Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI BEBERAPA NEGARA DAN PERBEDAANNYA DENGAN


IMPLEMENTASI DI INDONEISA
Dosen Pengampu : Dr.Akhmad Arief Mursadad, M.pd
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Profesi Kependidikan
 
Disusun Oleh :
MEGA NUR ALFIRA
K4412046
 
 
PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMUPENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Pada masa kini krisis moral menjadi masalah yang pelik untuk diperbincangkan, bukan
hanya di Indonesia saja melainkan di berbagai negara di seluruh dunia juga mengalami apa yang
dinamakan krisis moral. Krisis moral ditandai dengan munculnya kejahatan atau kasus
kriminalitas yang melibatkan anak-anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah.
Karena kegelisahan akan meningkatnya tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh remaja,
pemerintah di beberapa negara yang memperhatikan masalah tersebut akhirnya memutuskan
untuk memberikan pendidikan karakter dan diimplementasikan di dalam sekolah.
Dalam makalah ini akan membahas beberapa hal tentang pendidikan karakter di beberapa
negara serta implementasinya.
1.2 Rumusan masalah
Apakah pengertian pendidikan karakter?
Bagaimana pentingnya pendidikan karakter?
Bagaimana implementasi pendidikan karakter di negara lain?
Bagaimana implementasi pendidikan karakter di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Profesi Kependidikan.
Untuk mengetahi bagaimana pendidikan karakter yang diterapkan beberapa negara di dunia.
Untuk membandingkan penerapan pendidikan karakter di Indonesia dengan negara lain.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Karakter
Rutland (2009: 1) mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang
berarti “dipahat”. Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit yang dengan hati-hati dipahat
atau dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya akan muncul menjadi sebuah mahakarya
atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat
didalam batu tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya. Tidak ada perbaikan yang
bersifat kosmetik, tidak ada susunan dekorasi yang dapat membuat batu yang tidak berguna
menjadi suatu seni yang bertahan lama. Hanya karakter yang dapat melakukannya.
Secara harfiah karakter artinya “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau
reputasi” (Hornby dan Parnwell, 1972 : 49). Menurut KBBI, karakter merupakan sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter
artinya mempunyai watak, mempunyai keprtibadian (Kamisa 1997: 281) .
Sedangkan Pendidikan Karakter menurut Lickona Secara sederhana pendidikan karakter dapat
didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa.
Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan
karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona.
Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja
untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai etika yang inti. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Karakter adalah ciri khas yang dimiliki
oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian
benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang
bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).
2.2 Pentingnya Pendidikan Karekter
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengawali kerajanya sebagai kepala pemerintahan
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II mengangkat isu tentang pendidikan karakter bangsa sebagai
pilar pembangunan. Selanjutnya Presiden menyatakan bahwa kita harus menjaga jati diri kita,
keindonesiaan kita. Hal yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain di dunia adalah
budaya kita, way of life kita dan keindonesiaan kita. Ada identitas dan kepribadian yang
membuat bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah. Ke-Indonesiaan kita
tercermin dalam sikap pluralisme atau kebhinekaan, kekeluargaan, kesatuan, toleransi, sikap
moderat,  keterbukaan, dan kemanusiaan. Hal-hal inilah yang harus kita jaga, kita pupuk,  kita
suburkan di hati sanubari kita dan di hati anak-anak kita.
Pernyataan presiden tersebut mengingatkan kita semua kepada pesan Bung Karno, Presiden
pertama RI. Bung Karno yang  menggelorakan tema  besar “nation and character
building”pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi
kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini
tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (H. Soemarno Soedarsono,
2009: sampul). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan
pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing di dunia
global.
Pandangan dan pernyataan dari dua pemimpin itu, cukuplah sudah untuk memberikan
gambaran bahwa pendidikan karakter bangsa itu merupakan hal sangat fundamental dari
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sudah selayaknya kalau
pendidikan atau pembangunan karakter bangsa ini secara konstitusional mendapatkan
landasan yang kuat. Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila telah memberikan landasan yang
begitu mendasar, kokoh dan komprehensif. Selanjutnya secara operasiponal di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang  Nasional tahun 2005-2025 (lih. UU RI No. 17 Tahun 2007),
ditegaskan bahwa misi pertama pembangunan  nasional adalah terwujudnya  karakter bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan
dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan
bertakwa kepada tuhan YME, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis dan berorientasi ipteks. Berikutnya di dalam Kebijakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa (2010) disebutkan bahwa (1) karakter merupakan hal yang
sangat esensial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan
menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa; (2) karakter berperan sebagai ”kemudi” dan
kekuatan, sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing; (3) karakter tidak datang dengan
sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat.
Dalam proses pembangunan karakter bangsa ini harus difokuskan pada tiga tataran besar: (1)
untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan NKRI, dan
(3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa
yang bermartabat (Udin S. Winataputra, 2010: 1)
Argumentasi tentang pentingnya pendidikan karakter dan perangkat lunak sebagai landasan
dan rambu-rambu dalam pelaksanaan pendidikan karakter sudah tersedia. Bagaimana harus
melaksanakan. Kegiatan melalui bidang pendidikan nampaknya merupakan wahana yang
sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan karakter bangsa.  Secara khusus di dalam
bidang pendidikan juga telah diberikan rambu-rambu dan arah yang jelas bagaimana
membangun karakter dan kepribadian anak bangsa ini. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.  Inilah rumusan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, tujuan pendidikan
yang utuh dan sejati. Aspek-aspek yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan ini, baik
yang terkait dengan tujuan eksistensial, kolektif maupun individual harus dicapai secara utuh
melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka
proses pencapaian tujuan pendidikan nasional sedang berlangsung dan berada pada jalur yang
benar.
2.3 Implementasi Pendidikan Karakter di Berbagai Negara
Amerika Serikat
Pendidikan karakter di Amerika Serikat telah dikembangkan dengan serius dan komprehensif
dari tingkat nasional sampai tingkat sekolah. Hal itu didasarkan atas hasil-hasil survey yang
menyatakan bahwa 90% responden menyatakan pendidikan karakter dibutuhkan dan perlu
dikembangkan di sekolah. Pendidikan karakter diperlukan karena banyaknya kasus kriminal,
kenakalan remaja, dan narkoba. Medison (2007:158) mengutip hasil survey menyatakan “A
1998 Gallup poll found that Americans consider crime and violence; declines in ethics, morals
and family values; and drug usage the issues of most concern in our society today.”
Amerika yang dikenal sebagai salah satu negara penganut paham kebebasan juga memiliki
program pendidikan perilaku dan penanaman nilai-nilai moral yang baik kepada siswa di
sekolah. Program  pendidikan ini mereka sebut Positive Behavior Support (PBS). Program ini
dilakukan  untuk meningkatkan prestasi akademik, meningkatkan kondisi keamanan di sekolah,
mengurangi masalah-masalah penyimpangan perilaku siswa dan menciptakan  budaya sekolah
yang positif. Program ini adalah program jangka  panjang yang memerlukan  waktu kurang
lebih  3 sampai 5 tahun untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.
Strategi implementasi PBS di sekolah-sekolah di Amerika dimulai dengan pembentukan tim 
khusus yang  bertanggung jawab terhadap pelaksanaan  PBS di sekolah. Anggotanya terdiri dari
kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan staf tenaga kependidikan dan juga siswa.  Tugas
tim ini pertama kali adalah membangun komitmen bersama semua warga sekolah terhadap
pelaksanaan program PBS di sekolah. Setelah itu mereka mengumpulkan   data  tentang
pelanggaran disiplin maupun  perilaku yang tidak diharapkan yang sering terjadi disekolah.
Kemudian, mereka melakukan  analisis terhadap data tersebut.               Berdasarkan hasil
analisis tadi  mereka merumuskan nilai-nilai apa saja yang hendak ditanamkan di sekolah
dengan harapan  pelanggaran disiplin maupun perilaku siswa yang tidak diharapkan  dapat
diminimalisir atau bahkan tidak terulang lagi. Mereka  memilih dan merumuskan nilai-nilai yang
akan ditanamkan dan dibiasakan di sekolah berbasiskan data yang ada, sehingga diharapkan 
program itu nantinya tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan. Jadi,tidak asal pilih dan asal
ada saja.
Nilai-nilai  yang hendak ditanamkan dan diharapkan membudaya  di sekolah itu mereka sebut
dengan istilah expectation. Untuk expectation ini  mereka mencoba merangkainya menjadi
suatu slogan atau istilah bermakna yang singkat, menarik, dan mudah diingat.
Misalnya Respect, Organization, Achievement, Responsiblity (ROAR), The Three Bees ( Be Safe,
Be Responsible, Be Respectful) dan sebagainya.  Selanjutnya masih bersama dengan tim PBS,
mereka mencoba menjabarkan expectation tersebut kedalam perilaku-perilaku spesifik  yang 
terlihat dan terukur yang dapat merefleksikan expectation yang diharapkan yang mereka sebut
dengan istilah Rules. Untuk satu expectation bisa dijabarkan menjadi 2 sampai 4 rules. Misalnya
untuk expectationmenghormati orang lain, rules atau perilaku nyata dan spesifik dari
expectation tersebut adalah:
Mendengarkan pendapat orang lain
Diam dan mendengarkan dengan baik ketika orang sedang berbicara
Setelah sekolah menetapkan expectation dan rules untuk diimplementasikan, sekolah mulai
membuat Lesson Plan atau semacam RPP untuk mengajarkan expectation dan rules yang
diharapkan tersebut.  Jadi dalam melaksanakan PBS, semua warga sekolah harus mampu
mengajarkan ataupun menginstruksikan nilai nilai yang diharapkan tersebut  kepada semua
siswa agar nilai-nilai tersebut benar-benar dapat  membudaya dan terinternalisasi didalam diri 
siswa secara konsisten.
Hal ini dapat dilakukan diwaktu- waktu khusus yang memang disediakan untuk itu dengan
berbagai macam cara. Misalnya, menayangkan video yang mendemonstrasikan perilaku-
perilaku yang seharusnya dan yang tidak seharusnya secara kontekstual sesuai dengan
kejadian-kejadian nyata yang sering terjadi di sekolah.
Reward dan Punishment
Untuk mendapatkan kondisi perilaku yang ideal terhadap anak didik, kita harus berusaha
menjabarkan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami oleh anak didik kita. Selanjutnya, kita mempraktekkan perilaku
tersebut bersama-sama   dan kemudian melakukan pembiasaan terhadap perilaku tersebut
secara kontekstual disertai dengan pemberian contoh  dan  keteladanan yang terus menerus
dari semua warga sekolah .
Kembali ke strategi implementasi program PBS, setelah nilai- nilai yang ingin ditanamkan 
tersebut diajarkan, di dorong dan  dikondisikan untuk menjadi kebiasaan semua warga sekolah,
kita pun  harus  merancang atau membuat sistem reward dan punishment  yang tepat untuk
meningkatkan keefektifan dari program PBS. Tanpa adanya sistem reward dan punishment
yang tepat, keberlangsungan dan keefektifan dari progam PBS ini  diragukan. Yang terakhir dan
tidak boleh terlupakan dalam mengimplementasikan PBS disekolah adalah Tim PBS harus  selalu
memonitor,mengevaluasi dan memodifikasi program PBS yang telah dilakukan disekolah demi
perbaikan yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Dari strategi implementasi PBS
tersebut dapat disimpulkan 3 hal penting yang harus dilakukan demi suksesnya anak didik kita
disekolah. Yang pertama,   kita harus menjelaskan dan mengajarkan terlebih dahulu kepada
anak didik kita tentang perilaku apa yang kita harapkan untuk mereka lakukan disekolah.
Selanjutnya, kita juga harus melakukan pembiasaan  perilaku tersebut dengan segala cara dan
juga memberikan keteladanan agar  perilaku tersebut dapat terinternalisasi kedalam diri
mereka,  sehingga dapat dipraktekkan secara konsisten oleh anak didik kita. Yang tidak kalah
pentingnya adalah menciptakan kondisi atau lingkungan yang kondusif untuk mendukung
terwujudnya perilaku yang kita harapkan tersebut. Diantaranya dengan menyediakan dan
melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan mendukung untuk terwujudnya
perilaku yang diharapkan tersebut.
Eropa
INGGRIS
Sekolah-sekolah di Inggris terdapat perbedaan yang nyata di banding dengan negara lainnya di
mana para siswa memakai seragam sekolah. Anak-anak di Inggris tampaknya merupakan
kelompok yang paling taat akan peraturan. Di banyak sekolah di Inggris para siswa menyapa
gurunya dengan sebutan “Ibu… (Miss)” atau “Bapak… (Sir)” dan kemudian mereka menunggu
untuk melanjutkan pembicaraan hingga mendapatkan izin dari gurunya. Para siswa sekolah
menengah lebih banyak menghabiskan waktu mereka di kelas dengan menulis dibanding
berbicara.
Secara tradisional, Inggris menganut sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi, di mana
masing-masing wilayah memiliki otonomi pendidikannya sendiri (LEA / Local Education
Authority), dan terkadang setiap sekolah dapat menentukan kurikulumnya sendiri. Hal inilah
yang menyebabkan mengapa di satu sekolah diajarkan pendidikan sosial dan vokasional
sementara sekolah yang lain hanya mengajarkan berbagai ilmu yang bersifat umum saja, dan di
sekolah lain tidak terdapat mata kuliah mengenai pendidikan politik dan sosial. Kegiatan
keagamaan serta misa harian di lingkungan sekolah merupakan mandat dari Undang-undang
Pendidikan (Education Act 1944) tahun 1944, namun isi dari kegiatan tersebut diserahkan
kepada LEA (masing-masing sekolah). Pada kenyataannya, meskipun setiap sekolah memiliki
kewenangan untuk menentukan kurikulumnya, namun terdapat kesamaan dalam isi kurikulum
di seluruh sekolah, hal ini dikarenakan ujian nasional yang pada umumnya harus diikuti oleh
siswa pada saat berusia enam belas tahun, dan 30 persen dari siswa tersebut mendapatkan
nilai A. Sistem Ujian Pendidikan Umum Tingkat Menengah yang baru memungkinkan untuk
terjadinya berbagai kesamaan dalam berbagai bidang di seluruh sekolah di Inggris. Sistem
tersebut menggagas kurikulum inti nasional yang jika diimplementasikan dapat mengurangi
berbagai perbedaan yang terdapat di setiap wilayah (LEA). Diperkirakan sekitar 90 persen dari
keseluruhan jadwal sekolah akan ditentukan oleh kurikulum inti nasional.
Tujuh persen dari siswa di Inggris menimba ilmu di sekolah-sekolah swasta yang disebut dengan
“sekolah umum (public schools)”. Sekolah jenis ini dijalankan dan dibiayai oleh pihak swasta,
sekolah ini juga memberikan prioritas yang sangat tinggi akan pendidikan nilai. Banyak dari
sekolah ini yang memiliki kapel (gereja kecil) dan juga memasukan agama sebagai salah satu
mata pelajarannya. Berbagai cabang olah raga dianggap sebagai sesuatu yang penting oleh
sekolah ini. Pada umumnya, kebanyakan dari para pemimpin politik dan para pemimpin bisnis
merupakan alumni dari sekolah umum, hal ini diduga karena di sekolah umum mereka
mempelajari berbagai nilai yang berhubungan dengan pelayanan umum serta wirausaha di
samping mempelajari ilmu kepemimpinan. Sekolah umum di Inggris menerapkan sebuah model
yang menurut pendapat beberapa pihak harus ditiru oleh sekolah-sekolah negeri, yakni dengan
memasukan pengajaran tata karma dan pengajaran nilai ke dalam kurikulum mereka.
BELANDA   
Sejak 1968, seluruh sekolah di Belanda mengajarkan maatschaapijleer (mata pelajaran sosial)
yang merupakan mata pelajaran yang tidak diujikan, di samping mengajarkan sejarah dan
geografi yang termasuk ke dalam kelompok mata pelajaran yang
diujikan. Maatschaapijleer terdiri dari enam bidang kajian – pendidikan, rumah dan lingkungan,
kerja dan waktu luang, negara dan masyarakat, teknologi dan masyarakat serta hubungan
internasional. Pada tahun 1987 para anggota parlemen yang sangat konservatif mengajukan
proposal untuk menentukan alokasi waktu minimal bagi mata pelajaran dasar pada tiga tahun
pertama jenjang sekolah menengah, namun dalam proposal itu tidak
mengikutsertakan maatschaapijleer sebagai mata pelajaran yang perlu dikurangi alokasi
waktunya.
DENMARK
Denmark merupakan negara yang paling menekankan nilai individualisme, namun tetap
memiliki rasa keterikatan yang kuat sebagai sebuah kelompok. Salah satu keunikan dari negara
ini adalah fakta bahwa para siswa memiliki teman sekelas dan wali kelas yang sama selama
sembilan tahun pertama mereka sekolah. Sejarah bangsa Denmark, geografi, pendidikan agama
Kristen (berdasarkan prinsip Gereja Luther Denmark) serta bahasa Denmark, diajarkan selama
sembilan tahun. Pada kelas tujuh, para siswa mulai diberikan mata pelajaran kontemporer.
Mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran yang membahas permasalahan tertentu, di mana
siswa dapat menentukan sendiri topik-topik yang akan dikaji. Salah satu contoh permasalahan
yang dibahas oleh para siswa di tingkat sembilan pada tahun 1987 adalah kekerasan video dan
kultur remaja. Pada tingkat akhir pendidikan menengah, hubungan antara blok Barat dan
Timur, serta perkembangan ekonomi di negara-negara ketiga sering menjadi topik bahasan
mata pelajaran kontemporer.
Di Denmark, dewan siswa (Osis) serta pengurus kelas nampaknya memiliki kekuasaan yang
besar. Hukum Sekolah di Denmark menyatakan bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk
mengajarkan demokrasi melalui berbagai praktek dalam pembuatan keputusan dan tanggung
jawab. Selain dewan siswa yang aktif dan para guru yang terlibat dalam pengambilan keputusan
di lingkungan sekolah, para siswa dan guru di Denmark juga dapat memilih anggota dari dewan
sekolah, di mana kepala sekolah dan perwakilan orang tua berkedudukan sebagai anggota. Hal
ini sangatlah berbeda dengan keadaan di negara-negara lainnya, di mana kepala sekolah
(ataupun kepala sekolah wanita) di Inggris, atau direktur sekolah di Jerman Barat memiliki
kekuasaan penuh dalam pengambilan keputusan. Struktur kekuasaan diterapkan dengan cara
lain. Para siswa di Denmark memanggil guru mereka dengan nama depannya, sementara di
negara lain para guru dan tenaga administrasi disapa secara formal.
FINLANDIA
Sistem pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia. Rekor prestasi belajar siswa yang
terbaik di negara-negara OECD dan di dunia dalam membaca, matematika, dan sains dicapai
para siswa Finlandia dalam tes PISA.  Amerika Serikat dan Eropa, seluruh dunia gempar. Untuk
tiap bayi yang lahir kepada keluarganya diberi maternity package yang berisi 3 buku bacaan
untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri. Alasannya, PAUD adalah tahap belajar pertama dan paling
kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita
dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun). Pendidikan di sekolah
berlangsung rileks dan masuk kelas siswa harus melepas sepatu, hanya berkaus kaki. Belajar
aktif diterapkan guru yang semuanya tamatan S2 dan dipilih dari the best ten lulusan
universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur.
Frekuensi tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah Matriculation Examination  untuk
masuk PT. Sekolah swasta mendapatkan dana sama besar dengan dana untuk sekolah negeri
Selama masa pendidikan berlangsung, guru mendampingi proses belajar setiap siswa,
khususnya mendampingi para siswa yang agak lamban atau lemah dalam hal belajar. Malah
terhadap siswa yang lemah, sekolah menyiapkan guru bantu untuk mendampingi siswa
tersebut serta kepada mereka diberikan les privat. Setiap guru wajib membuat evaluasi
mengenai perkembangan belajar dari setiap siswa. Ada perhatian yang khusus terhadap siswa-
siswa pada tahap sekolah dasar, karena bagi mereka, menyelesaikan atau mengatasi masalah
belajar bagi anak umur sekitar 7 tahun adalah jauh lebih mudah daripada siswa yang telah
berumur 14 tahun. Orang tua bebas memilih sekolah untuk anaknya, meskipun perbedaan
mutu antar-sekolah amat sangat kecil. emua fasilitas belajar-mengajar dibayar serta disiapkan
oleh negara. Negara membayar biaya kurang lebih 200 ribu Euro per siswa untuk dapat
menyelesaikan studinya hingga tingkat universitas. Baik miskin maupun kaya semua siswa
memiliki kesempatan yang sama untuk belajar serta meraih cita-citanya karena semua
ditanggung oleh negara
Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi peningkatan mutu pendidikan itu
sendiri. Makan-minum di sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah semuanya
ditangani oleh pemerintah. Biaya pendidkan datang dari pajak daerah, provinsi, serta dari
tingkat nasional. Khusus mengenai para guru,  setiap guru menerima gaji rata-rata 3400 euro
per bulan. Guru disiapkan bukan saja untuk menjadi seorang profesor atau pengajar, melainkan
disiapkan juga khususnya untuk menjadi seorang ahli pendidikan. Makanya, untuk menjadi guru
pada sekolah dasar atau TK saja, guru itu harus memiliki tingkat pendidikan universitas.
24. Implementasi Pendidikan Karakter di Indonesia
Aspek-aspek karakter di Indonesia khususnya bersifat sikap (merupakan perwujudan kesadaran
diri) banyak yang sebenarnya merupakan bagian aktivitas sehari-hari manusia. Secara teoritik
aspek sikap atau ranah afektif lebih efektif jika dikembangkan melalui kebiasaan sehari-hari.
Misalnya disiplin pada mahasiswa akan lebih mudah dikembangkan jika disiplin telah menjadi
kebiasaan sehari-hari di kampus. Jujur, kerja keras, saling toleransi dan sebagainya akan mudah
dikembangkan jika aspek-aspek tersebut sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di kampus.
Dalam konteks pendidikan kejuruuan penumbuhan iklim kerja industri menjadi langkah yang
dirasa efektif dalam upaya menumbuhkan sikap kerja siswa yang diharapkan nantinya sesuai
dengan apa yang dibutuhkan oleh industri. Kerjasama dengan berbagai stakeholders akan
memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa sehingga dengan sendirinya akan tumbuh
sikap maupun etos kerja seseuai dengan harapan dunia kerja.
2.5 Perbandingan Pendidikan Karakter di Indonesia dan Negara Lain
            Setelah mengetahui bagaimana pendidikan karakter diberbagai negara diterapkan dalam
pendidikan, tentunya kita dapat membedakan bagaimana perbedaan dan persamaannya.
Ternyata pendidikan karakter yang diterapkan di Indonesia maupun di negara lain pada
dasarnya ada dalam prinsip yang sama, yaitu membentuk karakter peserta didik untuk menjadi
generasi yang memiliki karakter baik. Semua negara diatas ternyata mengimplementasikan
pendidikan karakter melalui pembiasaan atau membentuk kebiasaan baik kepada setiap
peserta didiknya. Hal tersebut ditunjukan agar nantinya peserta didik ketika berkesempatan
melakukan hal yang tidak baik dia akan merasa gelisah dan tidak enak hari karena dia tidak
terbiasa melakukan hal tersebut.
Walaupun semua negara menerapkan membentuk pendidikan karakter dengan cara
membentuk kebiasaan, tetapi cara yang setiap negara terapkan jelas berbeda. Amerika Serikat
menerapkan cara reward and punisment dalam proses pembelajarannya, hal ini juga
diterapkan di Indonesia. Guru dapat memberikan penghargaan kepada peserta didiknya yang
berprestasi dan memberikan hukuman peringatan kepada peserta didik yang kurang
berprestasi.
Namun, sangat terlihat jelas bahwasannya pendidikan karakter diluar negeri jauh lebih unggu
dibanding dengan pendidikan karakter di Indonesia. Finlandia sebagai negara yang memiliki
pendidikan terbaik di dunia sudah menerapkan pendidikan karakter sejak dini atau sejak bayi
masih di dalam kandungan. Bahkan pendidikan karakter tidak hanya diberikan kepada anak-
anak saja, melainkan orang tua yang baru akan memiliki bayi juga diberikan buku panduan
menjadi orang tua yang baik, hal tersebut diharapkan agar nantinya ketika lahir anak mereka
kelak menjadi anak yang berkarakter mulia. Tentunya jika hal ini diterapkan di Imdonesia bukan
tidak mungkin negara kita memiliki benih-benih anak bangsa yang mulia dan berbudi luhur.
 
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini sudah
menerapkan pendidikan karakter di negaranya yang dilakukan dengan berbagai cara dan upaya
tidak terkecuali Indonesia. Indonesia juga merupakan negara yang sudah nenerapkan
pendidikan karakter kepada peserta didiknya, hanya memang pendidikan karakter di Indonesia
masih butuh banyak pembenaran dan evaluasi. Karena belum seluruh aspek masyarakat, guru
dan keluarga tau benar tentang pemahaman konsep pendidikan karakter
3.2 Saran
Penulis menyarankan agar segenap masyarakat, sekolah dan keluarga saling bahu-membahu
untuk membantu terciptanya pendidikan karakter bagi generasi anak bangsa agar dapat
mencapai tujuan dari pancasila.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan Karakter ternyata dinilai penting tidak hanya di negara Indonesia saja, melainkan
beberapa negara maju dan berkembang lainnya juga berpikiran sama. Krisis moral yang
ditandai dengan munculnya kenakalan ramaja yang meningkat drastis ternyata membuat
kekhawatiran sendiri bagi negara-negara tersebut maka dari itu pemerintah mulai menerapkan
pendidikan karakter di dalam mata pelajaran di sekolah maupun penerapan secara praktek
diluar sekolah.
Beberapa negara maju memberikan pengetahuan kepada calon ibu dan calon ayah sebelum
bayi mereka lahir sebagai salah satu contoh implementasi pendidikan karakter yang diterapkan
oleh negara maju. Di negara berkembang sekolah-sekolah diwajibkan untuk memasukan nilai-
nilai moral di setiap mata pelajaran yang diiajarkan.
3.2 Saran
            Pemerintah Indonesia sebagai negara yang berkembang diharapkan dapat meniru atau
mengadopsi cara negara-negara maju mengimplementasikan pendidikan karakter di negaranya.
Hal itu ditujukan agar tidak terjadi keterlambatan untuk menangani kasus krisis moral yang saat
ini sangat merajarela di negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai