Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang


diorganisir dengan dan melalui hukum kehidupan secara umum yang dikerjakan oleh para
budak yang berada di luar batas kewarganegaraan. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yaitu suatu lembaga tertinggi negara yang baru yang sederajat dan sama
tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Dan Indonesia merupakan negara
yang ke tujuh puluh delapan yang memiliki lembaga pengadilan konstitusionalitas yang
diberikan kewenangan menguji materiil sebuah undang-undang. Sehingga dalam hal undang-
undang Mahkamah Konstitusilah yang memiliki wewenang penuh dalam menguji undang-
undang tersebut.

Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang dalam membubarkan partai
politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan presiden dan wakil presiden
apabila melakukan pelanggaran hukum.

Sehingga dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untk menggali lebih
dalam mengenai Mahkamah Konstitusi ini, baik itu mengenai sejarah terbentuknya,
wewenangnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Untuk lebih
detail lagi mengenai Mahkamah Konstitusi ini akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut?


2. Jelaskan yang dimaksud dengan komposisi dalam Mahkamah Konstitusi (MK)?
3. Apa saja tugas yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?
4. Apa saja wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?
5. Apa saja peranan Mahkamah Konstitusi (MK)?
C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.


2. Untuk mengetahui komposisi dalam Mahkamah Konstitusi (MK).
3. Untuk mengetahui apa saja tugas yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
4. Untuk mengetahui wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
5. Untuk mengetahui apa saja peranan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Terbentuk Mahkamah Konstitusi (MK)

Lembaran awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial review) bermula di


Mahkamah Agung/ MA (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin oleh John Marshall
dalam kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803 silam. Meskipun pada saat itu
konstitusi Amerika Serikat tidak memberi kewenangan untuk melakukan Judicial Review
kepada Mahkamah Agung, akan tetapi dengan menafsirkan untuk senantiasa menegakkan
konstitusi, Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang
bertentangan dengan konstitusi.
Secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi masih terbilang baru dan baru
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen
(1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji
apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau Inkonstitusional. Untuk menjaminnya,
maka diperlukan adanya Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) sebagai penafsirnya.
Apabila kita menelusuri sejarah ketatanegaraan di Indonesia, maka pada saat
penyusunan UUD 1945, M.Yamin juga telah mengusulkan tentang pendirian Mahkamah
yang bertugas melakukan pengujian terhadap konstitusi, hal ini disampaikan pada sidang
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Menurut Yamin, seharusnya Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk membanding
Undang-Undang (Judicial Review). Akan tetapi usulan ini ditentang oleh MR. Soepomo
dengan beberapa alasan, diantaranya:
1. Konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun konsep dasar yang dianut
dalam UUD yang tengah disusun pada saat itu bukanlah konsep pemisahan kekuasaan
(Separation of Power) akan tetapi pembagian kekuasaan (Distribution of Power),
2. Tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang,
3. Kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan
konsep Supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),Sejalan dengan semangat
reformasi dan perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2002), ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 saat
ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945
perubahan ketiga.
Selanjutnya untuk menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut, Pemerintah bersama
DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah
dilakukan pembahasan yang cukup panjang, akhirnya RUU tersebut disahkan dalam sidang
paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang Mahkamah Konstitusi
(UU No.24 Tahun 2003) disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Indonesia sendiri
merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan sekaligus menjadi
negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada awal abad ke-21M.
Kemudian bertitik tolak dari UU No.24 Tahun 2003 dengan mengacu pada prinsip
keseimbangan antar cabang kekuasaan negara dilakukan rekruitmen hakim konstitusi yang
dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setelah melalui tahap
seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-
masing lembaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada presiden untuk ditetapkan
sebagai hakim konstitusi.
Sesuai dengan amanat dari UUD, Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (1) dan (2)
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji UU terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945
3. Memutus pembubaran Partai Politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu, meliputi pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Pemilu anggota DPD, dan
pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi sendiri disebut-sebut sebagai lembaga peradilan yang sangat
bersih, cepat dan murah. Dikarenakan semua sengketa maupun gugatan yang dilayangkan
kepada mahkamah Konstitusi harus diputuskan dalam jangka waktu maksimal 14 hari setelah
permohonan di kabulkan dan diterima oleh MK.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki satu kewajiban yaitu memberikan putusan
atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
1. Telah melakukan pelangaran hukum berupa;
a. Pengkhianatan terhadap negara
b. Korupsi
c. Penyuapan
d. Tidak pidana lainnya;
2. Perbuatan tercela
3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945

Komposisi dalam Mahkam Konstitusi

Organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas tiga komponen yaitu:

a. Para hakim

Para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum yang
mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat
kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat
dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun berikut. Dari antara para hakim itu
dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing
untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya,
kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh
DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden.
Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan
Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin
agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada
salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah
Konstitusi diharapkan benar-benar dapat bersifat independen dan imparsial.

Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan institusi yang
berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan.
Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili
ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9
aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah
mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional
justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai
putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu,
persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika
ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-
kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya
mengenal satu majelis hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung.

b. Sekretariat jenderal.

Sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun


2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat
Jenderal dan kepaniteraan. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa Sekretariat Jenderal
menjalankan tugas teknis administratif.

c. Kepaniteraan.

Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial. Pembedaan dan


pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau
administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur aduk dengan administrasi non
justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun
kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama
mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang
merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat
dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a.
Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga
menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam
APBN.

Tugas Pokok dan Fungsi yang Dimiliki Mahkamah Konstitusi


Mahkamah konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman memiliki kewenangan yang telah
diatur dalan konstitusi dan dalam undang-undang Mahkamah konstitusi. Aturan tersebut
bertujuan untuk mengurangi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan.
Salah satu kewenangan yang menjadi tugas rutin mahkamah konstitusi adalah pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945.

ads

Sejak mahkamah konstitusi berdiri sejak tahun 2003, mahkamah konstitusi telah banyak
membatalkan dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pasal, ayat dan
undang-undang yang diajukan untuk dilakukan judical review. Salah satu undang-undang
yang diuji yang kemudian menjadi perkara pengujian undang-undang (PUU) adalah perkara
nomor 77/PUU-IX/2011 tentang pengujian undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang
panitia urusan piutang negara terhadap undang-undang dasar 1945. Juga termasuk urusan
dalam negeri dan luar negeri yang bersinggungan terhadap peran indonesia didunia
internasional.

Berikut ini adalah beberapa tugas mahkmah konstitusi :

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
2. Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar negara republik indonesia
tahun 1945.
3. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh undang-undang dasar 1945.
4. Memutuskan pembubaran partai.
5. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
6. Memeberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut undang-undang dasar
1945.
7. Memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan terkait permasalahan yang terjadi.

Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah konstitusi memiliki tugas dan fungsi yang sangat strategis. tugas dan fungsi itu
setidaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Indonesia sendiri adalah sebuah negara yang sangat plural. Kemajemukan itu
sangat praktis yang meliputi semua hal: suku, etnis, adat, budaya, agama,bahasa dan lainnya.
Dalam masyarakat yang sangat bhinneka (berbeda-beda) seperti indonesia, potensi terjadinya
benturan itu secara horizontal relatif lebih besar ketimbang benturan vertikal. Untuk itu
diperlukan adanya aturan main bersama dalam mengatasi penyebab lunturnya bhinneka
tunggal ika, yang nantinya akan bisa menjadi pegangan dasar bagi semuanya.

Konstitusi atau undang-undang dasar adalah pegangan dasar dari sebuah negara, yang
memuat semua komitmen awal dan mendasar dari para pendiri bangsa. Dari sini lah semua
undang-undang dan peraturan lainnya dibuat harus sinkron dan tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dasar. Dan juga kita harus mengerti dan memahami arti Bhineka
tunggal ika-sejarah-peran dan konsep nya agar konsep yang berbeda-beda tidak saling
bertentangan. hal yang berbeda-beda tersebutlah yang menjadi tugas mahkamah konstitusi
untuk mengatasi agar tidak terjadi hal yang bertentangan.

Kedua, Negara Indonesia memiliki sifat mutlak monodualis terhadap kemanusiaan, bukan
negara liberal, bukan negara kekuasaan belaka atau diktator, bukan negara materialistis.
Negara kita adalah negara yang terdiri dari perseorangan hidup baik dalam kelahiran maupun
kebatinan, yang mempunyai kedua-duanya kebutuhan dan kepentingan perseorangan serta
kebutuhan dan kepentingan bersama, yang kedua-duanya diselenggarakan tidak saling
mengganggu, tetapi dalam kerjasama, negara kita adalah yang dinamakan negara hukum
kebudayaan.

Negara kita sebagai negara hukum kebudayaan mempunyai tujuan menghindarkan gangguan
dari darat, udara maupun laut, memaksimalkan tugas dan fungsi angkatan laut, darat dan
udara, berupaya menjaga keutuhan NKRI, memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian
kedalam maupun luar negeri. Yang semuanya itu adalah hak dan kewajiban warga negara
dalam UUD 1945. dalam hal ini tugas mahkamah kontitusi cukup berat untuk menjaga
kontsitusi dari hal yang dapat merusak konstitusi itu sendiri dan juga bangsa negara.

Sponsors Link

Tugas Mahkamah Konstitusi Terhadap UUD


Dengan latar belakang pemikiran diatas ditetapkan kewenangan dan tugas utama dari
mahkamah konstitusi untuk menguji konstitusionalitas dari undang-undang terhadap undang-
undang dasar serta mengadili sengketa kewenangan setiap lembaga negara yang
kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar. Hal tersebut lah yang melatar belakangi
tugas mahkamah konstitusi yaitu mengatasi sengketa lembaga negara di Indonesia Dan hal
itu berada sejalan dengan fungsi mahkamah agung dalam sistem pemerintahan di indonesia.
Demikian juga kewajiban dan kewenangan mahkamah konstitusi untuk memutuskan
pendapat DPR terhadap usulan-usulan pemberhentian tugas, fungsi dan kewenangan presiden
dan wakil presiden yang dilandasi dengan pemikiran bahwa alasan-alasan dan mekanisme
pemberhentian presiden diatur dalam undang-undang dasar. Jika lembaga negara (presiden
dan DPR) adalah mahkamah konstitusi maka mahkamah konstitusi diberikan kewenangan
untuk menguji konstitusionalitas usulan pemberhentian tugas presiden dan juga tugas dan
fungsi DPRD di indonesia.

Tugas Mahkamah Konstitusi Sebagai Sistem Peradilan


Politik
Kewenangan lainnya yang diberikan konstitusi terhadap mahkamah konstitusi untuk
memutuskan pembubaran beberapa fungsi partai politik di indonesia ataupun pembubaran
partai politik itu sendiri dan sengketa dalam sistem pemilu di indonseia saat ini adalah
kewenangan tambahan untuk mempercepat proses pengambilan keputusan atas dua jenis
sengketa tersebut. Selain itu, sengketa tersebut adalah sengketa politik. Oleh karena itu,
mahkamah konstitusi juga sering dianggap sebagai peradilan politik. Hakim konstitusi terdiri
aatas 9 orang yang diajukan oleh presiden, DPR, dan MA.
Mekanisme ini di tujukan bahwa ke-9 hakim konstitusi merupakan cerminan dari tiga
lembaga kekuasaan kehakiman negara, yaitu kekuasaan eksekutif (presiden), kekuasaan
legislatif (DPR) dan kekuasaan yudikatif (Mahkamah agung). Walaupun demikian, pada saat
memutuskan perkara para hakim konstitusi tetap bersifat independen dan hanya berpedoman
pada ketentuan dan amanat konstitusi serta tidak berdasarkan suara lembaga yang
menunjukannya. Hal itu memang harus dilakukan untuk mengatasi penyebab terjadinya
tindakan penyalahgunaan kewenangan dalam sistem pemerintahan. Di bentuknya mahkamah
konstitusi sebagai lembaga adalah untuk menjaga keharmonisan bangsa indonesia ( ketertiban,
keamanan dan perdamaian) yang berdasarkan dengan nilai-nilai pencasila.

Tujuan Pembentukan Tugas Mahkamah Konstitusi

Pembentukan tugas mahkamah konstitusi bertujuan untuk memperkuat power dari sistem
konstitusional dan paham negara hukum yang dianut dalam undang-undang dasar dan juga
bertujuan untuk membangun karakter bangsa di era globalisasi saat ini. Artinya, setiap
prilaku lembaga-lembaga negara untuk menjalankan tugas dan kewenangannya tetap dalam
koridor tempat yang ditentukan oleh konstitusi.

Setiap pelanggaran atas ketentuan konstitusi dapat diuji dan diputuskan oleh mahkamah
konstitusi yang putusannya bersifat final dan langsung mengikat. Dan hal itu sangat berguna
bagi masyarakat maupun negara dalam mengatasi bahaya jika tidak ada keadilan dalam
masyarakat. Setiap putusan MK selalu bersandar dan berdasarkan pada ketentuan konstitusi.
Dengan demikian, mahkamah konstitusi dimaksudkan sebagai lembaga yang terus menjaga
kemurnian konstitusi. Oleh karena itu, pendapat dan putusan yang termuat dalam putusannya
adalah tafsiran paling sahih atas ketentuan konstitusi.

Sponsors Link

Mahkamah Konstitusi Dalam Fungsi Teoritis

Struktur sistem ketatanegaraan yang berada di Indonesia telah menciptakan sebuah lembaga
yang memiliki hak kewenangan untuk menafsirkan makna konstitusi, yaitu mahkamah
konstitusi. Secara teoritis mahkamah konstitusi memiliki hak kewenangan judicial review
yang merupakan pekerjaan pedang bermata dua. yang satu sisi pedang itu diarahkan terhadap
berlakunya undang-undang dan disisi yang lain diarahkan kekonstitusi itu sendiri. Hal ini
berarti ada dua median penafsiran yaitu memberikan makna terhadap konstitusi dan undang-
undang. Penafsiran terhadap pasal itu atau ayat konstitusi tersebut, bertujuan untuk
menangkap makna dari setiap yang terdapat di dalam konstitusi tersebut yang nantinya
menjadi batu uji terhadap undang-undang tersebut. Konstitusi telah mencerminkan peristiwa
masa lampau, meletakkan setiap dasar untuk masa sekarang dan menentukan bagaimana
seharusnya masa depan akan terlihat.

Konstitusi adalah filsafat, hukum, dan masyarakat itu sendiri dimana semuanya menjadi
kesatuan. Seyogyanya konstitusi dilihat sebagai sumbar azaz umum atau moral.
Pertimbangan mengingat undang-undang dasar tidak dibaca sebagai merujuk kepada kaedah
saja, tetapi pada azaz umum atau moral yang ada dibelakang. Jadi, membaca konstitusi perlu
disertai dengan pendalaman, meresapi maknanya atau membacanya sebagai risalah dan
pernyataan moral bangsa. Mahkamah konstitusi harus dapat menjaga nilai-nilai pancasila
terus menjiwai setiap undang-undang yang berlaku di Indonesia. Mahkamah konstitusi bukan
sekedar penjaga konstitusi tetapi juga sebagai penjaga ideologi.

Keanggotaan mahkamah konstitusi


1. Pemilihan
Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 dari mahkamah agung 3 dari DPR dan 3
dari presiden dan ditetapkan dengn keputusan presiden. Keputusan presiden tersbut paling
lama diberikan 7 hari setelah pengajuan kepada presiden diterima. Pencalonan hakim
konstitusi secara transparan dan partisipatif.
( UUD 1945 Pasal 24C ayat 3 dan UU No. 24 tahun 2003 pasal 18 dan 19 ).
2. Syarat kenggotaan
Hakim konstitusi harus memiliki syarat antara lain :
a. Memiliki intergitas dan kepribadian yang tidak tercela.
b. Adil.
c. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Agar dapat diangkat sebagai hakim konstitusi harus memenuhi syarat antara lain :
a. Warga negara Indonesia.
b. Berpendidikan sarjana hukum.
c. Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun saat diangkat.
d. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena melakukan tindakan pidana yang dijatuhi
hukuman 5 tahun penjara.
e. Tidak sedang dinyatakan pailit oleh pengadilan
f. Mempunyai pengalaman kerja didalam bidang hukum sekurang-kurangnnya 10 tahun.
( UUD 1945 Pasal 24C ayat 5 dan UU No.24 tahun 2003 pasal 15 dan 16 ).
3 Pemberhentian
Hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan 2 cara yakni secara terhormat dan tidak
hormat. Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila :
a. Meninggal dunia.
b. Mengundurkan diri atas kemauannya sendiri.
c. Telah berusia 67 tahun.
d. Telah berakhir masa jabatannya.
e. Tidak sehat jasmani atau rohani secara terus menerus dengan keterangan dokter.
Disebutkan bahwa hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila :
a. Dijatuhi pidana oleh pengadilan sekurang-kurangnnya 5 tahun penjara.
b. Melakukan tindakan tercela.
c. Tidak mengahdiri rapat 5 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.
d. Melanggar sumpah atau janji.
e. Dengan sengaja mengahmbat pengambilan keputusan MK.
f. Melanggar larangan.
g. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
( UUD 1945 Pasal 24C ayat 6 dan UU No. 24 tahun 2003 ayat 23 )
4. Masa Jabatan
Hakim kostitusi memiliki waktu jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 1
kali masa jabatan.
( UUD 1945 Pasal 24C ayat 6 dan UU No.24 tahun 2003 pasal 22 ).
5. Tugas dan wewenang anggota
a. Menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
b. Mengikuti setiap sidang musyawarah mahkamah konstitusi.
( UU No. 24 tahun 2003 pasal 45 ayat 5 )
Kewenangan Yang Di Miliki Mahkamah Konstitusi

Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah
ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:

1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.


2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.
3. Memutuskan pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil
presiden menurut UUD.
Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi
Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan
pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada
upaya hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi pada pengadilan
lain.
Kasus-Kasus Yang Menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk
memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta
Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua,
partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum
adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan
penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh
para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.

Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal


perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan
diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara
dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh
suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara
yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika
selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan
beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan
pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan
atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.
Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun
untuk pasangan capres/cawapres.

2. Pembubaran Partai Politik

Kebebeasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang
dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai
ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik.
Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan
merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk
menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan
mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur
peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara
pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang.
Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan
pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak
dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai
politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat
pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan
umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan
yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.

3. Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden

Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah


resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau
perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Pesiden.

Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang
memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian
memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya
memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan

(a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum,

(b) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden,

Terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi
akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas
dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas
Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan
pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah
Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan
final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut.
Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan
DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
bersangkutan tetap berada di tangan MPR.

Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR
ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat
baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi,
sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara
hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu
memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak,
dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak
termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.

4. Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA

Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan
ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti
pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam
makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling
banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas
UU.

Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar.


Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut
pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang
bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya
1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian
formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah
telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.

Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury
versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada
tahun 1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan
dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam
Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah
Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk
membanding undang-undang. Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak
sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu
bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias
politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan
ke dalam UUD 1945.

Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma


pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang,
UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika
sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai
penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang
tidak terbatas, maka sekarang setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi
lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.

Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di
samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita
harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku
kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat
melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat,
telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR,
maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip
pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain.
Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian
undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga
fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.

PERANAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip
konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang
mengakomodir pembentukan MK[1] dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka
menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari
penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan
sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.

Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi
parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi
untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi
sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal
konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
mekanisme yang disepakati adalah judicial review[2]yang menjadi kewenangan MK. Jika
suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras
dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk
hukum harus mengacu dan tak bolehbertentangan dengan konstitusi. Melalu kewenangan
judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan
hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2)
memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan
semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai
persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan
biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-
perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika
sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian
atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally
entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu
dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:

 Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.


 Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945.
 Memutus pembubaran partai politik.
 Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD
1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK
adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

[1] Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah MK. Prancis misalnya
menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel), Belgia menyebutnya
Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage) karena lembaga ini dianggap bukan
pengadilan dalam arti yang lazim karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim.
Persamaan dari ke-78 negara itu adalah pada MK yang dilembagakan tersendiri di luar MA.
[2] Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang
diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan
peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya
dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a prioridisebut
judicial previewsebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan
Konstitusi) di Prancis.Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-
undangan yang tersusun hierarkis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya


ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. DPR dan Pemerintah kemudian membuat
Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari
itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).

Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang telah
ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu menguji (judicial
review) undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberhentikan presiden dan wakil presiden
apabila melanggar hukum.

B. Saran

Negara Indonesia merupakan negara yang demokrasi, sepatutnya kita sebagai warga
negara Indonesia harus benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi. Seperti halnya dalam
pemilihan Pemilu presiden dan wakil presiden, harus dilakukan dengan jujur tanpa adanya
niat iming-iming atau suap yang dapat merusak nilai citra negara.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi,


http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: tt, 1983.

Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Bandung: Nusa Media, 2011.

Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I, Jakarta:


Kencana, 2011.

Anda mungkin juga menyukai