saya rasa kita tidak
perlu merasa kecolongan. Pakailah sesukamu. Tapi kita perlu jengah, kita yang melestarikan tapi orang lain
yang mengambil manfaat. Sebenarnya tidak keberatan juga, cuma karena Malaysia ini tengil jadi banyak
yang marah. Kenapa tengil?
Menjadi menarik melihat kenapa Malaysia begitu. Semua ini akibat dari konsepMalaysia is a Truly Asia.
Malaysia terdiri dari mayoritas tiga bangsa antara lain bangsa Melayu, bangsa Cina dan bangsa India. Jadi
tidak ada bangsa Malaysia. Mereka merasa, atau pemerintahnya merasa bahwa Malaysia adalah miniatur
dari berbagai bangsa bangsa di Asia karena itu berhak menyandang gelar Truly Asia. Dalam usahanya
mewujudkan Truly Asia mereka mengumpulkan produk kebudayaan dari berbagai bangsa bangsa di Asia ini
sebagai mosaik.
Jadi sebaik apapun kita mampu menghargai dengan melestarikan kebudayaan kita sendiri, itu tidak akan
menghentikan usaha Malaysia dalam mencuri kebudayaan Indonesia. Mereka sedang membangun
identitas berdasarkan konsep Truly Asia. Apakah ini konsep yang brilian? Saya rasa ini konsep yang kontra
produktif buat Malaysia. Alih alih mendapat pengakuan tapi justru menuai kontroversi yang bermuara pada
citra negatif.
Pencitraan Truly Asia itu sendiri hanya dipermukaan yang bersifat artificial.Sementara di dalam Malaysia
sendiri tidak pernah terjadi pembauran kebudayaan antara tiga bangsa besar tadi. Konsep Truly Asia muncul
sebagai akibat dari sindrom inferioritas yang dalam beberapa kasus dapat menjadi sebaliknya.
Saya ingin ambil contoh dalam sejarah. Alexander The Great adalah pahlawan bangsa Yunani yang diakui
oleh dunia. Kekaisaranya membentang dari Eropa hingga Asia. Melalui Alexander kebudayaan Yunani
memberi pengaruh yang kuat pada berbagai kebudayaan besar dunia.
Tapi tahukah bahwa Alexander mengalami kompleks inferioritas dalam dirinya? Kala itu orang Yunani yang
dianggap sebenar benarnya adalah orang Athena. Sementara Alexander bukan orang Athena tapi orang
Macedonia yang lahir dan besar di kota kecil bernama Pella di pinggiran Yunani.
Selama masa kecil dan remajanya Alexander terobsesi untuk menjadi orang Yunani yang sebenar benarnya
dengan membaca buku buku karya penulis Athena (Illiad karya Homerus), berguru pada cendikiawan Athena
(Aristoteles) dan bermimpi menjadi pahlawan Athena (Achilles).
Rasa bangga yang tak terkira ketika Alexander membebaskan Athena dari tekanan Sparta membuat
inferioritasnya berbalik menjadi superioritas untuk menaklukan Eropa mulai Persia hingga Asia barat (India).
Pembuktian bahwa dirinya mewarisi kebudayaan Yunani yang Agung.
Psikologi inferioritas yang kurang lebih mirip terjadi pada pemerintah Malaysia. Ingin menjadi lebih besar dari
kebudayaan Indonesia dengan menggunakan label Truly Asia. Untuk menjadi besar butuh figur besar seperti
Alexander pada bangsa Yunani, atau figur seperti Bung Karno pada bangsa Indonesia. Malaysia tak memiliki
itu dan Truly Asia hanya akan menjadi label. Kasihan. Kalau mereka bijak dan berjiwa besar, Truly Asia tak
usah dilanjutkan tapi diubah, seperti apa? Bukan urusan saya.
Kita tak perlu malu, terluka atau merasa kecolongan. Sedekahkan saja. Namun demikian penghargaan pada
kebudayaan kita harus tetap ditingkatkan, terutama pada pelestarian. Hidupkan kesenian, perdalam budi
pekerti, kuasai teknologi dan kita akan hidup dalam kebudayaan yang luhur.
Maraknya kasus pengklaiman budaya Indonesia oleh Negara Malaysia membuat geram masyarakat Indonesia.
Mulai dari kasus penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Pengklaiman terhadap pulau
Sipaden dan Ligitan, Kasus peraira Ambalat, batik, lagu burung kakak tua, lagu rasa sayange, kesenian
reog ponorogo, dan alat musik angklung. Selain itu iklan pariwisata negara jiran tersebut juga menampilan
tarian Pendet asal daerah Bali, dan berbagai artefek budaya Indonesia lainnya. Dari berbagai kasus
tersebut diatas menyebabkan semakin memanasnya hubungan bilateral kedua negara tersebut. Dalam
dunia nyata, situasi ini masih terkendali, tapi tidak demikian dengan dunia maya. Merasa terlalu direndahkan
oleh Negara Malaysia para Hacker Indonesia pun ikut meramaikan kasus tersebut. Mereka melakukan
serangan dengan keahliannya, yaitu hacking. Nampaknya perseturuan politis antara Indonesia dan
Malaysia mulai bergeser ke dunia online. Serangan dimulai oleh cracker Indonesia yang menyerang website
Malaysia. Cracker merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang melakukan
tindakan memasuki system keamanan computer dan kemudian merepotkan para admin.
Satu lagi klaim Malaysia tentang kekayaan budaya Indonesia yaituWayang Kulit. Menteri
Kebudayaan mereka Dr Rais Yatim mengungkapkan bahwa wayang kulit, yang sering dipentaskan
di Malaysia, tak ada urusannya dengan Indonesia karena kesenian itu berasal dari tradisi
Hinduisme.
Memang benar sekarang ini wayang kulit sudah dimainkan dibeberapa tempat dan mendapat
sentuhan lokal mulai dari Bali, Jawa, Sunda, Kalimantan, Sumatra dan Melayu. Tapi kita perlu tahu
sejarahnya supaya jelas asal muasalnya.
Kami Indonesia tidak keberatan sedikitpun wayang kulit atau kesenian apapun yang berasal dari
Indonesia dimainkan diluarnegeri. Tapi tentu dengan jujur dan penghargaan yang selayaknya
kepada pemilik aslinya. Dengan mengatakan wayang kulit tak ada urusannya dengan Indonesia
terlihat jelas itikad tidak baik Pak Menteri yang mewakili sikap Malaysia ini.
Mari kita lihat sejarah wayang kulit. Wayang kulit adalah suatu media untuk memainkan kisah kisah
pewayangan yang berasal dari India diantaranya Mahabharata dan Ramayana. Kisah pewayangan
tersebut masuk bersama agama Hindu ke Nusantara.
Di Jawa sebelum masuknya Islam, wayang dipentaskan dalam bentuk wayang beber. Wayang
beber adalah wayang dalam bentuk gambar yang digulung ketika disimpan dan digelar
gulungannya (dibeber) ketika dimainkan. Jadi mirip seperti orang presentasi, slide ditayangkan dan
narasi diceritakan. Setelah masuknya Islam di Jawa, wayang dalam bentuk gambar (beber)
dianggap tidak baik kemudian diganti ke dalam bentuk model yang ketika dipentaskan hanya
dilihat bayangannya (wayang artinya bayangan). Supaya model bisa kuat tapi ringan dipilihlah
bahan dari kulit. Sejak saat itu wayang kulit berkembang jadi media favorit mementaskan kisah
kisah pewayangan.
Jadi di India sendiri wayang kulit itu tidak ada, mulai ada di Jawa dan kemudian menyebar
keberbagai daerah lain. Jadi jelas toh wayang kulit itu dari mana? bukan dari Malaysia tapi dari
Indonesia. Tapi kalau mereka maunya begitu yah biar saja dunia tahu bahwa negara yang mengaku
Trully Asia itu sesungguhnya tidak lebih dari Trully Maling. Warga dunia juga sudah tahu dan
dikukuhkan pula oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003 bahwa wayang kulit adalahkesenian
dunia asal Indonesia.
sendiri bukan bangsa maling? Jawabnya, Indonesia juga bangsa maling, kok! Jadi, maling teriak maling, nih!?
Tidak percaya? Ini salah satu contohnya: Remy Silado, seorang pengamat musik, dramawan, dan penulis novel,
mengatakan bahwa lagu yang selama ini diklaim sebagai hasil karya orang Indonesia, Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang Bersusah Hati, 100 persen hasil jiplakan atas lagu gereja yang berjudul What a Friend We Have in
Jesus. Lagu himne ini aslinya diciptakan oleh Horatius Bonar pada lirik dan Charles Crozat Converse pada
musik, dan dicatat hak ciptanya pada 1876 lewat Biglow & Main. Selain itu Remy juga menulis beberapa hasil
karya seni yang diklaim sebagai karya orang Indonesia, ternyata merupakan karya jiplakan. Maka Remy pun
memberi saran, terutama kepada yang terlalu bersemangat meneriaki bangsa lain sebagai bangsa maling seni
dan budaya Indonesia: "Sesama pencuri jangan saling mendahului" (Kompas, 06 September 2009). Lagu What a
Friend We Have in Jesus memang 100 persen sama dengan Kulihat Ibu Pertiwi Sedang Bersusah Hati yang
selama ini diakui sebagai hasil ciptaan dan merupakan salah satu kekayaan seni suara Indonesia.Bedanya
hanya di syairnya saja Untuk meyakinkan anda, silakan simak lagu gereja dimaksud dengan mengklik ini:
Reaksi terhadap apa yang disebut pengklaiman Malaysia terhadap beberapa budaya asli Indonesia sebagai
miliknya -- yang terakhir tarian Pendet asal Bali, masih berlangsung sampai sekarang. Umumnya reaksi yang
ada adalah reaksi yang bersifat keras, seperti kecaman-kecaman pedas, demonstrasi-demonstrasi, makianmakian (seperti mengplesetkan "Malaysia" dengan "Malingsia"), pembakaran bendera Malaysia, sweeping warga
negara Malaysia, seruan pemutusan hubungan diplomatik, sampai seruan untuk perang dengan Malaysia! Yang
terakhir ini termasuk seruan favorit dalam reaksi keras terhadap Malaysia. Tak lupa dengan seruan "ganyang
Malaysia!" yang begitu populer di masa konfrontasi dengan negara serumpun itu di era pemerintahan
Soekarno. DPR termasuk kalangan yang (selalu) bereaksi keras menghadapi perilaku Malaysia ini. Termasuk
rajin menyerukan kepada pemerintah agar segera putus hubungan diplomatik dan menyatakan perang kepada
Malaysia. Sebegitu gampangkan suatu negara menyatakan perang terhadap negara lain? Tanpa
memperhitungkan segala akibatnya terhadap negara dan rakyat banyak yang tanpa perang saja sudah hidup
serba susah? Dan, apakah Indonesia benar-benar sudah siap untuk itu? Yakin bisa menang perang, sekalipun
misalnya, Malaysia itu termasuk anggota negara-negara persemakmuran -- persatuan negara-negara bekas
koloni/jajahan Inggris (Commonwealth of Nations), bersama Australia, New Zealand, Papua Nugini, Singapore,
dan lain-lain, yang siap membantu sesama negara persemakmuran itu apabila salah satunya diserang negara
lain? Bagaimana dengan perlengkapan perang utama (alutsista) yang dimiliki Indonesia? Yang sebagian besar
sudah uzur, pesawat tempur pun tanpa rudal, dan sejenisnya? Bagi Permadi, politikus dari Gerindra, hal itu
bukan masalah. Pernyataan perang dengan Malaysia, katanya, tak usah memperdulikan kesiapan alat utama
sistem senjata Indonesia. "Tentara Malaysia itu tidak pernah perang kaya tentara Indonesia," beber Permadi. ...
"Saya berani taruhan, dengan pisau dan bambu, tentara kita pasti menang," imbuhnya. Selain tentara, Permadi
melanjutkan, pasukan untuk menyerang Malaysia tersedia dari jutaan sukarelawan, mahasiswa hingga
paranormal.(Tempo Interaktif, 31 Agustus 2009) Ini pernyataan serius atau guyonan, ya? Dalam menyikapi
perilaku Malaysia tersebut kenapa sikap memamerkan otot lebih menonjol daripada otak? Apakah dengan
sikap reaktif seperti ini akan membuat kita bangga, dan dunia internasional akan terkagum-kagum? Dunia
internasional akan lebih menghargai sikap siapa? Indonesia yang pamer otot, atau Malaysia yang pamer otak?
Kenapa otak tidak dibalas dengan otak saja? Tidak dapat dipungkiri bahwa Malaysia dengan mengutamakan
otak memanfaatkan hampir semua aspek yang ada (di negaranya) rata-rata telah lebih maju dan makmur
daripada Indonesia. Potensi obyek wisatanya yang jauh lebih sedikit daripada Indonesia, tetapi karena lebih
banyak menggunakan otak dengan mengoptimalkannya, maka devisa yang dihasilkannya dari sektor pariwisata
jauh lebih besar daripada Indonesia. Salah satu contohnya adalah negara tersebut telah sukses menciptakan
dan mengoptimalkan bidang medisnya, yang kemudian dijadikan salah satu tujuan wisawatan asing -terutama dari Indonesia -- di mana orang-orang dari luar negerinya datang untuk berobat, sekaligus berwisata
dan berbelanja. Malaysia sukses meniru Singapore. Kini banyak orang Indonesia yang kalau mau berobat ke
luar negeri sudah banyak yang memilih Malaysia, tidak melulu Singapore lagi. Kesuksesan tersebut tercermin
pula pada data jumlah wisatawan antara kedua negara. Dari tahun ke tahun selisihnya semakin jauh.Data
sampai 2007 menunjukkan jumlah wisatawan dari Indonesia ke Malaysia sebanyak 2.428.605, sedangkan dari
Malaysia ke Indonesia hanya 890.903 (Kompas, 31 Agustus 2009) Paling ironis jika kita bandingkan dengan
Singapore. Negara mini ini yang luas wilayahnya ratusan kali lebih kecil daripada Indonesia dengan potensi
alamnya sebagai obyek pariwisata yang bisa dihitung dengan jari tangan, dibandingkan dengan Indonesia yang
seolah tak terhitung potensi alamnya sebagai obyek pariwisata, yang tersebar dari ujung barat sampai ke timur,
tetapi dalam hal menghasilkan devisa dari sektor pariwisata Indonesia kalah jauh! Itu karena mereka dengan
segala keterbatasan sumber alamnya menggunakan otak untuk mengolahnya sedemikian rupa sehingga apa
yang sebenarnya biasa-biasa saja, menjadi sangat menarik dan berhasil menyedot wisatawan asing dalam
jumlah yang signifikan banyaknya. Indonesia sebaliknya. Sumber alam potensi obyek wisata mancanegara yang
begitu melimpah-ruah. Tetapi potensinya yang dimanfaatkan sangat minim sekali. Selain Bali, nyaris tidak ada
obyek wisata lain yang dapat diandalkan sebagai penghasil devisa negara. Kenapa tidak melakukan introspeksi,
mengapa sampai Indonesia bisa tertinggal dengan negara-negara tetangganya seperti Singapore dan Malaysia?
Penyebab utamanya adalah bahwa di dalam negeri sendiri para pejabatnya lebih sibuk memperkaya diri sendiri
dengan aneka kreasi korupsi dan manipulasi ketimbang mengurus negara, banyaknya oportunis politik yang
saling menjegal untuk mendapat kursi empuk di eksekutif, legislatif,maupun yudikatif, hukum dan agama yang
dipolitisir untuk kepentingan politik masing-masing, ketimbang mencari dan memanfaatkan sepenuhnya
potensi-potensi yang dimiliki negara untuk membangun negeri ini. Tingkat disiplin yang rendah, konflik-konflik
yang kerap terjadi di dalam masyarakat dengan berbagai isu absurd seperti agama, sukuisme, dan lain-lain,
dan rasa memiliki yang sangat minim. Rasa memiliki yang sangat minim inilah yang sebenarnya menjadi
sumber masalah. Indonesia memang sangat kaya. Termasuk sangat kaya dengan beraneka ragam seni
budayanya. Tetapi apakah orang Indonesia sendiri menghargai dan memanfaatkannya seoptimal mungkin
untuk kepentingan bangsa dan negaranya sendiri? Jawabnya tidak. Terhadap orang-orang yang pada ramairamai berdemo dan mencaci-maki Malaysia sebagai maling seni budaya Indonesia, terakhir memaki Malaysia
karena katanya mengklaim tari Pendet sebagai budayanya. Saya duga sebagian besar dari mereka justru baru
tahu bahwa tari Pendet itu asalnya dari Baliketika muncul permasalahan ini.Kalu tidak ada permasalahan ini,
barangkali sampai hari ini mereka tidak tahu kalau tari Pendet itu dari Bali. Bahkan barangkali banyak pula
yang baru tahu kalau ada tari yang namanya tari Pendet. Hasil Jajak Pendapat Kompas menunjukkan dari 866
responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen),
musik dan lagu (68,8 persen), pakaian(67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional
(54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.(Kompas, 31 Agustus 2009) Rakyat dan pemerintahnya
idem ditto, kurang sekali menghargai seni budayanya sendiri. Kompas, 31 Agustus 2009, menulis: "Indonesia
hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai seni budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan
hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional
mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Pemerintah sudah mengimbau pemerintah daerah agar
menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. Namun, dari 33 provinsi yang ada di Tanah Air,
baru tiga provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta, yang melakukan inventarisasi seni
budaya mereka. Hasilnya, terdapat sekitar 600 seni budaya yang ada di ketiga provinsi tersebut. ..." Seni
budaya yang sedemikian banyak dan uniknya tidak dihargai, tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
dijadikan modal yang sangat bagus untuk menarik wisatawan asing sebanyak-banyaknya. Potensi yang begitu
bagus dilihat Malaysia, maka bangsa Melayu yang serumpun tetapi jauh lebih proaktif dan kreatif itu pun
memanfaatkannya. Kalau sudah begitu, maka meledaklah murka segenap tumpah darah Indonesia. Reaktif
keras, jari telunjuk pun di arahkan ke Malaysia, sambil berseru: Maling, Malingsia! Ayo, kita duel! Perang!
Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia sangat
proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni budaya melalui televisi, internet,
iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga menerbitkan buku-buku seni budaya. Selian buku terbitan
pemerintah, swasta dan pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai
buku.(Kompas, 31 Agustus 2009) Apakah kalau Malaysia mengiklankan beberapa seni budaya asal Indonesia
dalam iklan pariwisatanya, atau menggelarkan seni budaya asal Indonesia dalam berbagai pagelaran seni di
negaranya, itu berarti sama dengan Malaysia telah mengklaim bahwa seni dan budaya yang ada di iklannya
tersebut adalah miliknya dan menyatakan itu bukan punya Indonesia? Saya belum membaca bahwa secara
eksplisit Malaysia menyatakan dua hal itu. Bagaimana dengan ketika di Indonesia juga mengelarkan tari-tarian
semacam barongsai dan tarian naga yang asal Tiongkok itu, apakah juga sama artinya Indonesia mengklaim
tarian barongsai dan naga itu miliknya? Tarian barongsai dan tariannaga banyak juga diiklankan dalam iklaniklan pariwisata dari beberapa negara, seperti Singapore dan Malaysia, tapi Tiongkok sebagai pemilik asli seni
budaya tersebut tidak pernah protes. Bagaimana dengan cerita pewayangan Mahabrata dan Ramayana, yang
sebetulnya asli dari India. Kenapa Indonesia "mengklaimnya" juga sebagai bagian dari budaya Indonesia? Tapi
India juga tidak pernah protes. Ada benarnya apa yang dikatakan Menteri Penerangan, Komunikasi, dan
Kebudayaan Malaysia Rais Yatim, bahwa warganegara Malaysia ada yang keturunan Aceh, Sumatra Barat,
Mandailing, Riau, Jambi, Palembang, Jawa, dan Bugis. "Mereka datang ke Malaysia dan meneruskan
kebudayaan mereka dari Indonesia. Apakah salah mereka melestarikan kebudayaan Indonesia. Dan kami tidak
pernah mengklaim itu kebudayaan Malaysia. Begitu juga dengan rakyat Malaysia keturunan China dan India,
yang menurut Rais Yatim, Mereka masih melestarikan bahasa, budaya, kesenian dan lagu-lagu dari China dan
India tapi kedua negara itu tidak pernah protes." (Kompas.com, 09 September 2009) Bagaimana jika
warganegara Suriname yang banyak keturunan Jawa juga menggelarkan seni budaya Jawa-nya, seperti
gamelan, dan pemerintah Suriname mengiklankan memasukkan pagelaran musik gamelan tersebut dalam
iklan pariwisatanya? *** Sebenarnya, secara tidak langsung Malaysia telah memberi pelajaran kepada kita
bagaimana caranya untuk memanfaatkan seni budaya yang kita miliki semaksimal mungkin untuk menarik
sebanyak mungkin wisatawan asing, yakni dengan cara melakukan publikasi seni budaya seperti yang sudah
lama mereka lakukan. Antara lain lewat iklan-iklan atau program acara tertentu di beberapa televisi asing,
semacam Discovery Channel, yang berpotensi sebagai prasarana penarik minat wisatawan asing ke sini.
Dikemas sedemikian rupa supaya kelihatan sangat menarik, dan yang dipromosikan jangan hanya Bali saja,
tetapi daerah-daerah lain yang juga mempunyai obyek wisata dan seni budaya yang juga sangat unik. Seperti
Papua. Maka oleh karena itu, sebenarnya sedari dulu ketika Malaysia mengiklankan iklan pariwisatanya dan
menggelar pagelaran seni budaya asal Indonesia sebagai bagian dari seni budayanya, Indonesia jangan mau
kalah. Jangan hanya bisanya marah-marah saja. Kenapa tidak bertindak dengan membuat iklan balasan yang
jauh lebih kreatif, dengan menyertakan aneka seni budaya Indonesia untuk disiarkan di beberapa televisi asing,
terutama di televisi-televisi di mana Malaysia menayangkan iklannya di sana. Menunjukkan kepada dunia siapa
yang sebenarnya yang asli punya seni budaya itu, sekaligus juga menunjukkan kepada dunia bahwa masih
sangat banyak aneka seni budaya yang dimiliki Indonesia,yang belum sempat "dicuri" Malaysia. Ini semua jauh
lebih efektif untuk melawan Malaysia ketimbang mmebuang-buang banyak enerji dan bikin tenggorokan sakit
gara-gara berteriak-teriak di kala berdemo, memaki Malaysia sebagai Malingsia, Maling Asia, Trully Malingsia,
dan sejenisnya. Apalagi kalau sampai perang benaran. Untuk apa risau ketika Malaysia mementaskan
pertunjukan wayang kulit dalam berbagai acara sebagai kesenian Malaysia, kalau toh UNESCO telah mengakui
dan mengukuhkan wayang kulit sebagai kesenian dunia berasal dari budaya Indonesia (07November 2003),
begitu pula dengan keris yang pernah "diklaim" Malaysia pada 2008, dikukuhkan UNESCO sebagai kesenian
dunia berasal dari budaya Indonesia (2005), dan terakhir pengukuhan yang sama pada seni budaya batik
("klaim" Malaysia pada 2006) sebagai karya seni asal Indonesia (07 September 2009). Pengakuan-pengakuan
tersebut seharusnya merupakan modal yang sangat kuat untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi Indonesia
untuk mempromosikan karya seni budayanya yang tak ternilai harganya itu. Tentu saja semua itu harus diikuti
dengan langkah yang kongkrit berupa menciptakan momen dan potensi penonton wisatawan asing,
peningkatan frekwensi pagelaran-pagelaran seni budaya tersebut sedemikian rupa sehingga benar-benar
menarik untuk disaksikan. Bukan hanya menarik di iklannya saja. Kalau mau beri pelajaran Malaysia,
ciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya di negeri sendiri, supaya tidak ada lagi orang Indonesia (TKI) yang
dikirim ke sana. Biar negara itu kalang-kabut sendiri. Selama Indonesia masih terus (dengan bangga)
mengekspor TKI ke beberapa negara, termasuk dan terutama Malaysia dalam kasus hubungan kedua negara.
Maka ini juga merupakan suatu bahan Malaysia yang memandang remeh Indonesia, yang dianggapnya hanya
bisa mengirim tenaga pembantu, buruh kasar ke negeranya. *** Salah satu tudingan yang diarahkan ke
Malaysia adalah bahwa lagu kebangsaan negara tersebut, Negaraku, adalah hasil jiplakan dari lagu asli
Indonesia, Terang Bulan.Bahkan tiba-tiba ada yang mengaku sebagai ahli waris dari lagu Terang Bulan, yang
diciptakan oleh ayahnya. Aden Bahri, orang itu, menghubungi pihak Perum Lokananta di Solo, Jawa Tengah. Ia
mengklaim, Terang Bulan merupakan ciptaan Syaiful Bahri, ayahnya. Lokananta adalah perusahan rekaman
milik negara yang pertama kali merekam lagu tersebut pada tahun 1956. Meskipun atas pengakuan tersebut
masih memerlukan klarifikasi, Kepala Perum Lokananta Solo, Ruktiningsih, membenarkan bahwa Terang
Bulan adalah asli milik Indonesia, oleh karena itu, "Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk memakai
lagu tersebut termasuk dengan mengubahnya, semua pihak perlu melalui tahap-tahap tertentu dan tidak bisa
seenaknya mengubah lirik atau temponya," katanya. (kapanlagi.com, 31 Agustus 2009). Reaksi ini sekali lagi
membuktikan bahwa bagaimana perilaku bangsa ini yang sangat kurang menghargai seni budaya sendiri.
Bagaimana tidak terasa aneh, kenapa baru sekarang klaim ini dikemukakan. Padahal Negaraku, yang dituding
sebagai hasil jiplakan dari lagu Terang Bulan, sudah sejak tahun 1957 telah dijadikan sebagai lagu kebangsaan
Malaysia. Setelah 52 tahun kok baru sadar dan bereaksi sekarang? Sudah begitu, ternyata salah lagi. Ternyata
Terang Bulan bukan asli karya bangsa Indonesia. Ditilik dari sejarahnya, ternyata lagu ini asal-muasalnya atau
adaptasi dari sebuah lagu yang populer berjudul La Rosalie, dari Perancis. Wikipedia menulis: Terang Bulan
merupakan sebuah lagu adaptasi dari sebuah lagu yang populer berjudul La Rosalie, pada akhir abad 19 di
wilayah jajahan Perancis, sekitar lautan Hindia. La Rosalie digubah oleh Pierre-Jean de Branger (1780-1857),
seorang musisi berkebangsaan Perancis. Lagu tersebut kemudian menjadi melodi yang sangat terkenal dan
menjadi lebih populer pada wilayah pulau Mah di Seychelles. Popularitas lagu tersebut sampai melintasi
lautan Hindia dan mencapai wilayah Kepulauan Melayu pada awal abad 20. Pada tahun 1888, lagu tersebut
digunakan sebagai lagu kebangsaan negara bagian Perak, Allah Lanjutkan Usia Sultan, selama masa
pendudukan Raja Edward VII. Nada yang sama kemudian diperkenalkan oleh "Indonesian Bangsawan" (Opera),
yang sedang mengadakan pementasan di Singapura pada tahun 1920. Dengan serta-merta, melodi tersebut
kemudian menjadi sangat terkenal dan kemudian dinamai Terang Bulan. Terpisah dari perannya sebagai lagu
kebangsaan negara bagian Perak, Terang Bulan dengan segera menjadi lagu tembang "evergreen", yang sering
ditampilkan pada pesta-pesta, kabaret-kabaret, dan dinyanyikan oleh begitu banyak orang pada tahun 1920-an
hingga 1930-an. (Namun setelah kemerdekaan Malaysia dari Inggris pada 1957 dan lagu Allah Lanjutkan Usia
Sultan diadaptasi sebagai lagu kebangsaan negara Malaysia dengan judul Negaraku, lagu tersebut tidak
dimainkan secara bebas lagi dan penggunaannya telah diatur oleh undang-undang.) Lagu Terang Bulan juga
diadaptasi menjadi sebuah lagu bernuansa Hawaii, Mamula Moon pada tahun 1947 oleh band "Felix
Mendelssohn and his Hawaiian Serenaders". Lagu-lagu La Rosalie, Allah Lanjutkan Usia Sultan, Negaraku,
Terang Bulan dan Mamula Moon semua memiliki nada yang sama Untuk mendengarkan lagu Terang Bulan,
Negaraku, dan Mamula Moon, silakan klik ini: Dari persoalan lagu Terang Bulan dan Negaraku ini, maka
terlihatlah bahwa justru orang Indonesia sendirilah yang dengan terang-terangan mengklaim suatu karya cipta
seni budaya sebagai hasil karyanya, sebagai haknya, padahal sebenarnya bukan. Fenomena tersebut bukan
hanya terjadi pada kasus ini, sudah banyak sekali kasus serupa yang masih berlangsung sampai sekarang
banyaknya orang Indonesia yang justru tanpa malu-malu mengklaim sebuah karya cipta seni budaya sebagai
karya ciptanya. Padahal semua itu hasil jiplakan. Ketika ketahuan, masih berkelit bahwa itu bagian dari suatu
kreatifitas. Mungkin juga betul, kalau yang dimaksud adalah kreatifitas maling hak cipta. Sudah ratusan lagu,
film, sinetron, dan sejenisnya, termasuk desain-desain poster/gambar film dijiplak mentah-mentah oleh para
maling hak cipta Indonesia. Ironisnya semua itu berlangsung seperti sesuatu yang wajar. Bahkan media-media
legal di Indonesia, seperti bioskop-bioskop dan televisi-televisi seolah tanpa dosa dengan bangga
menyebarluaskan karya cipta hasil para maling "kreatif" tersebut. Belum lagi dengan software komputer
bajakan, buku bajakan, CD musik bajakan, DVD bajakan, dan sejenisnya, yang dijual bebas sampai di malmal. Indonesia selama bertahun-tahun berada di urutan atas negara-negara yang paling banyak melakukan
pelanggaran hak cipta atau Hak kekayaan Intelektual (HaKI). UU Hak Cipta yang berlaku tidak lebih dari
pajangan saja. Silakan simak informasi tentang kreasi para maling Indonesia, yang mencuri hak cipta seni dan
budaya asing dan kemudian mengklaim sebagai hasil karyanya, yang disampaikan dalam blog ini: Tidak ada
yang protes. Yang punya hak cipta dari luar negeri mungkin merasa akan sia-sia untuk protes apalagi sampai
menuntut secara hukum saking banyaknya pencurian tersebut dilakukan, dan didukung oleh media bioskop
dan televisi resmi Indonesia sebagai prasarananya itu. Bagaimana respon mereka yang penuh semangat
meneriaki Malaysia sebagai bangsa maling, kalau disodorkan fakta di atas? Maaf, kalau saya menduga keras
bahwa sebagian besar dari para pemrotes, para pendemo, yang memaki-maki Malaysia sebagai maling seni
budaya, justru adalah pengguna produk-produk hasil maling hak cipta yang dimaksudkan di atas. Di
komputernya yang digunakansoftware bajakan, kalau beli DVD, banyak yang beli atau nonton DVD bajakan. ***
Kalau lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, dituding sebagai hasil jiplakan dari laguTerang Bulan karya asli
Indonesia, yang ternyata terbukti tidak benar, bagaimana dengan lagu kebangsaan kita sendiri, Indonesia
Raya? Remy Sylado, pernah menulis di Kompas di tahun 1991, bahwa Indonesia Raya yang kita kena sebagai
lagu kebangsaan kita itu sudah populer sejak abad ke-18 hingga tahun 1930-an. Aslinya dari sebuah lagu
bercorak jazz klasik, tegolong hot jazz. Judulnya:Lekka-Lekka, Pinda-Pinda dari Negeri Belanda. Tetapi pada
tahun 1927 lagu itu direkam dalam piringan hitam menjadi Indonees-Indoness. Lantas, pada 28 Oktober 1928
dalam kongres pemuda di Jakarta diubah menjadi Indonesia Raya. Penggubah lagu yang dimaksud adalah
pemimpin band jazz di Makassar pada 1920. Siapa lagi kalau bukan Wage Rudolf Supratman," tulis Remy.
Tulisan Remy Silado mendapat sanggahan dari Kaye A. Solapung, pengamat musik. DiKompas, 22 Desember
1991, Solapung mengatakan bahwa Remy hanya sekadar mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada 1950-an.
(Selengkapnya baca di blog ini: ). Apakah benar Indonesia Raya merupakan jiplakan dari Lekka-Lekka, PindaPinda? Saya sendiri tidak paham soal musik, pembaca yang lebih berkompeten mungkin bisa memberi
pendapatnya di sini. Sebelumnya baca juga sebagian polemik antara Remy dengan Kaye, yang dimuat di blog
tersebut di atas. Selain Indonesia Raya, Remy juga mengatakan bahwa lagu Ibu Kita Kartini ciptaan W.R.
Soepratman sejatinya hasil jiplakan dari lagu daerah asal Minahasa yang berjudul O Ina Ni Keke, dan Bolelebo,
lagu rakyat Timor.Untuk membandingkan lagu Indonesia Raya vs Lekka-Lekka, Pinda-Pinda, silakan klik ini:
Untuk mendengar lagu O Ina Ni keke, silakan klik ini: Untuk mendengar lagu Bolelebo, silakan klik ini: ***
Jadi, sekarang bagaimana? Sebaiknya (untuk sementara), mereka yang masih melakukan demo anti-Malaysia,
tudingan-tudingan bangsa maling, seruan putus hubungan diplomatik dan perang dengan Malaysia, termasuk
yang melakukan sweeping hendaknya menarik diri untuk melakukan perenungan yang mendalam sebelum
bertindak lagi. SEKIAN. di hack bertuliskan under construction.