Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERIODE 1900-1933 DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA


Makalah ini disusun guna menyelesaikan Mata Kuliah Sejarah Sastra yang dibimbing oleh
Dr. Akhmad Taufiq, S.S, M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 4 (Empat)
1. Eka Dewi Lestari (180210402114)
2. Ainur Rohimah (180210402119)
3. Merisa (180210402124)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PERIODE
1900-1933 DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA” penyusunan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra.
Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya
dalam bidang pembelajaran yang terkait dengan Sejarah Sastra Indonesia serta pembaca
dapat mengetahui pentingnya periodesasi sejarah sastra dan perkembangannya. Semakin
berkembangnya zaman membuat pengaruh yang besar dari luar negeri. Hal ini bisa
menyebabkan Bahasa Indonesia akan memudar dan terganti dengan bahasa Asing yang lebih
modern. Dengan adanya sejarah perkembangan dari periode ke Periode akan mengingatkan
pada perjuangan sastrawan dahulu dan mengungkap apa saja yang terdapat dalam sastra
zaman dahulu untuk meningkatkan kecintaan terhadap karya sastra.
Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah kami. Kritik serta saran kami butuhkan guna perbaikan dalam penyusunan makalah
ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah
Sastra Dr. Akhmad Taufiq, S.S, M.Pd kelas C yang telah memberikan bimbingan dan
pembelajaran dalam penyusunan makalah ini.

Jember, 6 Maret 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.3 Tujuan Khusus.........................................................................................................2
1.4 Manfaat....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
2.1 Sejarah Sastra................................................................................................................3
2.2 Angkatan Balai Pustaka “Bacaan Liar” dan Commisie voor de Volkslectuur..............4
2.3 Sajak-sajak Yamin dan Roestam Effendi......................................................................6
2.4 Sanusi Pane...................................................................................................................7
2.5 Balai Pustaka dan Roman-Romannya...........................................................................8
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................11
3.1 Angkatan 20 (Balai Pustaka)..................................................................................11
3.2 Detail dan Ciri Angkatan Balai Pustaka.................................................................11
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................13
4.1 Kesimpulan............................................................................................................13
4.2 Saran......................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................14

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu termasuk rumpun bahasa Austronesia
yang telah digunakan sebagai lingua franca di nusantara sejak abad-abad awal penanggalan
modern paling tidak pada bentuk informalnya. Peristiwa bahasa melayu menjadi bahasa
Indonesia terjadi menurut perputaran roda sejarah, sampai pada tanggal 28 Oktober 1928
Bahasa Indonesia digunakan secara resmi oleh masyarakat Indonesia sebagai bahasa
nasional. Bahasa Indonesia menjadi Identitas ditengah-tengah bangsa lain di dunia.
Sebelum disahkan menjadi bahasa persatuan terdapat perkembangan sastra dari
periode kelahiran hingga tahun 1945. Penulis akan mengungkap periode pertama tahun 1900-
1933 dan apa saja yang terjadi pada masa tersebut. Sejarah perkembangan Bahasa Indonesia
memiliki banyak tahapan dan periode hingga menghasilkan banyak sastrawan dan karya-
karya yang dihasilkan.
Periodesasi merupakan sekadar kesatuan waktu dalam perkembangan sastra yang
dikuasai oleh suatu sistem norma tertentu atau kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara
pengucapan yang khas dan berbeda dengan masa sebelumnya. Selain periodesasi ada juga
angkatan yang merupakan sekelompok pengarang dan memiliki kesamaan konsepsi atau
kesamaan ide yang hendak dilaksanakan dan diperjuangkan. Didalam angkatan ada satu cita-
cita yang menghikmati atau melandasi penciptaan, meskipun tidak disajikan secara formal
dalam suatu manifestasi atau dalam suatu rumusan.
Masalah periodesasi memang merupakan masalah yang banyak menarik perhatian
orang. Bukan hanya para penelaah sastra saja yang berbicara tentang itu, melainkan juga para
sastrawan ikut melibatkan diri. Dengan periodesasi itu kita akan dapat dengan mudah
mengetahui tahap-tahap perkembangan sastra Indonesia dengan corak dan aliran yang
mungkin ada pada tiap tahap perkembangan.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana proses sastrawan dapat menulis karya sastra pada tahun-tahun penjajahan?
2. Siapa saja yang tokoh-tokoh penulis karya sastra diantara tahun 1900-1933?
3. Apa saja karya sastrawan yang ada pada angkatan diantara tahun 1900-1933?

1.3 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan makalah ini sebagai berikut:

1
1. Untuk mendiskripsikan proses sastrawan menulis karya sastra di tahun 1900-1933
zaman penjajahan;
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh sastrawan yang menulis karya sastra tahun 1900-
1933; dan
3. Untuk mengetahui hasil karya sastrawan ditiap angkatan diantara tahun 1900-1933.

1.4 Manfaat
Manfaat makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang sejarah diperiode awal
sastra ditahun-tahun awal antara 1900-1933.
2. Hasil makalah ini dapat menjadi rujukan untuk menulis tentang sejarah sastra
diperiode 1900-1933.
3. Makalah ini dapat menjadi rujukan untuk membedakan hasil karya sastra di awal
periode hingga sekarang.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sastra


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra
yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah
sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu,
tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa
pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Sejarah sastra bisa menyangkut karya sastra,
pengarang, penerbit pengajaran, kritik dan lain-lain. Dalam Pengantar Ilmu Sastra
(Luxemburg, 1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode
keusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan reaksi pembaca. Semua itu
dapat dihubungkan dengan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan didalam konteksnya.
Perhatian para ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19,
berawal dari perhatian ilmuwan pada zaman Romantik yang menghubungkan segala sesuatu
dengan masa lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang
bertolak pada prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat
dilacak kembali. Dalam hal sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara
tuntas apabila diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan
zamannya. Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite
Taine (1828-1893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh
ras, lingkungan, dan momen atau saat.
Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya, lingkungan meliputi
keadaanalam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi sosio-pulitik pada zaman tertentu.
Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim
suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Ahli sejarah sastra
Jerman,Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor penentu, yaitu das Ererbte
(warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses belajar).Penerapannya
menuntut kerja sama yang erat antara ahli fisiologi, psikologi, linguistik, dan sejarah
kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis sejarah sastra harus mampu menyelami
seluruh kehidupan manusia, baik jasmani maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.
Dalam suatu periode mungkin timbul suatu angkatan, tetapi suatu periode tidak harus
melahirkan suatu angkatan. Istilah angkatan lebih menuntut sifat gerak dan dinamika
daripada istilah periode. Adapun istilah generasi jarang digunakan. Biasanya kata itu dipakai

3
dalam hubungan dengan nama generasi Gelanggang. Sebenarnya, kata angkatan pada
mulanya adalah terjemahan dari kata generasi. Bertolak pada dasar pikiran tersebut dan
sekadar sebagai dasar pegangan untuk perturutan pembicaraan dalam uraian selanjutnya.

Sebelum sastra Indonesia modern, kita kenal sastra Melayu lama/klasik. Hal ini
terutama kita lihat dalam hubungan bahasa yang jadi media sastra itu. Kongres Bahasa
Indonesia I sesudah kemerdekaan pada tahun 1945 di Medan sudah menetapkan bahwa dasar
bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Dengan demikian, sastra yang mempunyai pertautan dengan sastra
Indonesia modern ialah sastra Melayu lama/klasik.

2.2 Angkatan Balai Pustaka “Bacaan Liar” dan Commisie voor de Volkslectuur

Pada tahun 1848 pemerintah jajahan Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah


untuk anak-anak bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat.
Pegawai-pegawai tersebut diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploitasi
kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para pegawai setempat jauh lebih murah
daripada mendatangkan tenaga-tenaga itu dari Negeri Belanda.
Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan timbul
kegemaran akan membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda, bangsa
Indonesia pun mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang dijajah. Beberapa
orang yang berbakat menyadari hal ini lalu mulai menulis rupa-rupa karangan, baik
berbentuk uraian maupun berbentuk cerita yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat.
Surat cerita, yang sifatnya memberi penerangan kepada rakyat. Surat-surat kabar dicetak
bukan hanya dalam bahasa Belanda tetapi juga bahasa Melayu dan bahasa daerah.
Surat-surat kabar sampai sekarang belum diselidiki secara teliti bagaimana peranan
kepada kelahiran sastera Indonesia. Akan tetapi sesudah tahun 1900 ada surat kabar yang
memuat karangan yang bersifat sastera atau yang dapat digolongkan kepada karya sastera.
Pada awal abad ke 20 di Bandung ada surat kabar Medan Priyayi yang memuat cerita-cerita
bersambung berbentuk roman. Cerita-cerita tersebut ditulis dalam bahasa Melayu tetapi
bukan pengarang kelahiran Melayu atau Sumatra. Roman yang berjudul Hikayat Sittu
Mariah merupakan karangan yang menarik ditulis oleh H. Moekti. Roman ini disebut
“Hikayat”. Pengarang lain yang masa itu terbilang produktif adalah seorang wartawan
bernama Mas Marco Kartodikromo yang berkali-kali dijatuhi hukuman oleh Belanda karena
tulisan-tulisannya dan ia meninggal dalam buangan di Digul-Atas, Irian Barat. Dari tangan

4
Mas Marco terbit beberapa buah buku diantaranya berjudul Mata Gelap (1914), Studen Hijau
(1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Ada juga Semaun menulis
Roman yang berjudul Hikayat Kadirun (1924) yang segera dilarang beredar oleh pemerintah.
Sementara itu kaum terpelajar Indonesia yang sudah mendapatkan pendidikan Barat
dan menguasai bahasa Belanda dapat pula membaca buku-buku buah tangan para pengarang.
Belanda yang membela hak kemerdekaan bangsa pribumi misalnya hasil buah tangan
Multatuli yaitu Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran
bangsa dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samara artinya
“Aku Telah Banyak Menderita”. Nama sebenarnya adalah Eduard Douwes Dekker (1820-
1887) ia adalah seorang pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Ketika dia berusia 18
tahun meninggalkan Belanda untuk bekerja. Pada tahun 1856 ia menjadi asisten residen di
Lebak, Banten. Saat itu dia mengajukan protes karena tindakan bupati dan para pejabat lain
yang sewenang-wenang memeras penduduk tetapi protesnya tidak digubris dan disuruh untuk
meminta maaf, akhirnya dia keluar dari jabatannya dan mulai menulis karangan untuk
melanjutkan protesnya itu.
Semua kejadian itu menyebabkan pemerintah Belanda mencari jalan akal untuk
terhindar dari segala kesulitan yang dialami orang inggris. Sejalan politik etis yang menjadi
kebijaksanaan umum dalam menghadapi tanah jajahannya. Maka pada tahun 1917 berubah
menjadi Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang
pada 1917 berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) Balai
Pustaka.
Pekerjaan komisi ini mula-mula memeriksa dan mencetak segala naskah rakyat,
terutama yang ditulis dalam bahasa daerah. Akan tetapi kemudia juga mencetak buku-buku
terjemahan dari cerita-cerita yang mengisahkan pahlawan orang-orang Belanda dan cerita-
cerita klasik Eropa. Pada tahun 1914 komisi ini menerbitkan roman pertama dalam bahasa
Sunda, karang DK Ardiwinata (1886-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi
Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah Cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari
Siregar dari Yan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbitlah roman dalam
bahasa Indonesia yang pertama oleh Balai Pustaka, karangan Merari Siregar juga berjudul
Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920). Dua tahun kemudian terbit roman Marah
Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul oleh Muda Teruna (1922) karangan
Muhammad Kasim. Sejak itu banyak karangan yang ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa
daerah lain yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.

5
Secara ringkas, usaha dan kegiatan Balai Pustaka adalah sebagai berikut:
a. mengusahakan penerbitan naskah-naskah cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia;
b. menerjemahkan dan menyadur cerita-cerita asing kedalam bahasa Indonesia;
c. mengadakan penerbitan karangan-karangan asli yang ditulis oleh bangsa Indonesia
sendiri dan yang sebagian besar berbentuk novel;
d. menerbitkan majalah dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia;
e. mengadakan penyebaran buku-buku secara luas sampai ke pelosok-pelosok, membangun
perpus di sekolah-sekolah, dan mengadakan penjualan buku-buku tersebar dengan harga
murah.
Ada tiga pengarang Balai Pustaka yang penting ialah Nur Sutan Iskandan, Abdul
Muis, dan Marah Rusli. Nur Sutan Iskandar penting karena ia mempunyai pengaruh yang
besar terhadap hampir sebagian besar hasil sastera Balai Pustaka. Dia mula-mula sebagai
korektor, kemudian sebagai redaktur, dan akhirnya sebagai kepala redaktur badan tersebut.
Abdul Muis penting karena novelnya Salah Asuhan dipandang sebagai yang paling menonjol
nilai sastranya, baik dari segi bahasa maupun dari segi pengolahan ceritanya. Marah Rusli
penting juga kedudukannya pada masa itu karena novelnya Sitti Nurbaya merupakan hasil
sastra yang paling banyak dibaca orang. Novel Salah Asuhan dan Sitti Nurbaya sering disebut
orang sebagai puncak-puncak sastera Balai Pustaka.

2.3 Sajak-sajak Yamin dan Roestam Effendi

Dalam majalah yong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai buah
tangan pemuda calon politikus bernama Muh. Yamin berjudul ‘Tanah Air’. Sajak ini
kemudian diikuti pula oleh sajak-sajak lainnya berbentuk sonata. Dalam tahun 1920-1922
Yamin banyak menulis sajak-sajak lirik. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tahah air
dan bahasa bundanya. Sebuah sajaknya yang berjudul “Bahasa, Bangsa” melukiskan
perasaannya tentang “tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak “Tanah Air” yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat
dalam Yong Sumatra 1920 diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil.
Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyongsong peringatan lima
tahun berdirinya perkumpulan Yong Sumatranen Bond. Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan
kumpulan sajaknya pula yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan bertepatan
dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan
meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Kecuali menulis sajak ia banyak menulis

6
drama yang berlatang belakang sejarah, antaranya Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932) dia memang banyak menaruh minat sejarah terutama
sejarah nasional. Baginya sejarah diabadikan kepada usaha mewujudkan cita-cita Indonesia.
Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa liris maka ia pun menulis
tentang Gajah Mada (1946) dan Pangeran Dipanegara (1950). Dia juga banyak
menerjemahkan sastera asing kedalam bahasa Indonesia, diantaranya adalah pengarang dari
Inggris William Shakespeare (1564-1616) berjudul Yulius Caesar (1952) dan dari pengarang
India Rabindranath Tagore (1861-1941) berjudul menantikan surat dari Raja dan Di Dalam
dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.
Penyair sezaman dengan Yamin yang sadar akan kemerdekaan adalah Roestam
Effendi (Lahir 1902) Roestam matang terutama bergerak dibidang politik menjadi politikus
dan tak pernah menulis karya sastera lagi. Roestam menulis dua buah buku yang pertama
berjudul Bebasari (1924) dan yang kedua berjudul Percikan Permenungan (1926). Bebasari
merupakan drama-bersajak yang didalamnya mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang
membebaskan kekasihnya dari cengkeraman keserakahan raksasa. Menurut pengarang drama
ini merupakan sebuah lambing atau simbol dari cita-cita pengarang yang jelas dari judul
mengandung kata “bebas”. Kekasih yang ingin bebas dari kekasihnya itu merupakan lambing
tanah air yang sedang dalam cengkeraman penjajah. Oleh karena itu buku ini segera dilarang
beredar oleh pemerintah Belanda.
Bukunya yang lain adalah percikan permenungan merupakan kumpulan sajak yang
dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh
Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi
sastera Melayu.

2.4 Sanusi Pane

Sanusi Pane (1905-1968) mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-
majalah, baik di Jakarta maupun di Padang. Bukunya yang pertama berupa kumpulan prosa
lirik berjudul Pancaran Cinta (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega
(1927). Sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk sonata. Bentuk puisi
Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamin ini memang sangat banyak
persamaannya dengan pantun. Sonata terdiri atas 14 baris yang umumnya dua bait pertama
(octavo) berupa empat seuntai dan dua bait terakhir (sextet) tiga seuntai, yang empat seuntai
biasanya digunakan untuk mengajukan hatinya sendiri, sehingga keseluruhan sonata itu tak

7
ubahnya dengan pantun yang terdiri atas sampiran da nisi. Seperti diketahui pantun
umumanya terdiri atas empat baris: dua baris pertama merupakan sampiran yang biasanya
berupa lukisan-lukisan alam dan dua baris terakhir berupa isi.
Sanusi pane sudah banyak menulis pada tahun dua puluhan. Beberapa karangannya
dimuat dalam majalah Yong Sumatra dan majalah Timbul, dua majalah yang pada dasarnya
memuat karangan-karangan dalam Bahasa Belanda. Dramanya yang berjudul Airlangga
(1928) dan Eezame Garudavluvht (1929) pertama kali dimuat dalam majalah Timbul.
Puisi Sanusi Pane pada permulaannya tidak banyak berbeda dengan puisi Moh.
Yamin. Bentuk Sonetanya hampir semuanya tersusun atas dua kuarten dan dua terzina. Dalam
perkembangannya kemudian Sanusi Pane merupakan tokoh penting Angkatan Pujangga Baru,
tokoh ketiga sesudah Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah.

2.5 Balai Pustaka dan Roman-Romannya

Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar murupakan kritik tidak
langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk kuno yang tidak lagi sesuai dengan
zaman modern. Roman tersebut merupakan roman pertama tentang kawin paksa dan
kemudian kurang lebih dua puluh tahun lamanya menjadi tema yang paling digemari dan
banyak dikemukakan dalam roman-roman Indonesia.
Dalam roman Azab dan Sengsara menceritakan nasib buruk seorang gadis bernama
Mariamin yang tidak berkesampaian kawin dengan laki-laki yang dia cintai, karena orang tua
kekasihnya tidak setuju. Aminu’din yang juga saudara sepupu Mariamin dilarang orang
tuanya mengawini Mariamin karena dia miskin. Sebenarnya orang tua dari Mariamin dahulu
merupakan orang kaya, tetapi karena keserakahan ayahnya Datuk Baringin, mereka jatuh
melarat. Ketika Datuk maringin menginggal dia meninggalkan anak istrinya dalam
kesengsaraan dan kemiskinan. Setelah kawin dengan seorang bernama Kasibun yang ternyata
sudah beristri dan berpenyakit kotor akhirnya Mariamin meninggal dalam kesengsaraan.
Demikian juga dengan Muda Taruna buah tangan M Kasim (lahir tahun 1886) yang
terbit 1922, banyak sekali persamaannya dengan hikayat-hikayat lama, terutama dalam
komposisinya. Untunglah disana-sini M. Kasim membersit dengan humornya. Dalam buku
ini dikisahkan tentang seorang pemuda bernama Marah Kamil yang tergila-gila kepada
seorang gadis bernama Ani. Sebelum terjadi perkawinan, Marah Kamil mengalami dahulu
berbagai petualangan dalam pengembaraan ke berbagai tempat di Sumatra, hal mana
mengingatkan kita akan cerita-cerita hikayat yang juga biasanya terlebih dahulu mengisahkan

8
tokoh-tokoh utamanya mengalami berbagai petualangan sebelum pada akhirnya berbahagia
dengan kekasih idaman hatinya.
Pengarang lain yang melangkah lebih jauh dalam menentang adat kuno mengenai
perkawinan dalam roman-romannya adalah Adinegoro, nama samara Djamaludin (1904-
1966). Dia menulis dua roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Dalam
kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya
memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu. Nurdin seorang pemuda
Munangkabau dalam Darah Muda bahka menikah dengan Rukmini gadis pilihan dirinya
sendiri. Pernikahan seperti itu belum pernah dikemukakan orang dalam roman Indonesia
sebelumnnya. Dalam roman Asmara Jaya pernikahan antara suku yang berdasarkan cinta
bahkan dapat pula mengisyafkan kekerasan hati dan kesempitan pandangan kaum tua,
akhirnya orangtua yang berani kawin dengan gadis Sunda.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalam pernikahan anaknya
terdapat pula dalam berbagai roman lain terbitan Balai Pustaka pada tahun 20-an. Misalnya
dalam roman berjudul Karam dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora
pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur
Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah
Iskandar, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20-an ialah Salah
Asuhan 1928 buah tangan Abdul Muis 1886-1959. Dalam roman itu pengarangnya lebih
realistis, yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum
muda dan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok
putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-
keburukan yang terdapat pada kedua blok itu, yang menjadi masalah bagi pengarang yang
aktif dalam pergerakan kebangsaan sejak Indische Partij (tahun belasan) itu ialah akibat-
akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk kedalam tubuh anak-anak
bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda. Hanafi, tokoh utamanya ialah
pemuda Minangkabau yang karena pendidikannya merasa martabatnya lebih tinggi daripada
bangsanya sendiri, mengikuti nafsu dan cintanya kawin dengan Corrie, seorang gadis Indo,
untuk mana ia sampai menyia-nyiakan istri dan ibunya sendiri, tetapi dalam perkawinan
dengan Corrie itu ia tidak menemukan kebahagiaan seperti yang diangan-angankan.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam Syarikat islam pernah mendapat
hukuman dari pemerintah jajahan Belanda. Ia seorang minangkabau yang pergi merantau ke
Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah periangan sampai meninggal. Selain
menulis Salah Asuhan, Ia pun menulis pertemuan Jodoh 1933, juga sebuah roman percintaan

9
yang bertendensi sosial. Sehabis perang ia menulis roman berdasarkan sejarah yakni, Surapati
1950 dan Robet Anak Surapati 1953. Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan
melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain tidak ada yang mengatasi
Salah Asuhan nilainya.

10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Angkatan 20 (Balai Pustaka)


Pendirian Angkatan Balai Pustaka pada tahun 1917 atas inisiatif Pemerintah Belanda
di Indonesia (sebagai negeri jajahan). Bisa dikatakan bahwa hasil karya sastra dalam
angkatan ini merupakan cikal bakal lahirnya sastra Indonesia. Bahkan roman-roman yang
bentuk pada zaman tersebut masih akrab sampai sekarang. Khusus Siti Nurbaya dianggap
sebagai roman terbaik angkatan Balai Pustaka meskipun banyak roman yang bertemakan
kawin paksa tetapi didalamnya tersirat rasa nasionalisme, karena dalam cerita Siti Nurbaya
tidak mau bekerjasama dengan Belanda dan Datuk Maringgih merupakan tokoh Anti-Belanda
baginya ia bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.
Melalui cerita ini kita dapat mengetahui bahwa pada zaman itu kaum perempuan
masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari
keluarga kaya ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal
tersebut karena anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, perempuan cukup
mengandi kepada suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu ada tradisi adat masih
sangat kuat sehingga siapa saja yang melanggar akan menjadi bahan pembicaraan di
masyarakat.

3.2 Detail dan Ciri Angkatan Balai Pustaka

Nama penerbit Balai Pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar
Indonesia karena sekarang balai pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak
memproduksi berbagai jenis buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun,
kalau dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk
Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat (commissie voor de inlandsche school en
volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial belanda pada 14 september 1908. Jelas
bahwa badan penerbit itu merupakan organ pemerintah colonial yang semangatnya boleh
dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi
komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu
maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian aatau telaah sejarah sastra
Indonesia.
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan arti Balai
Pustaka selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan

11
redaksi, pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian
sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan
pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan
pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka
ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern,
atau justru dilupakan saja karena berjejak colonial.
Ciri-ciri umum roman angkatan balai pustaka.
1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah
tertentu, khususnya Sumatra barat.
2. Bersifat romantik-sentimental, karena ternyata banyak roman yang mematikan tokoh-
tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
3. Bergaya bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi Balai Pustaka, sehingga gaya
bahasanya tidak berkembang.
4. Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik,
watak, agama, dan lain-lain.

12
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pendirian Angkatan Balai Pustaka pada tahun 1917 atas inisiatif Pemerintah Belanda
di Indonesia (sebagai negeri jajahan). Bisa dikatakan bahwa hasil karya sastra dalam
angkatan ini merupakan cikal bakal lahirnya sastra Indonesia. Bahkan roman-roman yang
bentuk pada zaman tersebut masih akrab sampai sekarang. Khusus Siti Nurbaya dianggap
sebagai roman terbaik angkatan Balai Pustaka meskipun banyak roman yang bertemakan
kawin paksa tetapi didalamnya tersirat rasa nasionalisme, karena dalam cerita Siti Nurbaya
tidak mau bekerjasama dengan Belanda dan Datuk Maringgih merupakan tokoh Anti-Belanda
baginya ia bebas menentukan jalan hidupnya sendiri.
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan arti Balai
Pustaka selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan
redaksi, pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian
sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan
pengkajian berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan
pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka
ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern,
atau justru dilupakan saja karena berjejak colonial.

4.2 Saran

Melihat perjuangan panjang sastrawan di Indonesia penulis berharap sejarah dan


perkembangan dimasa lampau tidak akan terlupakan walaupun zaman semakin maju. Dari
semua karya yang dihasilkan oleh sastrawan bisa digunakan sebagai acuan dalam penulisan
karya sastra. Dalam setiap periode tentunya akan mengalami perubahan dari cara penulisan
dan mempunyai beragam tema yang hendak ditulis.

13
DAFTAR PUSTAKA

Junus, F,.A. 2016. Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia. Makassar: Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar.
Prof. Drs. H. Sarwadi. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media
Rosidi, A. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya
Sulaiman, Febrianto P,. T. 2017. Penyusunan Peta Sastra Melalui Penelusuran Jejak Sastra
Indonesia Sebagai Identitas Bangsa yang Berkarakter. Masyarakat,Kebudayaan dan
Politik (2):121-132.

14

Anda mungkin juga menyukai