Anda di halaman 1dari 33

ADAT PERKAWINAN BETAWI

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT, yang mana selalu mencurahkan segala
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan sehat
wal’afiaat. Tak lupa shalawat serta salam tetap telimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang kita tunggu syafaatnya di yaummul kiyamah nanti.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang telah membantu menyelesaikan tugas
makalah ini. Meskipun begitu, penulis menyadari jika mungkin masih kesalahan pada
penulisan makalah ini, penulis memint maaf yang sebesar-besarnya.
Terima kasih kepada pembaca yang telah menyempatkan waktunya untuk sekedar
membaca mengenai makalah ini, semoga informasi yang terkandung di dalamnya bisa
bermanfaat bagi pambaca.

Depok, 30 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan pada hakikatnya merupakan ikatan sosial yang terjadi antara lelaki dan
perempuan yang membentuk hubungan kekerabatan baru. Dalam perspektif sosiologi,
pernikahan pada hakekatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan
wanita dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus atau khas yang memiliki ciri-
ciri tertentu, sehingga si pria bertindak dan merupakan suami, sedangkan wanita
bertindak dan merupakan istri, keduanya dalam ikatan yang sah.
Menurut Saxton bahwa pernikahan memiliki dua makna, yaitu: Pertama, sebagai
suatu institusi sosial suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan sosial. Eksistensi dari
pernikahan itu memberikan fungsi pokok untuk kelangsungan hidup suatu kelompok
dalam hal ini adalah masyarakat. Kedua, makna individual pernikahan sebagai bentuk
legitimisasi (pengesahan) terhadap peran sebagai individual, tetapi yang terutama,
pernikahan di pandang sebagai sumber kepuasan personal.
Inti diadakannya pernikahan sebenarnya memiliki maksud dan tujuan yang sama.
Namun pernikahan yang terjadi dimasyarakat, dapat ditelaah menjadi sesuatu yang
menarik mengingat Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam 2 dan berbeda-beda
dalam tiap daerah sehingga berbeda pula bagi masyarakat untuk melaksanakan ritual
pernikahan. Tentunya pelaksanaan upacara ritual tersebut mempunyai fungsi,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Budhisantoso (1984:28) bahwasanya fungsi upacara
tradisional tersebut dianggap sebagai pedoman dan pengendalian perilaku manusia dalam
kehidupan sosialnya, tidak hanya menjaga keseimbangan dalam setiap hubungan sosial
namun juga mewujudkan keseimbangan antara manusia dengan Maha Pencipta maupun
alam semesta. Tentu dengan adanya pelaksanaan ritual tersebut memiliki usaha untuk
mencapai tujuan tertentu dan sebagai dorongan yang mendasar untuk mempertahankan
dan melestarikan kehidupan yang diwujudkan dalam hubungannya dengan sesama
manusia dengan lingkungannya. Oleh karena itu di daerah-daerah tersebut tentunya
memiliki tradisi khas secara turun-temurun dalam mengaplikasikan bentuk pelaksanaan
pernikahan seperti kegiatan yang dilakukan dalam tahapantahapan sebelum pelaksanaan
pernikahan hingga pelaksanaan setelah pernikahan serta mengenai material-material
pendukung pernikahan.
Begitu pula dengan pelaksanaan pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat
Betawi yang memiliki tradisi dan tahapan-tahapan yang unik serta terbilang cukup rumit
dalam pelaksanaan pernikahan. Masyarakat Betawi menganggap penting prosesi
pernikahan ini, karena peristiwa pernikahan bagi masyarakat Betawi menduduki posisi
yang paling sakral dalam rangkaian proses kehidupan. Sakral yang dimaksudkan dalam
hal ini dalam pernikahan masyarakat Betawi mempunyai tujuan mulia yang wajib
dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk
itu dan ini merupakan sunnah sehingga dapat dipandang sebagai suatu perintah agama
untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan ciptaan
Tuhan yang mulia. Pernikahan yang dilakukan adalah sebagai syukur karena masuknya
seseorang kedalam kehidupan tahapan baru yang akan dilalui dan melepas masa lajang.
Dengan demikian, rangkaian dalam proses pernikahan ini mempunyai tradisi dan
cara-cara unik yang dapat dilihat dari material yang digunakan masyarakat setempat dan
tahapan panjang yang dilakukan oleh masyarakat Betawi dalam pelaksanaan pernikahan.
Material unik tersebut meliputi perlengkapanperlengkapan yang hadir dalam pernikahan
Betawi seperti baju adat pernikahan, riasan pernikahan, serta dekorasi dan perlengkapan
lainnya. Tidak hanya itu, pelaksanaan pernikahan Betawi umumnya diadakan semeriah
mungkin dan memakan waktu yang cukup panjang yakni sekitar 3 hari 3 malam.
Pelaksanaan pernikahan yang diadakan tersebut tentunya memiliki arti dan menjadi
identitas yang melekat pada masyarakat Betawi. Pelaksanaan pernikahan tersebut seakan
menjadi respon atas rangkaian peristiwa kehidupan masyarakat Betawi yang dianggap
penting. Dalam rangkaian tahapan pelaksanaan pernikahan tersebut terdapat pula adanya
simbol-simbol, simbol dalam tahapan pelaksanaan pernikahan Betawi pun beragam tidak
hanya berupa benda namun berupa tindakan. Simbol yang berupa benda dalam aspek ini
antara lain simbol roti buaya dan tuqon, sedangkan simbol yang berupa tindakan antara
lain tukar cincin, puasa mutih, tidak berganti pakaian dan mandi saat piare, melempar
pakaian dalam keatas genting serta ritual palang 4 pintu. Simbol tersebut yang
didalamnya terdapat makna yang seakan tersirat dan ingin disampaikan oleh masyarakat
Betawi. Simbol yang terkandung dalam proses pernikahan tersebut merupakan tradisi
yang secara turun dan tidak tercipta secara langsung namun melalui proses yang panjang.
Oleh karena itu makna yang terkandung dalam simbol tersebut merupakan cerminan
masyarakat Betawi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Sejarah dan Kebudayaan Betawi?
1.2.2 Bagaimana Adat Perkawinan Betawi?
1.2.3 Bagaimana Unsur Budaya Tionghoa Dalam Perkawinan Adat Betawi?
1.2.4 Bagaimana Perspektif Hukum Islam Tentang Adat Perkawinan?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui sejarah dan kebudayaan betawi
1.3.2 Untuk mengetahui adat perkawinan betawi
1.3.3 Untuk mengetahui unsure budaya tionghoa dalam perkawinan adat betawi
1.3.4 Untuk mengetahui perspektif hukum islam tentang adat perkawinan
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari
penjelasan dalam makalah ini, dalam hal ini manfaat penelitian dari penulisan makalah ini
terbagi dua yaitu: Manfaat untuk penulis itu sendiri, manfaat dari yang mambaca.
Manfaat untuk penulis adalah untuk mengetahui dan mendalami sejauh mana pelaksanaan
yang menjadi simbol dipernikahaan adat Betawi. Sedangkan manfaat dari pembaca
adalah untuk mendapatkan informasi, berbagi pengetahuan dan juga mengetahui alasan
kenapa masyarakat Betawi menggunakan beberapa proses yang khas dan bermakna dalam
pernikahannya.  
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Kebudayaan Betawi


Jakarta memang unik karena tidak bisa sekedar mewakili etnis penduduk aslinya
yaitu Betawi, tetapi juga menjadi rumah bagi berbagai manusia, suku, budaya, dan etnis
lain yang datang, hidup, dan berkembang didalamnya. Masih banyak perdebatan yang
menganggap suku Betawi bukan merupakan penduduk asli Jakarta.

Betawi adalah sebuah etnik dengan jumlah penduduk yang mendominasi Jakarta.
Orang Betawi telah ada jauh sebelum Jan Pieterzoon Coen membakar Jayakarta pada
tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuhan tersebut sebuah kota bernama Batavia.
Artinya, jauh sebelum menjadi ibu kota negara, sekelompok besar orang telah mendiami
kota Jakarta. Bahkan, menurut sejarahwan Sagiman MD, penduduk Betawi telah
mendiami Jakarta sekitar sejak zaman batu baru atau Neoliticum, yaitu 1500 SM. Dari
masa ke masa, masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri budaya yang makin lama
semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain.
Betawi merupakan etnis yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan kultur.
Warna-warni ini membawa aneka persepsi, tafsiran, dan pemahaman tentang Betawi, baik
dari segi penduduk asli, kultur, maupun kebudayaan. Bahkan, ada yang berpendapat
bahwa penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah
berbagai suku bangsa dan bangsa asing.
Beberapa penelitian tentang masyarakat Betawi mengatakan bahwa kebudayaan
Betawi sarat akan pengaruh dari Belanda, Cina, Arab, India, Portugis, dan Sunda.
Dikatakan pula bahwa baju pengantin Betawi yang berwarna merah mengadopsi budaya
Cina, sedangkan yang hijau mendapat pengaruh Islam (Arab). Sepintas, kata-kata dalam
dialek Betawi berkesan dialek Tionghoa, tapi bila diteliti lebih lanjut, maka banyak
terdapat bahasa Belanda dan Arab yang diIndonesiakan.
Di luar sana, terdapat berbagai ragam pendapat dan pandangan tentang masyarakat
Betawi, mulai dari yang positif sampai dengan yang negatif. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa Betawi bukanlah suatu suku bangsa, akan tetapi hanya berupa
komunitas dari beragam akulturasi suku bangsa dan bangsa asing. Dengan kata lain,
orang Betawi adalah masyarakat yang majemuk, yang berasal dari percampuran darah
berbagai suku bangsa dan bangsa-bangsa asing. Pendapat serupa berasal dari Yahya Andi
Saputra, seorang pengamat etnik Betawi.
Konon, lahirnya masyarakat yang sekarang ini bermukim di kota Jakarta
diperkirakan sudah mulai ada sejak 1500 tahun sebelum Masehi. Hal ini dapat dilihat dari
temuan arkeologis berupa sebagai berikut. Pertama, artefak. Pecahan gerabah berupa alat
dapur/makan; alat berburu seperti kapak persegi, beliung, dan serpihan batu; perhiasan
seperti ‘mute’ dan gelang batu; serta alat bercocok tanam dari batu. Kedua, dalam Prasasti
Tugu dikatakan bahwa pada pertengahan abad ke-5 M, sudah mengenal agama Hindu
dengan bentuk kerajaan Indonesia-Hindu, yaitu Tarumanegara (Raja Purnawarman), yang
meliputi Jakarta, Bekasi sampai Citarum, Bogor, dan Banten.
Dengan temuan yang ada, dapat diambil simpulan bahwa kehidupan etnis Betawi
pada masa prasejarah dapat dikatakan sudah mengenal tempat tinggal yang tetap, tahu
bagaimana membangun rumah, tahu bercocok tanam, tahu berorganisasi, mengenal
perdagangan dengan sistem barter, ilmu perbintangan dan pelayaran, cara membuat
pakaian, memasak, dan beternak. Pendek kata, masyarakat Betawi kuno sudah memiliki
kebudayaan yang tinggi sebelum kehadiran orang Eropa.
Betawi Tengah/Kota menetap di bagian kota Jakarta yang dahulu dinamakan
keresidenan Batavia (Jakarta Pusat - urban), mendapat pengaruh kuat kebudayaan Melayu
(Islam). Betawi Tengah menganut gaya hidup tempo lama, misalnya perayaan upacara
perkawinan, khitanan, tradisi lebaran, dan memegang teguh agama serta adat istiadat
(mengaji). Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Pusat mengalami tingkat arus urbanisasi
dan modernisasi dalam skala paling tinggi, juga mengalami tingkat kawin campuran
paling tinggi. Dalam bidang kesenian, mereka menikmati keroncong Tugu, musik
Gambus, Qasidah, orkes Rebana, dan menggemari cerita bernafaskan Islam seperti cerita
Seribu Satu Malam. Mereka memiliki dialek yang disebut dialek Betawi Kota, bervokal
akhiran e pada beberapa kata yang dalam bahasa Indonesia berupa a atau ah, misalnya:
kenapa menjadi kenape.
Betawi Pinggiran, biasa disebut Betawi Udik atau Ora, terdiri atas dua kelompok,
yaitu pertama, kelompok dari bagian Utara dan Barat Jakarta serta Tangerang, yang
dipengaruhi oleh kebudayaan Cina; kedua, kelompok dari bagian Timur dan Selatan
Jakarta, Bekasi, dan Bogor, yang dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat Sunda.
Umumnya, Betawi Pinggiran berasal dari ekonomi kelas bawah, bertumpu pada
bidang pertanian, dan bertaraf pendidikan rendah. Pada perkembangannya, masyarakat
Betawi Pinggiran mengalami perubahan pola pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik.
Dalam bidang kesenian, yang dihasilkan adalah Gambang Kromong, Lenong,
Wayang Topeng, dan lainnya. Mereka menyenangi cerita seperti Sam Kok dan Tiga
Negeri (pengaruh Tionghoa). Dialek Betawi Pinggiran tidak terdapat perubahan vokal a
menjadi e, misalnya: kenapa menjadi ngapa. Keberadaan dua kebudayaan ini disebabkan
oleh banyak aspek, meliputi perbedaan latar belakang sejarah, ekonomi, sosiologi, dan
aspek etnis, misalnya keaslian dari suku yang mempengaruhi kebudayaan mereka.
Bagi masyarakat Betawi sendiri, segala yang tumbuh dan berkembang di tengah
kehidupan budaya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa
mempermasalahkan dari mana asal unsur yang telah membentuk kebudayaan itu.
Demikian pula, sikapnya terhadap kesenian mereka sebagai salah satu unsur kebudayaan
yang paling kuat mengungkapkan ciri-ciri keBetawiannya, terutama pada seni
pertunjukan, disamping bahasa.
Secara garis besar, kebudayaan dan kesenian etnis Betawi tumbuh dan berkembang
di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh sebab itu,
kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat. Keberadaban masyarakat
Betawi sebagai suku bangsa bisa disimak dari pengakuan mereka terhadap ciri-ciri
budaya tertentu seperti bahasa, dialek, dan kesenian. Tiga yang dianggap penting dalam
fase kehidupan orang Betawi, yaitu khitanan, kawinan, dan kematian. Adat hidup yang
banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan mereka untuk lebih mengingat-
ingat hari kematian. Ini merupakan ritual yang sarat akan unsur agamis.
Budaya khitanan selalu dirayakan dengan meriah dan semarak oleh masyarakat
Betawi. Khitanan alias sunat bagi orang Betawi adalah upacara memotong penis anak laki
yang memasuki akil balik dalam ukuran tertentu. Menurut budaya Betawi, jika anak lelaki
sulung sudah akil balig belum disunat, maka shalatnya tidak sah. Seorang anak yang
sudah menjadi “sempurna” mempunyai kewajiban melakukan ibadah dan memahami
peraturan adat yang berlaku. Dengan kata lain, bagi masyarakat Betawi, sunat diartikan
sebagai pembeda antara anak-anak dengan manusia dewasa.
Anak lelaki yang akan disunat disebut dengan nama penganten sunat. Seperti
layaknya seorang penganten Betawi, anak ini mendapat perlakuan istimewa, yaitu sang
anak dikenai pakaian lengkap (sadariah) dan diarak berkeliling kampung sambil
mengendarai kuda hias, didampingi iringan delman hias berisikan teman bermain yang
sebaya. Kemeriahan acara khitanan juga dapat ditemui dari semaraknya musik rebana
ketimpring, yang disertai dengan shalawat dustur dan badar. Tidak lupa, iringan
penganten sunat juga diikuti oleh rombongan tetangga dan orang kampung. Hidangan
utama khitanan biasanya nasi kuning, serondeng, bawang goreng, dan emping ninjo.
Boneka raksasa berisikan manusia hasil akulturasi budaya India (Hindu) dan ondel-ondel
juga beraksi dalam upacara ini. Tontonan lenong, topeng, Sohibul hikayat, dan wayang
kulit menjadi hal yang ditunggu-tunggu semua undangan sehingga menjadi ramai dan
sangat meriah.
Lain halnya dengan ritual sakral khitanan dan perkawinan, ritual kematian tidak
dirayakan secara semarak dan meriah. Barangkali karena sifat ritual sakral kematian ini
lebih banyak berhubungan dengan Yang Maha Kuasa, Sang Khaliq, maka ritual
dilakukan secara khusuk dan hikmat. Tradisi di daerah Betawi berbeda dengan di tempat
lain. Apabila seseorang meninggal, keluarga menyelenggarakan pembacaan Al-Quran
yang lamanya bergantung pada usia yang meninggal dan kelas ekonomi keluarga yang
meninggal. Apabila ekonomi keluarga yang meninggal termasuk kelas menengah ke atas,
maka pembacaan ayat suci Al-Quran dilakukan selama tujuh hari tujuh malam, dan
biasanya dilaksanakan di makam. Ada pula yang lebih dari itu, terutama jika keluarga
yang meninggal termasuk keluarga yang terhormat, maka pembacaan Al-Quran
dilaksanakan selama empat puluh hari empat puluh malam. Peristiwa ini sudah jarang
sekali kita temui sekarang ini.
Kesenian wayang Betawi nyaris tidak ada yang mengetahui keberadaannya,
bahkan bisa dibilang hampir punah. Wayang Betawi memang sudah sangat jarang digelar
seperti wayang kulit atau wayang golek. Sebenarnya, wayang Betawi hampir mirip
dengan wayang kulit dari Jawa Tengah, baik jenis wayang, tokoh, maupun jalan ceritanya
tidak berbeda dengan wayang kulit. Jika diperhatikan secara detil, bentuk gapit atau
pegangan wayang pada wayang kulit Betawi tidak memakai bahan tanduk, melainkan
menggunakan rotan. Warna cerah mendominasi wayang kulit Betawi.Penampilan wayang
sederhana sehingga menepikan aspek estetika, moral, dan falsafah.Bedanyalagi, sang
dalang menuturkan cerita dalam bahasa Indonesia dialek Betawi dan sedikit bahasa
Sunda, pendek kata menggunakan bahasa Indonesia pergaulan agar mudah dipahami
segala lapisan masyarakat dari berbagai suku. Cerita yang dimainkan berupa cerita lucu
dan seru, ada perang dan kaya akan gurauan. Selama ini wayang kulit Betawi hanya
dimainkan di daerah pinggiran, yaitu tempat asal tumbuhnya wayang kulit ini.
Betawi memang kaya budaya seperti kuliner, musik, tari, teater, seni, pakaian,
kerajinan tangan, sampai upacara. Walaupun kebudayaan itu sudah mulai kalah
kehadirannya dengan kebudayaan modern, namun kebudayan betawi tetap memiliki
penggemar dan penikmat tersendiri. Tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia, Betawi
juga memiliki kerajinan batik sebagai salah satu dari seni tekstil Betawi. Tekstil Betawi
terkenal akan nuansa warna dan ragam, dengan ciri khas nuansa kesenian Betawi yang
dipengaruhi oleh budaya Cina, Timur Tengah, dan Eropa. Hal ini terjadi karena begitu
banyak akulturasi dari berbagai kebudayaan asing dan lokal yang terjadi di Betawi.
Motif Buketan, Liong, dan Lokcan atau Burung Hong terdapat pada batik Betawi
pengaruh Cina. Sementara itu, motif kereta kuda dan binatang khas Eropa dengan warna
biru menandakan adanya pengaruh Eropa. Pengaruh Timur Tengah dapat dilihat dari
kebaya encim, kebayak enyak, baju sadariah, baju abang none, dan baju pengantin
Betawi. Batik Betawi juga memiliki motif lain seperti Ondel-ondel (boneka tolak bala),
Nusa Kelapa (sebuta n leluhur Betawi untuk Jakarta), Ciliwung (peradaban manusia
berasal dari tepian Sungai Ciliwung, motif ini sebagai simbol rejeki yang terus mengalir
bak sebuah aliran kali), Rasamala (sebutan untuk pohon Jati Hindia yang kulit kayunya
mengeluarkan bau wangi, kini merupakan pohon langka dan hanya terdapat di Kebon
Raya Bogor), dan Salakanegara (merupakan batik kerajaan pertama di tanah Betawi yang
didirikan oleh Aki Tirem 130 Masehi, berkaitan dengan kepercayaan yang menganggap
Gunung Salak mempunyai kekuatan).
Selain kesenian dan objek wisata yang luar biasa, masyarakat Betawi juga
memiliki wisata kuliner yang lezat, baik makanan pembuka, utama, maupun jajanan
pasar. Seperti halnya kesenian Betawi, kuliner Betawi yang unik mendapat pengaruh dari
bangsa Arab, Portugis, India, Cina, dan Belanda. Gaya kuliner Betawi sangat beragam,
berbeda lokasi sudah ada sentuhan rasa yang berbeda, misalnya Laksa dan Soto Betawi.
Umumnya Laksa Betawi berkuah kuning, sedangkan kuah Soto Betawi beragam, ada
yang berkuah santan putih kekuningan tanpa potongan tomat dan kentang goreng;
berkuah kemerahan dengan isi komplot, ada emping, tomat, dan kentang goreng.
Sayur Asem Betawi cukup terkenal. Uniknya sayur asem ini berisi jengkol dan
petai. Pecak Gurame, Ketoprak, Asinan, dan Nasi Uduk juga menghiasi jajaran makanan
tradisional khas Betawi. Satu nama sayur khas betawi yang cukup aneh didengar dan
langka adalah sayur Babanci. Bisa dibilang jenis makanan ini hampir punah karena bahan
sayur sudah sulit ditemukan di Jakarta seperti temu mangga, kedaung, bangle, adas, dan
lempuyang. Sayur Babanci bumbunya banyak sekali, rasanya bukan seperti soto, bukan
gule, dan bukan kare sehingga karena rasanya campur-campur dan tidak jelas seperti
banci, maka disebut Sayur Babanci. Beberapa makanan langka Betawi yang lain adalah
Bubur Ase (bubur ayam dengan asinan sawi dan kuah semur), Sayur Gabus Pucung, Es
Selendang Mayang, dan Nasi Ulam (mendapat pengaruh Timur Tengah).
Jajanan pasar Betawi memiliki keunikan sendiri, yaitu selain rasanya yang manis,
warnanya pun juga sangat khas. Beberapa contoh jajanan pasar khas Betawi adalah kue
rangi, kue pancong, kue cucur, kerak telor, kue mangkok, kue ape, kue putu mayang, kue
putu ayu, kue ku (mendapat pengaruh Cina), kue putu yang berwarna hijau dengan isi
gula merah, kue gemblong, es doger dan es putar.
2.2 Adat Perkawinan Betawi
Upacara perkawinan dalam masyarakat Betawi merupakan salah satu siklus
kehidupan yang sangat penting. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi
yang dibakukan untuk menandai peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis
sehari-hari, tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia.
Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara
istimewa, dilengkapi dengan tata rias wajah, sanggul serta tata rias busana lengkap, sesuai
dengan dengan kelengkapan adat istiadat sebelum dan sesudah perkawinan.
Tujuan perkawinan tersebut, menurut masyarakat dan budaya Betawi adalah
memenuhi kewajiban mulia yang diwajibkan kepada setiap warga masyarakat yang sudah
dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritas beragama Islam
yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah bagi umat sehingga dipandang sebagai
suatu perintah agama untuk melengkapi norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial
dan ciptan Tuhan yang Maha Mulia.
Sistem perkawinan pada masyarakat Betawi pada dasarnya mengikuti hukum
Islam, kepada siapa mereka boleh atau dilarang mengadakan hubungan perkawinan.
Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman hidup mereka.
Namun demikian, persetujuan orang tua kedua belah pihak sangat penting karena orang
tualah yang akan membantu terlaksananya perkawinan tersebut.
Pernikahan dalam adat Betawi memiliki keunikan tersendiri. Dalam budaya asli,
pernikahan Betawi memiliki tahapan beragam, mulai dari lamaran, pertunangan,
seserahan, sampai pernikahan. Pada hari yang ditunggu-tunggu, calon mempelai pria
datang beriring-iringan diantar sanak saudara menuju rumah mempelai wanita. Zaman
sekarang, biasanya ijab dan kabul dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Hal menarik
dalam adat pernikahan Betawi adalah prosesi penyambutan oleh mempelai wanita selaku
tuan rumah. Petasan dan musik rebana disiapkan untuk menyambut sang ‘tamu agung’.
Begitu mempelai pria bersama keluarga tiba, petasan rentet dinyalakan bersamaan dengan
musik rebana yang menyanyikan lagu shalawatan. Ketika datang, mempelai pria tetap
membawa aneka makanan khas Betawi seperti buah-buahan dan roti buaya. Roti buaya
merupakan simbol kesetiaan. Dengan demikian, diharapkan sang pengantin saling setia
seperti buaya yang hanya kawin sekali seumur hidup.
2.2.1 Roti Buaya
Terjadinya roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat
kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini
merupakan lambing setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya
menikah sekali. Dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikajan maka ini
merupakan bagian dari mempertahankan adat istiadat Betawi. Sehingga adat
kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari.

Sedangkan menurut warga lainnya memiliki pandangan juga bahwa roti


buaya itu hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan
kata lain yang mampu karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk membeli
roti buaya cukup mahal. Sehingga tak semua warga Betawi menyertakan ke dalam
seserahan pernikhannya.
Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang
membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah
sekali dalam seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya
memang setia, ada yang percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya
dengan mitos itu.
2.2.2 Ondel-Ondel

Tidak ada data resmi yang menyatakan kapan munculnya keberadaan ondel-
ondel sebagai ikon Betawi, beberapa sumber menyatakan bahwa dahulu ondel-
ondel dipergunakan sebagai pelengkap untuk upacara adat yang berkaitan dengan
keberhasilan akan hasil panen yang melimpah, termasuk upacara-upacara adat yang
berhubungan dengan ucapan syukur atas karunia yang Maha kuasa atas kelimpahan
rejeki, upacara untuk mengarak pengantin sunat, iringan pengantin dengan diiringi
musik seperti kendang, kenong dan terompet. Hal ini dilakukan untuk mengusir
roh-roh jahat yang dapat mengganggu keberlangsungan kegiatan upacara. Ondel-
ondel terpilih sebagai ikon seni tradisi yang melambangkan kota Jakarta, dimana
pemilihan warna dan hiasan juga mempunyai makna tersendiri. Seperti bentuknya
yang besar dengan wajah atau karakter boneka laki-laki yang berwarna merah dan
boneka wanita berwarna putih. Kedua warna ini melambangkan keseimbangan
antara 2 kekuatan, yaitu kekuatan jahat dan baik. Warna merah untuk wajah ondel-
ondel laki-laki melambangkan kejahatan dan warna putih melambangkan kebaikan.
Karena itulah ondel-ondel selalu perpasangan. Hiasan yang ada di kepala adalah
bunga kelapa, hal ini melambangkan pohon yang tumbuh diwilayah daerah pesisir
(tepi pantai). Karena Jakarta dulunya dikenal sebagai kota dengan pelabuhannya
yaitu pelabuhan Sunda Kelapa dengan banyak pohon kelapa yang tumbuh di
sepanjang pantainya. Hiasan kembang kelapa ini dipasang di keliling kepala
sebagai rambut dari boneka ondel-ondel.
Mahkota yang dikenakan pada ondel-ondel melambangkan adanya kerajaan
di masa kejayaan kota Jakarta, yang dulunya dikenal seorang tokoh yaitu pangeran
Jayakarta yang namanya mengandung arti kemenangan. Kebaya encim yang
dikenakan pada ondel-ondel perempuan melambangkan adanya hubungan dagang
dengan China, pakaian yang dikenakan dulunya biasa dipakai oleh kaum wanita
China. Sedangkan baju yang dikenakan pada ondelondel laki-laki menggunakan
baju ‘sadaria’ atau ‘ujung serong’ yang merupakan pakaian adat dari kaum laki-
laki untuk masyarakat Betawi. Baju ini mendapat pengaruh dari Arab. Karena
dulunya juga terjadi hubungan dagang dengan bangsa Arab. Selendang untuk
ondel-ondel perempuan bermotifkan flora, yang melambangkan kesuburan dari
wilayah tanah Jakarta, sedangkan selempang pada ondel-ondel laki-laki
menggunakan motif kotak-kotak atau lebih dikenal dengan istilah sarung ‘cukin’.
Bagian bawahnya untuk ondel-ondel laki-laki memakai sarung yang disebut
‘sarung Jamblang’ dan untuk ondel-ondel wanita memakai kain sarung batik
Betawi dengan ragam hias flora. Untuk kelengkapannya dipasang selendang yang
diselempangkan pada pundak dan dililitkan dibagian pinggang ke-dua ondel-ondel,
untuk ondel-ondel laki-laki memakai model sarung yang disebut ‘sarung cukin’
biasanya motifnya adalah kotak-kotak. Sedangkan untuk ondel-ondel wanitanya
motif yang dipergunakan adalah motif batik Betawi yang melambangkan flora dan
fauna.
Kini peruntukkan dan kegunaan boneka pasangan ondel-ondel ini tidak saja
untuk keperluan kesenian semata, melainkan juga seperti: - Diletakkan pada
bangunan-bangunan Perintahan dan bangunan museum serta bangunan seni DKI
Jakarata seperti: Kantor Gubernur, Kantor Walikota, Kantor Camat, Kelurahan,
Museum-museum yang mewakili kedaerahan dari Kota DKI Jakarta serta anjungan
di Taman Mini Indonesia Indah
Hari Jadi kota Jakarta setiap tanggal 22 Juni, akan diletakkan pada
bangunan-bangunan komersial seperti Mall, Hypermart dan bangunan fasilitas
Umum (fasum) seperti: bandara, stasiun kereta api, kantor pelabuhan, bangunan
pemerintahan-BUMN, dan sebagainya. Pertunjukan seni, untuk pertunjukan seni
biasanya juga diiringi dengan musik ‘Gambang Kromong dan Tanjidor’ dengan
lagu-lagu seperti: Lenggang Kangkung, Kicir-kicir dan Sirih Kuning, serta
biasanya dilengkapi dengan kesenian bela diri Betawi ‘Pencak silat’. Benda-benda
dekoratif seperti souvenir (bentuk boneka yang dikemas dalam kotak kaca atau
kotak akrilik dengan skala kecil 1:75 atau lebih kecil), gantungan kunci, hiasan
pada mug, mural pada fasad bangunan, kaos dan sebagainya.
2.2.3 Ngelamar
Ikatan batin antara sepasang muda-mudi yang telah erat terjalin dalam
proses ngelancong beberapa waktu yang sudah berlalu. Keadaan yang demikian itu
berlanjut di mana sang pemuda memberitahukan kepada pihak orang tuanya, agar
orang tuanya pergi melamar (khitbah) gadis idamannya itu. Jadi lamaran atau
pinangan dalam masyarakat Betawi dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan.
Pelaksanaan perminangan ini dilakukan berdasarkan waktu yang telah
ditentukan. Pada umumnya peristiwa ngelamar sering dilakukan atau dilaksanakan
pada malam hari. Adapun rombongan pelamar terdiri dari mak comblang yang
bertindak selaku juru bicara, dua pasang pria dan wanita setengah baya sebagai
utusan yang mewakili orang tua laki-laki yaitu sepasang dari pihak ayah dan
sepasang dari pihak ibu. Dulu orang Betawi mengutamakan utusan ini adalah
keluarga yang sudah dituakan atau yang memahami masalah-masalah agama,
jumlahnya kira-kira 10 orang hingga 15 orang.
Sesuai dengan adat kebiasaan utusan tersebut membawa kelengkapan
ngelamar yang disebut bawaan yang terdiri dari:
a. Sirih lamaran atau sirih embun, ini bawaan pertama dan wajib sifatnya.
Perlengkapan sirih lamaran terdiri dari:
1. Nampan kuningan, kalau sekarang nampan apa saja yang berbentuk bulan
lontong atau persegi.
2. Kertas minyak berwarna cerah untuk alas nampan dibentuk berenda-renda.
3. Daun sirih dilipat bulat dan dilipat potongan kertas minyak warna warni.
4. Sirih tami, yaitu sirih yang telah diisi dengan rempah-rempah untuk nyirih
(kapur, gambir, pinang).
5. Bunga sampai tujuh rupa.
6. Tembakau yang sudah dihias berbagai bentuk
b. Pisang raja jumlahnya dua sisir. Ujung pisang rajanya dibungkus atau
dibuatkan topi dengan warna kuning atau emas dan metalik. Pisang ini pun
diletakan diatas nampan seperti yang diatas karena pisang raja melambangkan
kewibawaan seorang raja
c. Roti tawar. Roti ini pun diletakan dimanapun dan dihias kertas warna warni.
Keberadaan roti ini sama halnya dengan pisang raja, artinya mutlak harus
dibawa. Dengan pisang, roti ini menjadi pasangan yang orang Betawi sebut
roti pisang. Apa maknanya keharusan untuk membawa roti, sampai sekarang
belum ada penjelasannya, tengah diupayakan mencari dan menguak
historisnya.
d. Setiap warna merah untuk melengkapi roti tawar itu sendiri.
e. Uang sembah lamara. Hadiah lainnya berupa baju atau bahan pakaian wanita.
f. Cincin tanda ikatan, yang akan dipasangkan di jari manis calon none mantu
oleh calon mertuanya.
g. Buah-buahan yang berbentuk parsel
Upacara ngelamar ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti apakah si
gadis itu belum ada yang meminangnya, atau juga memastikan apakah orang tua
gadis itu merestui dan dapat menerima lamaran mereka. Untuk meyakinkan hal
tersebut biasanya pihak yang meminang bertanya dengan cara berkias. Setelah
berdialog dan diterimanya bawaan lamarannya pun diserahkan lalu calon none
mantu keluar kehadapan para utusan tersebut. Si gadis haru melakukan sembah
takim dan cium tangan diacara tersebut orang tua dari mempelai laki-laki
menyiapkan uang untuk diberikan kepada calon mempelai wanita yang sering
disebut sebagai uang sembah.
2.2.4 Ngedelengin
Istilah lain masa perkenalan sebelum pernikahan dalam adat Betawi adalah
ngedelengin yang jika diartikan berarti ‘melihat dengan seksama’. Jika kedua
keluarga sudah merasa cocok, maka ditunjuklah dua orang dari pihak keluarga
cowok untuk berperan sebagai mak comblang. Biasanya, mereka
adalah encang (paman) dan encing (bibi). Nah, mak comblang ini lantas
menggantungkan ikan bandeng di depan rumah si cewek sebagai tanda bahwa anak
gadis di rumah ini sudah ada yang naksir.
Pada saat ini pula, mak comblang menjadi juru bicara perihal kapan dan apa
saja yang akan menjadi bawaan pada saat ngelamar. Dalam tradisi masyarakat
Betawi adalah masa pendekatan dan penelaahan terhadap seorang gadis. Biasanya
kuterjadi kalau sebuah keluarga punya anak lelaki yang sudah dewasa, bekerja, dan
pantas berumah tangga, namun ia tidak memperlihatkan hasrat berumah tangga,
atau mungkin tidak berani mendekati anak perawan padahal sudah ngebet.
Ngedelengin bisa dilakukan siapa saja termasuk si jejaka sendiri, orang tua
bahkan mak comblang yang mereka tunjuk. Proses ngedelengin bertujuan
mengetahui secara lebih jauh tentang sifat dan keadaan seorang gadis yang bakal
dijadikan istri. Suatu yang wajar dilakukan dalam usaha orang tua atau laki-laki
sebagai calon suami menyelidiki lebih dahulu latar belakang bakal pasangan
hidupnya.
Tindakan tersebut didasari maksud baik agar tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan kelak kemudian hari. Mula-mula mak comblang mulai berkunjung ke
rumah keluarga yang menjadi sasaran dan biasanya akan diterima oleh ibu si gadis
dan kemudian juga si gadis tersebut. Dilihat dari awal kejadiannya terdapat
tiga macam cara ngedelengin.
 Pertama, tugas ngedelengin dari awal sampai akhir diserahkan kepada
Mak Comblang.
 Kedua, awal ngedelengin dilakukan sendiri si pemuda dan
melaporkannya kepada orang tuanya yang kemudian menugaskan Mak
Comblang meneruskan ngedelengin.
 Ketiga, si orang tua mengintip seorang calon menantu perempuan dan
setelah menemukan pilihan ia menugaskan Mak Comblang untuk
meneruskannya.
2.2.5 Bawa Tande Putus
Acara ini bisa disepadankan dengan bertunangan. Tande putus bisa berupa
apa saja, namun orang Betawi biasanya memberikan tande putus kepada si gadis
berupa cincin belah rotan, uang pesalin sekedarnya, serta aneka rupa kue.
Tande Putus ini sendiri artinya si gadis atau calon none mantu telah terikat
dan tidak dapat lagi diganggu oleh pihak lain, begitu pula dengan si pemuda atau
calon tuan mantu. Setelah tande putus diserahkan, maka berlanjut dengan
menentukan hari dan tanggal pernikahan.Menentukan Mahar atau Mas Kawin,
Mahar atau mas kawin menjadi pembicaraan pokok. Tempo dulu dengan
mendengar permintaan dari pihak calon none mantu, mak comblang dan utusan
dari keluarga calon tuan mantu akan segera memahami apa yang diinginkan.
Apabila pihak calon none mantu mengatakan “none kite minta mate bandeng
seperangkat,” itu adalah kata kiasan yang berarti calon none mantu menghendaki
mas kawin berupa seperangkat perhiasan emas berlian. Bila pihak calon none
mantu menyatakan, “none kite minta mate kembung seperangkat”, artinya mas
kawin yang diminta adalah seperangkat emas perhiasan bermata intan asli.
Berdasarkan pembicaraan tentang mas kawin ini pihak pengantin pria harus
bisa memperkirakan berapa jumlah belanja resepsi pernikahan dengan
memperhatikan besarnya nilai mas kawin.
Setelah acara bawa tande putus, kedua belah pihak mempersiapkan
keperluan pelaksanaan acara akad nikah.Masa ini dimanfaatkan juga untuk
memelihara calon none mantu yang disebut dengan piare calon none penganten dan
orang yang memelihara disebut tukang piare penganten atau dukun penganten.
2.2.6 Malam Mangkat
Malam mangkat merupakan masa awal atau permulaan bagi seseorang yang
akan melakukan pernikahan dimana pada masa ini calon pengantin juga melakukan
tradisi lain tidak hanya khatam al-qur‟an akan tetapi juga disekep untuk calon
perempuan. Sekep merupakan sebuah proses yang menjadi bagian dari malam
mangkat, dimana sekep dimana agenda tersebut melibatkan sang pengantin
perempuan yang akan di balut dengan kain serta selimut bahkan ada juga yang
menggunakan kasur, hal ini dimaksudkan agar tidak ada udara yang masuk
sehingga calon pengantin akan merasa gerah sehingga mengeluarkan keringat
ditubuhnya. Dalam sebuah ritual sekep bukan hanya menggunakan kain, selimut
maupun kasur dalam ritual ini, melainkan terdapat sebuah prosesi lainnya yaitu
dengan menggunakan ramuan dedaunan yang dicampur dengan air panas kemudian
dimasukan kedalam sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat yang disebut dengan
kendi namun, di era modern seperti sekarang kendi mulai jarang digunakan dalam
prosesi sekep dan kemudian digantikan dengan ember.
Wadah yang telah dimasukkan ramuan dedaunan kemudian diletakan
diantara kedua kaki calon pengantin perempuan agar uap panas yang keluar
menyebar keseluruh tubuhnya. Sekep sebagai salah satu ritual yang ada di dalam
tradisi malam mangkat, memiliki makna dan tujuan di dalamnya sesuai dengan
premis pertama yang diutarakan oleh Blumer dimana manusia bertindak atas dasar
makna yang terjadi pada diri mereka, yakni sesuai dengan makna yang terkandung
dalam tradisi sekep agar sang calon mempelai perempuan tidak berkeringat pada
saat menjadi pengantin dan tetap harum badannya selama prosesi pernikahan
berlangsung.
Selain terdapat prosesi yang harus djalani, malam mangkat dapat menjadi
sebuah ajang silahturahmi bagi para keluarga yang hadir, tidak hanya keluarga
yang hadir tetapi juga para tetangga dengan membawa baskom yang di dalam
baskom tersebut terdapat bawaan makanan, seperti beras, mie, telur, sayur-sayuran,
dan lain-lain yang akan diolah untuk menambah jamuan masakan saat acara
pernikahan berlangsung. Malam mangkat ini sebenarnya sudah dilakukan bukan
hanya pada waktu malam hari saja akan tetapi malam mangkat ini sudah mulai
pada siang hari dimana proses dimulai dari persiapan yang dilakukan oleh keluarga
yang sudah mulai melakukan persiapan masak-masak untuk menjamu para tamu
dan juga datangnya para kerabat dengan membawa bahan-bahan makanan yang
disebut dengan membawa bebawaan, seperti beberapa dus air mineral, beras dua
karung ukuran kecil karena menurut informan Pak Haji Shaleh jika hanya
membawa satu karung besar beras kurang etis, dan barang-barang yang di bawakan
oleh para sanak saudara akan dicatat, karena di Betawi terdapat istilah balikin atau
mengembalikan barang yang diberikan.
Selain itu juga terdapat acara mengaji untuk meminta doa kepada Sang
Pencipta agar acara esok hari berjalan dengan lancar, acara pengajian dilakukan
juga untuk mendoakan arwah atau orang tua yang sudah meninggal. Selain acara
pengajian dan silahturahmi para keluarga, pada malam mangkat pun mengadakan
acara arisan yang dilakukan oleh para sesepuh yang hadir. Sebenarnya malam
mangkat tidak ada acara pengajian pada zaman dulu karena kurang pahamnya akan
ilmu agama, karena adanya perkembangan zaman dan lingkungan masyarakat yang
sudah terbiasa sebelum melakukan acara mengadakan pengajian sehingga pada
malam mangkat pun juga diadakan pengajian.
Acara malam mangkat lebih ramai atau sibuk dirumah pihak perempuan
dibandingkan pihak laki-laki karena semua persiapan dilakukan pada pihak
perempuan baik dalam persiapan masak-masak, pembuatan janur, dan lain-lainnya.
Pihak lelaki juga sibuk hanya saja tidak seramai pihak perempuan, pihak lelaki
lebih menyiapkan seserahan yang akan dibawa kepada pihak perempuan seperti
kue-kue khas Betawi, seperti roti buaya, dodol, dan uli.
2.2.7 Palang pintu
Sebagai bagian dari masyarakat Melayu, masyarakat Betawi mengenal
bentuk- bentuk puisi, yang disebut pantun dan syair. Kesamaan pantun dan syair
adalah setiap bait terdiri atas empat baris. Bedanya, pada pantun baris pertama dan
kedua disebut sampiran, baris ketiga dan keempat disebut isi pantun. Pola
persajakan bunyi akhir baris adalah a-b-a- b, sedangkan pada syair keempat
barisnya berupa isi dan pola persajakan bunyi akhir adalah a-a-a-a.
Di masa derasnya modernisasi saat ini, keberadaan pantun Betawi dengan
fungsi- fungsi tersebut masih dibutuhkan di masyarakat Betawi. Bentuk penuturan
pantun dalam masyarakat Betawi lebih banyak ditemui pada seni pertunjukan
masyarakat, seperti pada lenong pada teater tradisional dan palang pintu pada
upacara perkawinan adat Betawi.
Palang pintu dilakukan ketika mempelai pria dengan rombongannya datang
ke rumah mempelai wanita untuk duduk melaksanakan akad nikah. Namun, kini
pertunjukan palang pintu telah mengalami modifikasi, yakni dengan
penggunaannya yang tak hanya dalam acara pernikahan adat Betawi. Palang pintu
kini turut menjadi bagian berbagai acara. Umumnya, yang diselenggarakan oleh
komunitas atau badan pemerintah yang masih memiliki hubungan dengan kota
Jakarta dan sekitarnya, seperti acara sunatan, pembukaan acara kepemerintahan,
peresmian gedung, serta penyambutan pejabat pemerintahan.
Kebudayaan Betawi kerap bersinggungan dan bergandengan dengan ajaran
Islam. Pengaruh agama Islam pada masyarakat Betawi turut terlihat pada
pertunjukan palang pintu. Chaer mengatakan bahwa orang Betawi dapat menikah
dengan suku mana saja dan ras mana saja asalkan sama-sama beragama Islam.
Tanpa Islam, tidak akan ada pernikahan. Hal itu tampak dari di dalam palang pintu
calon pengantin laki-laki diuji kesiapannya dalam memiliki istri, yakni dengan
pembuktian bahwa calon pengantin laki-laki menguasai ilmu silat (yang
diwakilkan oleh juru silat), serta memahami ajaran- ajaran Islam yang tersirat lewat
pantun dan lagu sike yang dilantunkan juru pantun. Hal tersebut menjadi
kontradiktif jika ditabrakan pada anggapan umum bahwa Jakarta merupakan
melting pot. Melting pot adalah asimilasi di satu tempat, peleburan kebudayaan
yang dilatarbelakangi oleh pertemuan bahkan pernikahan dari dua orang berbeda
etnis dan/atau agama.
2.2.8 Ngerudat (Mengiringi/Ngarak Calon Pengantin Pria)
Merupakan prosesi iring-iringan rombongan calon mempelai pria menuju ke
kediaman calon pengantin wanita, berlangsung menjelang upacara akad nikah.
Keberangkatan rombongan ini disebut rudat yang artinya mengiringi calon tuan
mantu menuju rumah calon none mantu untuk melaksakan pernikahan.

Rombongan membawa perlengkapan dan barang seserahan kepada calon


mempelai wanita. Adapun ragam jenis barang bawaan adalah sebagai berikut:
Bahan Seserahan.
 Sirih nanas lamaran dan sirih nanas hiasan, ungkapan rasa gembira pihak
keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan karena telah menerima
lamaran.
 Mahar atau mas kawin, ketika dibawa diapit oleh sirih nanas lamaran.
 Miniatur masjid yang berisi sejumlah uang belanja sesuai pembicaraan.
 Sepasang roti buaya, yang perempuan menggendong buaya kecil di
punggungnya, sebagai lambang berakhirnya masa lajang. Menurut
pengertian orang Betawi, buaya adalah sejenis satwa yang ulet, panjang
umur, kuat, sabar dan setia.
 Kekudang yaitu makanan yang disukai oleh calon pengantin wanita sejak
kecil sampai dewasa.
 Kue penganten, biasanya kue kembang (tart) yang dihias.
 Pesalin atau hadiah lengkap berupa seperangkat pakaian wanita, kain,
selop, dan alat kecantikan
 Shie berupa kotak kayu segi empat dengan ukiran gaya Cina berisi sayuran.
 Beberapa nampan kue khas Betawi (dodol, wajik, geplok, tape uli, kue lapis
dll)
 Satu perangkat idam-idaman yaitu buah-buahan yang ditempatkan dalam
wadah berbentuk perahu sebagai lambang kesiapan pasangan pengantin
mengarungi bahtera kehidupan.
Rombongan rudat terdiri dari
 Dua orang lelaki setengah baya berbaju Jas Kain Serebet yang bertugas
sebagai juru bicare.
 Dua orang jago sebagai pengawal calon tuan mantu berpakaian pangsi.
 Calon tuan mantu berpakaian Jas Kain Serebet diapit paman dari
pihak babe dan enyak.
 Rombongan rebana ketimpring atau rebana ngarak.
 Tiga orang pemuda memakai pakaian sadarie membawa sirih nanas
lamaran, mahar dan sirih nanas hiasan.
 Tiga orang pemuda membawa miniatur masjid, kekudang, dan kue susun
pengantin.
 Beberapa pemuda membawa roti buaya, shie, pesalin, idam-idaman dan
sebagainya.
Suasana meriah menyertai kehadiran rombongan, karena petasan pun
dipasang sebagai tanda bahwa rombongan hampir tiba. Pihak calon none
mantu akan membalas membunyikan petasan sebagai informasi segala sesuatu
sudah siap. Sebuah komunikasi jaman dahulu yang masih tetap dilestarikan.

2.2.9 Acara Kebesaran

Acara kebesaran merupakan puncak pesta perkawinan dimana pada saat ini
kedua mempelai bersanding di puade (istilah taman). Acara kebesaran pada saat ini
disebut dengan resepsi pernikahan. Sebagaimana resepsi pada umumnya acara
kebesaran berisi tamu-tamu undangan yang datang memberikan doa restu untuk
kedua mempelai. Acara kebesaran ini erlangsung sehari dan dilanjutkan pada
malam harinya dengan acara hiburan atau kesenian Mempelai perempuan
mengenakan busana penganten care Cine (rias gede dandanan cara none pengantin
Cina) dan wajahnya ditutup dengan roban tipis. Busana care Cine ini terdiri dari:
 Tuaki, 37 yaitu baju bagian atas yang terbuat dari bahan yang gemerlap.
 Kun,38 yaitu rok bagian bawah yang dibuat agak lebar.Teratai Betawi,
yaitu sebagaian hiasan penutup dada dikenakan sehelai kain bertatahkan
emas yang dibuat mengelilingi leher dan berkancing di belakang yang
disebut delime (delapan bentuk dirangkai menjadi satu sehingga
menyerupai belahan buah delima).
 Alas kaki, yaitu penutup kaki mempelai perempuan berupa selop
berbentuk Perahu Kolek39 yang diperindah dengan tatahan emas dan
manik-manik disebut Selop Kasut.
Pada acara ini mempelai pria mengenakan busana yang disebut “dandanan
cara haji”.40 Modelnya diadoptasi dari pakaian Pak Haji, yaitu berupa jubah dan
tutup kepala sorban. Jubah yang dipakai ada dua, yaitu jubah luar dan jubah dalam.
Busana jubah luar ini agak longgar dan besar, bagian tengah depan dari leher ke
bawah terbuka. Jubah luar ini memiliki hiasan yang bermotif flora dan fauna
“burung hong” dari benang emas manik-manik atau mute, bahan kain jubah dari
beludru. Berwarna cerah, kuning, biru dan hijau.
Jubah dalam yang disebut Gamis, dari kain putih halus, model baju kurung
panjang. Gamis ini terbuka dari leher sampai sebatas uluhati. Ukuran jubah dalam
ini lebih panjang dari jubah luar, sampai sebatas mata kaki. Perlengkapan lain
adalah selendang yang dikenakan pada gamis berhias motif-motif dari benang
emas, manik-manik atau mute, beludru warna cerah. Alas kaki sepatu model
pantofel dan berkaus kaki.
2.2.10 Malam negor
Tradisi Malem Negor adalah malam setelah acara resepsi pernikahan,
pengantin laki-laki di perbolehkan untuk menginap di tempat kediaman pengantin
perempuan. Meski menginap si perempuan tidak diperbolehkan berkomunikasi
atau berbicara kepada pengantin laki-laki dengan tujuan menjaga gengsi dan jual
mahal kepada pengantin laki-laki. Disamping pada malam itu kedua pasangan
tersebut juga tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri. Hal itu
dilakukan sebagai upaya istri dalam mempertahankan dan menjaga kesuciannya
selama mungkin. Artinya, dalam mempertahankan kesuciannya selama mungkin
sang istri dianggap sebagai perempuan yang bisa menjaga harkat dan martabat
keluarga. Untuk itulah dibutuhkan semangat juang bagi pengantin laki-laki
diantaranya, pertama merayu, membujuk dan membuat lelucon agar pengantin
perempuan bisa tertawa dan berkomunikasi. Kedua memberikan uang dengan cara
menyelipkan uang di bawah tapak meja, bisa juga di letakkan di atas tatakan gelas.
Uang ini di sebut sebagai “Uang Penegor” dan dimulai dari jumlah terkecil, yang
terus-menerus ditambah sampai si pengantin perempuan mau bicara.
Bertahannya si istri pada Malem Negor itu dapat ditafsirkan sebagai
ungkapan harga dirinya bahwa ia bukan perempuan gampangan, selain itu pada
Malem Negor mereka bisa saling mengenal secara lebih mendalam. Dengan
strategi diam itu (sesuai dengan pepatah diam itu emas) tidak ada pilihan lain bagi
tuan raje mude (penganten laki-laki) untuk berusaha keras membujuk dan merayu
agar istrinya menerima. Bujuk rayu tuan mude biasanya tidak hanya ungkapan
kata-kata indah, tetapi juga dengan memberi uang tegor.
Tujuan tradisi perkawinan tersebut adalah untuk memenuhi kewajiban mulia
yang diwajibkan kepada setiap masyarakat Betawi yang sudah siap melakukan
pernikahan dan memenuhi syarat. Masyarakat Betawi yang mayoritas beragama
Islam yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah bagi umat, sehingga
dipandang sebagai suatu perintah agama untuk melengkapi norma-norma
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan ciptaan Tuhan yang mulia.
Alasan keagamaan yang dijelaskan di atas menyebabkan orang Betawi
beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut
ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan adat
perkawinan tersebut diberi nilai tradisi yang disakralkan sehingga harus dipenuhi
dengan sepenuh hati oleh warga masyarakat dari generasi ke generasi
semakin pesatnya perkembangan zaman, tradisi Malem Negor jarang
dijumapai pada masyarakat Betawi, hal ini mungkin disebabkan dari beberapa
faktor bahwa masyarakat Betawi hidup ditengah-tengah kota metropolitan Jakarta,
yang mana Jakarta adalah ibu kota Indonesia, berbagai etnis suku dan daerah
tertarik untuk tinggal dan mengadu nasib disana, disamping itu juga Jakarta adalah
sebagai pusat ekonomi dan elit politik. Namun ada beberapa daerah seperti Daerah
Cinangka dan Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta-Selatan yang masih memegang
teguh tradisi Malem Negor, terlebih upacara perkawinan dalam masyarakat Betawi
merupakan salah satu siklus kehidupan yang sangat penting dan harus dilestarikan.
Kendati demikian tradisi Malem Negor ini tidak terdapat dalam ajaran atau
norma-norma Islam, namun oleh masyarakat Setu Babakan Jakarta-selatan
dijadikan sebagai syarat dalam prosesi perkawinan. Oleh karenanya tradisi Malem
Negor menjadi hal yang menarik karena pada sebelumnya sudah terjadi akad nikah
yang menandakan kedua belah pihak (suami-istri) sudah menjadi suami istri
sehingga sudah berhak dan halal untuk melakukan yang sebagai mana semestinya.
2.2.11 Pulang Tige Ari
Sebagai tanda kegembiraan dari pihak pria atas kesucian yang telah
dipelihara oleh pihak wanita, maka akan diberikan hadiah kepada pihak orang tua
wanita. Setelah acara ini selesai maka Tuan dan None Betawi berhak untuk tinggal
serumah atau menetap di tempat yang telah disepakati berdua.
2.2.12 Upacara Di Rumah Pengantin Laki-Laki
Pesta di rumah pengantin laki-laki ini merupakan pesta penutup dari
keseluruhan upacara perkawinan. Pada waktu pelaksanaan tersebut pengantin
perempuan akan dibawa kerumah pengantin laki-laki, sebelum berangkan
pengantin perempuan dihiasi dengan pakaian pengantinnya.
Waktu berangkat menuju rumah pengantin laki-laki, pengantin perempuan
diiringi oleh kerabat-kerabatnya yang sebagian besar terdiri dari orang perempuan.
Ketika sampai, rombongan ini disambut oleh mertua laki-laki. Kemudian pengantin
perempuan langsung sujud dihadapan mertuanya dan mencium tangan kerabat
pengantin laki-laki. Akhirnya pengantin perempuan ini didudukan di atas sebuah
bangku tinggi yang dihiasi dengan kembang-kembang (taman pengantin). Setiap
tamu perempuan yang datang disalaminya, jika pesta ini sudah selesai maka
pengantin perempuan beserta pengiringnya diantar kembali kerumah orang tuanya.
2.3 Unsur Budaya Tionghoa Dalam Perkawinan Adat Betawi
Berikut ini adalah unsur-unsur budaya Tionghoa yang terdapat di dalam perkawinan adat
Betawi:
 Petasan
Di dalam perkawinan adat Betawi, pada saat upacara Rudat, keluarga
pengantin wanita akan menyambut rombongan pengantin pria dengan petasan.
Dalam legenda Tiongkok, jaman dahulu terdapat sesosok mahluk menyeramkan,
mahluk ini bernama ‘Xi’. Masyarakat jaman dulu sangat takut dan benci dengan
mahluk ini karena mahluk ini suka memakan gadis cantik, tetapi masyarakat
sekitar tidak bisa melakukan hal apapun. Pada satu malam, mahluk ini tiba-tiba
muncul, dan ada seseorang yang berani melawan mahluk ini. Orang ini
memerintahkan anjingnya untuk menggigit mahluk ini. Mahluk ini meronta dan
mencoba untuk melarikan diri. Selagi anjingnya menggigit, ia pun mengambil
busurnya dan menembakannya ke arah mahluk ini yang berada di atas langit, dan
pada malam itupun mahluk menyeramkan ini mati. Menurut Zheng Yi Min sejak
saat itu, setiap penanggalan Tiongkok Xiali tiga puluh disebut sebagai ‘Chu Xi’,
setiap malam perayaan ini orang-orang membakar petasan sebagai simbol
kebahagiaan dan menyambut keberuntungan di tahun berikutnya. Setiap perayaan
tahun baru imlek, masyarakat di Tiongkok akan menyalakan petasan.
 Angpau
Angpau dalam perkawinan adat Betawi adalah saat para tamu undangan
memberikan hadiah kepada pengantin, dan hadiah ini berwujud angpau. Angpao
pada saat imlek memiliki istilah ‘压岁(ya sui)’, yaitu hadiah untuk anakanak yang
diberikan pada saat berulang tahun atau pergantian tahun.
Menurut Herman Tan (2012) ‘压(ya)’ disini memiliki arti mengusir atau
menindas, dan ‘岁(sui)’ dalam 压岁 memiliki arti umur, dalam pelafalan bahasa
mandarin, ‘sui’ juga berarti bencana (祟). Jadi, ‘ya sui’ dapat disimbolkan sebagai
‘mengusir atau meminimalkan bencana’, harapannya anak-anak yang
mendapatkan angpau ini akan melewati setahun kedepan dengan aman dan tanpa
halangan.
 Phoenix
Pada pakaian pengantin adat Betawi, terdapat gambar burung Phoenix. Di
Tiongkok, Phoenix termasuk kedua dari empat mahluk ajaib Tiongkok. Menurut
Bambang Budi Utomo dan Mulyawan Karim (2009, hal.78) burung Phoenix di
Tiongkok digambarkan bersama dengan seekor Naga dan burung Phoenix
melambangkan Permaisuri, sehingga saat ini simbol burung Phoenix kemudian
melambangkan sosok wanita. Tubuh burung Phoenix juga menggambarkan 5 hal
penting bagi manusia. Kepalanya menggambarkan kebajikan, sayapnya
menggambarkan kewajiban, punggungnya menggambarkan perilaku yang baik,
dadanya menggambarkan kemanusiaan, dan perutnya menggambarkan keandalan
atau dapat dipercaya.
 Naga
Selain Phoenix, pada pakaian pengantin adat Betawi juga terdapat gambar
Naga. Naga merupakan salah satu mahluk yang terdapat dalam 12 Shio. Di
Tiongkok Barat, Naga Tiongkok adalah mahluk yang baik hati dan jinak. Pada
dinasti Han (206 SM), Naga merupakan simbol kekuatan. Menurut Bambang Budi
Utomo dan Mulyawan Karim naga di daratan China adalah binatang mitos yang
sangat kompleks dan multi simbol, secara umum dianggap suci, lambang
kesuburan. Namun menurut Abdul Rani Usman naga merupakan simbol
keperkasaan dan sebagai objek penyembahan bagi bangsa China.
 Mie
Untuk menjamu para tamu undangan, kedua mempelai sudah
mempersiapkan berbagai jenis makanan, dan jaman dulu makanan yang
dihidangkan adalah makanan Tionghoa. Makanan yang tidak boleh dilewatkan
adalah mie. Mie pertama kali dibuat di Tiongkok pada masa pemerintahan dinasti
Han. Menurut Herman Ichsan Pangestu dalam budaya Tiongkok, mie adalah
simbol kehidupan yang panjang.
2.4 Perspektif Hukum Islam Tentang Adat Perkawinan
Dalam upacara perkawinan adat terdapat acara-acara yang pokok dan acara-
acara pelengkap yang bertalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Urf atau adat
kebiasaan adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan telah dijalankan
terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Urf shahih(benar) ialah adat
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil
masyarakat, tiada mengahalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib.
Syari’at Islam adalah syari’at yang sempurna, perbuatan yang timbul yang
berkaitan dengan hukum adat biasanya dilandasi dengan kesadaran hati. Bahwa
pelaksanaan pemberian kudangan pada malam negor tersebut adalah boleh dan tidak
menyimpang dari syari’at Islam dengan pertimbangan sebagai berikut:
Dalam ushul fiqih ada suatu kaidah yang menyebutkan ‫ اﻟﻌﺎدة‬R‫( ﻣﺤﻜﻤﺔ‬bahwa adat
kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum). Jadi, apabila adat tersebut tidak
melanggar dari syariat Islam dan juga tidak menjadikan mudharat bagi yang
melaksanakanya maka sah untuk dilakukan.
Suatu Hukum yang dilakukan apabila tidak ada dalil yang mengharamkan maka boleh
untuk dilakukan sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah sebagai berikut:
Hukum asal sesuatu boleh sebelum ada dalil yang mengharamkannya.
Dalam pembinaan hukum fiqh, para imam mazhab banyak sekali
memperhatikan adat istiadat (urf setempat). Imam Malik misalnya dalam membina
mazhabnya lebih menitik beratkan kepada amaliyah ulama fiqh Madinah, sebab
syari`at Islam banyak yang dilandaskan menetapakan hukum atas urf atau adat
masyarakat itu seperti mewajibkan diyat atas orang yang sudah berakal,
mengitibarkan kafa’ah dalam masalah perkawinan dan lain sebagainya. Atas dasar
itulah bahwa ada kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak melanggar kepada
ketentuan syari’at Islam dapat dijadikan suatu pertimbangan sebagai sumber
pengembalian hukum.
Dalam hal ini tidak sedikit masalah-masalah fiqhiyah yang bersumber dari
adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu terlebih-lebih syari’at hanya
menentukan suatu ketentuan secara mutlak tanpa pembatasan dari segi nash itu sendiri
maupun dari segi bahasa:
Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara secara mutlak tidak ada pembatasan
dalam syara ataupun dari segi bahasa maka dikembalikan kepada urf atau adat
istiadat .
Kalau kita lihat dari segi pemecahannya bahwa adat istiadat (urf) itu dibagi
dua: adat istiadat yang shahih dan adat istiadat yang fasid yaitu segala sesuatu yang
sudah dikenal manusia, tetap berlawanan dengan hukum syara.
Sebagaimana dimaklumi bahwa akad pernikahan dimaksudkan untuk mencari
kehidupan bersama dan mencari keturunan menurut cara yang di ridhai oleh Allah
SWT, maka dari itu suatu akad perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita dibolehkan mengadakan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dan
menjadi keinginan masing-masing sepanjang syarat-syarat tersebut tidak menyalahi
maksud perkawinan.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Betawi merupakan etnis yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan kultur.
Warna-warni ini membawa aneka persepsi, tafsiran, dan pemahaman tentang Betawi, baik
dari segi penduduk asli, kultur, maupun kebudayaan. Bahkan, ada yang berpendapat
bahwa penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah
berbagai suku bangsa dan bangsa asing.
Bagi masyarakat Betawi sendiri, segala yang tumbuh dan berkembang di tengah
kehidupan budaya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa
mempermasalahkan dari mana asal unsur yang telah membentuk kebudayaan itu.
Demikian pula, sikapnya terhadap kesenian mereka sebagai salah satu unsur kebudayaan
yang paling kuat mengungkapkan ciri-ciri keBetawiannya, terutama pada seni
pertunjukan, disamping bahasa.
Secara garis besar, kebudayaan dan kesenian etnis Betawi tumbuh dan
berkembang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh
sebab itu, kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat. Keberadaban
masyarakat Betawi sebagai suku bangsa bisa disimak dari pengakuan mereka terhadap
ciri-ciri budaya tertentu seperti bahasa, dialek, dan kesenian. Tiga yang dianggap penting
dalam fase kehidupan orang Betawi, yaitu khitanan, kawinan, dan kematian. Adat hidup
yang banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan mereka untuk lebih
mengingat-ingat hari kematian. Ini merupakan ritual yang sarat akan unsur agamis.
Adapun upacara perkawinan dalam masyarakat Betawi merupakan salah satu
siklus kehidupan yang sangat penting. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku
resmi yang dibakukan untuk menandai peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan
teknis sehari-hari, tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan
manusia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan
secara istimewa, dilengkapi dengan tata rias wajah, sanggul serta tata rias busana lengkap,
sesuai dengan dengan kelengkapan adat istiadat sebelum dan sesudah perkawinan.
Tujuan perkawinan tersebut, menurut masyarakat dan budaya Betawi adalah
memenuhi kewajiban mulia yang diwajibkan kepada setiap warga masyarakat yang sudah
dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritas beragama Islam
yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah bagi umat sehingga dipandang sebagai
suatu perintah agama untuk melengkapi norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial
dan ciptan Tuhan yang Maha Mulia.
Sistem perkawinan pada masyarakat Betawi pada dasarnya mengikuti hukum
Islam, kepada siapa mereka boleh atau dilarang mengadakan hubungan perkawinan.
Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman hidup mereka.
Namun demikian, persetujuan orang tua kedua belah pihak sangat penting karena orang
tualah yang akan membantu terlaksananya perkawinan tersebut.
Sebagaimana dimaklumi bahwa akad pernikahan dimaksudkan untuk mencari
kehidupan bersama dan mencari keturunan menurut cara yang di ridhai oleh Allah SWT,
maka dari itu suatu akad perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita
dibolehkan mengadakan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dan menjadi
keinginan masing-masing sepanjang syarat-syarat tersebut tidak menyalahi maksud
perkawinan.
3.2 Saran
Pada dasarnya setiap suku di Indonesia memiliki nilai yang baik untuk kehidupan,
selama aturan adat yang berlaku masih di pertahankan. Kebudayaan di Indonesia
mengajarkan tentang kehidupan yang sejalan dengan alam. Maka dari itu perlu adanya
penyelamatan kebudaayanan di Indonesia yang kini mulai tergusur oleh modernitas, yang
justru merusak moral.

DAFTAR PUSTAKA
Huda, P. S. Tradisi Pulang Tige Ari dalam adat Betawi (telaah etnografi hukum Islam di
Setu Babakan Jagakarsa) (Bachelor's thesis, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah).

Purbasari, M. (2010). Indahnya Betawi. Humaniora, 1(1), 1-10.

Hidayah, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka


LP3ES.Indonesia, 1997.

Ayuningtias, F. (2019). Interaksionisme Simbolik dalam Tradisi Malam Mangkat Pada


Pernikahan Betawi: Studi Kasus Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan (Bachelor's
thesis, FISIP UIN Jakarta).

Saidi, Ridwan. 1997. “Sejarah Betawi,” Betawi dalam Perspektif Kontemporer, ed.

Yasmine Zaki Shahab. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi.

DESAIN, F. S. R. D. SUKU BETAWI.

Tantria, A., & Kwartanti, H. (2017). Unsur-Unsur Budaya Tionghoa Yang Terkandung
Dalam Upacara Perkawinan Adat Betawi Di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Century:
Journal of Chinese Language, Literature and Culture, 5(2), 58-70.

Pratiwi, Fajar. Tindak Tutur Komunikasi Pada Upacara Pernikahan Adat Betawi. Diss.
Universitas Komputer Indonesia, 2014.

Sulihingtyas, D. "PANTUN BUKA PALANG PINTU: KEARIFAN LOKAL DALAM


PERNIKAHAN BETAWI." (2013): 470-473.

Anda mungkin juga menyukai