(Burhan Nurgiyantoro)
DAN
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesempatan dalam menyelesaikan laporan ini, sehingga kritik jurnal (Critical Journal
Review) ini dapat diselesaikan tepat waktu. Terima kasih saya ucapkan kepada Ibuk Fitriani
Lubis, S.Pd., M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pengajaran sastra Anak yang telah
membimbing kami mahasiswa semester empat.
Dalam makalah ini saya akan membahas dua jurnal miik Buran Nurgiyantoro yaitu
“Sastra Anak di Usia Dini dan Literasi” serta “Sastra Anak dan Pembentukan Karakter”
Selaku manusia biasa, saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja. Oleh karena itu saya sangat membutuhkan
kritik dan saran terhadap makalah ini. Saya harap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Khususnya pada matakuliah Pengajaran Sastra Anak ini.
A. Jurnal 1 …………………………………………………….....
B. Jurnal 2 …………………………………………………….…
A. Kesimpulan ……………………………………………………….
B. Saran ……………………………………………………….
PENDAHULUAN
C. Manfaat CJR
Bermanfaat untuk menambah wawasan tentang Sastra anak pada usia dini
serta pembentukan karakter, mengetahui informasi yang terdapat dalam jurnal.
Meningkatkan kemampuan penulis untuk membandingkan atau mengkrtisi jurnal
yang berbeda. Serta mengembangkan pengetahuan mengenai gaya kepemimpinan.
D. Identitas artikel dan journal yang direview
a) Jurnal 1
Aspek Keterangan
Judul
SASTRA ANAK DI USIA DINI DAN LITERASI
b) Jurnal 2
Aspek Keterangan
Judul
SASTRA ANAK DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
A. Jurnal 1
1. PENDAHULUAN
Sastra anak terdiri atas berbagai genre dan dapat berwujud lisan dan tulisan. Ia
membentang dari lagu-lagu ninabobo, puisi lagu, tembang-tembang dolanan, huruf-
huruf, buku-buku bergambar, sampai berbagai cerita petualangan yang khas anak dan
berbagai cerita tradisional.
Sastra lisan digunakan sebagai sarana untuk memberikan dan atau
memperoleh hiburan, serta dapat memperkenalkan kepada anak sejak mereka belum
tahu apa-apa dan sedang “diperkenalkan” kepada anak sejak mereka belum tahu apa-
apa dan sedang “belajar” mengenal dunia di sekelilingnya. Sastra tulis dapat mulai
diberikan secara tidak langsung setelah anak berusia satu setangah atau dua tahun.
Sastra adalah sesuatu yang menarik, yang memberi hiburan, yang mampu
untuk menanamkan dan memupuk rasa keindahan, maka sastra haruslah sudah
diperkenalkan kepada anak sejak dini. Persoalannya adala bagaimana memili bacaan
yang memiliki karakteristik yang dapat dinyatakan sebagai sastra anak? Untuk
menjawab masalah tersebut, Saxby (1991:14) mengemukakan bahwa sastra anak
adalah buku bacaan yang berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan aspek
emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan siekspresikan
dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipaami oleh
pembaca anak-anak.
Istilah literasi itu sendiri sebagaimana ditunjukkan oleh Barton pada tahun 1994
sebenarnya mempunyai makna yang beragam, dan salah satu makna yang kemudian
dapat diberikan kepadanya adalah "being able to read and write", kemampuan untuk
membaca dan menulis (Barton, 1994:20). Dalam istilah lain, literasi dapat dipahami
sebagai melek huruf, kemelekanhurufan, mengenal tulisan, dan dapat membaca dan
menulis.
Kemampuan literasi tidak akan dicapai tanpa usaha secara sadar dan terencana.
Untuk itu, agar anak dapat dengan cepat mengenal huruf-huruf membedakan antara
huruf yang satu dengan yang lain, dan akhirnya benar-benar dapat membaca,
pengenalan literasi haruslah dilakukan dengan perencanaan yang baik dilakukan dengan
benar dan terus-menerus. Namun lebih dari itu, contoh yang dilakukan orang tua
dengan biasa membaca buku, sekali lagi, juga berperan penting karena anak akan
memahami bahwa kebiasaan itu sebagai tingkah laku budaya yang seharusnya memang
harus dilakukan.
Sebenarnya ada banyak jenis buku yang sengaja dirancang sebagai bacaan anak
di usia dini yang antara lain adalah buku alfabet, buku berhitung, buku konsep, dan
buku gambar tanpa kata.
1. Buku Alfabet
Buku alfabet (alphabet books) sering juga disebut sebagai buku ABC (ABC
Books). Buku alfabet adalah buku yang dipergunakan untuk memperkenalkan,
mengajarkan, dan atau mengidentifikasi huruf-huruf secara sendiri-sendiri khususnya
setelah anak mulai belajar membaca dan menulis (Huck, dkk, 1987:163). Perkenalkan
huruf-huruf tersebut pada umumnya tidak secara langsung dilakukan dengan
menunjukkan huruf-huruf tertentu, melainkan lewat gambar-gambar tertentu misalnya
berbagai jenis binatang atau objek objek tertentu yang telah dikenal oleh anak. Tulisan
gambar-gambar tersebut dimulai dengan huruf-huruf tertentu yang akan dikenalkan.
Atau, huruf-huruf awal pada nama-nama binatang dan atau objek itulah yang mendapat
penekanan. Jadi, dengan membaca nama-nama gambar tersebut pada hakikatnya nya
kita mengajarkan kepada anak untuk mengeja dan mengenali huruf a, b, c dan
seterusnya.
Huruf-huruf dalam sebuah alfabet hanya lambang bunyi karena hakikat bahasa
adalah sistem bunyi. Untuk itu, dalam pengenalan huruf-huruf dalam rangka literasi,
pengenalan hubungan huruf dengan bunyi yang dilambangkan menjadi tidak kalah
pentingnya. Usaha pengenalan awal anak usia prasekolah atau awal sekolah pada
literasi, pada huruf-huruf, tetapi sebaiknya diberikan bersamaan dengan gambar-
gambar tertentu yang sudah dikenal atau yang sengaja akan dikenalkan kepada anak.
Misalnya, gambar ayam, monyet, lembu, kucing, buaya, ikan, rumah dan lain-lain
disertai tukisan mengenai nama-nama binatang tersebut.
Ada sejumlah buku yang dapat dikategorikan sebagai buku alfabet tetapi
memiliki perbedaan perbedaan yang disebabkan oleh berbagai hal seperti bentuk
gambar hubungan gambar dan tulisan struktur organisasi untuk mengkreasikan tulisan,
dan lain-lain termasuk pengarang buku alfabet itu sendiri titik yang cukup bervariasi
baik gambar maupun tulisan yang membentang dari gambar dan tulisan yang sederhana
ke yang lebih kompleks dan berbau abstrakt. Stewig (1980:6-82) membedakan buku
alfabet dalam tiga kategori, yaitu buku yang berjenis atau berisi gambar-topik (related-
topic books), gambar pusparagam (popourri books), dan gambar-cerita (sequimental-
story books). Dipihak lain, Huck, dkk (1987:8-163) membedakan jenis buku ke dalam
empat kategori, yaitu buku gambar-identifikasi (word-picture formats, word-picture
identification), buku cerita singkat (simple narratives), teka-teki (riddles or puzzles),
dan buku-buku topik (topical themes).
Buku-buku tersebut biasanya dalam suatu halaman berisi satu gambar dengan
satu kata, satu huruf, atau satu kata dan satu huruf awal penekanan. Gambar-gambar
yang dipajang dapat berupa Gambar apa saja baik yang sudah dikenal oleh anak
maupun yang belum dan akan diperkenalkan, misalnya gambar binatang, objek-objek
di sekitar kita seperti baju, celana, rumah, peralatan rumah tangga, dedaunan, bunga,
anggota keluarga, dan lain-lain. Namun, gambar yang paling banyak dijumpai
tampaknya adalah gambar-gambar binatang, misalnya buku alfabet yang berjudul ABC
Binatang , Mewarnai Sambil Belajar Abad (K. A. Tandiono), atau belajar bersama
ABC (Angela Mills).
Belajar huruf dan mewarnai gambar. Dewasa ini banyak beredar buku
alfabet yang terdiri atas gambar dan kata dengan sekaligus menawarkan keasyikan
kepada anak yaitu mewarnai gambar-gambar yang disajikan. Gambar yang diberikan
untuk 1 binatang atau objek ada dua macam yaitu satu gambar berwarna dan satu
dengan garis-garis hitam dan anak juga diajak untuk mewarnai gambar-gambar itu
sesuai dengan contoh gambar yang berwarna.
Gambar dan huruf-kata dua bahasa. Selain itu, kini juga banyak dijumpai
buku alfabet yang tidak hanya mengenalkan huruf dan kata, melainkan juga pada kata
tanya dalam bahasa Inggris. Jadi, kata-kata identifikasi untuk sebuah gambar itu ditulis
dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris, atau sebaliknya Inggris dan Indonesia.
Gambar dan kata konsep. Lewat gambar-gambar, buku alfabet juga dapat
dimanfaatkan untuk mengenalkan kata yang mengandung konsep tertentu misalnya
konsep pertentangan atau lawan kata seperti besar kecil tinggi rendah panjang pendek,
gemuk kurus, di atas di bawah, dan lain-lain. Itu dimaksud untuk, gambar yang
ditampilkan mesti dua macam dengan masing-masing mengandung konsep yang
dimaksud, dan di atas atau di samping tiap gambar itu diberi tulisan kata konsep itu.
2. Buku Berhitung
Buku berhitung (counting books) adalah buku lain yang juga biasa
dipergunakan untuk literasi awal pada anak usia pra sekolah atau sekolah di kelas awal,
yaitu mulai Usia sekitar 3 tahun. Buku berhitung mirip dengan buku alfabet yaitu sama-
sama mengenal dan belajar kan sesuatu lewat gambar-gambar yang sesuai jelas dan
menarik.
Analog dengan buku alfabet, buku berhitung sebenarnya juga bertujuan untuk
mengenal dan belajar kan anak terhadap dua hal: literasi visual dan literasi angka.
Kemampuan anak untuk ber literasi visual penting sebab dengan kemampuan itu
selanjutnya anak diharapkan mampu berliterasi angka titik Dalam hal ini boleh
dikatakan bahwa literasi angka dan konsep angka tersebut diprasyarat oleh kemampuan
visual.
Buku berhitung juga membentang dari yang sederhana ke yang lebih kompleks
sesuai dengan usia anak yang menjadi sasaran pembacanya. Misalnya, dalam suatu
kesatuan gambar hitung terdapat beberapa gambar yang jumlahnya dan ukurannya
berbeda dan anak diminta untuk mengenali dan menghitung jumlah objek masing-
masing gambar itu.
Gambar dan mewarnai jumlah gambar. Dalam buku jenis ini, sebagaimana
dikemukakan, menawarkan dua macam kegiatan, yaitu menghitung jumlah gambar dan
kemudian mewarnai gambar lain sebanyak hitungan angka gambar titik antara gambar
yang dihitung dengan gambar yang diwarnai tepat bersebelahan kiri dan kanan.
D. PENUTUP
Dewasa ini masyarakat Indonesia, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen,
dan berbagai profesi anggota masyarakat yang lain pada umumnya dihinggapi penyakit
malas membaca. Padahal semua orang menyadari betapa pentingnya membaca bagi
kehidupan di era modern dan globalisasi untuk mengatasi keadaan itu, pembentukan
karakter dan budaya membaca dan menulis harus sudah secara intensif dilakukan sejak
anak balita agar terjadi proses internalisasi tentang budaya literasi di dalam diri anak-
anak. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan buku-buku
sastra anak di usia awal yang sengaja dirancang untuk maksud itu.
B. Jurnal 2
PENDAHULUAN
Istilah "kita hidup dikelilingi sastra" dipinjam dari Lakoff & Johnson (1980)
yang menulis buku Metaphors We Live bisa. Pada intinya, Lakoff dan Johnson
menunjukkan adanya dan pentingnya metafora dalam kehidupan manusia titik dalam
kehidupan sehari-hari dalam berbagai aktivitasnya, manusia tidak dapat melepaskan
diri dari bermetafora, berbicara dan bahkan berpikir dengan menggunakan berbagai
metafora titik misalnya, kata-kata yang sudah amat biasa didengar dalam pembicaraan
sehari-hari seperti "jatuh cinta, patah hati, patah semangat, patah arah, keras kepala,
berhati baja, ujian sudah diambang pintu, Gantungkan cita-cita setinggi langit, menjadi
batu sandungan", dan lain-lain tidak lain adalah bentuk-bentuk metafora.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan sastra, khususnya sastra anak.
Kita sering tidak menyadari bahwa berbagai hal dan aktivitas yang kita lakukan atau
dilakukan orang lain juga oleh anak-anak, adalah bernuansa bersastra. Maka, tiga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya kita hidup di kelilingi sastra (anak). Ada
berbagai contoh keadaan dan aktivitas yang menunjukkan kondisi dan aktivitas
bersastra anak di sekeliling kehidupan keseharian kita. Dilihat dari keadaan yang
demikian sebenarnya sastra anak merupakan sesuatu yang amat kita akrabi dan
sekaligus dapat dijadikan sarana strategis untuk menanamkan dan mengembangkan
berbagai nilai yang ingin kita wariskan kepada anak yang bertujuan untuk pembentukan
karakter.
Cakupan sastra anak membentang luas sekali atau yang lazim dikenal sebagai
genre bahkan melebihi cakupan sastra dewasa. Ia bersifat lisan tertulis, bahkan juga
aktivitas kritik sastra lisan dapat berupa cerita si ibu kepada anaknya, ibu guru kepada
murid murid murid murid SD kelas awal nya, nyanyian, tembang-tembang dolanan,
renggeng-renggeng lagu Nina Bobo dan lain-lain.
Jadi, apa itu sastra anak? Sastra anak adalah citraan dan atau metafora
kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi perasaan
pikiran, saraf sensorik maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk
bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak
(Saxby, 1991:4).
Dalam kaitan manfaat sastra tampaknya hampir semua pembicara dan pecinta
kesastraan suka berpromosi bahwa karya sastra mempunyai peran yang penting yang
vital dalam hidup dunia pendidikan. Peran sastra bagi kehidupan manusia atau aspek
pragmatik kesastraan bagi kehidupan manusia secara sederhana tetapi mengandung
makna yang dalam, telah dikemukakan oleh horatius dengan istilah sweet and usefull
atau nikmat yang bermanfaat.
Sastra mempunyai peran sebagai salah satu alat pendidikan yang seharusnya
dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, dan dalam penulisan ini dapat difokuskan pada
peran dalam usaha untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak peran
sebagai character building artinya dapat sastra diyakini mempunyai andil yang tidak
kecil dalam usaha pembentukan dan pengembangan kepribadian anak. Bukan ajaran
tentang etika dan moral walau di dalamnya terkandung perilaku etika moral yang
diidealkan sebagaimana yang dimodelkan oleh tokoh cerita. Bukan pelajaran agama
atau budi pekerti walau di dalamnya terkandung prinsip kehidupan dan perilaku agamis
sebagaimana yang diperani oleh tokoh cerita. Sastra adalah model kehidupan berbudaya
dalam tindak, dalam sikap dan tingkah laku tokoh bukan dalam konsep.
Jika belajar dari berbagai teks kesastraan leeat kegiatan membaca, memahami,
merenungkan, kita ajan menemukan fakta bahwa berbagai konsep tentang kehidupan
yang berkarakter, bermartabat, yang memenuhi idealisme bertingkah laku, hampir
semuanya dalam bentuk sikap dan tingkah laku.
Sastra anak khususnya yang berupa cerita (fiksi, dongeng, fabel, biografi,
sejarah) menampilkan model kehidupan dengan mengangkat tokoh-tokoh cerita sebagai
pelaku kehidupan itu. Sebagai seorang manusia tokoh-tokoh tersebut dibekali sifat, dan
seorang manusia biasa.
Sekali lagi sastra adalah budaya dalam tindak; budaya Dalam pengertian yang
luas tetapi kesemuanya mencerminkan nilai-nilai luhur yang menjanjikan sebagai
manusia berkarakter dan bermartabat bagi yang secara ikhlas menerapkannya dan sikap
hidup dan perilaku keseharian. Sastra menyajikan model kehidupan dengan tokoh-
tokoh berkarakter yang pantas diteladani. Jika mendengar atau membaca cerita dengan
menampilkan oposisi Tokoh baik dan jahat, semua orang tidak terkecuali anak-anak,
akan memilih tokoh yang baik tokoh yang menjadi Hero. Mereka ingin dapat
berkarakter seperti tokoh heronya dan antipati kepada tokoh antagonis yang berbuat
jahat yang tidak pantas ditiru.
Namun rumah anak-anak tidak secara otomatis mengerti itu semua. Maka
mereka harus dimengerti kan, disadarkan, dilatih dan dibiasakan serta secara konkret
diminta untuk menjalankan hal-hal yang baik sebagaimana dilakukan tokoh Hero.
Pengalaman yang mengesankan ketika orang masih bocah banyak yang tidak
Terlupakan ketika mereka telah menjadi dewasa dan bahkan sudah tua titik pengalaman
menarik bermakna signifikan itu bahkan semakin romantis ketika diucapkan kembali
ketika orang sudah tua.
Kita harus menyadari bahwa perilaku buruk lebih mudah diterima anak-anak
walau tanpa diajarkan Titik maka, contoh-contoh sikap dan perilaku baik yang
ditampilkan para tokoh cerita itu harus selesai secara rutin diberikan, diajarkan
dilatihkan, namun ada juga yang dilarang untuk dilakukan dan kesemuanya itu diamati
secara terus menerus di sekolah dan di rumah anak-anak tidak hanya diajari apa yang
harus dan boleh dilakukan tetapi juga apa yang tidak boleh dilakukan.
Dewasa ini di masyarakat terlihat begitu banyak orang yang melanggar hukum
Padahal kita pasti tahu bahwa mereka para pelanggar itu juga mengetahui perbuatannya
itu melanggar hukum. Keadaan tersebut menunjukkan juga bahwa pembelajaran moral
baru sampai sebatas dipahami atau dimengerti secara intelektual kognitif dan belum
menjadi sikap yang menjadi bagian jiwanya yang kemudian terjemah dalam perilaku
perbuatan perilaku seseorang tidak lain adalah manifestasi konkret sikapnya terhadap
nilai perbuatan dan perilakunya itu. Ranah sikap afektif yang berada di dalam jiwa sana
yang oleh Agustian (2009:42) disebut sebagai inner Territory akan menjadi motor
penggerak atau sebaliknya penghalang terhadap suatu perbuatan tergantung penilaian
orang sikap seseorang apakah perbuatan itu baik atau sebaliknya melanggar aturan.
Muara akhir pembelajaran sastra, apalagi sastra anak, dan hal ini haruslah
dimengerti oleh ibu guru, si Ibu, kita, adalah afektif, adalah pembentukan kepribadian
anak baik secara langsung maupun tidak langsung, dan bukan kognitif. Hal itu
mengisyaratkan bahwa sastra berfungsi membentuk sikap karakter atau kepribadian
karakter yang menempatkan nilai-nilai Luhur dalam posisi penting dan diutamakan
dalam diri pribadinya.
PENUTUP
Sastra hadir ke hadapan kita, anak-anak, atau komunitas yang lain pertama-tama
adalah untuk menghibur, memberikan kesenangan, sehingga setelah membacanya, atau
dibacakan atau diceritakan kepada anak-anak yang belum dapat membaca, orang
menjadi terpuaskan dan mengalami katarsis. Sastra bukanlah ajaran moral sebagai
pelajaran agama dan budi pekerti namun di dalamnya terdapat sikap dan perilaku moral
dan etika. Pembelajaran sastra yang secara alamiah menyenangkan itu tidak benar jika
diubah menjadi pelajaran tentang moral dan etika yang lebih condong ke intelektualistis
kognitif.
BAB III
PEMBAHASAN/ANALISIS
A. Simpulan
Dewasa ini masyarakat Indonesia, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, dan
berbagai profesi anggota masyarakat yang lain pada umumnya dihinggapi penyakit
malas membaca. Padahal semua orang menyadari betapa pentingnya membaca bagi
kehidupan di era modern dan globalisasi untuk mengatasi keadaan itu, pembentukan
karakter dan budaya membaca dan menulis harus sudah secara intensif dilakukan
sejak anak balita agar terjadi proses internalisasi tentang budaya literasi di dalam diri
anak-anak. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan buku-
buku sastra anak di usia awal yang sengaja dirancang untuk maksud itu.
Sastra hadir ke hadapan kita, anak-anak, atau komunitas yang lain pertama-tama
adalah untuk menghibur, memberikan kesenangan, sehingga setelah membacanya,
atau dibacakan atau diceritakan kepada anak-anak yang belum dapat membaca, orang
menjadi terpuaskan dan mengalami katarsis. Sastra bukanlah ajaran moral sebagai
pelajaran agama dan budi pekerti namun di dalamnya terdapat sikap dan perilaku
moral dan etika. Pembelajaran sastra yang secara alamiah menyenangkan itu tidak
benar jika diubah menjadi pelajaran tentang moral dan etika yang lebih condong ke
intelektualistis kognitif.
B. Saran
saya harap artikel-artikel sejenis ini semakin banyak jumlanya, dan dapat
disebarluaskan. Sehingga masyarakat semakin sadar akan pentingnya sastra anak.
Saya harap pembaca laporan ini dapat memberikan kritik dan sarannya untuk
kemajuan penulis dalam menulis laporan semakin baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak di Usia Awal dan Literasi. Vol. 12, No. 1. Hal 71-
93
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak dan Pembentukan Karakter. Hal 25-40.