Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ADAT PEREKONOMIAN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Oleh:
Aura Pramesti Salsabila
(1193050021)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021 M/ 1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah


melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah Hukum Adat ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Hukum Adat Perekonomiant” disusun dalam


rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Adat yang diampu oleh
bapak E.Hasbi Nazzarudin, S.H., M.H. Semoga apa yang kami sampaikan
melalui makalah ini dapat menambah wawasan baik itu untuk kami pribadi
sebagai penulis maupun dunia pendidikan pada umumnya.

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak E.Hasbi Nazzarudin, S.H.,


M.H.. selaku dosen dan pembimbing yang telah memberi masukan serta saran
yang sangat bermanfaat dalam proses penyelesaian makalah ini. Kami juga
mengucapkan terima kasi kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia


menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Demikian apa yang bisa kami sampaikan, semoga pembaca dapat


mengambil manfaat dari karya ini.

Bandung, Februari 2021

Penyusun

i
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................2
A Pengertian Hukum Adat Perekonomian.................................................................2
B Hal-Hal Yang Terdapat Dalam Hukum Adat Perekonomian.................................5
C Hubungan Hukum Adat Perekonomian Dengan Hukum Yang Berlaku Di
Indonesia......................................................................................................................10
BAB III............................................................................................................................13
PENUTUP.......................................................................................................................13
A. KESIMPULAN.................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman
kuno (pra-hindu). Adat istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat pra-hindu
tersebut menurut ahli hukum merupakan adat melayu–polensia, yang lambat laun
datang dikepulauan kita ini yang memiliki kultur hindu, kemudian datanglah kultur
islam & kristen yang mempengaruhi kultur asli yaitu adat istiadat yang dahulu
pernah ada pada zaman hindu dan pra-hindu.

Pada awal sebelum abad ke-19, hukum adat di identikan dengan hukum
agama yang dalam bahasa belanda godsdiens tigeweten selaras dengan pendapat
Van Den Breg yang memperkenalkan teori receptia in complexto, yang
menyatakan bahwa hukum adat golongan hukum masyarakat merupakan receptie
seluruh agama yang dianut masyarakat .

Tiap hukum merupakan suatu sistem, artinya kompleks normanya itu


merupakan suatu kebulatan sebagai wujud kesatuan pikiran yang hidup di
masyarakat. sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia
yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum
barat. Sementara antara sistem hukum adat & sistem hukum barat terdapat
beberapa perbedaan yang fundamental , misalnya:

1 Hukum barat mengenal zakelijke rechten & personal ijke rechten.


2 Hukum adat tidak mengenal pembagian hak.
Lain hal itu pula terdapat hukum adat yang mengatur berbagai sendi dari
kehidupan bermasyarakat, seperti hukum yang mengatur perekonomian masyarakat
adat dan disebut sebagai hukum adat perekonomian. Dalam makalah ini akan
dijelaskan seperti apa hukum adat tersebut dan hal apa sajakah yang terdapat dalam
hukum adat perekonomian.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengertian dari hukum adat perekonomian?
2. Apa saja hal-hal yang terkandung dalam hukum adat perekonomian?
3. Bagaimana hubungan hukum adat perekonomian dengan hukum yang
berlaku di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari hukum adat perekonomian
2. Mengetahui hal-hal yang terkandung dalam hukum adat perekonomian
3. Mengetahui hubungan hukum adat perekonomian dengan hukum yang

1
berlaku di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A Pengertian Hukum Adat Perekonomian


Pengertian hukum perekonomian, adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang hak-hak sesuatu benda yang ada dan dimiliki oleh masyarakat
hukum adat maupun dimasing-masing daerah.

Ruang Lingkup Hukum Perekonomian. Dalam bab tentang hukum


perekonomian ini akan dibahas meliputi :

1 Hak atas benda, yang dibahas disini adalah hak atas tanah (hak perorangan
dan hak ulayat) dan hak yang bersangkut paut dengan tanah 9meliputi : hak
atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternah, dll).
2 Hak-hak immatriil yang meliputi pengertian dan macam-macam hal
immatriil.
3 Transaksi-transaksi, meliputi transaksi tanah dan transaksi yang bersangkut
paut dengan tanah.
4 Hukum perhutangan meliputi pengertian dan macam-macam hukum
perhutangan, hukum perjanjian lainnya.
HAK-HAK ATAS BENDA
Hak-hak atas benda ini meliputi :
a. Hak-hak atas tanah, meliputi hak perorangan dan hak persekutuan (hak
ulayat).
b. Hak-hak atas benda selain tanah.
Hak atas tanah yang meliputi hak perseorangan dan hak ulayat (hak
persekutuan atau masyarakat hukum) telah berubah dengan dikeluarkannya UU
No.5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan unifikasi
hukum pertanahan yang ada di Indonesia. Didalam kehidupan masyarakat hukum
adat, tanah memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Seperti
dikemukakan oleh Soerojo Wignyodipuro, bahwa ada dua hal yang menyebabkan
tanah itu memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat
yaitu : karena sifat dan karena fakta.
Fungsi tanah bagi Masyarakat Hukum Adat
Sebagaimana bahwa tanah merupakan benda yang sangat penting bagi
kehidupan umat manusia. Adapun fungsi penting dari tanah dalam kehidupan
masyarakat hukum adat yaitu :
1 Karena sifatnya

2
Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang menkipun
mengalami keadaan-keadaan yang bagaimanapun akan masih bersifat tetap
dalam keadaan seperti semula dan bahkan menjadi lebih menguntungkan.
Seperti misalnya dijatuhi bom, tanah tetap tidak akan lenyap atau berkurang
atau kalau terjadi banjir, setelah banjir surut kadang-kadang dapat lebih
menyuburkan tanah tersebut.
2 Karena fakta :
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :
- Merupakan tempat tinggal persekutuan
- Memberi penghidupan kepada persekutuan
- Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal
dunia di kebumikan
- Merupakan pula tempat tinggal danyang-danyang pelindung persekutuan
dan roh para leluhur persekutuan (Surojo Wignyodipuro, 1968, h.247).
Bagi masyarakat hukum adat pada umumnya bahwa tanah mempunyai
fungsi yang sangat penting. Karena tanah merupakan tempat mereka hidup, tempat
mereka tinggal, dan tanah merupakan tempat yang memberikan penghidupan
kepada mereka.
Berdasarkan kenyataan ini, maka antara tanah dengan masyarakat hukum
dimana mereka tinggal terdapat hubungan yang erat sekali dan bahkan bersifat
religio magis, hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang
menyebabkan masyarakat hukum mempunyai hak untuk menguasai tanah-tanah
yang ada dalam masyarakat hukum tersebut dalam arti masyarakat hukum dapat
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil-hasil dari tumbuh-tumbuhan yang ada
diatas tanah tersebut, serta berburu binatang-binatang yang hidup disitu untuk
kepentingan hidup dan kehidupannya. Hak semacam ini disebut dengan hak ulayat
atau disebut pula dengan istilah “beschikkings recht”. Seperti di Jawa ada tanah
disebut dengan “tanah pikulen dan ada “tanah gogol”, sedangkan di Bali ada tanah-
tanah dengan nama : tanah PKD (Pekarangan Desa) dan ada tanah AYDS (Ayahan
Desa).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iman Sudiyat, bahwa sebagai salah
satu unsur essensiil pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara tersebut, lebih-lebih corak
agrarisnya menominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan
demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat merupakan suatu “conditio sine qua non” (Iman sudiyat, 1978,
h.1).
Hak persekutuan atas tanah seperti yang dijelaskan diatas disebut dengan
“Hak Ulayat” antara hak ulayat dengan hak perseorangan atas tanah terdapat asas
yang disebut dengan “asas mulur mungkret atau mengembang mengempis”, artinya
dimana hak perseorangan kuat maka berarti hak ulayat atas tanah di daerah tersebut

3
menjadi melamah atau berkurang. Demikian sebaliknya dimana hak perseorangan
melemah maka berarti hak ulayat di daerah tersebut menjadi kuat.
Hubungan yang erat antara tanah dengan masyarakat hukum dimana
masyarakat huum tersebut berada menimbulkan hak menguaai yang ada pada
masyarakat hukum itu. Hak atas tanah tersebut disebut dengan “ hak ulayat atau
hak pertuanan”. Hak ulayat ini oleh Van Vollenhoven diistilahkan dengan nama
“beschikkingsrecht”. Istilah beschikkingsrecht ini dipakai oleh Van Vollenhoven
sebagai pengganti istilah yang dipakai sebelumnya adalah “hak egiendom
(eigendomsrecht)” dan atau hak yasan komunal (dikutp dari Ter Haar, 1968, h.71).
Sedangkan para ahli hukum Indonesia memakai istilah-istilah antara lain :
Hak purba (Djojodiguno), Hak pertuanan (Soepomo), Hak bersama (Hazairin), dan
Hak ulayat (UUPA). Dan selanjutnya dalam tulisan-tulisan ilmiah lebih populer
istilah “Hak Ulayat”.
Istilah beschikkingsrecht seperti yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven
harus dibedakan lagi dengan pengertian “beschikkingskring”, karena disebut
belakangan ini adalah mengenai “lingkungan ulayat”. Lingkungan ulayat ini adalah
merupakan tanah wilayah yang dikuasai oleh hak ulayat. Dan terhadap lingkungan
ulayat (beschikkingskring) ini di tiap- tiap wilayah Indonesia mempunyai istilah
yang berbeda-beda misalnya : patuanan (Ambon), prabumian (Bali).
Jadi hak ulayat adalah hubungan antara masyarakat hukum dengan tanah,
melahirkan suatu hak dari masyarakat hukum terhadap tanah-tanah yang ada di
dalam batas-batas lingkungannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara lain adalah meliputi:
tanah (daratan), air (perairan seperti kali, danau, pantai beserta perairannya),
tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu
pertukangan, kayu bakar) dan binatang yang hidup liar.
Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum dengan obyek seperti
tersebut diatas, maka masyarakat hukum di dalam menerapkan hak ulayat
dilakukan dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakat hukum berdasarkan wewenangnya
membatasi kebebasan warga masyarakatnya untuk memungut hasil tersebut.
Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria, UU No.5
Tahun 1960), hak menguasai dari masyarakat hukum adat seperti dimiliki hak
ulayat, beralih kepada negara. Dengan demikian hak-hak atas tanah yang dapat
diperoleh oleh Warganegara Republik Indonesia diatur sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam UUPA tersebut. Seperti diatur dalam Pasal 16 UUPA, pada
intinya menyebutkan pada penjelasannya bahwa UUPA adalah berlandaskan pada
hukum adat. Seperti juga tertuang dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa
UUPA berlandaskan hukum adat.
Disimak dari ketentuan-ketentuan tersebut seharusnya hak-hak atas tanah
didasarkan pula pada sistematika hukum adat. Tetapi dalam kenyataannya tidak
demikian, karena berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 10 UUPA, dinyatakan bahwa hak-

4
hak adat bertentangan dengan kedua pasal tersebut seharusnya dihapus. Tetapi
karena keadaan masyarakat belum memungkinkan untuk dihapus, maka kemudian
diberilah sifat sementara, yang artinya sewaktu-waktu hak-hak adat tersebut akan
dihapuskan.
Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat ditemukan dalam Pasal3,
yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Hak ulayat dari masyarakat hukum sepanjang dalam kenyataannya masih
ada harus menyesuaikan diri dengan negara dan nasional.
b. Pelaksanaan daripada hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.
c. Pengaturan hak ulayat dilakukan oleh negara dengan Pasal 1 dan 2 UUPA.
Penjelasan dari Pasal 3 UUPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang didalam perpustakaan
hukum adat disebut dengan “beschikkingsrecht”, itu berarti termasuk pula jenis-
jenis tanah adat yang ada di Bali yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat Bali
seperti desa pakraman menguasai tanah ayahan desa (AYDS) atau tanah
pekarangan desa (PKD).

B Hal-Hal Yang Terdapat Dalam Hukum Adat Perekonomian


1). Hak Kebenaran.
Jika seorang penduduk desa ditanyakan, ini rumah siapa?, ia akan
menjawab “rumah saya”, walaupun rumah itu, rumah orang tuanya atau rumah
keluarganya. Jawaban tersebut tidak langsung menunjukan pengertian “hak
milik mutlak” sehingga ia bebas melakukan perbuatan hukum terhadap rumah
itu. Jika ia akan berbuat atas hak miliknya itu ia harus berbicara terlebih dahulu
dengan anggota keluarganya. Begitulah pengertian hak milik Indonesia yang
berfungsi sosial.
Hak atas bangunan rumah, atau juga tanaman tumbuhan, yang terletak
diatas sebidang tanah, tidak selamanya merupakan satu kesatuan. Oleh karena
itu ada kemungkinan seseorang memiliki bangunan rumah atau tanaman
tumbuhan yang terletak diatas tanah milik orang lain, atau milik kerabat atau
milik desa. Jadi menurut hukum adat hak atas tanah terpisah dari hak atas
bangunan atau juga hak atas tanam tumbuhan.
 Begitu pula hukum adat tidak membedakan antara barang tetap dan barang
bergerak (roerende dan onroerende goederen). Bagi masyarakat Jawa misalnya
dapat terjadi “adol ngebregi” (jual tetap) atau “adol bedol”.
2). Kerjasama dan Tolong Menolong.
Dalam ekonomi pertanian ladang, jika penduduk akan membuka daerah
perladangan, maka dalam melakukan pembukaan hutan, menebang pohon,
menebas semak belukar, kemudian membakarnya, dilakukan bersama dan
tolong-menolong. Setelah hutan dibersihkan, maka tanah perladangan itu dibagi-
bagi bidangnya kepada para peserta kerjasama.

5
Di sumbawa berlaku adat kerjasama tolong-menolong dalam usaha
pertanian, yang disebut “nulong”, “saleng tulong” dan “basiru”. “nulong” artinya
kerjasama tolong-menolong dengan balas jasa, misalnya dalam menuai padi,
setelah selesai maka anggota peserta mendapat seikat padi atau sejumlah uang,
dan para peserta yang menolong diberi makan siang. “Saleng tulong” adalah
kerjasama tolong-menolong tanpa balas jasa, para peserta hanya diberi makan
siang dengan lauk-pauk yang istimewa. “basiru” adalah kerjasama tolong-
menolong dengan balas jasa berupa pemberian uang atau padi para peserta,
tetapi para peserta harus membawa makanan sendiri, kecuali memang telah
dijanjikan ditanggung makan siang.
Kerjasama tolong-menolong yang sifatnya sosial keagamaan untuk
keperluan membantu saudara atau tetangga yang menderita kecelakaan,
kebakaran, sakit, kematian dan lainnya, agaknya berlaku di berbagai daerah.
Begitu pula pemberian sumbangan bagi kerabat kerabat tetangga yang
mengadakan hajatan sunatan, cukuran dan perkawinan. Apabila kerjasama
tolong-menolong itu ditunjukan untuk kepentingan umum, seperti perbaikan
jalan, tempat ibadah, balai desa dan lain-lainnya, yang mengerahkan tenaga
kerja yang banyak dan dipimpin oleh perangkat desa disebut “gotong-royong”.
3). Usaha Perorangan
Apa yang duraikan diatas tadi adalah mengenai kerjasama tolong-
menolong yang bersifat dan dilaksanakan berkelompok, baik untuk waktu yang
sementara maupun untuk waktu yang lama. Kemudian yang dimaksud dengan
usaha perorangan adalah perbuatan perorangan, yaitu dengan perbuatan
menyerahkan atau mengerjakan sesuatu oleh orang satu dan orang yang lain dan
berlaku timbal-balik. Misalnya yang disebut :
a Beri-memberi
b Pakai-memakai
c Jual-beli
d Titip-menitip
e Hutang-piutang
f Kerja-mengerjakan
4). Transaksi Tanah
Khusus mengenai usaha perorangan dalam hubungannya dengan bidang tanah
(hak-hak atas tanah) dibicarakan tentang perbuatan yang bersifat sepihak, seperti
pembukaan tanah, dan perbuata dua pihak seperti transaksi tanah.
Terjadinya hak milik atas tanah misalnya dikarenakan perorangan dengan
keluarganya membuka tanah hutan untuk tanah peladangan, sampai menjadi tempat
usaha yang tetap dengan penanaman tanaman tumbuhan. Sehingga menjadi tempat
kedamaian sementara yang disebut “susukau” itu merupakan perbuatan sepihak,
yang menimbulkan hak atas tanah bagi yang membukanya.

a) Hak-hak atas Tanah

6
Di beberapa daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi
tanda “mebali” yaitu tanda akan membuka tanah. Tanda-tanda itu biasanya
berupa tanda silang atau lingkungan rotan atau bambu yang dipisahkan diatas
pohon, atau berupa dahan kayu yang diikat dengan rotan atau tali ijuk yang
ditegakkan tegan dan nampak dari kejauhan. Dengan memberi tanda tersebut
timbul hak untuk mengusahakan sebidang tanah (Hak membuka tanah).
Apabila tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanhah peladangan
yang ditanami palawija dan lainnya, maka terjadilah hak pakai atau hak
mengusahakan tanah. Apabila tanah tersebut tidak diteruskan mengerjakannya,
sedangkan tanda mebali masih terpasang diatas pohon, maka yang ada adalah
“hak atas pohon”. Untuk menjadikan tanah itu hak milik, maka tanah lading
itu harus dikerjakan terus-menerus, tetapi jika tanah peladangan itu
ditinggalkan terbelangkai menjadi semak belukar atau menghutang kembali.
Maka hak miliknya hilang dan yang ada adalah “hak utama” untuk
mengusahakannya kembali. Hak utama ini akan hilang apabila bidang tanah
tersebut telah menghutan, dan tanah itu akan kembali “hak ulayat” desa. Hak
milik atas tanah peladadangan dapat ditingkatkan menjadi “hak milik tetap”
apabila diatas tanah itu ditanami tanam tumbuhan berupa tanaman keras yang
rapat sehingga menjadi tanah kebun.
Dikalangan masyarakat adat jarang terjadi pemilik tanah menyewakan
tanahnya kepada orang lain di pedesaan. Yang banyak berlaku adalah “hak
numpang” atas tanah milik orang lain, dengan membangun perumahan sebagai
tempat kediaman, atau menumpang untuk bertanam tumbuhan palawija,
perbuatan ini disebut “tumpang sari”. Hubungan antara pemilik tanah dan
penumpang bersifat kekeluargaan dengan beri-memberi, urus-mengurus,
bantu-membantu.
b) Jual Lepas
Kebanyakan dimasa lampau jual lepas tanah berlaku secara tertulis
dibawah tangan, dengan atau tanpa kesaksian perangkat desa. Di masa
sekarang jual lepas harus dengan kesaksian perangkat desa. Sifat jual lepas ini
terang dan tunai, artinya terang diketahui tetangga dan kerabat, dan dilakukan
pembayarannya.
Adakalanya jual lepas tersebut disepakati dengan perjanjian bahwa
penjual diberi hak utama membeli kembali, atau pembeli jika akan menjual
lagi tanah itu harus memberi tahu dahulu kepada penjual tanah semula apakah
ia akan membeli kembali tanah tersebut, jual beli tanah seperti ini disebut “jual
kurung”, yang biasa terjadi dikalangan kerabat atau tetangga yang mempunyai
hubungan akrab.
Dalam perjanjian jual lepas seringkali terjadi sebelum ijab-kabul (serah-
terima) jual beli dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua pihak, pihak
pembeli memberikan “panjer” atau “persekot” (voorschot) sebagai tanda jadi.
Panjer atau persekot itu bisa berupa sejumlah uang yang diterima penjual dari

7
pembeli. Apabila dikemudian hari perjanjian batal karena kesalahan penjual
maka ia harus mengembalikan panjer dua kali lipat kepada pembeli,
sebaliknya jika kesalahan itu dari pihak pembeli sehingga perjanjian itu batal
maka panjer hilang. Lain halnya dengan persekot yang merupakan
pembayaran pendahuluan dari pembeli kepada penjual. Yang akan dipotong
dari pembayaran harga pembelian keika pelunasan pembayaran dilakukan.
c) Jual Gadai
Transaksi tanah yang disebut “jual gadai” (Jawa; adol sende,
Sunda; ngajual akad/gade) adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada
pembeli dengan harga tertentu dan dengan hak menebusnya kembali. Dalam
hal ini sebenarnya yang dijual bukan hak milik atas tanah, tetapi hak
menguasai tanah, dimana pembeli selama tanah dikuasainya ia dapat memakai,
mengolah dan menikmati hasil dari tanah gadaian itu. Selama tanah itu belum
ditebus oleh pemilik tanah/penggadai, maka tanah tersebut dikuasai oleh
pemegang gadai/pembeli gadai.
Menurut hukum adat pemegang gadai tidak mampu menuntut pemilik
tanah untuk menebus kembali tanah yang ia gadaikan, oleh karenanya jika
pemegang gadai membutuhkan uang ia dapat menempuh dua jalan yaitu
dengan “mengalihkan gadai” (onderverpanding). Yang dimaksud
“mengalihkan gadai” ialah menggadaikan tanah itu lagi kepada orang lain atas
persetujuan pemilik tanah, sehingga hubungan hukum antara pemilik tanah
dengan pemegang gadaian pertama beralih kepada pemegang gadai kedua.
Sedangkan yang dimaksud “mengganakkan gadai” adalah pemegang gadai
pertama menggadaikan kembali tanah itu kepada penggadai kedua tanpa
persetujuan pemilik tanah. Jadi hubungan hukum berlaku antara pemegang
gadai pertama dengan pemegang gadai kedua.
Menurut pasal 7 PP pengganti UU No. 56 tahun 1960 dikatakan “barang
siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai sejak berlakunya peraturan
ini (yaitu tanggal 26 Desember 1960) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilik dalam waktu satu bulan
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar, maka dapat
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“.
d) Jual Tahunan
Transaksi tahunan terjadi apabila pemililk tanah menyerahkan tanahnya
(sawah atau tegalan) kepada orang lain (penggarap) untuk beberapa tahun
panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari penggarap. Setelah
habis waktu tahun panen yang dijanjikan maka penggarap menyerahkan
kembali tanah itu kepada pemiliknya. Biasanya jual tahunan itu berlaku untuk
1-3 tahun panen. Lama waktu tahun panen tergantung pada jenis tanaman yang
digarap oleh penggarap. Tanaman jagung tahun panennya lebih singkat dari

8
tanaman padi. Di beberapa daerah pedesaan orang jawa biasa menyebutnya
“trowongan”, “kemplongan” atau “sewa tahunan”.
5). Transaksi Menyangkut Tanah
Transaksi tanah sebagaimana diuraikan di atas adalah transaksi dimana tanah
yang dijadikan objek perjanjian. Jadi bidang tanahnya yang ditransaksikan,
sedangkan transaksi menyangkut tanah bukan bidang tanahnya yang menjadi objek
perjanjian, melainkan kekaryaannya, pengolahannya atau dijadikan jaminan.
Dengan demikian bidang tanah hanya tersangkut saja, bidang tanah seolah-olah
hanya sebagai lampiran dari penjanjian pokok. Misalnya; “perjanjian bagi hasil”,
“perjanjian sewa”, “perjanjian berpadu”, perjanjian semu atau tanah sebagai
jaminan.
a) Perjanjian Bagi Hasil
Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk
mengerjakan tanah, mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian
bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua (Jawa: maro, Periangan: nengah,
Sumatera: pardua, Sulawesi Selatan: tesang, Minahasa: toyo), maka perjanjian
demikian itu disebut “perjanjian bagi hasil”. Jika hasil itu dijanjikan dibagi
tiga, maka disebut “pertiga” (Jawa: mertelu, Periangan: jejuron). Dengan
perjanjian bagi bidang tanahnya, sehingga penggarap yang tadinya tidak
memiliki tanah garapan menjadi pemilik tanah pula.
b) Perjanjian Sewa Tanah
Transaksi sewa tanah ialah perjanjian dimana pemilik tanah atau
penguasa tanah, memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan tanah
sebagai tempat berusaha, dengan menerima sejumlah uang sebagai sewa untuk
waktu tertentu. Misalnya menyewa tanah milik orang lain untuk tempat
berusaha, untuk membangun kedai, warung, depot minyak, tempat pangkas
rambut, untuk membangun panglong kayu ramuan rumah, untuk bengkel
pertukaran, untuk tempat penitipan barang dan lain sebagainya.
Di sumatera Selatan di masa pemerintahan marga territorial, apabila
penduduk dari daerah marga lain, memasuki daerah marga dan membuka
hutan untuk tempat berladang di daerah marga itu, maka ia harus membayar
“sewa bumi” (Bali: ngupetenin, Ambon: sewa ewang) kepada pemerintah
marga itu. Jika ia tidak membayar sewa bumi, maka ia melakukan pelanggaran
adat yang disebut “maling utan” dan dapat dikenakan hukuman.
c) Perjanjian Terpadu
Apabila terjadi perpaduan antara perjanjian yang berjalan bersama.
Dimana yang satu merupakan perjanjian pokok sedang yang lain adalah
perjanjian tambahan, maka perjanjian tersebut adalah “perjanjian terpadu” atau
“perjanjian ganda”. Misalnya terjadi perpaduan antara perjanjian jual gadai
atau jual tahunan dengan perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa atau
perjanjian lainnya. Jika misalnya X menggadaikan tanahnya kepada Y,
kemudian X yang mengolah tanah itu dengan perjanjian bagi hasil dengan Y,

9
maka perjanjian pokoknya adalah “gadai ganda” sedangkan perjanjian
tambahannya adalah “bagi hasil”.
d) Tanah Sebagai Jaminan
Dalam hal ini kebanyakan terjadi dalam hubungan denga hutang –
piutang uang atau barang yang nilai harganya agak besar. Misalnya A
berhutang uang tunai padi yang nilainya sampai satu juta rupiah kepada B
dengan memberikan jaminan tanah pekarangan. Apabila dikemudian hari
ternyata A tidak dapat membayar hutangnya pada B, maka B dapat bertindak
atas tanah jaminan (tanggungan) tersebut untuk memiliki tanah jaminan itu
atas dasar jual-beli dengan A aatu menjual tanah jaminan itu kepada orang lain
dengan memperhitungkan piutang kepada A. nilai harga tanah jaminan itu
biasanya lebih tinggi dari besarnya hutang. Menurut perkiraan harga pasaran
ketika perjanjian hutang diadakan.
e) Perjanjian Semu
Dikalangan masyarakat sering terjadi perjanjian semu. Yaitu suatu
perjanjian yang dibuat atau yang terjadi, tidak sama dengan kenyataan yang
berlaku sesungguhnya. Misalnya yang dikatakan kepada umum atau yang
tertulis adalah perjanjian hutang tanpa bunga, tetapi yang berlaku sebenarnya
berbunga, atau yang ditonjolkan adalah perjanjian jual-beli hasil bumi, tetapi
sebenarnya adalah “melepas uang” (Lampung: ngakuk anduk) atau sistem
“ijon” (ijoan), hasil bumi telah dibayar terlebih dahulu jauh sebelum masa
panen atau dalam jual-beli barang dengan kuitansi kosong, atau dengan
mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga pasaran sebenarnya.

C Hubungan Hukum Adat Perekonomian Dengan Hukum Yang Berlaku Di


Indonesia
Aspek ekonomi merupakan hal yang sangat menunjang majunya suatu
bangsa. Aspek ekonomi merupakan aspek adaptasi yang mana pembangunan
ekonomi bangsa sangat barkaitaan dengan pola regulasi hukum yang benar
sehingga dalam pelaksanaannya akan tercipta pembangunan yang ideal
sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa :

 “Perekonomian usaha bersama kekeluargaan. produksi yang penting bagi


Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar - besarnya kemakmuran rakyat”

Jika demikian halnya di atas maka dibutuhkan pola regulasi hukum yang
sinkron dan dapat mengatur secara spesifik perekonomian Indonesia sebagai
wujud pembangunan ekonomi kerakyatan sehingga tidak tumpang tindih
kebijakan yang dilahirkan. Hukum dan Pembangunan merupakan terjemahan
dari Law and Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah

10
perang dunia kedua. Jika merunut pada pengertian yang dikembangkan di
Amerika khususnya yang berhubungan dengan organisasi United States Agency
for Interantional Development (USAID) dan lembaga seperti Ford Foundation
atau Rockefeller Foundation, maka perkembangan hukum dan pembangunan
dapat dibaca dari upaya lembaga-lembaga ini dalam mempengaruhi dan
memperkenalkan kepada negara-negara berkembang dalam melakukan
pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Hal ini dimulai dengan
melakukan pengiriman dan reseach oleh ahli hukum dari Amerika. Bahkan pada
tahun 1966 Kongres Amerika mengundangkan “Foreign Asistence Act of” untuk
membantu Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin
memperbaharui dan memperkuat system hukum. Pengiriman para ahli hukum
Amerika ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agenda bantuan. Hal
ini dapat dilihat secara nyata dari besarnya bantuan keuangan yang dianggarkan,
dimana untuk Afrika misalnya diperkirakan sebesar US $ 15 juta dan sebesar US
$ 5 juta. Biaya yang besar ini dikeluarkan karena ada anggapan bahwa
modernisasi hukum pada negara-negara yang baru itu sangat diperlukan dan
hukum yang modern itu diperlukan untuk mempromosikan pembangunan
ekonomi. Hal di atas didasari oleh pemikiran bahwa hukum yang modern itu
akan memberi pengaruh pada pembangunan ekonomi, karena hukum yang
modern itu.

Secara lebih spesifik, kearifan local dapat diartikan sebagai suatu


pengetahuan lokal, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat
setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal
dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan,
pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam
komunitas-komunitas. Selanjutnya Wahyu juga menyatakan bahwa kemampuan
memaknai kearifan lokal oleh individu, masyarakat dan pemerintah yang
diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara
berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan dapat
diharapkan peningkatan berkualitas Negara.Pengakuan secara yuridis atas
keberadaan masyarakat hukum adat dan kearifan lokalnya serta hak-haknya
dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang untuk
menghasilkan berkehidupan yang dalam masyarakat dan berlaku dalam tatanan
hidup masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup
secara lestari. Selanjutnya pada Pasal 67 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa masyarakat hukum adat
diakui keberadaanya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.Pasal
6ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan

11
ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan peran serta
masyarakat.Dalam pasal 61 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pemerintah
mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat
tradisionaldan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
telah dimanfaatkan secara temurun dijadikan acuan pengelolaan wilayah pesisr
pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Pengetahuan masyarakat adat dalam
sistim pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa (menunjukkan tingginya
ilmu pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan alam. 

Pokok persoalan mengenai tanah yang pada mulanya terjadi dualisme


pengaturan, setelah Negara Republik Indonesia merdeka persoalan-persoalan
mengenai tanah ini dibuatkan satu unifikasi hukum tanah yang lebih dikenal
dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), yang mulai
berlaku sejak 24 September 1960. Dengan demikian sampai saat ini ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanah adalah berpedoman pada UUPA
tersebut disamping ketentuan-ketentuan lain yang ada kemudian sebagai
peraturan pelaksana dari UUPA tersebut.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kedudukan hukum tanah-tanah


adat, tidak lepas dari pengetahuan tentang ketentuan hukum agraria yang berlaku
sebelum keluarnya UUPA tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Suasthawa
D, bahwa sebelum berlakunya UUPA, di Indonesia berlaku dua macam hukum
tanah yaitu : hukum tanah adat dan hukum tanah barat, sehingga dengan
demikian menyebabkan ada dua macam tanah yaitu “ tanah adat atau disebut
pula tanah Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum adat, sepanjang tidak
diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. Dan dilain pihak ada
“tanah barat” atau disebut pula dengan tanah eropah, yang dapat dikatakan
bahwa tanah-tanah ini tunduk pada hukum agraria barat yang kesemuanya
terdaftar pada kantor pendaftaran tanah menurut “overschrijvingsordonantie”
atau ordonansi balik nama (stb.1834 No.27). jadi tanah-tanah yang tunduk pada
hukum (agraria) adat adalah termasuk tanah adat yang ada di Bali (Selanjutnya
baca : I Made Suasthawa D, 1987, h.21-22).

Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang pokok Agraria No.5 Tahun


1960), didalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan Konversi dapat ditemukan bahwa
nama-nama hak atas tanah yang terdapat dalam pasal itu persis sama dengan
nama-nama hak atas tanah adat atau tanah Indonesia. Adapun nama-nama hak
atas tanah adat sebagaiana yang tersebut dalam Pasal II, VI, VII Ketentuan
Konversi adalah :

1 Hak agrarisch eigendom;


2 Hak milik;

12
3 Yasan;
4 Andarbeni;
5 Hak atas druwe;
6 Hak atas druwe desa;
7 Pesini, dst.

Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960 tentang


pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, dalam Bab II yang berjudul
“Pelaksanaan Ketentuan Konversi, terdiri dari dua bagian yaitu :

- Bagian I, tentang hak-hak yang didaftar menurut overschrijvingsordonansi.


- Bagian II, tentang hak-hak yang tidak didaftar menurut
overschrijvingsordonansi. Dan yang dimaksud dengan hak-hak ini adalah hak-
hak atas tanah Indonesia (tanah adat).

Selanjutnya dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria


No.2 Tahun 1962 dan kemudian dirubah lagi dengan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. SK./26/DDA/1970, ditegaskan bahwa hak-hak yang
dimaksud dalam Ketentuan Konversi dan pendaftaran bekas-bekas hak
Indonesia atas tanah adalah hak-hak atas tanah Indonesia (tanah adat).
Disamping itu juga dapat dilihat dari Pasal 3 UUPA, yaitu pasal yang mengatur
tentang keberadaan hak ulayat, sedangkan di tingkat daerah diatur dalam
PERDA No.3 Tahun 2001 tentang Desa.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

14

Anda mungkin juga menyukai