Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Kebudayaan Betawi

Jakarta memang unik karena tidak bisa sekedar mewakili etnis penduduk aslinya,
yaitu Betawi, tetapi juga menjadi rumah bagi berbagai manusia, suku, budaya, dan etnis lain
yang datang, hidup, dan berkembang di dalamnya. Masih banyak perdebatan yang
menganggap suku Betawi bukan merupakan penduduk asli Jakarta.

Betawi adalah sebuah etnik dengan jumlah penduduk yang mendominasi Jakarta.
Orang Betawi telah ada jauh sebelum Jan Pieterzoon Coen membakar Jayakarta pada tahun
1619 dan mendirikan di atas reruntuhan tersebut sebuah kota bernama Batavia. Artinya, jauh
sebelum menjadi ibu kota negara, sekelompok besar orang telah mendiami kota Jakarta.
Bahkan, menurut sejarahwan Sagiman MD, penduduk Betawi telah mendiami Jakarta sekitar
sejak zaman batu baru atau Neoliticum, yaitu 1500 SM. Dari masa ke masa, masyarakat
Betawi terus berkembang dengan cirri budaya yang makin lama semakin mantap sehingga
mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain.

Betawi merupakan etnis yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan kultur.
Warna-warni ini membawa aneka persepsi, tafsiran, dan pemahaman tentang Betawi, baik
dari segi penduduk asli, kultur, maupun kebudayaan. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa
penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah berbagai
suku bangsa dan bangsa asing.

Beberapa penelitian tentang masyarakat Betawi mengatakan bahwa kebudayaan


Betawi sarat akan pengaruh dari Belanda, Cina, Arab, India, Portugis, dan Sunda. Dikatakan
pula bahwa baju pengantin Betawi yang berwarna merah mengadopsi budaya Cina,
sedangkan yang hijau mendapat pengaruh Islam (Arab). Sepintas, kata-kata dalam dialek
Betawi berkesan dialek Tionghoa, tapi bila diteliti lebih lanjut, maka banyak terdapat bahasa
Belanda dan Arab yang diIndonesiakan.

Di luar sana, terdapat berbagai ragam pendapat dan pandangan tentang masyarakat
Betawi, mulai dari yang positif sampai dengan yang negatif. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa Betawi bukanlah suatu suku bangsa, akan tetapi hanya berupa komunitas dari beragam

1
akulturasi suku bangsa dan bangsa asing. Dengan kata lain, orang Betawi adalah masyarakat
yang majemuk, yang berasal dari percampuran darah berbagai suku bangsa dan bangsa-
bangsa asing. Pendapat serupa berasal dari Yahya Andi Saputra, seorang pengamat etnik
Betawi.

Konon, lahirnya masyarakat yang sekarang ini bermukim di kota Jakarta diperkirakan
sudah mulai ada sejak 1500 tahun sebelum Masehi. Hal ini dapat dilihat dari temuan
arkeologis berupa sebagai berikut. Pertama, artefak. Pecahan gerabah berupa alat
dapur/makan; alat berburu seperti kapak persegi, beliung, dan serpihan batu; perhiasan seperti
‘mute’ dan gelang batu; serta alat bercocok tanam dari batu. Kedua, dalam Prasasti Tugu
dikatakan bahwa pada pertengahan abad ke-5 M, sudah mengenal agama Hindu dengan
bentuk kerajaan Indonesia-Hindu, yaitu Tarumanegara (Raja Purnawarman), yang meliputi
Jakarta, Bekasi sampai Citarum, Bogor, dan Banten.

Dengan temuan yang ada, dapat diambil simpulan bahwa kehidupan etnis Betawi
pada masa prasejarah dapat dikatakan sudah mengenal tempat tinggal yang tetap, tahu
bagaimana membangun rumah, tahu bercocok tanam, tahu berorganisasi, mengenal
perdagangan dengan sistem barter, ilmu perbintangan dan pelayaran, cara membuat pakaian,
memasak, dan beternak. Pendek kata, masyarakat Betawi kuno sudah memiliki kebudayaan
yang tinggi sebelum kehadiran orang Eropa.

Betawi Tengah/Kota menetap di bagian kota Jakarta yang dahulu dinamakan


keresidenan Batavia (Jakarta Pusat - urban), mendapat pengaruh kuat kebudayaan Melayu
(Islam). Betawi Tengah menganut gaya hidup tempo lama, misalnya perayaan upacara
perkawinan, khitanan, tradisi lebaran, dan memegang teguh agama serta adat istiadat
(mengaji). Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Pusat mengalami tingkat arus urbanisasi dan
modernisasi dalam skala paling tinggi, juga mengalami tingkat kawin campuran paling tinggi.
Dalam bidang kesenian, mereka menikmati keroncong Tugu, musik Gambus, Qasidah, orkes
Rebana, dan menggemari cerita bernafaskan Islam seperti cerita Seribu Satu Malam. Mereka
memiliki dialek yang disebut dialek Betawi Kota, bervokal akhiran e pada beberapa kata
yang dalam bahasa Indonesia berupa a atau ah, misalnya: kenapa menjadi kenape.

Betawi Pinggiran, biasa disebut Betawi Udik atau Ora, terdiri atas dua kelompok,
yaitu pertama, kelompok dari bagian Utara dan Barat Jakarta serta Tangerang, yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Cina; kedua, kelompok dari bagian Timur dan Selatan Jakarta,
Bekasi, dan Bogor, yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat Sunda.

1
Umumnya, Betawi Pinggiran berasal dari ekonomi kelas bawah, bertumpu pada
bidang pertanian, dan bertaraf pendidikan rendah. Pada perkembangannya, masyarakat
Betawi Pinggiran mengalami perubahan pola pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik.
Dalam bidang kesenian, yang dihasilkan adalah Gambang Kromong, Lenong, Wayang
Topeng, dan lainnya. Mereka menyenangi cerita seperti Sam Kok dan Tiga Negeri (pengaruh
Tionghoa). Dialek Betawi Pinggiran tidak terdapat perubahan vokal a menjadi e, misalnya:
kenapa menjadi ngapa. Keberadaan dua kebudayaan ini disebabkan oleh banyak aspek,
meliputi perbedaan latar belakang sejarah, ekonomi, sosiologi, dan aspek etnis, misalnya
keaslian dari suku yang mempengaruhi kebudayaan mereka.

Bagi masyarakat Betawi sendiri, segala yang tumbuh dan berkembang di tengah
kehidupan budaya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan
dari mana asal unsur yang telah membentuk kebudayaan itu. Demikian pula, sikapnya
terhadap kesenian mereka sebagai salah satu unsur kebudayaan yang paling kuat
mengungkapkan ciri-ciri keBetawiannya, terutama pada seni pertunjukan, disamping bahasa.

Secara garis besar, kebudayaan dan kesenian etnis Betawi tumbuh dan berkembang di
kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh sebab itu, kesenian
Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat. Keberadaban masyarakat Betawi sebagai
suku bangsa bisa disimak dari pengakuan mereka terhadap ciri-ciri budaya tertentu seperti
bahasa, dialek, dan kesenian. Tiga yang dianggap penting dalam fase kehidupan orang
Betawi, yaitu khitanan, kawinan, dan kematian. Adat hidup yang banyak bertopang pada
agama Islam lebih mengajarkan mereka untuk lebih mengingat-ingat hari kematian. Ini
merupakan ritual yang sarat akan unsur agamis.

Budaya khitanan selalu dirayakan dengan meriah dan semarak oleh masyarakat
Betawi. Khitanan alias sunat bagi orang Betawi adalah upacara memotong penis anak laki
yang memasuki akil balik dalam ukuran tertentu. Menurut budaya Betawi, jika anak lelaki
sulung sudah akil balig belum disunat, maka shalatnya tidak sah. Seorang anak yang sudah
menjadi “sempurna” mempunyai kewajiban melakukan ibadah dan memahami peraturan adat
yang berlaku. Dengan kata lain, bagi masyarakat Betawi, sunat diartikan sebagai pembeda
antara anak-anak dengan manusia dewasa.

Anak lelaki yang akan disunat disebut dengan nama penganten sunat. Seperti
layaknya seorang penganten Betawi, anak ini mendapat perlakuan istimewa, yaitu sang anak
dikenai pakaian lengkap (sadariah) dan diarak berkeliling kampung sambil mengendarai kuda

1
hias, didampingi iringan delman hias berisikan teman bermain yang sebaya. Kemeriahan
acara khitanan juga dapat ditemui dari semaraknya musik rebana ketimpring, yang disertai
dengan shalawat dustur dan badar. Tidak lupa, iringan penganten sunat juga diikuti oleh
rombongan tetangga dan orang kampung. Hidangan utama khitanan biasanya nasi kuning,
serondeng, bawang goreng, dan emping ninjo. Boneka raksasa berisikan manusia hasil
akulturasi budaya India (Hindu) dan ondel-ondel juga beraksi dalam upacara ini. Tontonan
lenong, topeng, Sohibul hikayat, dan wayang kulit menjadi hal yang ditunggu-tunggu semua
undangan sehingga menjadi ramai dan sangat meriah.

Lain halnya dengan ritual sakral khitanan dan perkawinan, ritual kematian tidak
dirayakan secara semarak dan meriah. Barangkali karena sifat ritual sakral kematian ini lebih
banyak berhubungan dengan Yang Maha Kuasa, Sang Khaliq, maka ritual dilakukan secara
khusuk dan hikmat. Tradisi di daerah Betawi berbeda dengan di tempat lain. Apabila
seseorang meninggal, keluarga menyelenggarakan pembacaan Al-Quran yang lamanya
bergantung pada usia yang meninggal dan kelas ekonomi keluarga yang meninggal. Apabila
ekonomi keluarga yang meninggal termasuk kelas menengah ke atas, maka pembacaan ayat
suci Al-Quran dilakukan selama tujuh hari tujuh malam, dan biasanya dilaksanakan di
makam. Ada pula yang lebih dari itu, terutama jika keluarga yang meninggal termasuk
keluarga yang terhormat, maka pembacaan Al-Quran dilaksanakan selama empat puluh hari
empat puluh malam. Peristiwa ini sudah jarang sekali kita temui sekarang ini.

Kesenian wayang Betawi nyaris tidak ada yang mengetahui keberadaannya, bahkan
bisa dibilang hampir punah. Wayang Betawi memang sudah sangat jarang digelar seperti
wayang kulit atau wayang golek. Sebenarnya, wayang Betawi hampir mirip dengan wayang
kulit dari Jawa Tengah, baik jenis wayang, tokoh, maupun jalan ceritanya tidak berbeda
dengan wayang kulit. Jika diperhatikan secara detil, bentuk gapit atau pegangan wayang pada
wayang kulit Betawi tidak memakai bahan tanduk, melainkan menggunakan rotan. Warna
cerah mendominasi wayang kulit Betawi.Penampilan wayang sederhana sehingga menepikan
aspek estetika, moral, dan falsafah.Bedanyalagi, sang dalang menuturkan cerita dalam bahasa
Indonesia dialek Betawi dan sedikit bahasa Sunda, pendek kata menggunakan bahasa
Indonesia pergaulan agar mudah dipahami segala lapisan masyarakat dari berbagai suku.
Cerita yang dimainkan berupa cerita lucu dan seru, ada perang dan kaya akan gurauan.
Selama ini wayang kulit Betawi hanya dimainkan di daerah pinggiran, yaitu tempat asal
tumbuhnya wayang kulit ini.

1
Betawi memang kaya budaya seperti kuliner, musik, tari, teater, seni, pakaian,
kerajinan tangan, sampai upacara. Walaupun kebudayaan itu sudah mulai kalah kehadirannya
dengan kebudayaan modern, namun kebudayan betawi tetap memiliki penggemar dan
penikmat tersendiri. Tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia, Betawi juga memiliki
kerajinan batik sebagai salah satu dari seni tekstil Betawi. Tekstil Betawi terkenal akan
nuansa warna dan ragam, dengan ciri khas nuansa kesenian Betawi yang dipengaruhi oleh
budaya Cina, Timur Tengah, dan Eropa. Hal ini terjadi karena begitu banyak akulturasi dari
berbagai kebudayaan asing dan lokal yang terjadi di Betawi.

Motif Buketan, Liong, dan Lokcan atau Burung Hong terdapat pada batik Betawi
pengaruh Cina. Sementara itu, motif kereta kuda dan binatang khas Eropa dengan warna biru
menandakan adanya pengaruh Eropa. Pengaruh Timur Tengah dapat dilihat dari kebaya
encim, kebayak enyak, baju sadariah, baju abang none, dan baju pengantin Betawi. Batik
Betawi juga memiliki motif lain seperti Ondel-ondel (boneka tolak bala), Nusa Kelapa
(sebuta n leluhur Betawi untuk Jakarta), Ciliwung (peradaban manusia berasal dari tepian
Sungai Ciliwung, motif ini sebagai simbol rejeki yang terus mengalir bak sebuah aliran kali),
Rasamala (sebutan untuk pohon Jati Hindia yang kulit kayunya mengeluarkan bau wangi,
kini merupakan pohon langka dan hanya terdapat di Kebon Raya Bogor), dan Salakanegara
(merupakan batik kerajaan pertama di tanah Betawi yang didirikan oleh Aki Tirem 130
Masehi, berkaitan dengan kepercayaan yang menganggap Gunung Salak mempunyai
kekuatan).

Selain kesenian dan objek wisata yang luar biasa, masyarakat Betawi juga memiliki
wisata kuliner yang lezat, baik makanan pembuka, utama, maupun jajanan pasar. Seperti
halnya kesenian Betawi, kuliner Betawi yang unik mendapat pengaruh dari bangsa Arab,
Portugis, India, Cina, dan Belanda. Gaya kuliner Betawi sangat beragam, berbeda lokasi
sudah ada sentuhan rasa yang berbeda, misalnya Laksa dan Soto Betawi. Umumnya Laksa
Betawi berkuah kuning, sedangkan kuah Soto Betawi beragam, ada yang berkuah santan
putih kekuningan tanpa potongan tomat dan kentang goreng; berkuah kemerahan dengan isi
komplot, ada emping, tomat, dan kentang goreng.

Sayur Asem Betawi cukup terkenal. Uniknya sayur asem ini berisi jengkol dan petai.
Pecak Gurame, Ketoprak, Asinan, dan Nasi Uduk juga menghiasi jajaran makanan tradisional
khas Betawi. Satu nama sayur khas betawi yang cukup aneh didengar dan langka adalah
sayur Babanci. Bisa dibilang jenis makanan ini hampir punah karena bahan sayur sudah sulit

1
ditemukan di Jakarta seperti temu mangga, kedaung, bangle, adas, dan lempuyang. Sayur
Babanci bumbunya banyak sekali, rasanya bukan seperti soto, bukan gule, dan bukan kare
sehingga karena rasanya campur-campur dan tidak jelas seperti banci, maka disebut Sayur
Babanci. Beberapa makanan langka Betawi yang lain adalah Bubur Ase (bubur ayam dengan
asinan sawi dan kuah semur), Sayur Gabus Pucung, Es Selendang Mayang, dan Nasi Ulam
(mendapat pengaruh Timur Tengah).

Jajanan pasar Betawi memiliki keunikan sendiri, yaitu selain rasanya yang manis,
warnanya pun juga sangat khas. Beberapa contoh jajanan pasar khas Betawi adalah kue rangi,
kue pancong, kue cucur, kerak telor, kue mangkok, kue ape, kue putu mayang, kue putu ayu,
kue ku (mendapat pengaruh Cina), kue putu yang berwarna hijau dengan isi gula merah, kue
gemblong, es doger, dan es putar.

Adat Perkawinan Betawi

Upacara perkawinan dalam masyarakat Betawi merupakan salah satu siklus


kehidupan yang sangat penting. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang
dibakukan untuk menandai peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari,
tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh karena itu,
dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi
dengan tata rias wajah, sanggul serta tata rias busana lengkap, sesuai dengan dengan
kelengkapan adat istiadat sebelum dan sesudah perkawinan.

Tujuan perkawinan tersebut, menurut masyarakat dan budaya Betawi adalah


memenuhi kewajiban mulia yang diwajibkan kepada setiap warga masyarakat yang sudah
dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritas beragama Islam yakin
bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah bagi umat sehingga dipandang sebagai suatu
perintah agama untuk melengkapi norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan
ciptan Tuhan yang Maha Mulia.

Sistem perkawinan pada masyarakat Betawi pada dasarnya mengikuti hukum Islam,
kepada siapa mereka boleh atau dilarang mengadakan hubungan perkawinan. Dalam mencari
jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman hidup mereka. Namun demikian,
persetujuan orang tua kedua belah pihak sangat penting karena orang tualah yang akan
membantu terlaksananya perkawinan tersebut.

1
Pernikahan dalam adat Betawi memiliki keunikan tersendiri. Dalam budaya asli,
pernikahan Betawi memiliki tahapan beragam, mulai dari lamaran, pertunangan, seserahan,
sampai pernikahan. Pada hari yang ditunggu-tunggu, calon mempelai pria datang beriring-
iringan diantar sanak saudara menuju rumah mempelai wanita. Zaman sekarang, biasanya
ijab dan kabul dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Hal menarik dalam adat pernikahan
Betawi adalah prosesi penyambutan oleh mempelai wanita selaku tuan rumah. Petasan dan
musik rebana disiapkan untuk menyambut sang ‘tamu agung’. Begitu mempelai pria bersama
keluarga tiba, petasan rentet dinyalakan bersamaan dengan musik rebana yang menyanyikan
lagu shalawatan. Ketika datang, mempelai pria tetap membawa aneka makanan khas Betawi
seperti buah-buahan dan roti buaya. Roti buaya merupakan simbol kesetiaan. Dengan
demikian, diharapkan sang pengantin saling setia seperti buaya yang hanya kawin sekali
seumur hidup. Purbasari, M. (2010). Indahnya Betawi. Humaniora, 1(1), 1-10.

Roti buaya

Terjadinya roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat kebiasaan


masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini merupakan lambing
setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya menikah sekali. Dengan adanya
roti buaya dalam seserahan pernikajan maka ini merupakan bagian dari mempertahankan
adat istiadat Betawi. Sehingga adat kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari.

Sedangkan menurut warga lainnya memiliki pandangan juga bahwa roti buaya itu
hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan kata lain yang mampu
karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk membeli roti buaya cukup mahal.
Sehingga tak semua warga Betawi menyertakan ke dalam seserahan pernikhannya.

Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang
membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah sekali dalam
seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya memang setia, ada yang
percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya dengan mitos itu.

Palang pintu

Sebagai bagian dari masyarakat Melayu, masyarakat Betawi mengenal bentuk- bentuk
puisi, yang disebut pantun dan syair. Kesamaan pantun dan syair adalah setiap bait terdiri atas
empat baris. Bedanya, pada pantun baris pertama dan kedua disebut sampiran, baris ketiga

1
dan keempat disebut isi pantun. Pola persajakan bunyi akhir baris adalah a-b-a- b, sedangkan
pada syair keempat barisnya berupa isi dan pola persajakan bunyi akhir adalah a-a-a-a.

Di masa derasnya modernisasi saat ini, keberadaan pantun Betawi dengan fungsi-
fungsi tersebut masih dibutuhkan di masyarakat Betawi. Bentuk penuturan pantun dalam
masyarakat Betawi lebih banyak ditemui pada seni pertunjukan masyarakat, seperti pada
lenong pada teater tradisional dan palang pintu pada upacara perkawinan adat Betawi.

Palang pintu dilakukan ketika mempelai pria dengan rombongannya datang ke rumah
mempelai wanita untuk duduk melaksanakan akad nikah. Namun, kini pertunjukan palang
pintu telah mengalami modifikasi, yakni dengan penggunaannya yang tak hanya dalam acara
pernikahan adat Betawi. Palang pintu kini turut menjadi bagian berbagai acara. Umumnya,
yang diselenggarakan oleh komunitas atau badan pemerintah yang masih memiliki hubungan
dengan kota Jakarta dan sekitarnya, seperti acara sunatan, pembukaan acara kepemerintahan,
peresmian gedung, serta penyambutan pejabat pemerintahan.

Kebudayaan Betawi kerap bersinggungan dan bergandengan dengan ajaran Islam.


Pengaruh agama Islam pada masyarakat Betawi turut terlihat pada pertunjukan palang pintu.
Chaer (2015: 18-19) mengatakan bahwa orang Betawi dapat menikah dengan suku mana saja
dan ras mana saja asalkan sama-sama beragama Islam. Tanpa Islam, tidak akan ada
pernikahan. Hal itu tampak dari di dalam palang pintu calon pengantin laki-laki diuji
kesiapannya dalam memiliki istri, yakni dengan pembuktian bahwa calon pengantin laki-laki
menguasai ilmu silat (yang diwakilkan oleh juru silat), serta memahami ajaran- ajaran Islam
yang tersirat lewat pantun dan lagu sike yang dilantunkan juru pantun. Hal tersebut menjadi
kontradiktif jika ditabrakan pada anggapan umum bahwa Jakarta merupakan melting pot.
Melting pot adalah asimilasi di satu tempat, peleburan kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh
pertemuan bahkan pernikahan dari dua orang berbeda etnis dan/atau agama.

Saidi, Ridwan. 1997. “Sejarah Betawi,” Betawi dalam Perspektif Kontemporer, ed.

Yasmine Zaki Shahab. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi.

1
Malam negor

Tradisi Malem Negor adalah malam setelah acara resepsi pernikahan, pengantin laki-laki di
perbolehkan untuk menginap di tempat kediaman pengantin perempuan. Meski menginap si
perempuan tidak diperbolehkan berkomunikasi atau berbicara kepada pengantin laki-laki
dengan tujuan menjaga gengsi dan jual mahal kepada pengantin laki-laki. Disamping pada
malam itu kedua pasangan tersebut juga tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami
istri. Hal itu dilakukan sebagai upaya istri dalam mempertahankan dan menjaga kesuciannya
selama mungkin. Artinya, dalam mempertahankan kesuciannya selama mungkin sang istri
dianggap sebagai perempuan yang bisa menjaga harkat dan martabat keluarga. Untuk itulah
dibutuhkan semangat juang bagi pengantin laki-laki diantaranya, pertama merayu, membujuk
dan membuat lelucon agar pengantin perempuan bisa tertawa dan berkomunikasi. Kedua
memberikan uang dengan cara menyelipkan uang di bawah tapak meja, bisa juga di letakkan
di atas tatakan gelas. Uang ini di sebut sebagai “Uang Penegor” dan dimulai dari jumlah
terkecil, yang terus-menerus ditambah sampai si pengantin perempuan mau bicara. 4

Bertahannya si istri pada Malem Negor itu dapat ditafsirkan sebagai ungkapan harga dirinya
bahwa ia bukan perempuan gampangan, selain itu pada Malem Negor mereka bisa saling
mengenal secara lebih mendalam. Dengan strategi diam itu (sesuai dengan pepatah diam itu
emas) tidak ada pilihan lain bagi tuan raje mude (penganten laki-laki) untuk berusaha keras
membujuk dan merayu agar istrinya menerima. Bujuk rayu tuan mude biasanya tidak hanya
ungkapan kata-kata indah, tetapi juga dengan memberi uang tegor.5

Tujuan tradisi perkawinan tersebut adalah untuk memenuhi kewajiban mulia yang diwajibkan
kepada setiap masyarakat Betawi yang sudah siap melakukan pernikahan dan memenuhi
syarat. Masyarakat Betawi yang mayoritas beragama Islam yakin bahwa perkawinan adalah
salah satu sunnah bagi umat, sehingga dipandang sebagai suatu perintah agama untuk
melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan ciptaan Tuhan
yang mulia.

Alasan keagamaan yang dijelaskan di atas menyebabkan orang Betawi beranggapan bahwa
proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adat
perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan adat perkawinan tersebut diberi nilai tradisi
yang disakralkan sehingga harus dipenuhi dengan sepenuh hati oleh warga masyarakat dari
generasi ke generasi

1
semakin pesatnya perkembangan zaman, tradisi Malem Negor jarang dijumapai pada
masyarakat Betawi, hal ini mungkin disebabkan dari beberapa faktor bahwa masyarakat
Betawi hidup ditengah-tengah kota metropolitan Jakarta, yang mana Jakarta adalah ibu kota
Indonesia, berbagai etnis suku dan daerah tertarik untuk tinggal dan mengadu nasib disana,
disamping itu juga Jakarta adalah sebagai pusat ekonomi dan elit politik. Namun ada
beberapa daerah seperti Daerah Cinangka dan Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta-Selatan yang
masih memegang teguh tradisi Malem Negor, terlebih upacara perkawinan dalam masyarakat
Betawi merupakan salah satu siklus kehidupan yang sangat penting dan harus dilestarikan.

Kendati demikian tradisi Malem Negor ini tidak terdapat dalam ajaran atau norma-norma
Islam, namun oleh masyarakat Setu Babakan Jakarta-selatan dijadikan sebagai syarat dalam
prosesi perkawinan. Oleh karenanya tradisi Malem Negor menjadi hal yang menarik karena
pada sebelumnya sudah terjadi akad nikah yang menandakan kedua belah pihak (suami-istri)
sudah menjadi suami istri sehingga sudah berhak dan halal untuk melakukan yang sebagai
mana semestinya.

Malam Mangkat

Malam mangkat merupakan masa awal atau permulaan bagi seseorang yang akan melakukan
pernikahan dimana pada masa ini calon pengantin juga melakukan tradisi lain tidak hanya
khatam al-qur‟an akan tetapi juga disekep untuk calon perempuan. Sekep merupakan sebuah
proses yang menjadi bagian dari malam mangkat, dimana sekep dimana agenda tersebut
melibatkan sang pengantin perempuan yang akan di balut dengan kain serta selimut bahkan
ada juga yang menggunakan kasur, hal ini dimaksudkan agar tidak ada udara yang masuk
sehingga calon pengantin akan merasa gerah sehingga mengeluarkan keringat ditubuhnya.
Dalam sebuah ritual sekep bukan hanya menggunakan kain, selimut maupun kasur dalam
ritual ini, melainkan terdapat sebuah prosesi lainnya yaitu dengan menggunakan ramuan
dedaunan yang dicampur dengan air panas kemudian dimasukan kedalam sebuah wadah yang
terbuat dari tanah liat yang disebut dengan kendi namun, di era modern seperti sekarang
kendi mulai jarang digunakan dalam prosesi sekep dan kemudian digantikan dengan ember.

Wadah yang telah dimasukkan ramuan dedaunan kemudian diletakan diantara kedua kaki
calon pengantin perempuan agar uap panas yang keluar menyebar keseluruh tubuhnya. Sekep
sebagai salah satu ritual yang ada di dalam tradisi malam mangkat, memiliki makna dan
tujuan di dalamnya sesuai dengan premis pertama yang diutarakan oleh Blumer dimana
manusia bertindak atas dasar makna yang terjadi pada diri mereka, yakni sesuai dengan

1
makna yang terkandung dalam tradisi sekep agar sang calon mempelai perempuan tidak
berkeringat pada saat menjadi pengantin dan tetap harum badannya selama prosesi
pernikahan berlangsung.

Selain terdapat prosesi yang harus djalani, malam mangkat dapat menjadi sebuah ajang
silahturahmi bagi para keluarga yang hadir, tidak hanya keluarga yang hadir tetapi juga para
tetangga dengan membawa baskom yang di dalam baskom tersebut terdapat bawaan
makanan, seperti beras, mie, telur, sayur-sayuran, dan lain-lain yang akan diolah untuk
menambah jamuan masakan saat acara pernikahan berlangsung. Malam mangkat ini
sebenarnya sudah dilakukan bukan hanya pada waktu malam hari saja akan tetapi malam
mangkat ini sudah mulai pada siang hari dimana proses dimulai dari persiapan yang
dilakukan oleh keluarga yang sudah mulai melakukan persiapan masak-masak untuk
menjamu para tamu dan juga datangnya para kerabat dengan membawa bahan-bahan
makanan yang disebut dengan membawa bebawaan, seperti beberapa dus air mineral, beras
dua karung ukuran kecil karena menurut informan Pak Haji Shaleh jika hanya membawa satu
karung besar beras kurang etis, dan barang-barang yang di bawakan oleh para sanak saudara
akan dicatat, karena di Betawi terdapat istilah balikin atau mengembalikan barang yang
diberikan.

Selain itu juga terdapat acara mengaji untuk meminta doa kepada Sang Pencipta agar acara
esok hari berjalan dengan lancar, acara pengajian dilakukan juga untuk mendoakan arwah
atau orang tua yang sudah meninggal. Selain acara pengajian dan silahturahmi para keluarga,
pada malam mangkat pun mengadakan acara arisan yang dilakukan oleh para sesepuh yang
hadir. Sebenarnya malam mangkat tidak ada acara pengajian pada zaman dulu karena kurang
pahamnya akan ilmu agama, karena adanya perkembangan zaman dan lingkungan
masyarakat yang sudah terbiasa sebelum melakukan acara mengadakan pengajian sehingga
pada malam mangkat pun juga diadakan pengajian.

Acara malam mangkat lebih ramai atau sibuk dirumah pihak perempuan dibandingkan pihak
laki-laki karena semua persiapan dilakukan pada pihak perempuan baik dalam persiapan
masak-masak, pembuatan janur, dan lain-lainnya. Pihak lelaki juga sibuk hanya saja tidak
seramai pihak perempuan, pihak lelaki lebih menyiapkan seserahan yang akan dibawa kepada
pihak perempuan seperti kue-kue khas Betawi, seperti roti buaya, dodol, dan uli.

1
Ayuningtias, F. (2019). Interaksionisme Simbolik dalam Tradisi Malam Mangkat Pada
Pernikahan Betawi: Studi Kasus Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan (Bachelor's
thesis, FISIP UIN Jakarta).

Acara Kebesaran

Acara kebesaran merupakan puncak pesta perkawinan dimana pada saat ini kedua mempelai
bersanding di puade (istilah taman). Acara kebesaran pada saat ini disebut dengan resepsi
pernikahan. Sebagaimana resepsi pada umumnya acara kebesaran berisi tamu-tamu undangan
yang datang memberikan doa restu untuk kedua mempelai. Acara kebesaran ini erlangsung
sehari dan dilanjutkan pada malam harinya dengan acara hiburan atau kesenian Mempelai
perempuan mengenakan busana penganten care Cine (rias gede dandanan cara none
pengantin Cina) dan wajahnya ditutup dengan roban tipis. Busana care Cine ini terdiri dari:

1. Tuaki, 37 yaitu baju bagian atas yang terbuat dari bahan yang gemerlap.
2. Kun,38 yaitu rok bagian bawah yang dibuat agak lebar.

3. Teratai Betawi, yaitu sebagaian hiasan penutup dada dikenakan sehelai kain
bertatahkan emas yang dibuat mengelilingi leher dan berkancing di belakang yang
disebut delime (delapan bentuk dirangkai menjadi satu sehingga menyerupai belahan
buah delima).
4. Alas kaki, yaitu penutup kaki mempelai perempuan berupa selop berbentuk Perahu
Kolek39 yang diperindah dengan tatahan emas dan manik-manik disebut Selop Kasut.

Pada acara ini mempelai pria mengenakan busana yang disebut “dandanan cara haji”.40
Modelnya diadoptasi dari pakaian Pak Haji, yaitu berupa jubah dan tutup kepala sorban.
Jubah yang dipakai ada dua, yaitu jubah luar dan jubah dalam. Busana jubah luar ini agak
longgar dan besar, bagian tengah depan dari leher ke bawah terbuka. Jubah luar ini memiliki
hiasan yang bermotif flora dan fauna “burung hong” dari benang emas manik-manik atau
mute, bahan kain jubah dari beludru. Berwarna cerah, kuning, biru dan hijau.

1
Jubah dalam yang disebut Gamis, dari kain putih halus, model baju kurung panjang. Gamis
ini terbuka dari leher sampai sebatas uluhati. Ukuran jubah

dalam ini lebih panjang dari jubah luar, sampai sebatas mata kaki. Perlengkapan lain adalah
selendang yang dikenakan pada gamis berhias motif-motif dari benang emas, manik-manik
atau mute, beludru warna cerah. Alas kaki sepatu model pantofel dan berkaus kaki.

Ondel-ondel

Tidak ada data resmi yang menyatakan kapan munculnya keberadaan ondel-ondel sebagai ikon
Betawi, beberapa sumber menyatakan bahwa dahulu ondel-ondel dipergunakan sebagai pelengkap
untuk upacara adat yang berkaitan dengan keberhasilan akan hasil panen yang melimpah, termasuk
upacara-upacara adat yang berhubungan dengan ucapan syukur atas karunia yang Maha kuasa atas
kelimpahan rejeki, upacara untuk mengarak pengantin sunat, iringan pengantin dengan diiringi
musik seperti kendang, kenong dan terompet. Hal ini dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat yang
dapat mengganggu keberlangsungan kegiatan upacara. Ondel-ondel terpilih sebagai ikon seni tradisi
yang melambangkan kota Jakarta, dimana pemilihan warna dan hiasan juga mempunyai makna
tersendiri. Seperti bentuknya yang besar dengan wajah atau karakter boneka laki-laki yang berwarna
merah dan boneka wanita berwarna putih. Kedua warna ini melambangkan keseimbangan antara 2
kekuatan, yaitu kekuatan jahat dan baik. Warna merah untuk wajah ondel-ondel laki-laki
melambangkan kejahatan dan warna putih melambangkan kebaikan. Karena itulah ondel-ondel
selalu perpasangan. Hiasan yang ada di kepala adalah bunga kelapa, hal ini melambangkan pohon
yang tumbuh diwilayah daerah pesisir (tepi pantai). Karena Jakarta dulunya dikenal sebagai kota
dengan pelabuhannya yaitu pelabuhan Sunda Kelapa dengan banyak pohon kelapa yang tumbuh di
sepanjang pantainya. Hiasan kembang kelapa ini dipasang di keliling kepala sebagai rambut dari
boneka ondel-ondel.

Mahkota yang dikenakan pada ondel-ondel melambangkan adanya kerajaan di masa kejayaan kota
Jakarta, yang dulunya dikenal seorang tokoh yaitu pangeran Jayakarta yang namanya mengandung
arti kemenangan. Kebaya encim yang dikenakan pada ondel-ondel perempuan melambangkan
adanya hubungan dagang dengan China, pakaian yang dikenakan dulunya biasa dipakai oleh kaum
wanita China. Sedangkan baju yang dikenakan pada ondelondel laki-laki menggunakan baju ‘sadaria’
atau ‘ujung serong’ yang merupakan pakaian adat dari kaum laki-laki untuk masyarakat Betawi. Baju
ini mendapat pengaruh dari Arab. Karena dulunya juga terjadi hubungan dagang dengan bangsa
Arab. Selendang untuk ondel-ondel perempuan bermotifkan flora, yang melambangkan kesuburan

1
dari wilayah tanah Jakarta, sedangkan selempang pada ondel-ondel laki-laki menggunakan motif
kotak-kotak atau lebih dikenal dengan istilah sarung ‘cukin’. Bagian bawahnya untuk ondel-ondel
laki-laki memakai sarung yang disebut ‘sarung Jamblang’ dan untuk ondel-ondel wanita memakai
kain sarung batik Betawi dengan ragam hias flora. Untuk kelengkapannya dipasang selendang yang
diselempangkan pada pundak dan dililitkan dibagian pinggang ke-dua ondel-ondel, untuk ondel-
ondel laki-laki memakai model sarung yang disebut ‘sarung cukin’ biasanya motifnya adalah kotak-
kotak. Sedangkan untuk ondel-ondel wanitanya motif yang dipergunakan adalah motif batik Betawi
yang melambangkan flora dan fauna.

Kini peruntukkan dan kegunaan boneka pasangan ondel-ondel ini tidak saja untuk keperluan
kesenian semata, melainkan juga seperti: - Diletakkan pada bangunan-bangunan Perintahan dan
bangunan museum serta bangunan seni DKI Jakarata seperti: Kantor Gubernur, Kantor Walikota,
Kantor Camat, Kelurahan, Museum-museum yang mewakili kedaerahan dari Kota DKI Jakarta serta
anjungan di Taman Mini Indonesia Indah

- Hari Jadi kota Jakarta setiap tanggal 22 Juni, akan diletakkan pada bangunan-bangunan komersial
seperti Mall, Hypermart dan bangunan fasilitas Umum (fasum) seperti: bandara, stasiun kereta api,
kantor pelabuhan, bangunan pemerintahan-BUMN, dan sebagainya. - Pertunjukan seni, untuk
pertunjukan seni biasanya juga diiringi dengan musik ‘Gambang Kromong dan Tanjidor’ dengan lagu-
lagu seperti: Lenggang Kangkung, Kicir-kicir dan Sirih Kuning, serta biasanya dilengkapi dengan
kesenian bela diri Betawi ‘Pencak silat’. - Benda-benda dekoratif seperti souvenir (bentuk boneka
yang dikemas dalam kotak kaca atau kotak akrilik dengan skala kecil 1:75 atau lebih kecil), gantungan
kunci, hiasan pada mug, mural pada fasad bangunan, kaos dan sebagainya.

Unsur budaya Tionghoa dalam Perkawinan Adat Betawi

Berikut ini adalah unsur-unsur budaya Tionghoa yang terdapat di dalam perkawinan adat Betawi:
Petasan

Di dalam perkawinan adat Betawi, pada saat upacara Rudat, keluarga pengantin wanita akan
menyambut rombongan pengantin pria dengan petasan. Dalam legenda Tiongkok, jaman dahulu
terdapat sesosok mahluk menyeramkan, mahluk ini bernama ‘Xi’. Masyarakat jaman dulu sangat
takut dan benci dengan mahluk ini karena mahluk ini suka memakan gadis cantik, tetapi masyarakat

1
sekitar tidak bisa melakukan hal apapun. Pada satu malam, mahluk ini tiba-tiba muncul, dan ada
seseorang yang berani melawan mahluk ini. Orang ini memerintahkan anjingnya untuk menggigit
mahluk ini. Mahluk ini meronta dan mencoba untuk melarikan diri. Selagi anjingnya menggigit, ia
pun mengambil busurnya dan menembakannya ke arah mahluk ini yang berada di atas langit, dan
pada malam itupun mahluk menyeramkan ini mati. Menurut Zheng Yi Min (2006) sejak saat itu,
setiap penanggalan Tiongkok Xiali tiga puluh disebut sebagai ‘Chu Xi’, setiap malam perayaan ini
orang-orang membakar petasan sebagai simbol kebahagiaan dan menyambut keberuntungan di
tahun berikutnya. Setiap perayaan tahun baru imlek, masyarakat di Tiongkok akan menyalakan
petasan.

Angpau

Angpau dalam perkawinan adat Betawi adalah saat para tamu undangan memberikan hadiah
kepada pengantin, dan hadiah ini berwujud angpau. Angpao pada saat imlek memiliki istilah ‘压岁
(ya sui)’, yaitu hadiah untuk anakanak yang diberikan pada saat berulang tahun atau pergantian
tahun.

Menurut Herman Tan (2012) ‘压(ya)’ disini memiliki arti mengusir atau menindas, dan ‘岁(sui)’

dalam 压岁 memiliki arti umur, dalam pelafalan bahasa mandarin, ‘sui’ juga berarti bencana (祟).
Jadi, ‘ya sui’ dapat disimbolkan sebagai ‘mengusir atau meminimalkan bencana’, harapannya anak-
anak yang mendapatkan angpau ini akan melewati setahun kedepan dengan aman dan tanpa
halangan.

Phoenix

Pada pakaian pengantin adat Betawi, terdapat gambar burung Phoenix. Di Tiongkok, Phoenix
termasuk kedua dari empat mahluk ajaib Tiongkok. Menurut Bambang Budi Utomo dan Mulyawan
Karim (2009, hal.78) burung Phoenix di Tiongkok digambarkan bersama dengan seekor Naga dan
burung Phoenix melambangkan Permaisuri, sehingga saat ini simbol burung Phoenix kemudian
melambangkan sosok wanita. Tubuh burung Phoenix juga menggambarkan 5 hal penting bagi
manusia. Kepalanya menggambarkan kebajikan, sayapnya menggambarkan kewajiban, punggungnya
menggambarkan perilaku yang baik, dadanya menggambarkan kemanusiaan, dan perutnya
menggambarkan keandalan atau dapat dipercaya.

Naga

Selain Phoenix, pada pakaian pengantin adat Betawi juga terdapat gambar Naga. Naga merupakan
salah satu mahluk yang terdapat dalam 12 Shio. Di Tiongkok Barat, Naga Tiongkok adalah mahluk
yang baik hati dan jinak. Pada dinasti Han (206 SM), Naga merupakan simbol kekuatan. Menurut

1
Bambang Budi Utomo dan Mulyawan Karim (2009, hal.78) Naga di daratan China adalah binatang
mitos yang sangat kompleks dan multi simbol, secara umum dianggap suci, lambang kesuburan.
Namun menurut Abdul Rani Usman (2009,hal. 172) Naga merupakan simbol keperkasaan dan
sebagai objek penyembahan bagi bangsa China.

Mie

Untuk menjamu para tamu undangan, kedua mempelai sudah mempersiapkan berbagai jenis
makanan, dan jaman dulu makanan yang dihidangkan adalah makanan Tionghoa. Makanan yang
tidak boleh dilewatkan adalah mie. Mie pertama kali dibuat di Tiongkok pada masa pemerintahan
dinasti Han. Menurut Herman Ichsan Pangestu (2014, hal 51) dalam budaya Tiongkok, mie adalah
simbol kehidupan yang panjang.

Ngedelengin

Istilah lain masa perkenalan sebelum pernikahan dalam adat Betawi adalah ngedelengin yang
jika diartikan berarti ‘melihat dengan seksama’. Jika kedua keluarga sudah merasa cocok,
maka ditunjuklah dua orang dari pihak keluarga cowok untuk berperan sebagai mak
comblang. Biasanya, mereka adalah encang (paman) dan encing (bibi). Nah, mak comblang
ini lantas menggantungkan ikan bandeng di depan rumah si cewek sebagai tanda bahwa anak
gadis di rumah ini sudah ada yang naksir.

Pada saat ini pula, mak comblang menjadi juru bicara perihal kapan dan apa saja yang akan
menjadi bawaan pada saat ngelamar. Dalam tradisi masyarakat Betawi adalah
masa pendekatan dan penelaahan terhadap seorang gadis. Biasanya terjadi kalau
sebuah keluarga punya anak lelaki yang sudah dewasa, bekerja, dan pantas berumah
tangga, namun ia tidak memperlihatkan hasrat berumah tangga, atau mungkin tidak
berani mendekati anak perawan padahal sudah ngebet.

Ngedelengin bisa dilakukan siapa saja termasuk si jejaka sendiri, orang tua bahkan mak


comblang yang mereka tunjuk. Proses ngedelengin bertujuan mengetahui secara lebih jauh
tentang sifat dan keadaan seorang gadis yang bakal dijadikan istri. Suatu yang wajar
dilakukan dalam usaha orang tua atau laki-laki sebagai calon suami menyelidiki lebih dahulu
latar belakang bakal pasangan hidupnya.

Tindakan tersebut didasari maksud baik agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
kelak kemudian hari. Mula-mula mak comblang mulai berkunjung ke rumah keluarga yang

1
menjadi sasaran dan biasanya akan diterima oleh ibu si gadis dan kemudian juga si gadis
tersebut. Dilihat dari awal kejadiannya terdapat tiga macam cara ngedelengin.

 Pertama, tugas ngedelengin dari awal sampai akhir diserahkan kepada Mak


Comblang.
 Kedua, awal ngedelengin dilakukan sendiri si pemuda dan melaporkannya kepada
orang tuanya yang kemudian menugaskan Mak Comblang meneruskan ngedelengin.
 Ketiga, si orang tua mengintip seorang calon menantu perempuan dan setelah
menemukan pilihan ia menugaskan Mak Comblang untuk meneruskannya.

Anda mungkin juga menyukai