IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI BEBERAPA NEGARA DAN PERBEDAANNYA DENGAN
IMPLEMENTASI DI INDONEISA Dosen Pengampu : Dr.Akhmad Arief Mursadad, M.pd Untuk memenuhi tugas mata kuliah Profesi Kependidikan
Disusun Oleh : MEGA NUR ALFIRA K4412046
PRODI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMUPENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa kini krisis moral menjadi masalah yang pelik untuk diperbincangkan, bukan hanya di Indonesia saja melainkan di berbagai negara di seluruh dunia juga mengalami apa yang dinamakan krisis moral. Krisis moral ditandai dengan munculnya kejahatan atau kasus kriminalitas yang melibatkan anak-anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Karena kegelisahan akan meningkatnya tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh remaja, pemerintah di beberapa negara yang memperhatikan masalah tersebut akhirnya memutuskan untuk memberikan pendidikan karakter dan diimplementasikan di dalam sekolah. Dalam makalah ini akan membahas beberapa hal tentang pendidikan karakter di beberapa negara serta implementasinya. 1.2 Rumusan masalah Apakah pengertian pendidikan karakter? Bagaimana pentingnya pendidikan karakter? Bagaimana implementasi pendidikan karakter di negara lain? Bagaimana implementasi pendidikan karakter di Indonesia? 1.3 Tujuan Penulisan Untuk memenuhi tugas mata kuliah Profesi Kependidikan. Untuk mengetahi bagaimana pendidikan karakter yang diterapkan beberapa negara di dunia. Untuk membandingkan penerapan pendidikan karakter di Indonesia dengan negara lain. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Pendidikan Karakter Rutland (2009: 1) mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang berarti “dipahat”. Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit yang dengan hati-hati dipahat atau dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan muncul menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat didalam batu tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya. Tidak ada perbaikan yang bersifat kosmetik, tidak ada susunan dekorasi yang dapat membuat batu yang tidak berguna menjadi suatu seni yang bertahan lama. Hanya karakter yang dapat melakukannya. Secara harfiah karakter artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi” (Hornby dan Parnwell, 1972 : 49). Menurut KBBI, karakter merupakan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai keprtibadian (Kamisa 1997: 281) . Sedangkan Pendidikan Karakter menurut Lickona Secara sederhana pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010). 2.2 Pentingnya Pendidikan Karekter Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengawali kerajanya sebagai kepala pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II mengangkat isu tentang pendidikan karakter bangsa sebagai pilar pembangunan. Selanjutnya Presiden menyatakan bahwa kita harus menjaga jati diri kita, keindonesiaan kita. Hal yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain di dunia adalah budaya kita, way of life kita dan keindonesiaan kita. Ada identitas dan kepribadian yang membuat bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah. Ke-Indonesiaan kita tercermin dalam sikap pluralisme atau kebhinekaan, kekeluargaan, kesatuan, toleransi, sikap moderat, keterbukaan, dan kemanusiaan. Hal-hal inilah yang harus kita jaga, kita pupuk, kita suburkan di hati sanubari kita dan di hati anak-anak kita. Pernyataan presiden tersebut mengingatkan kita semua kepada pesan Bung Karno, Presiden pertama RI. Bung Karno yang menggelorakan tema besar “nation and character building”pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (H. Soemarno Soedarsono, 2009: sampul). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing di dunia global. Pandangan dan pernyataan dari dua pemimpin itu, cukuplah sudah untuk memberikan gambaran bahwa pendidikan karakter bangsa itu merupakan hal sangat fundamental dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sudah selayaknya kalau pendidikan atau pembangunan karakter bangsa ini secara konstitusional mendapatkan landasan yang kuat. Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila telah memberikan landasan yang begitu mendasar, kokoh dan komprehensif. Selanjutnya secara operasiponal di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 (lih. UU RI No. 17 Tahun 2007), ditegaskan bahwa misi pertama pembangunan nasional adalah terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada tuhan YME, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis dan berorientasi ipteks. Berikutnya di dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (2010) disebutkan bahwa (1) karakter merupakan hal yang sangat esensial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa; (2) karakter berperan sebagai ”kemudi” dan kekuatan, sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing; (3) karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Dalam proses pembangunan karakter bangsa ini harus difokuskan pada tiga tataran besar: (1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan NKRI, dan (3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat (Udin S. Winataputra, 2010: 1) Argumentasi tentang pentingnya pendidikan karakter dan perangkat lunak sebagai landasan dan rambu-rambu dalam pelaksanaan pendidikan karakter sudah tersedia. Bagaimana harus melaksanakan. Kegiatan melalui bidang pendidikan nampaknya merupakan wahana yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan karakter bangsa. Secara khusus di dalam bidang pendidikan juga telah diberikan rambu-rambu dan arah yang jelas bagaimana membangun karakter dan kepribadian anak bangsa ini. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Inilah rumusan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, tujuan pendidikan yang utuh dan sejati. Aspek-aspek yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan ini, baik yang terkait dengan tujuan eksistensial, kolektif maupun individual harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka proses pencapaian tujuan pendidikan nasional sedang berlangsung dan berada pada jalur yang benar. 2.3 Implementasi Pendidikan Karakter di Berbagai Negara Amerika Serikat Pendidikan karakter di Amerika Serikat telah dikembangkan dengan serius dan komprehensif dari tingkat nasional sampai tingkat sekolah. Hal itu didasarkan atas hasil-hasil survey yang menyatakan bahwa 90% responden menyatakan pendidikan karakter dibutuhkan dan perlu dikembangkan di sekolah. Pendidikan karakter diperlukan karena banyaknya kasus kriminal, kenakalan remaja, dan narkoba. Medison (2007:158) mengutip hasil survey menyatakan “A 1998 Gallup poll found that Americans consider crime and violence; declines in ethics, morals and family values; and drug usage the issues of most concern in our society today.” Amerika yang dikenal sebagai salah satu negara penganut paham kebebasan juga memiliki program pendidikan perilaku dan penanaman nilai-nilai moral yang baik kepada siswa di sekolah. Program pendidikan ini mereka sebut Positive Behavior Support (PBS). Program ini dilakukan untuk meningkatkan prestasi akademik, meningkatkan kondisi keamanan di sekolah, mengurangi masalah-masalah penyimpangan perilaku siswa dan menciptakan budaya sekolah yang positif. Program ini adalah program jangka panjang yang memerlukan waktu kurang lebih 3 sampai 5 tahun untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Strategi implementasi PBS di sekolah-sekolah di Amerika dimulai dengan pembentukan tim khusus yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan PBS di sekolah. Anggotanya terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan staf tenaga kependidikan dan juga siswa. Tugas tim ini pertama kali adalah membangun komitmen bersama semua warga sekolah terhadap pelaksanaan program PBS di sekolah. Setelah itu mereka mengumpulkan data tentang pelanggaran disiplin maupun perilaku yang tidak diharapkan yang sering terjadi disekolah. Kemudian, mereka melakukan analisis terhadap data tersebut. Berdasarkan hasil analisis tadi mereka merumuskan nilai-nilai apa saja yang hendak ditanamkan di sekolah dengan harapan pelanggaran disiplin maupun perilaku siswa yang tidak diharapkan dapat diminimalisir atau bahkan tidak terulang lagi. Mereka memilih dan merumuskan nilai-nilai yang akan ditanamkan dan dibiasakan di sekolah berbasiskan data yang ada, sehingga diharapkan program itu nantinya tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan. Jadi,tidak asal pilih dan asal ada saja. Nilai-nilai yang hendak ditanamkan dan diharapkan membudaya di sekolah itu mereka sebut dengan istilah expectation. Untuk expectation ini mereka mencoba merangkainya menjadi suatu slogan atau istilah bermakna yang singkat, menarik, dan mudah diingat. Misalnya Respect, Organization, Achievement, Responsiblity (ROAR), The Three Bees ( Be Safe, Be Responsible, Be Respectful) dan sebagainya. Selanjutnya masih bersama dengan tim PBS, mereka mencoba menjabarkan expectation tersebut kedalam perilaku-perilaku spesifik yang terlihat dan terukur yang dapat merefleksikan expectation yang diharapkan yang mereka sebut dengan istilah Rules. Untuk satu expectation bisa dijabarkan menjadi 2 sampai 4 rules. Misalnya untuk expectationmenghormati orang lain, rules atau perilaku nyata dan spesifik dari expectation tersebut adalah: Mendengarkan pendapat orang lain Diam dan mendengarkan dengan baik ketika orang sedang berbicara Setelah sekolah menetapkan expectation dan rules untuk diimplementasikan, sekolah mulai membuat Lesson Plan atau semacam RPP untuk mengajarkan expectation dan rules yang diharapkan tersebut. Jadi dalam melaksanakan PBS, semua warga sekolah harus mampu mengajarkan ataupun menginstruksikan nilai nilai yang diharapkan tersebut kepada semua siswa agar nilai-nilai tersebut benar-benar dapat membudaya dan terinternalisasi didalam diri siswa secara konsisten. Hal ini dapat dilakukan diwaktu- waktu khusus yang memang disediakan untuk itu dengan berbagai macam cara. Misalnya, menayangkan video yang mendemonstrasikan perilaku- perilaku yang seharusnya dan yang tidak seharusnya secara kontekstual sesuai dengan kejadian-kejadian nyata yang sering terjadi di sekolah. Reward dan Punishment Untuk mendapatkan kondisi perilaku yang ideal terhadap anak didik, kita harus berusaha menjabarkan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh anak didik kita. Selanjutnya, kita mempraktekkan perilaku tersebut bersama-sama dan kemudian melakukan pembiasaan terhadap perilaku tersebut secara kontekstual disertai dengan pemberian contoh dan keteladanan yang terus menerus dari semua warga sekolah . Kembali ke strategi implementasi program PBS, setelah nilai- nilai yang ingin ditanamkan tersebut diajarkan, di dorong dan dikondisikan untuk menjadi kebiasaan semua warga sekolah, kita pun harus merancang atau membuat sistem reward dan punishment yang tepat untuk meningkatkan keefektifan dari program PBS. Tanpa adanya sistem reward dan punishment yang tepat, keberlangsungan dan keefektifan dari progam PBS ini diragukan. Yang terakhir dan tidak boleh terlupakan dalam mengimplementasikan PBS disekolah adalah Tim PBS harus selalu memonitor,mengevaluasi dan memodifikasi program PBS yang telah dilakukan disekolah demi perbaikan yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Dari strategi implementasi PBS tersebut dapat disimpulkan 3 hal penting yang harus dilakukan demi suksesnya anak didik kita disekolah. Yang pertama, kita harus menjelaskan dan mengajarkan terlebih dahulu kepada anak didik kita tentang perilaku apa yang kita harapkan untuk mereka lakukan disekolah. Selanjutnya, kita juga harus melakukan pembiasaan perilaku tersebut dengan segala cara dan juga memberikan keteladanan agar perilaku tersebut dapat terinternalisasi kedalam diri mereka, sehingga dapat dipraktekkan secara konsisten oleh anak didik kita. Yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan kondisi atau lingkungan yang kondusif untuk mendukung terwujudnya perilaku yang kita harapkan tersebut. Diantaranya dengan menyediakan dan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan mendukung untuk terwujudnya perilaku yang diharapkan tersebut. Eropa INGGRIS Sekolah-sekolah di Inggris terdapat perbedaan yang nyata di banding dengan negara lainnya di mana para siswa memakai seragam sekolah. Anak-anak di Inggris tampaknya merupakan kelompok yang paling taat akan peraturan. Di banyak sekolah di Inggris para siswa menyapa gurunya dengan sebutan “Ibu… (Miss)” atau “Bapak… (Sir)” dan kemudian mereka menunggu untuk melanjutkan pembicaraan hingga mendapatkan izin dari gurunya. Para siswa sekolah menengah lebih banyak menghabiskan waktu mereka di kelas dengan menulis dibanding berbicara. Secara tradisional, Inggris menganut sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi, di mana masing-masing wilayah memiliki otonomi pendidikannya sendiri (LEA / Local Education Authority), dan terkadang setiap sekolah dapat menentukan kurikulumnya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan mengapa di satu sekolah diajarkan pendidikan sosial dan vokasional sementara sekolah yang lain hanya mengajarkan berbagai ilmu yang bersifat umum saja, dan di sekolah lain tidak terdapat mata kuliah mengenai pendidikan politik dan sosial. Kegiatan keagamaan serta misa harian di lingkungan sekolah merupakan mandat dari Undang-undang Pendidikan (Education Act 1944) tahun 1944, namun isi dari kegiatan tersebut diserahkan kepada LEA (masing-masing sekolah). Pada kenyataannya, meskipun setiap sekolah memiliki kewenangan untuk menentukan kurikulumnya, namun terdapat kesamaan dalam isi kurikulum di seluruh sekolah, hal ini dikarenakan ujian nasional yang pada umumnya harus diikuti oleh siswa pada saat berusia enam belas tahun, dan 30 persen dari siswa tersebut mendapatkan nilai A. Sistem Ujian Pendidikan Umum Tingkat Menengah yang baru memungkinkan untuk terjadinya berbagai kesamaan dalam berbagai bidang di seluruh sekolah di Inggris. Sistem tersebut menggagas kurikulum inti nasional yang jika diimplementasikan dapat mengurangi berbagai perbedaan yang terdapat di setiap wilayah (LEA). Diperkirakan sekitar 90 persen dari keseluruhan jadwal sekolah akan ditentukan oleh kurikulum inti nasional. Tujuh persen dari siswa di Inggris menimba ilmu di sekolah-sekolah swasta yang disebut dengan “sekolah umum (public schools)”. Sekolah jenis ini dijalankan dan dibiayai oleh pihak swasta, sekolah ini juga memberikan prioritas yang sangat tinggi akan pendidikan nilai. Banyak dari sekolah ini yang memiliki kapel (gereja kecil) dan juga memasukan agama sebagai salah satu mata pelajarannya. Berbagai cabang olah raga dianggap sebagai sesuatu yang penting oleh sekolah ini. Pada umumnya, kebanyakan dari para pemimpin politik dan para pemimpin bisnis merupakan alumni dari sekolah umum, hal ini diduga karena di sekolah umum mereka mempelajari berbagai nilai yang berhubungan dengan pelayanan umum serta wirausaha di samping mempelajari ilmu kepemimpinan. Sekolah umum di Inggris menerapkan sebuah model yang menurut pendapat beberapa pihak harus ditiru oleh sekolah-sekolah negeri, yakni dengan memasukan pengajaran tata karma dan pengajaran nilai ke dalam kurikulum mereka. BELANDA Sejak 1968, seluruh sekolah di Belanda mengajarkan maatschaapijleer (mata pelajaran sosial) yang merupakan mata pelajaran yang tidak diujikan, di samping mengajarkan sejarah dan geografi yang termasuk ke dalam kelompok mata pelajaran yang diujikan. Maatschaapijleer terdiri dari enam bidang kajian – pendidikan, rumah dan lingkungan, kerja dan waktu luang, negara dan masyarakat, teknologi dan masyarakat serta hubungan internasional. Pada tahun 1987 para anggota parlemen yang sangat konservatif mengajukan proposal untuk menentukan alokasi waktu minimal bagi mata pelajaran dasar pada tiga tahun pertama jenjang sekolah menengah, namun dalam proposal itu tidak mengikutsertakan maatschaapijleer sebagai mata pelajaran yang perlu dikurangi alokasi waktunya. DENMARK Denmark merupakan negara yang paling menekankan nilai individualisme, namun tetap memiliki rasa keterikatan yang kuat sebagai sebuah kelompok. Salah satu keunikan dari negara ini adalah fakta bahwa para siswa memiliki teman sekelas dan wali kelas yang sama selama sembilan tahun pertama mereka sekolah. Sejarah bangsa Denmark, geografi, pendidikan agama Kristen (berdasarkan prinsip Gereja Luther Denmark) serta bahasa Denmark, diajarkan selama sembilan tahun. Pada kelas tujuh, para siswa mulai diberikan mata pelajaran kontemporer. Mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran yang membahas permasalahan tertentu, di mana siswa dapat menentukan sendiri topik-topik yang akan dikaji. Salah satu contoh permasalahan yang dibahas oleh para siswa di tingkat sembilan pada tahun 1987 adalah kekerasan video dan kultur remaja. Pada tingkat akhir pendidikan menengah, hubungan antara blok Barat dan Timur, serta perkembangan ekonomi di negara-negara ketiga sering menjadi topik bahasan mata pelajaran kontemporer. Di Denmark, dewan siswa (Osis) serta pengurus kelas nampaknya memiliki kekuasaan yang besar. Hukum Sekolah di Denmark menyatakan bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk mengajarkan demokrasi melalui berbagai praktek dalam pembuatan keputusan dan tanggung jawab. Selain dewan siswa yang aktif dan para guru yang terlibat dalam pengambilan keputusan di lingkungan sekolah, para siswa dan guru di Denmark juga dapat memilih anggota dari dewan sekolah, di mana kepala sekolah dan perwakilan orang tua berkedudukan sebagai anggota. Hal ini sangatlah berbeda dengan keadaan di negara-negara lainnya, di mana kepala sekolah (ataupun kepala sekolah wanita) di Inggris, atau direktur sekolah di Jerman Barat memiliki kekuasaan penuh dalam pengambilan keputusan. Struktur kekuasaan diterapkan dengan cara lain. Para siswa di Denmark memanggil guru mereka dengan nama depannya, sementara di negara lain para guru dan tenaga administrasi disapa secara formal. FINLANDIA Sistem pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia. Rekor prestasi belajar siswa yang terbaik di negara-negara OECD dan di dunia dalam membaca, matematika, dan sains dicapai para siswa Finlandia dalam tes PISA. Amerika Serikat dan Eropa, seluruh dunia gempar. Untuk tiap bayi yang lahir kepada keluarganya diberi maternity package yang berisi 3 buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri. Alasannya, PAUD adalah tahap belajar pertama dan paling kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun). Pendidikan di sekolah berlangsung rileks dan masuk kelas siswa harus melepas sepatu, hanya berkaus kaki. Belajar aktif diterapkan guru yang semuanya tamatan S2 dan dipilih dari the best ten lulusan universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur. Frekuensi tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah Matriculation Examination untuk masuk PT. Sekolah swasta mendapatkan dana sama besar dengan dana untuk sekolah negeri Selama masa pendidikan berlangsung, guru mendampingi proses belajar setiap siswa, khususnya mendampingi para siswa yang agak lamban atau lemah dalam hal belajar. Malah terhadap siswa yang lemah, sekolah menyiapkan guru bantu untuk mendampingi siswa tersebut serta kepada mereka diberikan les privat. Setiap guru wajib membuat evaluasi mengenai perkembangan belajar dari setiap siswa. Ada perhatian yang khusus terhadap siswa- siswa pada tahap sekolah dasar, karena bagi mereka, menyelesaikan atau mengatasi masalah belajar bagi anak umur sekitar 7 tahun adalah jauh lebih mudah daripada siswa yang telah berumur 14 tahun. Orang tua bebas memilih sekolah untuk anaknya, meskipun perbedaan mutu antar-sekolah amat sangat kecil. emua fasilitas belajar-mengajar dibayar serta disiapkan oleh negara. Negara membayar biaya kurang lebih 200 ribu Euro per siswa untuk dapat menyelesaikan studinya hingga tingkat universitas. Baik miskin maupun kaya semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar serta meraih cita-citanya karena semua ditanggung oleh negara Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Makan-minum di sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah semuanya ditangani oleh pemerintah. Biaya pendidkan datang dari pajak daerah, provinsi, serta dari tingkat nasional. Khusus mengenai para guru, setiap guru menerima gaji rata-rata 3400 euro per bulan. Guru disiapkan bukan saja untuk menjadi seorang profesor atau pengajar, melainkan disiapkan juga khususnya untuk menjadi seorang ahli pendidikan. Makanya, untuk menjadi guru pada sekolah dasar atau TK saja, guru itu harus memiliki tingkat pendidikan universitas. 24. Implementasi Pendidikan Karakter di Indonesia Aspek-aspek karakter di Indonesia khususnya bersifat sikap (merupakan perwujudan kesadaran diri) banyak yang sebenarnya merupakan bagian aktivitas sehari-hari manusia. Secara teoritik aspek sikap atau ranah afektif lebih efektif jika dikembangkan melalui kebiasaan sehari-hari. Misalnya disiplin pada mahasiswa akan lebih mudah dikembangkan jika disiplin telah menjadi kebiasaan sehari-hari di kampus. Jujur, kerja keras, saling toleransi dan sebagainya akan mudah dikembangkan jika aspek-aspek tersebut sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di kampus. Dalam konteks pendidikan kejuruuan penumbuhan iklim kerja industri menjadi langkah yang dirasa efektif dalam upaya menumbuhkan sikap kerja siswa yang diharapkan nantinya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh industri. Kerjasama dengan berbagai stakeholders akan memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa sehingga dengan sendirinya akan tumbuh sikap maupun etos kerja seseuai dengan harapan dunia kerja. 2.5 Perbandingan Pendidikan Karakter di Indonesia dan Negara Lain Setelah mengetahui bagaimana pendidikan karakter diberbagai negara diterapkan dalam pendidikan, tentunya kita dapat membedakan bagaimana perbedaan dan persamaannya. Ternyata pendidikan karakter yang diterapkan di Indonesia maupun di negara lain pada dasarnya ada dalam prinsip yang sama, yaitu membentuk karakter peserta didik untuk menjadi generasi yang memiliki karakter baik. Semua negara diatas ternyata mengimplementasikan pendidikan karakter melalui pembiasaan atau membentuk kebiasaan baik kepada setiap peserta didiknya. Hal tersebut ditunjukan agar nantinya peserta didik ketika berkesempatan melakukan hal yang tidak baik dia akan merasa gelisah dan tidak enak hari karena dia tidak terbiasa melakukan hal tersebut. Walaupun semua negara menerapkan membentuk pendidikan karakter dengan cara membentuk kebiasaan, tetapi cara yang setiap negara terapkan jelas berbeda. Amerika Serikat menerapkan cara reward and punisment dalam proses pembelajarannya, hal ini juga diterapkan di Indonesia. Guru dapat memberikan penghargaan kepada peserta didiknya yang berprestasi dan memberikan hukuman peringatan kepada peserta didik yang kurang berprestasi. Namun, sangat terlihat jelas bahwasannya pendidikan karakter diluar negeri jauh lebih unggu dibanding dengan pendidikan karakter di Indonesia. Finlandia sebagai negara yang memiliki pendidikan terbaik di dunia sudah menerapkan pendidikan karakter sejak dini atau sejak bayi masih di dalam kandungan. Bahkan pendidikan karakter tidak hanya diberikan kepada anak- anak saja, melainkan orang tua yang baru akan memiliki bayi juga diberikan buku panduan menjadi orang tua yang baik, hal tersebut diharapkan agar nantinya ketika lahir anak mereka kelak menjadi anak yang berkarakter mulia. Tentunya jika hal ini diterapkan di Imdonesia bukan tidak mungkin negara kita memiliki benih-benih anak bangsa yang mulia dan berbudi luhur.
BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini sudah menerapkan pendidikan karakter di negaranya yang dilakukan dengan berbagai cara dan upaya tidak terkecuali Indonesia. Indonesia juga merupakan negara yang sudah nenerapkan pendidikan karakter kepada peserta didiknya, hanya memang pendidikan karakter di Indonesia masih butuh banyak pembenaran dan evaluasi. Karena belum seluruh aspek masyarakat, guru dan keluarga tau benar tentang pemahaman konsep pendidikan karakter 3.2 Saran Penulis menyarankan agar segenap masyarakat, sekolah dan keluarga saling bahu-membahu untuk membantu terciptanya pendidikan karakter bagi generasi anak bangsa agar dapat mencapai tujuan dari pancasila.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pendidikan Karakter ternyata dinilai penting tidak hanya di negara Indonesia saja, melainkan beberapa negara maju dan berkembang lainnya juga berpikiran sama. Krisis moral yang ditandai dengan munculnya kenakalan ramaja yang meningkat drastis ternyata membuat kekhawatiran sendiri bagi negara-negara tersebut maka dari itu pemerintah mulai menerapkan pendidikan karakter di dalam mata pelajaran di sekolah maupun penerapan secara praktek diluar sekolah. Beberapa negara maju memberikan pengetahuan kepada calon ibu dan calon ayah sebelum bayi mereka lahir sebagai salah satu contoh implementasi pendidikan karakter yang diterapkan oleh negara maju. Di negara berkembang sekolah-sekolah diwajibkan untuk memasukan nilai- nilai moral di setiap mata pelajaran yang diiajarkan. 3.2 Saran Pemerintah Indonesia sebagai negara yang berkembang diharapkan dapat meniru atau mengadopsi cara negara-negara maju mengimplementasikan pendidikan karakter di negaranya. Hal itu ditujukan agar tidak terjadi keterlambatan untuk menangani kasus krisis moral yang saat ini sangat merajarela di negara Indonesia.