Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM

DIALEKTIKA DESENTRALISASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

Wa Ode Faridhah Wahdah (C021211006)

Nurwahidah Amir (C021211012)

A. Leyla Tri Fitriana (C021211018)

Nabila Khoirunnisa (C021211024)

Muhammad Fakhri Kassa (C021211030)

Nabila Fatmazahro (C021211036)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan nikmat, karunia dan hidayah-Nya kepada kami sehingga
makalah yang berjudul “Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah
Pesisir” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penyusunan
makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Wawasan Sosial Budaya
Maritim yang diampu oleh Pak Rahmatullah S.IP., M.Si.

Makalah ini kami susun dengan baik dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga memperlancar proses penyusunan makalah ini. Untuk itu,
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 19 November 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................. 3
2.1 Konsep Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Masyarakat Pesisir 3
2.2 Realitas Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Masyarakat Pesisir7
2.3 Permasalahan pada Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah
Masyarakat Pesisir............................................................................................ 8
2.4 Solusi dari Permasalahan yang terjadi pada Dialektika Desentralisasi
Pengelolaan Wilayah Masyarakat Pesisir .......................................................... 9
BAB III.............................................................................................................. 11
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 11
3.2 Saran ................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dinamika reformasi dengan metode pertanahan yang secara radikal mengubah


hubungan antara pemerintah pusat dan daerah telah memberdayakan pemerintah
daerah untuk menjalankan misi dan perannya dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Tentunya hal ini lebih peka, teliti dan kreatif dalam kemauan dan kemampuan
pemerintah daerah untuk mewujudkan esensi desentralisasi pengelolaan wilayah
pesisir dan sumber daya yang dikandungnya.

Implikasi ini tentu saja mempengaruhi pengelolaan dan pengelolaan wilayah


pesisir sebagaimana diamanatkan pasal 18 UU 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan bagi Pemerintah daerah untuk
mengelola wilayah pesisir dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya sesuai
dengan karakteristik setempat sejauh sepertiga dari wilayah kewenangan
Pemerintah Provinsi.

Amanat ini tidak hanya membutuhkan kemauan pemerintah daerah untuk


menjalankan misi baru, tetapi juga kejelian untuk mengelola wilayah pesisir
berdasarkan nilai sumber daya pesisir yang lebih adil dan berkelanjutan. Proses,
konteks, dinamika, konflik dan kontradiksi (dialektika) dalam kerangka amanat
pasal 18 UU 32 Tahun 2004 sangat menarik untuk dilihat. Desentralisasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir juga membutuhkan kemauan dan koherensi
pemerintah pusat untuk menjelaskan kewajiban hukumnya dalam bentuk
peraturan perundangan turunannya. Adanya potensi konflik yang tercipta karena
pemahaman sempit terhadap UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan pentingnya
kearifan dalam menyikapi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan pada bab
selanjutnya adalah:

1. Bagaimanakah konsep dari dialektika desentralisasi pengelolaan wilayah


pesisir?
2. Bagaimanakah realitas dari dialektika desentralisasi pengelolaan wilayah
pesisir?
3. Apakah permasalahan yang terjadi pada dialektika desentralisasi
pengelolaan wilayah pesisir?
4. Bagaimanakah solusi dari permasalahan yang terjadi pada dialektika
desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir.

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan untuk:

1. Untuk menjelaskan konsep dari dialektika desentralisasi pengelolaan


wilayah pesisir.
2. Untuk menganalisis permasalahan yang terjadi pada dialektika
desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir.
3. Untuk mengetahui realitas dan solusi dari permasalahan yang terjadi pada
dialektika desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Masyarakat


Pesisir

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara


kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau. Dengan kenyataan ini,
Indonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat besar. Sumber daya ini
perlu dimanfaatkan dengan optimal agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
menunjang kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, pengelolaan sumber
daya maritim tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat mengingat
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas.
Menurut badan otonom PBB, UNDP, desentralisasi merujuk pada
restrukturisasi atau reorganisasi wewenang sehingga ada sebuah sistem tanggung
jawab bersama antara institusi pemerintah pada tingkat pusat dan daerah menurut
prinsip subsidiaritas, sehingga bisa meningkatkan keseluruhan kualitas dan
keefektifan sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan wewenang dan kapasitas
daerah. Dengan desentralisasi, diharapkan mampu memberikan peluang bagi
terciptanya pemerintahan yang baik, seperti meningkatkan peluang masyarakat
untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan berbagai keputusan
politik; membantu kapasitas rakyat yang masih dalam taraf berkembang, dan
memperluas tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas (UNDP, 1997: 4).
Implementasi strategi pembangunan manusia yang mantap (sustainable human
development) yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan proses desentralisasi
yang bersifat lokal dan partisipatoris untuk mengidentifikasi dan melihat berbagai
tujuan yang menjadi prioritas seperti mengurangi kemiskinan, penciptaan
lapangan kerja, persamaan gender, dan regenerasi lingkungan (UNDP, 1998: 6).
Desentralisasi memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Desentralisasi pengelolaan wilayah

3
pesisir telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam
hubungannya dengan pengelolaan kelautan dan perikanan, UU Nomor 22 Tahun
1999 Pasal 3 menjelaskan bahwa sebuah provinsi memiliki kewenangan atas laut
sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan
kepulauan. Hal ini berarti wilayah di luar daerah tersebut menjadi wewenang
pemerintah pusat.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, Pemerintah Pusat telah memberikan
otonomi yang lebih jelas dan nyata termasuk kewenangan pengelolaan
sumberdaya kelautan. Kewenangan ini meliputi : (a) Eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut. (b) Pengaturan
kepentingan administratif (c) Pengaturan tata ruang (d) Penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah (e) Bantuan penegakan keamanan dan
kedaulatan negara khususnya di laut. Secara lebih detail, kewenangan-
kewenangan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut
Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota berwenang terhadap pengelolaan sumberdaya
alam laut untuk kesejahteraan masyarakat, pembangunan daerah dan
pembangunan nasional.
2) Kewenangan Eksplorasi
a) Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota berwenang melakukan eksplorasi terhadap
sumberdaya alam laut.
b) Kegiatan eksplorasi mencakup kegiatan pemantauan, survei atau penelitian
terhadap sumber alam hayati dan non hayati yang berada di dasar , di badan
air maupun di permukaan laut.
3) Kewenangan Eksploitasi
a) Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota berwenang melakukan eksploitasi secara
bijaksana dan berwawasan lingkungan terhadap sumberdaya alam laut.
b) Kegiatan eksploitasi mencakup kegiatan pemanfaatan, pengembangan
fasilitas, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sumberdaya
alam laut, dan rehabilitasi wilayah eksploitasi.

4
c) Tata cara dan prosedur pelaksanaan eksploitasi ditetapkan dengan Peraturan
Daerah dan mengacu pada peraturan perundangan yang ada.
4) Kewenangan Konservasi
a) Daerah berwenang mengkonservasi sumberdaya alam laut yang ada di
wilayah kewenangannya mencakup kewenangan melindungi, melestarikan,
dan merehabilitasi sumberdaya alam laut.
b) Daerah berwenang merencanakan, menyusun, menetapkan dan mengelola
kawasan konservasi sumberdaya alam laut setelah berkonsultasi dengan
instansi teknis terkait.
c) Perencanaan dan penyusunan kawasan konservasi laut dimulai dari kebutuhan
dan kesepakatan masyarakat serta pemerintah daerah yang diintegrasikan
dengan kebijakan nasional melalui musyawarah dan dialog terbuka.
5) Pengaturan Administrasi dan Perizinan
a) Daerah berwenang mengatur dan menjalankan sistem administrasi (izin, pajak
dan retribusi) dalam menerapkan kewenangan daerah di bidang eksplorasi,
eksploitasi, konservasi sumberdaya alam, penataan ruang laut dan pengelolaan
kekayaan laut.
b) Izin Eksplorasi mencakup : eksplorasi sumberdaya alam hayati laut, kondisi
biogeofisik, eksplorasi sumberdaya pertambangan, benda peninggalan sejarah,
pemasangan pipa kabel atau konstruksi bawah laut.
c) Izin Eksploitasi mencakup : perikanan tangkap s/d 30 GT, pembangunan
pelabuhan perikanan tipe C dan D, pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
regional, pembangunan desa wisata bahari, pertambangan umum lepas pantai,
pengelolaan pulau-pulau kecil.
d) Izin pengelolaan ruang mencakup : pemanfaatan ruang untuk budidaya,
pembangunan pelabuhan perikanan, pelabuhan regional, pemanfaatan ruang
untuk pertambangan, pemanfaatan ruang untuk pengelolaan pulau-pulau kecil
e) Masyarakat tradisional/adat dibebaskan dari perizinan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam laut.
f) Tata cara dan prosedur administrasi ditetapkan dengan peraturan daerah dan
mengacu pada peraturan perundangan yang ada.

5
6) Kewenangan Penataan Ruang Laut
a) Daerah memiliki kewenangan atas penataan ruang laut.
b) Tata ruang laut daerah disusun dalam tiga kawasan, yaitu kawasan konservasi,
kawasan pemanfaatan umum dan kawasan tertentu.
c) Dalam melaksanakan penataan ruang di wilayah laut, provinsi menyusun
renstra pengelolaan sumberdaya laut secara terpadu lintas kabupaten dengan
memperhatikan kesatuan daerah aliran sungai.
7) Kewenangan Penegakan Hukum
a) Daerah melakukan penegakan hukum terhadap peraturan perundangan yang
dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh
pemerintah.
b) Dalam rangka penegakan hukum tersebut, daerah membentuk satuan tugas
pengamanan laut.
c) Daerah dapat melakukan pemeriksaan dan penindakan secara hukum oleh
pejabat pegawai negeri sipil sesuai dengan kewenangannya.
8) Bantuan Penegakan Keamanan dan Kedaulatan Negara
a) Daerah dapat memberikan bantuan penegakan hukum dan kedaulatan negara
atas segala bentuk ancaman dari dalam maupun luar negara sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
b) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan tersebut ditetapkan dengan
keputusan menteri yang berwenang.
9) Kerja sama dan Penyelesaian Perselisihan
a) Dalam melaksanakan kewenangan eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi
sumberdaya alam laut, daerah dapat bekerja sama dengan
instansi/badan/lembaga penelitian dalam dan luar negeri dan atau melibatkan
dunia usaha/masyarakat.
b) Pemerintah dan daerah provinsi membentuk badan mediasi penyelesaian
perselisihan antar daerah di wilayah laut yang berkedudukan di Ibu Kota
Negara (Perselisihan antar provinsi) dan Ibu Kota Provinsi (perselisihan antar
Kabupaten/Kota).

6
Desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
diharapkan dapat membantu penyelesaian permasalahan di laut yang
membutuhkan tindakan cepat dan darurat. Selain itu, desentralisasi ini juga
bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada
pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki untuk
menunjang kesejahteraan masyarakatnya.

2.2 Realitas Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Masyarakat


Pesisir

Di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945


khususnya alinea ke-2 dan ke-4, jelas dipahami bahwa pemerintahan daerah
merupakan alat kelengkapan negara yang betujuan untuk mewujudkan cita- cita
negara. Untuk mewujudkan cita- cita negara, pemerintahan daerah diberi
kewenangan untuk menjalankan seluruh urusan pemerintahan di daerah sesuai
dengan kewenangan pemerintahan daerah. Kewenangan yang ada bersumber
daripertanggung jawaban pemerintah daerah.
Realitas pengelolaan dan pembangunan hanya banyak di fokuskan
oleh masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman saja. Namun,
masyarakat pesisir masih banyak yenag belum mendapatkan pengelolaan
dan pembangunan yang memadai. Dengan demikian, kebijakan
pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dikaji lebih menekankan
pada kebijakan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil lengkap dengan
segala visi dan misinya (Bangen, 2002). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan
yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi msyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22
Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah, Eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut
tersebut; Pengaturan kepentingan administratif; Pengaturan tata ruang; Penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan

7
kewenangannya oleh Pemerintah; Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan
negara.
Adapun salah satu contoh realisasi dari pengelolaan wilayah pesisir
yang dimana kewenangannya diberikan oleh pemerintha daerah dapat terlihat
pada Pulau Raas Kabupate Sumenep Madura. Pengelolaan yang berada
pada wilayah tersebut menggunakan pengelolaan wilayah berbasis
masyarakat. Dimana masyarakat sangat diperlukan untuk beberapa proses
pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari
perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap
mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah
pesisir dan lautan.
Pengelolaan yang ada juga mengguankan model pengelolaan dengan
nama pengeloaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPPK)
top-down. Model PPPK top-down merupakan model pengeolaan yang
dimana pengelolaan wilayah dan sumberdaya bertumpu pada format
perencanaan, metode pelaksanaan dan manfaatnya di pusatkan ke
pemerintah nasional dan pemerintah daerah melaksanakan program
tersebut. Pemerintah nasional membagi rata manfaat pengelolaan sumberdaya
wilayah PPPK ke pemerintah daerah, walau daerha tidak memiliki wilayah
pesisir. Model ini juga banyak digunaka oleh negara berkembanng dengan
menitikberatkan bahwa masyarakat harus berkelompok sehingga koordinasi,
pemilihan prioritas dan pengambilan keputusan lebih akomodatif dalam
meminimalkan bias dalam pencapaian tujuan.

2.3 Permasalahan pada Dialektika Desentralisasi Pengelolaan Wilayah


Masyarakat Pesisir

Indonesia sangat lah peduli dengan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah


laut. Alhasil, integrated ocean governance principles, yang menitikberatkan pada
pembangunan laut secara berkelanjutan. Indonesia telah melakukan banyak

8
pembaharuan terhadap pengaturan masalah kelautannya termasuk pengelolaan
tentang wilayah laut. Sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2004. pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diberikan otonomi yang lebih
besar,dan Indonesia juga mengeluarkan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 untuk
mendukung UU No.32 Tahun 2004 ini yaitu Kebijakan pemerintah daerah tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Kebijakan yang demikian, selanjutnya disebut desentralisasi pengelolaan


wilayah pesisir atau disebut juga Decentralization of Coastal Zone Management
(selanjutnya disebut DCZM). Desentralisasi merupakan suatu konsep yang luas
dalam strategi pembangunan dan pengelolaan yang juga meliputi pengelolaan
sumber daya alam

Dalam penerapannya, kedua undang-undang tersebut telah menyebabkan


konflik akan pemanfaatan sumber daya laut, terutama konflik antar nelayan, tidak
samanya kondisi geografis serta ketersediaan sarana dan prasarana antara satu
daerah dengan daerah lain di Indonesia telah menyebabkan timpangnya
pemanfaatan sumber daya laut. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan norma yang
melandasi dicetuskannya prinsip negara kepulauan, yang menekankan pada fungsi
laut sebagai sarana pemersatu bangsa serta pentingnya kesatuan wilayah daratan
dan perairan bagi Indonesia guna pemanfaatan sumber daya alam secara merata
untuk kepentingan bersama bangsa Indonesia.

2.4 Solusi dari Permasalahan yang terjadi pada Dialektika Desentralisasi


Pengelolaan Wilayah Masyarakat Pesisir

Terdapat beberapa ketentuan internasional yang mengatur tentang pengelolaan


wilayah pesisir dan lautan, di antaranya, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu
meliputi UNCED. Berkaitan dengan zona maritim, UNCLOS 1982 membagi
wilayah laut ke dalam kewenangan negara pantai dengan derajat yang berbeda
yang dapat mengimbangi hak negara lain untuk mendapatkan akses ke wilayah
laut serta ikut memanfaatkan laut.

9
Menurut Pasal 18 ayat (3) UU 32/2004 pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota mempunyai 6 tugas dalam pengelolaan wilayah pesisir secara
desentralisasi, yang meliputi:

(i) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;


(ii) pengaturan administratif;
(iii) pengaturan tata ruang;
(iv) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang melimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
(v) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan
(vi) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Desentralisasi merujuk pada restrukturisasi atau reorganisasi wewenang
sehingga ada sebuah sistem tanggung jawab bersama antara institusi
pemerintah pada tingkat pusat dan daerah menurut prinsip subsidiaritas,
sehingga bisa meningkatkan keseluruhan kualitas dan keefektifan sistem
pemerintahan, dan juga meningkatkan wewenang dan kapasitas daerah.
Desentralisasi memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Pengelolaan dan pembangunan
hanya banyak di fokuskan oleh masyarakat perkotaan dan pertanian
pedalaman saja. Namun, masyarakat pesisir masih banyak yang belum
mendapatkan pengelolaan dan pembangunan yang memadai. Dengan
demikian, kebijakan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil harus dikaji
lebih menekankan pada kebijakan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil
lengkap dengan segala visi dan misinya. Terdapat permasalahan dalam
desentralisasi PWP seperti konflik akan pemanfaatan sumber daya laut,
terutama konflik antar nelayan, tidak samanya kondisi geografis serta
ketersediaan sarana dan prasarana antara satu daerah dengan daerah lain di
Indonesia telah menyebabkan timpangnya pemanfaatan sumber daya laut.
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan eksplorasi, eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan kekayaan laut serta ikut serta dalam pemeliharaan keamanan
dan pertahanan kedaulatan negara.

3.2 Saran

Adapun saran kami terkait dengan desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir


ialah sepatutnya pemerintah melibatkan dalam mengatasi permasalahan yang

11
terjadi seperti penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang melimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. (2001). Pengelolaan ruang wilayah pesisir dan lautan seiring dengan
pelaksanaan otonomi daerah. Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan,
17(2), 139-171.
Hayati, S. (2020). Kajian Desentralisasi Pengelolaan Kelautan dan Perikanan
Daerah.
Merdekawati, A., Triatmodjo, M., Darmayani, P. M., & Hasibuan, I. A. T. (2021).
PERUBAHAN KETENTUAN GARIS PANTAI DALAM UNDANG-
UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH SERTA DAMPAKNYA
TERHADAP PELAKSANAAN DESENTRALISASI PENGELOLAAN
LAUT. FACULTY OF LAW UNIVERSITAS TANJUGPURA, 2021195.
Puspitawati, D. (2015). Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan
dalam Kerangka Prinsip Negara Kepulauan. Arena Hukum, 7(2), 210-
224.

Waluyo, A. (2013). PERMODELAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN


PULAU-PULAU KECIL SECARA TERPADU YANG BERBASIS
MASYARAKAT (STUDI KASUS PULAU RAAS KABUPATEN SUMENEP
MADURA). Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and
Technology, 6(1), 72-87.

13

Anda mungkin juga menyukai