Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

“PERATURAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI WILAYAH PESISIR DAN


KEPULAUAN”

Disusun Oleh :

LISNAWATI

J1A122259

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas segala
rahmat,petunjuk,dankarunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul Peraturan Hukum dan Perundang-undangan di Wilayah Pesisir dan Kepulauan. Makalah
ini dapat digunakansebagai wahana untuk menambah pengetahuan, sebagai teman
belajar,dan sebagai referensi . Segala upaya yang sudah saya lakukan untuk menyempurnakan
makalah ini,namun tidak mustahil apabila dalam makalah ini masih banyak
terdapatkekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
dapat dijadikan masukan dalam penyempurnaan Makalah ini.Semoga Makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang peraturan
hukum dan perundang-undangan di wilayah pesisir dan kepulauan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................

DAFTAR ISI...................................................

BAB 1 PENDAHULUAN.................................

A. Latar belakang..................................

B. Rumusan masalah...........................

C. Tujuan...............................................

BAB II PEMBAHASAN....................................

A. Pengaturan Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau


kecil...............................

B. Kewenangan dan Hak............................

C. Eksistensi dan Keberlakuan Hukum Adat dalam pengelolaan Sumber Daya


Alam................

D. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan kepulauan(Pulau-pulau kecil)............................

BAB III PENUTUP...........................................

A. Kesimpulan.......................

B. Saran..........................

DAFTAR PUSTAKA.........................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan Negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di


dunia yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km2
dan bentangan garis sepanjang 81.000 km. sebagian besar dari pulau-pulau
tersebut merupakan pulau kecil yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan
jasa lingkungan (environmental service) yang sangat potensial untuk
pembangunan ekonomi (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001 : 5).

Kekayaan sumberdaya alam yang cukup besar karena didukung oleh adanya
ekosistem tersebut meliputi terumbu karang, padang laut (sea grass), rumput laut
(sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumberdaya hayati laut pada kawasan
ini memiliki potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu,
napoleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kirna raksasa (tridacns gigas) dan
teripang.

Selama ini kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian
yang berarti karena pembangunan nasional di waktu lampau lebih berorientasi ke
darat. Selain itu aspek hukum pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil kurang
memperhatikan keberadaan masyarakat adat yang mendiami kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil padahal selama ini mereka dengan hak ulayat laut-nya
melakukan penguasaan dan pengelolaan atas kawasan tersebut.

Khusus menyangkut hak-hak adat atas pesisir dan lautan, Titahelu (2000: 164)
mengemukakan bahwa ada beberapa unsur yang menandai adanya wilayah
petuanan laut dari masyarakat adat pesisir yaitu :

(1) Adanya wilayah tertentu di laut yang menjadi tempat masyarakat


tersebut mengambil bahan-bahan kebutuhan hidupnya.

(2) Adanya kemampuan untuk mencapai tempat-tempat tersebut

(3) Dilakukan secara turun-temurun.

(4) Dilakukan secara periodik.

(5) Senantiasa dipertahankan terhadap pihak lain yang memasuki wilayah


tersebut tanpa izin dari masyarakat adat tersebut.

Penguasaan riil atas wilayah oleh masyarakat adat sangat berkaitan dengan
hubungan-hubungan atau relasi yang mereka lakukan untuk memenuhi
kebutuhannya di atas wilayah tersebut dan umumnya adalah sesuatu yang
bersifat turun-temurun dari para leluhurnya. Di dalam wilayah ini sebenarnya
secara de yure terdapat wewenang dari komunitas masyarakat adat. Wewenang
yang dimaksudkan disini terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam menurut prinsip-prinsip hukum adat dengan kekhasan masing-
masing.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja yang hukum yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
kepulauan?

2. Tuliskan bunyi hukum dan Undang-Undang yang menjelaskan tentang wilayah


pesisir?

3. Tuliskan apa yang dimaksud dengan Hak Faktual?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui berbagai jenis" peraturan hukum dan perundang-undangan di


wilayah pesisir kepulauan".
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau


Kecil.

1.1. Kebijakan Pemerintah

Indonesia sebagai Negara hukum, termasuk kategori Negara


hukum modern. Konsepsi Negara hukum modern secara
konstitusional dapat dirujuk pada rumusan tujuan Negara yaitu :
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial. Nomrmalisasi
tujuan Negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan umum
dan mewujudkan keadilan sosial antara lain termuat dalam Pasal 33
UUD 1945.

Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hak penguasaan Negara


mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian dan kegiatan
perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Indonesia, tetapi Pasal
33 bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan
dengan kesejahteraan sosial. Berdasarkan pemikiran yang demikian,
maka upaya memahami Pasal 33 tidak terlepas dari dasar pemikiran
tentang kesejahteraan sosial (Bagir Manan, 1995 : 55). Atas dasar itu
pula, sehingga tujuan hak penguasaan Negara atas sumberdaya alam
ialah keadilan sosial dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Keterkaitan hak penguasaan Negara dengan sebesar-besarnya


kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan (dalam Abrar Saleng, 2004:
17) akan mewujudkan kewajiban Negara :

(1) Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di
dapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;

(2) Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang


terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam
tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati oleh
rakyat;

(3) Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan


menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas, sebagai jaminan bagi tujuan hak


penguasaan Negara atas sumberdaya alam yang sekaligus
memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, Negara
hanya melakukan bestuursdaad dan beheersdaad dan tidak
melakukan eigensdaad. Artinya secara a contrario, apabila hak
penguasaan Negara diartikan sebagai eigensdaad maka tidak ada
jaminan bagi pencapaian tujuan hak penguasan Negara yaitu sebesar
-besarnya kemakmuran rakyat.

Lebih lanjut Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian


dikuasai oleh Negara atau hak penguasaan Negara sebagai berikut:

(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh Negara. Artinya Negara


melalui pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak, wewenang atasnya. Termasuk di sini bumi, air dan
kekayaaan yang terkandung di dalamnya.

(2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan;


(3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan Negara untuk
usaha-usaha tertentu.

Apabila konsep Negara kesejahteraan dan fungsi Negara


menurut W. Friedmann dikaitkan dengan konsepsi hak penguasaan
Negara untuk kondisi Indonesia dapat diterima dengan beberapa
kajian kritis sebagai berikut (Abrar Saleng, 2004 : 18-19) :

Pertama, hak penguasaan Negara yang dinyatakan dalam pasal


33 UUD 1945 memposisikan Negara sebagai pengatur dan penjamin
kesejahteraan rakyat. Fungsi Negara itu tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya. Artinya melepaskan suatu bidang usaha atas
sumberdaya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan
bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus.
Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat tetap dapat dikendalikan oleh Negara.

Kedua, hak penguasaan Negara dalam pasal 33 UUD 1945,


membenarkan Negara untuk mengusahakan sumberdaya alam yang
berkaitan dengan public utilities dan public service atas dasar
pertimbangan : filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah
usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum),
politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang merugikan
perekonomian Negara), ekonomi (efisien dan efektifitas) dan demi
kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Khusus berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam


pengelolaan sumberdaya laut maka dapat dijelaskan bahwa paling
sedikit terdapat tiga ciri dari kebijakan pengelolaan sumberdaya laut
yang dipraktekkan selama ini, yakni (1) sentralistik, (2) didasarkan
pada dokrin common property dan (3) mengabaikan pluralism hukum.
Sentralistik kebijakan menyangkut substansi sekaligus proses
pembuatannya. Substansi kebijakan yang sentralistik tercermin pada
kewenangan pengelolaan sumberdaya laut, setidak-tidaknya hak itu
terjadi disektor perikanan. Disektor ini, proses perizinan maupun
pejabat yang berwenang memberikan hampir seluruhnya berada di
tangan pemerintah pusat. Kalaupun ada pendelegasian kewenangan
kepada gubernur, hal itu semata-mata dalam kedudukannya selaku
wakil pemerintah pusat di daerah.

Demikian pula proses penetapan kebijakannya, hampir semuanya


melibatkan pemerintah pusat. Indikasinya, kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam laut pada umumnya dikemas dalam bentuk undang
-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden yang dalam
proses penetapannya semata-mata melibatkan aparat pemerintah
pusat.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya laut yang diasarkan pada


common property sebagai ciri kedua juga mengandung sejumlah
kelemahan. Dengan mendasarkan kebijakan pada dokrin common
property maka laut diposisikan sebagai sumberdaya milik bersama.
Konsekuensinya, laut diperlakukan laksana harta tak betuan dimana
setiap orang leluasa melakkukan okupasi dan eksploitasi (open
access). Karakteristik seperti ini sangat jelas dalam Undang-Undang
Perikanan dan kebijakan lainnya. Ini pula yang antara lain melatar
belakangi munculnya berbagai konflik dalam penggunaan
sumberdaya terutama antara nelayan tradisonal dengan perusahaan
penangkapan ikan.

Sebagai dasar pembentukan kebijakan pengelolaan laut, dokrin


common property sesungguhnya mempunyai banyak kelemahan.
Francois T Christy (dalam M. Arif Nasution dkk, 2005 : 105)
mengungkapkan adanya empat akibat buruk dari suatu kebijakan
pengelolaan sumberdaya laut yang didasarkan pada dokrin common
property yaitu (a) pemborosan sumberdaya secara fisik, (b) inefisiensi
secara ekonomi, (3) kemiskinan nelayan, dan (4) konflik antara
pengguna sumberdaya.

Sementara pengabaian pluralism hukum, yang merupakan ciri


ketiga dari kebijakan pengelolaan laut selama ini, menjelama dalam
bentuk ketiadaan pengakuan terhadap sistem pengeloaan
sumberdaya laut berdasarkan hukum adat. Padahal secara faktual
sistem pengelolaan semacam itu masih dipraktekkan di berbagai
daerah. Beberap contoh yang dapat dikemukakan, seperti sistem hak
wilayah laut di Maluku atau perikanan Bagang dan romping di
Sulawesi Selatan. Bahkan pada derajat tertentu, pluralism hukum
dalam pengelolaan sumberdaya laut juga mengisyaratkan bahwa laut
dapat menjadi obyek pemilikan tunggal, sesuatuyang berbeda secara
diametal dengan doktrin common property.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan


pengelolaan wilayah pesisir dan perairan pulau-pulau kecil adalah
sebagai berikut :

(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan


Hidup.

Undang-undang ini menentukan bahwa sasaran pengelolaan


lingkungan hidup adalah (a) tercapainya keselarasan,
keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan
hidup; (b) terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara
bijaksana, hak dan kewajiban dan peran masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Di dalam UUPA diatur mengenai hak menguasai oleh Negara atas


bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Selain itu juga diatur hak ulayat, hak-hak atas tanah, dan
hak atas air.

(3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang nomor 5 Tahun 1990 tersebut lebih banyak


memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian
sumberdaya alam. Konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian
sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistem,
sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

(4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan


Pokok Pertambangan.

Undang-Undang ini terkesan lebih menitik beratkan perhatian


pada eksploitasi dari pada kelestarian sumberdaya tambang. Di
dalam undang-undang ini hanya terdapat satu pasal
perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan.

(5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang

Pembentukan Undang-undang Tata Ruang didasarkan pada


asas-asas pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara
terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras,
seimbang dan berkelanjutan dan asas keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Undang-undang
Tata Ruang mengatur tata ruang yang meliputi darat, laut dan
udara, sehingga undang-undang ini sangat penting dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

(6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


Menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa semua hutan di dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh Negara
sebagaimana dimaksud di atas memberi wewenang kepada
pemerintah untuk :

(a) Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan


dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

(b) Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan


atau kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan
hutan;

(c) Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang


dengan hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai hutan.

Penguasaan hutan Negara tetap memperhatikan hak


masyarakat adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.

(7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Pemerintah


melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu
dan terarah dengan melestarikan sumberdaya alam beserta
lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia”
Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah menunjukkan
bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih berjalan pada
semangat sentralistik. Ruang bagi partisipasi public dalam
pengambilan keputusan berkaitan dengan pengelolaan ikan tidak
ditemukan dalam undang-undang Perikanan. Demikian pula
perlindungan pada hak masyarakat adat. Tidak ada satu pasalpun
dalam undang-undang ini yang menyebutkan tentang masyarakat
adat dan hak-haknya atas penguasaan dan pengelolaan
sumberdaya ikan.

(8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Perairan.

Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang perairan,


pengaturan air dibatasi pada air yang terdapat di atas atau di
bawah permukaan tanah, dan tidak termasuk ait yang terdapat di
laut.

(9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah


Daerah.

Di dalam undang-undang ini, pemerintah memberikan


kewenangan kepada pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk mengelola perairan laut pesisir dan
perairan laut pulau-pulau kecil sampai batas 12 mil.

(10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang ketentuan-


ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan.

Undang-undang Hankam ini mengatur mengenai pengamanan


sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang dilaksanakan
dengan konservasi dan diversifikasi serta didayagunakan bagi
kepentingan pertanahan keamanan Negara.

(11) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Keparawitasataan.

Di dalam Undang-undang Keparawisataan diatur pengusahaan


obyek dan daya tarik wisata.
1.2. Masyarakat Hukum Adat dan Hak-Haknya.

Menurut Soekanto (1983 : 3), masyarakat hukum adat


merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang
kemudian disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum tersebut
menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya mengambil
keputusan yang mengikat warga masyarakat , menyelenggarakan
peradilan, mengatur penggunaan tanah, mewarisi dan sebagainya.

Identifikasi tentang masyarakat adat bukan saja berkaitan pada


konsep-konsep yuridis tentang apa yang disebut sebagai masyarakat
adat dan dimanakah kedudukannya, tetapi pada dasarnya juga
mengarah pada suatu tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas
hak-hak mereka yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai
masyarakat adat. Tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak
-hak mereka berpegang pada dua hal yaitu :

· Kedudukannya sebagai komunitas masyarakat adat;

· Berakar pada susunan asli dan pertumbuhan masyarakat itu


sendiri.

Hukum adat sebenarnya mengakui bahwa penguasaan suatu wilayah


petuanan negeri ditandai dengan aktivitas atau kegiatan-kegiatan dari
warga atau anak negeri tersebut, misalnya dengan kegiatan berkebun,
berburu untuk mencari hasil hutan dan sebagainya ( Ter Haar ) Semua ini
merupakan bukti bahwa warga atau anak negeri dari negeri tersebut telah
berulang kali mengusahakan tempat atau wilayah tersebut, sehingga
secara nyata (de facto) mereka menguasai wilayah tersebut. Selanjutnya
yang menjadi permasalahan adalah apakah secara hukum (de yure) hal itu
dapat diterima. Berkaitan dengan masalah hukum ini sebenarnya harus
dibarengi atau diikuti dengan pengakuan baik lisan maupun tertulis bahwa
wilayah tersebut memang milik warga atau milik negeri tersebut. Hal itu
dapat kita lihat dari kesepakatan-kesepakatan antar warga atau negeri-
negeri tertentu, yang ditaati oleh mereka baik secara individu (pribadi)
maupun warga masyarakat negeri secara keseluruhan.

B. Kewenangan dan Hak

2.1. Hak Menguasai Negara.

Konsep dasar hak menguasai oleh Negara di Indonesia termuat


dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut tampak bahwa menurut


konsep UUD 1945, hubungan antara Negara dengan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hubungan
penguasaan. Artinya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Apa yang dimaksud dengan “dikuasai”
oleh Negara, dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan.

Penjelasan otentik tentang pengertian bumi, air dan kekayaan alam


yang terkandung di dalmnya (disebut sumber daya alam) dikuasai Negara,
termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA yang merupakan pelaksanaan
Pasal 33 UUD 1945, menjelaskan pengertian hak menguasai sumberdaya
alam oleh Negara sebagai berikut :

(1) Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar


dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat;
(2) Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk :

o Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut

o Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum


antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

o Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum


antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara


tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakatr dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya


dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 2 UUPA tersebut, maka menurut konsep UUPA,


pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak
yang memberi wewenang kepada Negara untuk mengatur 3 hal yaitu :

o Mengatur dan menyelenggatakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaan;

o Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas


(bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
o Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang-orang dan perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai sumber


daya alam oleh Negara tersebut semata-mata “bersifat public”, yaitu
wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewenang
untuk menguasai secara fisik dan dan menggunakan sebagaimana
wewenang hak yang “bersifat pribadi” (Muhammad Bakri, 2007 : 5).
Selanjutnya esensi istilah “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai
konsekuensi dari kata-kata “dikuasai oleh Negara” dan “dipergunakan”.
Meskipun kedua kata mempunyai arti yang berbeda, tetapi memiliki
maksud dan tujuan yang sama dan saling berkaitan. Sebab “dipergunakan”
merupakan tujuan dari kata “dikuasai”, sehingga keduanya mempunyai
hubungan sebab akibat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kata
“dipergunakan” sebagai akibat adanya “penguasaan negara”. (H. Abrar
Saleng, 2004 : 37).

Kedua aspek kaidah tersebut tidak dapat dipsahkan satu sama lain,
keduanya merupakan satu kesatuan sistematik, hak penguasaan Negara
merupakan intrumen (bersifat instrumental), sedangkan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan
(objectives).

Istilah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan kelanjutan


atau normatifisasi dari beberapa istilah dalam alinea ke IV Pembukaan UUD
1945 seperti “… memajukan kesejahteraan umum, … perdamaian abadi dan
keadilan sosial, … serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia….” Mengenai kata rakyat, selain berhubungan dengan kata
kemakmuran dan keadilan sosial, juga berhubungan dengan faham
kedaulatan dan lembaga perwakilan seperti : Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain hubungan-hubungan tersebut di atas, rakyat juga dapat dilahami
dalam tiga kemungkinan (Jimly Asshiddiqie, 1994 : 63-64) :
(a) Rakyat sebagai individu atau bersifat individual (perorangan).
Sebagai individu rakyat adalah otonom yang memiliki khak dan kewajiban
yang dirinci dalam konstitusi suatu Negara.

(b) Rakyat sebagai golongan-golongan atau kelas. Rakyat dalam faham


kedaulatan, bukanlah rakyat sebagai individu-individu melainkan rakyat
sebagai keseluruhan yang meliputi berbagai golongan-golongan dalam
masyarakat.

(c) Rakyat yang mengabaikan dikotomi baik berdasarkan individual


maupun golongan-golongan.

Ketiga golongan hubungan tersebut, oleh Soepomo (dalam


Muhammad Yamin, 1971 : 112-113) disebutkan sebagai teori yang
mendasari aliran-aliran pikiran kenegaraan, yaitu aliran perorangan
(individualisme), aliran teori golongan yang komunistik dan aliran teori
integralistik yang bersifat totaliter.

2.2. Kewenangan Pemerintah Pusat

Republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disertai sistem


desentralisasi susunan organisasi RI terdiri dari dua susunan utama yaitu
susunan organisasi Negara tingkat pusat dan tingkat daerah.

Susunan organisasi negara tingkat pusat, mencerminkan seluruh


cabang-cabang pemerintah dan fungsi kenegaraan pada umumnya.
Susunan organisasi tingkat daerah terbatas pada susunan
penyelenggaraan pemerintah (eksekutif) dan unsur-unsur pengaturan
(regulen) dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan.

Pemberian kewenangan kepada daerah dilandasi kepada asas


desentralisasi, maka akan memberi implikasi berupa penyelenggaraan
pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan
kecuali kewenangan sebagaimana termuat dalam Pasal 10 ayat (3) Undang
-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu :
a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

2.3. Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota.

Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 maka


pelimpahan kewenangan pemerintahan diserahkan kepada daerah. Dalam
Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, dinyatakan bahwa
prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang
ditetapkan dalam undang-undang ini. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Khusus berkaitan dengan kewenangan pengelolaan wilayah laut, Undang-


Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1)
s.d. ayat (4) :

(1) Daerah yang memilkiki wilayah laut diberikan kewenangan untuk


mengelola sumber daya di wilayah laut.

(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam


di bawah dasar dan/atau didasar laut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

b. pengaturan administrasi;

c. pengaturan tata ruang;

d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah


atau yang melimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;

e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.

(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai kea rah laut lepas dan/atau kea rah perairan
kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten kota.

C. Eksistensi dan Keberlakuan Hukum Adat Dalam


Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Hukum adat maupun hak faktual atau mungkin disebut juga sebagai
hukum lokal, terhadap hal-hal tersebut yakni hak-hak masyarakat adat
dalam hubungannya dengan pribadi, kelompok masyarakat lainnya yang
memanfaatkan alam lingkungan disekitarnya, pemilikan tanah adat, pesisir
dan laut, hutan mangrove , jual beli hasil pertanian, perkebunan maupun
perikanan yang mengikuti hukum pasar. Khusus untuk pengelolaan pesisir
dan perairan kepulauan, hukum adat maupun hukum faktual telah
diakomodasi dalam peraturan daerah provinsi dan juga peraturan daerah
kabupaten.

Dimaksudkan dengan hak faktual adalah hak yang berlaku dalam


masyarakat lokal yang bukan berasal dari hukum adat. Hak ini adalah jenis
hak yang tidak dapat diidentifikasi di dalam jenis-jenis hak yang dikenal
dalam literatur hukum adat. Hak ini adalah hak yang batu timbul dalam
kehidupan masyarakat. Contohnya adalah hak masyarakat untuk menanam
rumput laut di pesisir pulau tertentu. Menanam rumput laut tidak dikenal
dalam hukum adat mereka. Hak ini adalah hak baru, begitu pula hak atas
perairan disekitar rumpon, hak atas perairan disekitar keramba, hak atas
perairan disekitar bagan. Antara masyarakat adat dengan pemerintah
sering terjadi konflik, dan semakin dekat kepentingan berbagai pihak saling
berhubungan, semakin tinggi konflik di atara para pihak. Sebaliknya
semakin sedikit kepentingan saling berhubungan, semakin kecil konflik
yang timbul. Konflik antara masyarakat berhadapan dengan investor asing
atau domistik yang didukung pemerintah seperti kasus penangkapan ikan
Napoleon di kawasan terumbu karang Metimarang dan Wekenau (sekitar
pulau Luang Maluku Tenggara Barat). Konflik yang berhubungan dengan
masalah lingkungan. Konflik antara masyarakat adat Haruku dengan PT
Aneka Tambang di wilayah petuanannya yang di sasi.

Peran hukum positif yang akan dibicarakan masih dalam lingkungan


preskripsi yang ada di dalam sistem hukum. Artinya peran itu adalah
menempatkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagai
kaedah yang member peluang, yang melandasi dua hal yaitu (1) keharusan
tindakan pemerintah, maupun (2) kebolehan perbuatan masyarakat secara
riil untuk melakukan tindakan perlindungan hak kepada masyarakat adat
dan sekaligus member peluang bergerak atau peluang bagi masyarakat
adat untuk menjalankan apa yang menjadi bagian dari haknya. Prinsip ini
sebenarnya merupakan prinsip yang dikembangkan dengan bertolak dari
penerapan tujuan-tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Menurut Souhaly (2006 : 76), hak-hak masyarakat atas sumberdaya


alam disekitarnya yang terlahir berdasarkan hukum adat merupakan suatu
sistem tersendiri sejak leluhur (ancestral roots) yang memiliki efek praktis
dan oleh karena itu memerlukan perlindungan hukum. Katakanlah
perlindungan hukum riil terhadap hak-hak yang ada (the existing rights of
indigenous people), perlu ditetapkan dan dijalankan secara administrative.

D. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU


KECIL

I. UMUM

1. Dasar Pemikiran

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang
dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain
itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat
parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak
kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-
undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih
berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran
nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang
dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig,
terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi
dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem
pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor
penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber
daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya
nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain.Oleh sebab itu, keunikan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik
dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-
pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat
dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi.
Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan
baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu
diberi sanksi. Norma -norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,
pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan
norma -norma yang diatur dalam peraturan perundangundangan lainnya
seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Penge
lolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan
pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-
undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang
telah diundangkan. Norma -norma itu akan memberikan peran kepada
Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik
kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan
internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan
hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum,
pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan
menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.
2. Tujuan penyusunan Undang - Undang ini adalah:

a. menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut
perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan
konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi
kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b. membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah


baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah
pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan
mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik
kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

c. memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki


tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui
pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak
masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk
pihak pengusaha.

3. Ruang Lingkup

Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke
arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah
perairan laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup pengaturan Undang-Undang
ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan,
pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai
berikut :

a. Perencanaan

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management
yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor
dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan
pemanfaatannya.Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan
mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai
tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan
kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan
keunikan wilayah tersebut.

Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan


terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara
berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat.

Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian


dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan
mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana
strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana
aksi.

b. Pengelolaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup


tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:

1. Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil


dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi
terkait.

2. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan


budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur
secara tersendiri.

3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dimulai


dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan,
pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan,
kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

4. Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau


kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi,
dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau.
induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering
menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat.
Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan
tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau Pulau
Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan
berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau pulau
kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan
pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil sering kali
memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-
norma pemberdayaan masyarakat.

c. Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:

1. mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis,


rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan
tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistempesisir;
2. mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau
-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaanwilayah pesisirnya;

3. memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi


seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti
pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa
penahanan ataupun kurungan.

4. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang
tercantum dalam pe raturan perundang-undangan yang lain.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1(cukup jelas)

Pasal 2

Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputiWilayah


Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan
dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau
Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan
mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber
daya, lingkungan, dan masyarakat.Dalam implemetasinya, ke arah laut
ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437)sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas
kecamatan untuk kewenangan provinsi.
Kewenangan kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga
dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan.

Pasal 3

Huruf a

Asas keberlanjutan diterapkan agar :

1. pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi


sumber daya hayati atau laju inovasi substitusisumber daya nonhayati
pesisir;

2. pemanfaatan Sumber Daya Pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan


(kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumber
daya pesisir; dan

3. pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus


dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang
memadai.

Huruf b

Asas konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan


pemerintahan, dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan
pengawasan untuk melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau- Pulau Kecil yang telah diakreditasi.

Huruf c.

Asas keterpaduan dikembangkan dengan:

1. mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor


pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan
pemerintah daerah;dan
2. mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan
masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu
proses pengambilan putusandalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.

Huruf d

Asas kepastian hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum yang


mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara
jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan;
serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil.

Huruf e

Asas kemitraan merupakan kesepakatan kerja sama antar pihak yang


berkepentingan berkaitan dengan Pengelolaan WilayahPesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.

Pasal 35

Pemanfaatan secara langsung merupakan kegiatan perseorangan atau


badan hukum dalam memanfaatkan sebagian dari wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil untuk kegiatan pokoknya.Pemanfaatan secara tidak
langsung merupakan kegiatan perseorangan atau badan hukum dalam
memanfaatkan sebagian dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk
menunjang kegiatan pokoknya.

Huruf a

Yang dimaksud dengan penambangan terumbu karang adalah


pengambilan terumbu karang dengan sengaja untuk digunakan sebagai
bahan bangunan, ornamen aquarium, kerajinan tangan, bunga karang,
industri dan kepentingan lainnya sehingga tutupan karang hidupnya kurang
dari 50% (lima puluh persen) pada kawasan yang diambil.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil masih bersifat sentralistik dan
mengabaikan kepentingan masyarakat adat. Selain itu sistem
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditinjau dari aspek
hukum masih tumpang tindih atau bersifat kondradiktif. Terkait
dengan wewenang antara pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah dan masyarakat adat sistem hukum di Indonesia masih tetap
mengatur dan mengakui eksistensi masyarakat hukum namun dalam
implementasi belum memberikan perlindungan secara optimal.

B. SARAN

Makalah ini masih memiliki kekurangan,oleh karena itu kritik dan


saran yang membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Akimichi Tomoya, 1991, Teritorial Regulation in the Small Scale


Fisheries of Ittoman, Okinawa,dalam Maritime Institution in the
Western Pasific, Osaka: National Museum of Ethnology.

B. Riyanto, 2004, Pengaturan Hutan Adat di Indonesia – Sebuah


Tinjauan Hukum Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan
Lingkungan, Bogor,

Roberth Souhaly, 2006, Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam,


Penerbit Unesa University Press, Jakarta.

H. Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UUI Press,


Yogyakarta,

Hesty Irwan dkk, 2002, Aspek Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di


Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia RI, Jakarta.

_____________, 2005a, Hukum Adat Maluku Dalam Konteks Pluralisme


Hukum : Implikasi Terhadap Manajemen Sumber Daya Alam Maluku,
disampaikan pada pengresmian penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam
Bidang Ilmu Hukum Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Agraria
Pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

Anda mungkin juga menyukai