Anda di halaman 1dari 21

Critical Journal Review

SASTRA ANAK DI USIA AWAL DAN LITERASI

(Burhan Nurgiyantoro)

DAN

SASTRA ANAK DAN PEMBENTUKAN KARAKTER


(Burhan Nurgiyantoro)

NAMA MAHASISWA : DEWI MEIZAR MUSTIKA


NIM : 2183111067
DOSEN PENGAMPU : Fitriani Lubis, S.Pd., M.Pd.
MATA KULIAH : Pengajaran Sastra Anak

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MARET 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesempatan dalam menyelesaikan laporan ini, sehingga kritik jurnal (Critical Journal
Review) ini dapat diselesaikan tepat waktu. Terima kasih saya ucapkan kepada Ibuk Fitriani
Lubis, S.Pd., M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pengajaran sastra Anak yang telah
membimbing kami mahasiswa semester empat.

Dalam makalah ini saya akan membahas dua jurnal miik Buran Nurgiyantoro yaitu
“Sastra Anak di Usia Dini dan Literasi” serta “Sastra Anak dan Pembentukan Karakter”

Selaku manusia biasa, saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja. Oleh karena itu saya sangat membutuhkan
kritik dan saran terhadap makalah ini. Saya harap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Khususnya pada matakuliah Pengajaran Sastra Anak ini.

Medan, 19 maret 2020

Dewi Meizar Mustika


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….


DAFTAR ISI ……………………………………………………….
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………….

A. Rasionalisasi pentingnya CJR……………………………………………………….


B. Tujuan penulisan CJR ……………………………………………………….
C. Manfaat CJR ……………………………………………………….
D. Identitas artikel yang ……………………………………………………….

BAB II. RINGKASAN ISI ARTIKEL…………………………………………………...

A. Jurnal 1 …………………………………………………….....
B. Jurnal 2 …………………………………………………….…

BAB III. PEMBAHASAN/ANALISIS………………………………………………….

A. Kelebihan dan kekurangan journal …………………………………………......

BAB IV. PENUTUP ……………………………………………………….

A. Kesimpulan ……………………………………………………….
B. Saran ……………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi pentingnya CJR


Seseorang sering mengalami keraguan dalam memilih journal untuk dibaca,
dipahami serta dipelajari. Karena terdapat pula jurnal-jurnal yang menurut kita
memiliki kekurangan ataupun kelemahan. Misalnya kelemahan dari segi analisis
bahasa, keefektifan kalimat, serta pembahasanya. Oleh karena itu, penulis membuat
Critical Journal Review ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih jurnal
khususnya dalam pokok pembahasan tentang pemilihan bahasa.

B. Tujuan penulisan CJR


Bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pengajaran Sastra Anak
serta membandingkan atau mengkritisi jurnal yang berbeda tentang Sastra Anak
sendiri. Sehingga penulis dapat meningkatkan kemampuan dalam membaca jurnal
serta mengkritisi, dan membandingkan jurnal. Mencari informasi yang terdapat pada
jurnal serta melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan
oleh penulis dalam jurnal yang ditulisnya.

C. Manfaat CJR
Bermanfaat untuk menambah wawasan tentang Sastra anak pada usia dini
serta pembentukan karakter, mengetahui informasi yang terdapat dalam jurnal.
Meningkatkan kemampuan penulis untuk membandingkan atau mengkrtisi jurnal
yang berbeda. Serta mengembangkan pengetahuan mengenai gaya kepemimpinan.
D. Identitas artikel dan journal yang direview
a) Jurnal 1

Aspek Keterangan
Judul
SASTRA ANAK DI USIA DINI DAN LITERASI

Jenis Jurnal Jurnal Diksi


Volume dan
Vol. 12, Nomor 01, Halaman 71-93
Halaman
ISSN -
Tahun Januari 2005
Penulis Burhan Nurgiyantoro
Reviewer Dewi Meizar Mustika
Penerbit FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Kota terbit Yogyakarta

b) Jurnal 2

Aspek Keterangan
Judul
SASTRA ANAK DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

Jenis Jurnal Cakrawala Pendidikan


Volume dan
-
Halaman
ISSN -
Tahun Mei 2020
Penulis Burhan Nurgiyantoro
Reviewer Dewi Meizar Mustika
Penerbit FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Kota terbit Yogyakarta
BAB II

RINGKASAN ISI ARTIKEL

A. Jurnal 1
1. PENDAHULUAN
Sastra anak terdiri atas berbagai genre dan dapat berwujud lisan dan tulisan. Ia
membentang dari lagu-lagu ninabobo, puisi lagu, tembang-tembang dolanan, huruf-
huruf, buku-buku bergambar, sampai berbagai cerita petualangan yang khas anak dan
berbagai cerita tradisional.
Sastra lisan digunakan sebagai sarana untuk memberikan dan atau
memperoleh hiburan, serta dapat memperkenalkan kepada anak sejak mereka belum
tahu apa-apa dan sedang “diperkenalkan” kepada anak sejak mereka belum tahu apa-
apa dan sedang “belajar” mengenal dunia di sekelilingnya. Sastra tulis dapat mulai
diberikan secara tidak langsung setelah anak berusia satu setangah atau dua tahun.
Sastra adalah sesuatu yang menarik, yang memberi hiburan, yang mampu
untuk menanamkan dan memupuk rasa keindahan, maka sastra haruslah sudah
diperkenalkan kepada anak sejak dini. Persoalannya adala bagaimana memili bacaan
yang memiliki karakteristik yang dapat dinyatakan sebagai sastra anak? Untuk
menjawab masalah tersebut, Saxby (1991:14) mengemukakan bahwa sastra anak
adalah buku bacaan yang berada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan aspek
emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan siekspresikan
dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipaami oleh
pembaca anak-anak.

2. SASTRA DAN PENGEMBANGAN LITERASI AWAL

Ketika orang tua menunjukkan gambar-gambar di buku, tulisan-tulisan yang


menyertai gambar-gambar, dan membacakan tulisan-tulisan itu, anak mulai menyadari
bahwa di dalam buku terdapat sesuatu yang menyenangkan. Di dalam diri anak tumbuh
kesadaran bahwa jika dapat membaca tulisan-tulisan itu, ia akan dapat memperoleh
cerita dan atau informasi yang dibutuhkan.

Istilah literasi itu sendiri sebagaimana ditunjukkan oleh Barton pada tahun 1994
sebenarnya mempunyai makna yang beragam, dan salah satu makna yang kemudian
dapat diberikan kepadanya adalah "being able to read and write", kemampuan untuk
membaca dan menulis (Barton, 1994:20). Dalam istilah lain, literasi dapat dipahami
sebagai melek huruf, kemelekanhurufan, mengenal tulisan, dan dapat membaca dan
menulis.

Kemampuan literasi tidak akan dicapai tanpa usaha secara sadar dan terencana.
Untuk itu, agar anak dapat dengan cepat mengenal huruf-huruf membedakan antara
huruf yang satu dengan yang lain, dan akhirnya benar-benar dapat membaca,
pengenalan literasi haruslah dilakukan dengan perencanaan yang baik dilakukan dengan
benar dan terus-menerus. Namun lebih dari itu, contoh yang dilakukan orang tua
dengan biasa membaca buku, sekali lagi, juga berperan penting karena anak akan
memahami bahwa kebiasaan itu sebagai tingkah laku budaya yang seharusnya memang
harus dilakukan.

Buku-buku bacaan yang diberikan kepada anak-anak untuk dibaca haruslah


buku-buku yang sengaja dirancang untuk anak-anak usia persekolahan dan buku-buku
yang umum dipergunakan adalah buku-buku bergambar dengan sedikit tulisan. Selain
masalah waktu yang diperlukan untuk mengajak anak melihat gambar dan membaca
tulisan haruslah cukup katakan Lah sampeyan nak beralih ke aktivitas lain, cara
membacanya harus baik sehingga anak dapat membedakan nama-nama dan tulisan itu
secara jelas namun kesemuanya itu haruslah dilakukan dengan disertai rasa kasih
sayang, kesabaran dan penuh perhatian kepada anak.

C. SASTRA ANAK DI USIA AWAL

Sebenarnya ada banyak jenis buku yang sengaja dirancang sebagai bacaan anak
di usia dini yang antara lain adalah buku alfabet, buku berhitung, buku konsep, dan
buku gambar tanpa kata.

1. Buku Alfabet

Buku alfabet (alphabet books) sering juga disebut sebagai buku ABC (ABC
Books). Buku alfabet adalah buku yang dipergunakan untuk memperkenalkan,
mengajarkan, dan atau mengidentifikasi huruf-huruf secara sendiri-sendiri khususnya
setelah anak mulai belajar membaca dan menulis (Huck, dkk, 1987:163). Perkenalkan
huruf-huruf tersebut pada umumnya tidak secara langsung dilakukan dengan
menunjukkan huruf-huruf tertentu, melainkan lewat gambar-gambar tertentu misalnya
berbagai jenis binatang atau objek objek tertentu yang telah dikenal oleh anak. Tulisan
gambar-gambar tersebut dimulai dengan huruf-huruf tertentu yang akan dikenalkan.
Atau, huruf-huruf awal pada nama-nama binatang dan atau objek itulah yang mendapat
penekanan. Jadi, dengan membaca nama-nama gambar tersebut pada hakikatnya nya
kita mengajarkan kepada anak untuk mengeja dan mengenali huruf a, b, c dan
seterusnya.

a. Tujuan Buku Alfabet

Buku alfabet itu sendiri disusun mula-mula dan terutama untuk


memperkenalkan dan mengajarkan huruf-huruf alfabet kepada anak dalam rangka
pembelajaran literasi. Namun demikian sejumlah buku yang disusun sekaligus juga
untuk menampilkan permainan bahasa, menyampaikan informasi atau topik tertentu,
menyampaikan cerita, atau bahkan juga ada penekanan terhadap aspek visual itu sendiri
(Mitchell, 2003:71).

Sebelumnya, Stewig (1980:76) juga sudah mengemukakan bahwa buku alfabet


dimaksudkan untuk membantu anak membelajarkan huruf, urutan huruf, bentuk huruf,
stile, dan korespondensi antara bunyi dan simbol. Pengenalan huruf merupakan
persyaratan dasar pertama agar anak dapat berliterasi, dapat membaca dan menulis,
dalam tulisan huruf apa pun baik bentuk huruf Latin, Jawa, Arab, maupun yang lain.

Huruf-huruf dalam sebuah alfabet hanya lambang bunyi karena hakikat bahasa
adalah sistem bunyi. Untuk itu, dalam pengenalan huruf-huruf dalam rangka literasi,
pengenalan hubungan huruf dengan bunyi yang dilambangkan menjadi tidak kalah
pentingnya. Usaha pengenalan awal anak usia prasekolah atau awal sekolah pada
literasi, pada huruf-huruf, tetapi sebaiknya diberikan bersamaan dengan gambar-
gambar tertentu yang sudah dikenal atau yang sengaja akan dikenalkan kepada anak.
Misalnya, gambar ayam, monyet, lembu, kucing, buaya, ikan, rumah dan lain-lain
disertai tukisan mengenai nama-nama binatang tersebut.

b. Jenis buku alfabet

Ada sejumlah buku yang dapat dikategorikan sebagai buku alfabet tetapi
memiliki perbedaan perbedaan yang disebabkan oleh berbagai hal seperti bentuk
gambar hubungan gambar dan tulisan struktur organisasi untuk mengkreasikan tulisan,
dan lain-lain termasuk pengarang buku alfabet itu sendiri titik yang cukup bervariasi
baik gambar maupun tulisan yang membentang dari gambar dan tulisan yang sederhana
ke yang lebih kompleks dan berbau abstrakt. Stewig (1980:6-82) membedakan buku
alfabet dalam tiga kategori, yaitu buku yang berjenis atau berisi gambar-topik (related-
topic books), gambar pusparagam (popourri books), dan gambar-cerita (sequimental-
story books). Dipihak lain, Huck, dkk (1987:8-163) membedakan jenis buku ke dalam
empat kategori, yaitu buku gambar-identifikasi (word-picture formats, word-picture
identification), buku cerita singkat (simple narratives), teka-teki (riddles or puzzles),
dan buku-buku topik (topical themes).

Gambar dan huruf-kata. Buku-buku alfabet tersebut banyak dijumpai walau


belum tentu lengkap mencakup ke-3 atau ke-4 jenis pembagian Stewig dan Huck di
atas, dan sebagian diantaranya telah ditunjukkan untuk anak usia berapa tahun buku itu
ditulis.

Buku-buku tersebut biasanya dalam suatu halaman berisi satu gambar dengan
satu kata, satu huruf, atau satu kata dan satu huruf awal penekanan. Gambar-gambar
yang dipajang dapat berupa Gambar apa saja baik yang sudah dikenal oleh anak
maupun yang belum dan akan diperkenalkan, misalnya gambar binatang, objek-objek
di sekitar kita seperti baju, celana, rumah, peralatan rumah tangga, dedaunan, bunga,
anggota keluarga, dan lain-lain. Namun, gambar yang paling banyak dijumpai
tampaknya adalah gambar-gambar binatang, misalnya buku alfabet yang berjudul ABC
Binatang , Mewarnai Sambil Belajar Abad (K. A. Tandiono), atau belajar bersama
ABC (Angela Mills).

Belajar huruf dan mewarnai gambar. Dewasa ini banyak beredar buku
alfabet yang terdiri atas gambar dan kata dengan sekaligus menawarkan keasyikan
kepada anak yaitu mewarnai gambar-gambar yang disajikan. Gambar yang diberikan
untuk 1 binatang atau objek ada dua macam yaitu satu gambar berwarna dan satu
dengan garis-garis hitam dan anak juga diajak untuk mewarnai gambar-gambar itu
sesuai dengan contoh gambar yang berwarna.

Gambar dan huruf-kata dua bahasa. Selain itu, kini juga banyak dijumpai
buku alfabet yang tidak hanya mengenalkan huruf dan kata, melainkan juga pada kata
tanya dalam bahasa Inggris. Jadi, kata-kata identifikasi untuk sebuah gambar itu ditulis
dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris, atau sebaliknya Inggris dan Indonesia.

Gambar dan kata konsep. Lewat gambar-gambar, buku alfabet juga dapat
dimanfaatkan untuk mengenalkan kata yang mengandung konsep tertentu misalnya
konsep pertentangan atau lawan kata seperti besar kecil tinggi rendah panjang pendek,
gemuk kurus, di atas di bawah, dan lain-lain. Itu dimaksud untuk, gambar yang
ditampilkan mesti dua macam dengan masing-masing mengandung konsep yang
dimaksud, dan di atas atau di samping tiap gambar itu diberi tulisan kata konsep itu.

Pencocokan gambar dan kata titik usaha peningkatan kemampuan literasi


gambar dan kata dapat dibuat lebih bervariasi misalnya dengan menampilkan sejumlah
gambar kata misalnya 5 buah. Gambar dan kata tersebut dipisahkan dalam lajur kanan
dan kiri yang di susun secara acak. Anak kemudian diminta untuk menjodohkan
pasangan yang benar antara gambar dan kata tersebut misalnya dengan menarik garis
yang mempertemukan keduanya.

Pencocokan huruf dengan huruf. Kegiatan ini sebagai variasi mencocokkan


gambar dengan kata diatas tetapi tanpa disertai gambar permainan yang dituntut kepada
anak-anak adalah berupa pencocokan huruf yang sama yang sengaja disajikan ke dalam
dua lajur yaitu kiri dan kanan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenal secara lebih
baik dan kritis pada huruf huruf yang sama.

Gambar cerita. Kemampuan literasi gambar diyakini mampu mendorong,


memotivasi, dan meningkatkan literasi literasi verbal anak. Hal itu sudah dapat dimulai
saat anak masih dalam usia dini salah satu jenis buku alfabet juga dapat berupa buku-
buku yang menampilkan gambar-gambar yang mengandung cerita sederhana. Gambar-
gambar yang ditampilkan tentu saja bukan gambar tunggal melainkan ada beberapa
gambar yang merupakan satu kesatuan titik tujuan utama jenis buku ini masih dalam
rangka memperkenalkan huruf dan kata, maka di sebelah gambar itu, di sudut kanan
kiri atau bawah, ada huruf-huruf yang diperkenalkan dan nama binatang atau objek
yang berawal dari huruf itu.

2. Buku Berhitung
Buku berhitung (counting books) adalah buku lain yang juga biasa
dipergunakan untuk literasi awal pada anak usia pra sekolah atau sekolah di kelas awal,
yaitu mulai Usia sekitar 3 tahun. Buku berhitung mirip dengan buku alfabet yaitu sama-
sama mengenal dan belajar kan sesuatu lewat gambar-gambar yang sesuai jelas dan
menarik.

a. Tujuan Buku Berhitung

Jika buku alfabet lebih dimanfaatkan untuk mengenalkan huruf-huruf, buku


berhitung dipergunakan untuk mengenalkan angka-angka kepada anak di usia awal.
Sebagaimana buku alfabet yang mengenalkan huruf dan kata lewat gambar buku
berhitung juga menempuh cara yang sama. 2 mengenalkan angka dan konsep angka
kepada anak lewat gambar-gambar. Jadi, literasi visual gambar-gambar tetap menjadi
sarana utama. Tentu saja ada sedikit perbedaan tekanan antara buku alfabet dan buku
berhitung. Buku alfabet menekankan pembelajaran literasi visual dan verbal sedangkan
buku berhitung pembelajaran literasi visual dan literasi angka.

Buku berhitung dapat dipandang memiliki fungsi yang mirip dengan


pembelajaran angka dan konsep angka lewat benda-benda konkret tersebut. Jika dalam
pembelajaran secara kongkret atau konkret anak dihadapkan kepada benda-benda objek
yang dapat diraba dan dipindah-pindahkan, dalam pembelajaran lewat buku anak hanya
dapat melihat benda dan objek itu dalam bentuk gambar-gambar sambil menunjuk nya.

Analog dengan buku alfabet, buku berhitung sebenarnya juga bertujuan untuk
mengenal dan belajar kan anak terhadap dua hal: literasi visual dan literasi angka.
Kemampuan anak untuk ber literasi visual penting sebab dengan kemampuan itu
selanjutnya anak diharapkan mampu berliterasi angka titik Dalam hal ini boleh
dikatakan bahwa literasi angka dan konsep angka tersebut diprasyarat oleh kemampuan
visual.

b. Jenis Buku Berhitung

Buku berhitung juga membentang dari yang sederhana ke yang lebih kompleks
sesuai dengan usia anak yang menjadi sasaran pembacanya. Misalnya, dalam suatu
kesatuan gambar hitung terdapat beberapa gambar yang jumlahnya dan ukurannya
berbeda dan anak diminta untuk mengenali dan menghitung jumlah objek masing-
masing gambar itu.

Huck, dkk. (1987:71-168) membedakan buku berhitung ke dalam tiga kategori,


yaitu buku-buku yang berisi korespondensi atau lawan satu antara gambar dan angka
(one-to-one correspondence), konsep matematis sederhana yang lain (other simple
Mathematics concepts), dan cerita dan teka-teki (number stories and puzzles).

Gambar dan angka. Buku berhitung jenis ini menampilkan gambar-gambar


dan diikuti dengan tulisan angka serta Huruf angka tersebut. Letak angka dan huruf nya
Cukup jelas dan strategis tetapi tidak mengganggu keindahan gambar-gambar yang
disajikan. Hubungan antara gambar dan angka satu lawan satu, sederhana dan mudah
dipahami titik artinya satu jenis gambar dengan jumlah tertentu untuk mengenalkan
angka dan konsep angka tertentu pula dan itu bersifat jelas dan pasti dengan gambar
yang familiar dan menarik.

Gambar dan mewarnai jumlah gambar. Dalam buku jenis ini, sebagaimana
dikemukakan, menawarkan dua macam kegiatan, yaitu menghitung jumlah gambar dan
kemudian mewarnai gambar lain sebanyak hitungan angka gambar titik antara gambar
yang dihitung dengan gambar yang diwarnai tepat bersebelahan kiri dan kanan.

Gambar dan penjumlahan angka. Gambar dan penjumlahan angka di sini


dimaksudkan sebagai salah satu pengenalan konsep matematika sederhana yang
berwujud penjumlahan. Singkatnya, lewat gambar-gambar ini anak dikenalkan pada
konsep penjumlahan. untuk ini juga perlu ditampilkan dua kelompok gambar baik
untuk gambar yang sama maupun berbeda dan jumlah yang sama ataupun berbeda pula.

Gambar, angka, dan gambar cerita. Buku berhitung model menampilkan


gambar dengan jumlah angka tertentu yang disertai tulisan angka dan huruf kemudian
diikuti gambar lain yang berisi cerita yang mendukung gambar pertama. Gambar
pertama mirip dengan model hubungan gambar dan angka satu lawan satu di atas
sedang gambar kedua di sebelahnya berupa gambar cerita yang berkaitan dengan
gambar pertama. Namun, Prinsip kedua gambar itu sama, yaitu sama-sama
menampilkan jumlah gambar objek tertentu yang secara langsung dan yang lain lewat
gambar cerita.

D. PENUTUP

Dewasa ini masyarakat Indonesia, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen,
dan berbagai profesi anggota masyarakat yang lain pada umumnya dihinggapi penyakit
malas membaca. Padahal semua orang menyadari betapa pentingnya membaca bagi
kehidupan di era modern dan globalisasi untuk mengatasi keadaan itu, pembentukan
karakter dan budaya membaca dan menulis harus sudah secara intensif dilakukan sejak
anak balita agar terjadi proses internalisasi tentang budaya literasi di dalam diri anak-
anak. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan buku-buku
sastra anak di usia awal yang sengaja dirancang untuk maksud itu.

B. Jurnal 2

PENDAHULUAN

Ketika di hadapan kita tersaji berita carut-marutnya kehidupan berbangsa ini


yang tiada habis-habisnya, baik lewat pemberitaan televisi, internet surat kabar,
maupun media massa yang lain, kita mungkin setuju bahwa keadaan itu semua lebih
disebabkan oleh kurang mengena nya pendidikan karakter anak bangsa sebenarnya
masalah masalah kurang baik yang terkait dengan karakter tersebut bukan hanya
dialami oleh bangsa Indonesia melainkan juga bangsa-bangsa lain di dunia. Maka tidak
berlebihan jika masalah pendidikan karakter untuk membentuk karakter merupakan
masalah universal.

Pendidikan karakter dimaksudkan sekaligus sebagai pembentukan karakter.


Usaha pendidikan dan pembentukan karakter yang dimaksud tidak terlepas dari
pendidikan dan penanaman moral atau nilai-nilai kepada peserta didik. Orang pasti
sependapat bahwa ada banyak cara dan bahan yang dapat dikreasikan untuk mendidik,
memupuk dan mengembangkan, serta membentuk karakter peserta didik titik yang
dimaksud adalah proses dan strategi, sedang bahan adalah bahan ajar (baca: mata
pelajaran, pokok bahasan) yang dapat dimuat usaha pendidikan karakter.

Pembicaraan tentang sastra dalam kaitannya dengan pembentukan karakter, atau


mungkin dikatakan pembentukan sikap dan perilaku, telah banyak dilakukan orang.
Bahkan tidak jarang timbul kesan bahwa pembelajaran sastra tidak lain adalah
pembelajaran moral dan atau nilai-nilai. Pembelajaran sastra sekolah, baik di sekolah
dasar dengan peserta didik yang memang masih anak-anak maupun di sekolah
menengah dengan peserta didik yang remaja, lazimnya menjadi bagian pembelajaran
bahasa. Hal itu dapat dipahami karena sarana pengungkapan sastra adalah bahasa.

KITA HIDUP DIKELILINGI SASTRA

Istilah "kita hidup dikelilingi sastra" dipinjam dari Lakoff & Johnson (1980)
yang menulis buku Metaphors We Live bisa. Pada intinya, Lakoff dan Johnson
menunjukkan adanya dan pentingnya metafora dalam kehidupan manusia titik dalam
kehidupan sehari-hari dalam berbagai aktivitasnya, manusia tidak dapat melepaskan
diri dari bermetafora, berbicara dan bahkan berpikir dengan menggunakan berbagai
metafora titik misalnya, kata-kata yang sudah amat biasa didengar dalam pembicaraan
sehari-hari seperti "jatuh cinta, patah hati, patah semangat, patah arah, keras kepala,
berhati baja, ujian sudah diambang pintu, Gantungkan cita-cita setinggi langit, menjadi
batu sandungan", dan lain-lain tidak lain adalah bentuk-bentuk metafora.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan sastra, khususnya sastra anak.
Kita sering tidak menyadari bahwa berbagai hal dan aktivitas yang kita lakukan atau
dilakukan orang lain juga oleh anak-anak, adalah bernuansa bersastra. Maka, tiga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya kita hidup di kelilingi sastra (anak). Ada
berbagai contoh keadaan dan aktivitas yang menunjukkan kondisi dan aktivitas
bersastra anak di sekeliling kehidupan keseharian kita. Dilihat dari keadaan yang
demikian sebenarnya sastra anak merupakan sesuatu yang amat kita akrabi dan
sekaligus dapat dijadikan sarana strategis untuk menanamkan dan mengembangkan
berbagai nilai yang ingin kita wariskan kepada anak yang bertujuan untuk pembentukan
karakter.

Manusia hidup bermasyarakat dikelilingi oleh sastra yang notabene adalah


sebagian warisan leluhur untuk menurunkan nilai-nilai kepada anak-anak yang lahir
kemudian. Ketika anak menonton televisi, program yang paling disukai lazimnya
adalah film kartun ketika anak sudah membaca bacaan yang paling disukai umumnya
adalah komik dan cerita. Komik yang ditampilkan lewat sarana kertas, film kartun
lewat sarana televisi, dan cerita di majalah adalah juga bagian dari sastra anak.

Cakupan sastra anak membentang luas sekali atau yang lazim dikenal sebagai
genre bahkan melebihi cakupan sastra dewasa. Ia bersifat lisan tertulis, bahkan juga
aktivitas kritik sastra lisan dapat berupa cerita si ibu kepada anaknya, ibu guru kepada
murid murid murid murid SD kelas awal nya, nyanyian, tembang-tembang dolanan,
renggeng-renggeng lagu Nina Bobo dan lain-lain.

Jadi, apa itu sastra anak? Sastra anak adalah citraan dan atau metafora
kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi perasaan
pikiran, saraf sensorik maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk
bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak
(Saxby, 1991:4).

MANFAAT SASTRA : SEBUAH PROPAGANDA?

Sejarah kehadiran sastra di masyarakat boleh dikatakan Setua kehadiran


masyarakat itu sendiri di dunia. Sastra dapat dipandang sebagai bagian integral dari
kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkannya. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa sastra muncul karena masyarakat menginginkan legitimasi kehidupan
sosial budayanya, tepatnya legitimasi eksistensi kehidupannya. Walau hal tersebut tidak
dapat dibenarkan semuanya dalam kehidupan dewasa ini keadaan itu terlihat dominan
menandai kehidupan masyarakat masa lampau.

Dalam kaitan manfaat sastra tampaknya hampir semua pembicara dan pecinta
kesastraan suka berpromosi bahwa karya sastra mempunyai peran yang penting yang
vital dalam hidup dunia pendidikan. Peran sastra bagi kehidupan manusia atau aspek
pragmatik kesastraan bagi kehidupan manusia secara sederhana tetapi mengandung
makna yang dalam, telah dikemukakan oleh horatius dengan istilah sweet and usefull
atau nikmat yang bermanfaat.

Sastra memang mampu memberi kesenangan dan kenikmatan, namun di


dalamnya juga terkandung memberi kemanfaatan titik Apa manfaat yang mampu
diberikan oleh sastra? Jawabnya dapat melibatkan berbagai aspek kehidupan yang
menunjang pembentukan karakter peserta didik yang jika sudah dituliskan dapat
menghasilkan sekian tumpuk penelitian, termasuk penelitian skripsi tesis dan disertasi.

Sastra mempunyai peran sebagai salah satu alat pendidikan yang seharusnya
dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, dan dalam penulisan ini dapat difokuskan pada
peran dalam usaha untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak peran
sebagai character building artinya dapat sastra diyakini mempunyai andil yang tidak
kecil dalam usaha pembentukan dan pengembangan kepribadian anak. Bukan ajaran
tentang etika dan moral walau di dalamnya terkandung perilaku etika moral yang
diidealkan sebagaimana yang dimodelkan oleh tokoh cerita. Bukan pelajaran agama
atau budi pekerti walau di dalamnya terkandung prinsip kehidupan dan perilaku agamis
sebagaimana yang diperani oleh tokoh cerita. Sastra adalah model kehidupan berbudaya
dalam tindak, dalam sikap dan tingkah laku tokoh bukan dalam konsep.

Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa karya sastra banyak dipergunakan


sebagai sarana untuk mengajarkan berbagai keperluan hidup, memberikan ajaran moral,
etika kehidupan, Semangat perjuangan mewariskan pandangan hidup, nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya oleh masyarakat serta mempertahankan eksistensi masyarakat
misalnya untuk memberikan semangat juang membela negara para tentara kerajaan
secara rutin membacakan cerita cerita kepahlawanan untuk mendidik seorang putra
mahkota, Raja memerintahkan seorang Petapa mengajarnya dan bertanya memilih
mendidik lewat cerita.
SASTRA BUDAYA DALAM TINDAK

Jika belajar dari berbagai teks kesastraan leeat kegiatan membaca, memahami,
merenungkan, kita ajan menemukan fakta bahwa berbagai konsep tentang kehidupan
yang berkarakter, bermartabat, yang memenuhi idealisme bertingkah laku, hampir
semuanya dalam bentuk sikap dan tingkah laku.

Valdes (1986) menyebutkan sastra merupakan budaya dalam tindak (culture in


action). Artinya, konsep sikap dan perilaku suatu budaya, suatu karakter yang
mencerminkan budaya tertentu atau pandangan hidup tertentu, tidak disampaikan
secara berbal dan abstrak, melainkan dalam sikap dan prilaku yang konkret
sebagaimana terlihat dalam kehidupan keseharian.

Secara teoritis Bloom membedakan adanya Tiga Ranah yang mendominasi


kehidupan manusia yaitu kognitif afektif dan psikomotorik. Namun ketiga karena itu
sebenarnya tidak berada dalam kondisi terpisah dan berdiri sendiri titik sikap dan cara
berpikir yang menganggap ketiganya tidak sejalan hanya menyebabkan tidak kongruen
nya ketiganya dalam sikap dan perilaku hidup keseharian.

Sastra anak khususnya yang berupa cerita (fiksi, dongeng, fabel, biografi,
sejarah) menampilkan model kehidupan dengan mengangkat tokoh-tokoh cerita sebagai
pelaku kehidupan itu. Sebagai seorang manusia tokoh-tokoh tersebut dibekali sifat, dan
seorang manusia biasa.

Karena kemampuannya menciptakan hubungan personal itu karya sastra sering


dianggap jauh lebih bermakna dan menyentuh daripada masalah yang sama yang
dikemukakan dengan cara lain. Membelajarkan anak tentang kedisiplinan kejujuran
tanggung jawab mau mengakui kesalahan, religius dan lain-lain dalam pandangan ini
akan lebih efektif jika disampaikan lewat cerita dengan tokoh yang berkarakter
daripada disampaikan secara langsung dan vulgar.

SASTRA ANAK PENUNJANG KEBIASAAN BERBUAT

Seorang guru SD kelas 1 bercerita atau menyuruh anak-anak membaca sebuah


cerita. cerita anak itu berkisah tentang seorang anak nakal yang biasa mencuri mainan
dan menyakiti temannya. Sudah sering diperingatkan, tetapi ia masih saja suka
melakukannya. Suatu ketika mainan dia sendiri hilang, dan karena dia menuduh kakak
kelasnya yang mencuri, dia pun dihajarnya. Si anak itu menangis tetapi kawannya tidak
mau membantu bahkan tidak menunjukkan rasa simpati Titik maka, anak itu pulang
dengan hati yang sedih. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah singkat itu? Ibu
guru berpesan: "Makanya, anak-anak, kamu jangan suka berbuat seperti anak tersebut.
Ia akan dijauhi oleh kawan-kawannya, lagipula mencuri dan menyakiti orang lain itu
tidak boleh karena berdosa".

Sekali lagi sastra adalah budaya dalam tindak; budaya Dalam pengertian yang
luas tetapi kesemuanya mencerminkan nilai-nilai luhur yang menjanjikan sebagai
manusia berkarakter dan bermartabat bagi yang secara ikhlas menerapkannya dan sikap
hidup dan perilaku keseharian. Sastra menyajikan model kehidupan dengan tokoh-
tokoh berkarakter yang pantas diteladani. Jika mendengar atau membaca cerita dengan
menampilkan oposisi Tokoh baik dan jahat, semua orang tidak terkecuali anak-anak,
akan memilih tokoh yang baik tokoh yang menjadi Hero. Mereka ingin dapat
berkarakter seperti tokoh heronya dan antipati kepada tokoh antagonis yang berbuat
jahat yang tidak pantas ditiru.

Namun rumah anak-anak tidak secara otomatis mengerti itu semua. Maka
mereka harus dimengerti kan, disadarkan, dilatih dan dibiasakan serta secara konkret
diminta untuk menjalankan hal-hal yang baik sebagaimana dilakukan tokoh Hero.
Pengalaman yang mengesankan ketika orang masih bocah banyak yang tidak
Terlupakan ketika mereka telah menjadi dewasa dan bahkan sudah tua titik pengalaman
menarik bermakna signifikan itu bahkan semakin romantis ketika diucapkan kembali
ketika orang sudah tua.

Kita harus menyadari bahwa perilaku buruk lebih mudah diterima anak-anak
walau tanpa diajarkan Titik maka, contoh-contoh sikap dan perilaku baik yang
ditampilkan para tokoh cerita itu harus selesai secara rutin diberikan, diajarkan
dilatihkan, namun ada juga yang dilarang untuk dilakukan dan kesemuanya itu diamati
secara terus menerus di sekolah dan di rumah anak-anak tidak hanya diajari apa yang
harus dan boleh dilakukan tetapi juga apa yang tidak boleh dilakukan.

Dewasa ini di masyarakat terlihat begitu banyak orang yang melanggar hukum
Padahal kita pasti tahu bahwa mereka para pelanggar itu juga mengetahui perbuatannya
itu melanggar hukum. Keadaan tersebut menunjukkan juga bahwa pembelajaran moral
baru sampai sebatas dipahami atau dimengerti secara intelektual kognitif dan belum
menjadi sikap yang menjadi bagian jiwanya yang kemudian terjemah dalam perilaku
perbuatan perilaku seseorang tidak lain adalah manifestasi konkret sikapnya terhadap
nilai perbuatan dan perilakunya itu. Ranah sikap afektif yang berada di dalam jiwa sana
yang oleh Agustian (2009:42) disebut sebagai inner Territory akan menjadi motor
penggerak atau sebaliknya penghalang terhadap suatu perbuatan tergantung penilaian
orang sikap seseorang apakah perbuatan itu baik atau sebaliknya melanggar aturan.

Muara akhir pembelajaran sastra, apalagi sastra anak, dan hal ini haruslah
dimengerti oleh ibu guru, si Ibu, kita, adalah afektif, adalah pembentukan kepribadian
anak baik secara langsung maupun tidak langsung, dan bukan kognitif. Hal itu
mengisyaratkan bahwa sastra berfungsi membentuk sikap karakter atau kepribadian
karakter yang menempatkan nilai-nilai Luhur dalam posisi penting dan diutamakan
dalam diri pribadinya.

PENUTUP

Sastra hadir ke hadapan kita, anak-anak, atau komunitas yang lain pertama-tama
adalah untuk menghibur, memberikan kesenangan, sehingga setelah membacanya, atau
dibacakan atau diceritakan kepada anak-anak yang belum dapat membaca, orang
menjadi terpuaskan dan mengalami katarsis. Sastra bukanlah ajaran moral sebagai
pelajaran agama dan budi pekerti namun di dalamnya terdapat sikap dan perilaku moral
dan etika. Pembelajaran sastra yang secara alamiah menyenangkan itu tidak benar jika
diubah menjadi pelajaran tentang moral dan etika yang lebih condong ke intelektualistis
kognitif.
BAB III
PEMBAHASAN/ANALISIS

A. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal


1. Segi Abstrak
Abstrak jurnal pertama menggunakan bahasa inggris. Merupakan nilai tambah
untuk jurnal ini hanya saja tidak disertai dengan abstrak bahasa indonesianya.
Abstrak jurnal kedua juga menggunakan baasa inggris. Tapi tidak disertai
dengan abstrak yang berbahasa Indonesia.
Tidak ada perbedaan dikedua jurnal, mungkin karena penulisnya juga orang
yang sama.

2. Segi ruang lingkup


Ruang lingkup jurnal pertama membahas tentang pengajaran sastra di usia dini
dalam rangka menamkan nilai budaya literasi sejak usia dini.
Ruang lingkup jurnal kedua membahas tentang adanya sastra anak yang
memiliki pengaruh terhadap karakter seseorang. Lagi-lagi membahas
mengenai sastra yang sudah ada sejak lama atau lebih tepatnya sastra yang ada
sejak awal mula kelahiran.

3. Segi pembahasan atau hasil penelitian


Jurnal pertama membahas megenai sastra anak diusia awal dan literasi. Yang
mengahasilkan sesuatu yaitu bahwasannya sastra yang di ajarkan sejak dini
atau diajarkan sejak anak-anak dan sering kita sebut dengan sastra anak,
sangat berpengaru teradap kemampuan literasi seseorang. Sastra anak yang
diajarkan sejak dini membuat anak itu mengerti atau memahami bahwa literasi
bagian dari budayanya yang harus dilakukan ketika ia dewasa.
Jurnal kedua membahas mengenai sastra anak dan pembentukan karakter.
Yang menghasilkan sesuatu yaitu bawasannya sastra itu sangat berpengaruh
terhadap pembentukan karakter seseorang. Terutama penanaman sejak awal
atau sejak dini melalui sastra anak.

4. Segi penggunaan bahasa


Jurnal pertama menggunakan bahasa yang mudah dipahami, serta menarik
untuk dibaca. Pemilian kata yang tidak terlalu rumit membuat pembaca mudah
untuk memahami.
Jurnal kedua juga menggunakan bahasa yang bagus. Hanya saja sedikit lebihh
rumit untuk dipahami. Untuk saya sendiri membaca jurnal ini lebih untuk
dipahami. Serta tidak menarik perhatian.

5. Segi kelengkapan isi


Kedua jurnal tampaknya tidak memasukkan metode penelitian. Kedua jurnal
lebi banyak bercerita mengenai pembahasan masing-masing.
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Dewasa ini masyarakat Indonesia, mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dosen, dan
berbagai profesi anggota masyarakat yang lain pada umumnya dihinggapi penyakit
malas membaca. Padahal semua orang menyadari betapa pentingnya membaca bagi
kehidupan di era modern dan globalisasi untuk mengatasi keadaan itu, pembentukan
karakter dan budaya membaca dan menulis harus sudah secara intensif dilakukan
sejak anak balita agar terjadi proses internalisasi tentang budaya literasi di dalam diri
anak-anak. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan buku-
buku sastra anak di usia awal yang sengaja dirancang untuk maksud itu.
Sastra hadir ke hadapan kita, anak-anak, atau komunitas yang lain pertama-tama
adalah untuk menghibur, memberikan kesenangan, sehingga setelah membacanya,
atau dibacakan atau diceritakan kepada anak-anak yang belum dapat membaca, orang
menjadi terpuaskan dan mengalami katarsis. Sastra bukanlah ajaran moral sebagai
pelajaran agama dan budi pekerti namun di dalamnya terdapat sikap dan perilaku
moral dan etika. Pembelajaran sastra yang secara alamiah menyenangkan itu tidak
benar jika diubah menjadi pelajaran tentang moral dan etika yang lebih condong ke
intelektualistis kognitif.

B. Saran
saya harap artikel-artikel sejenis ini semakin banyak jumlanya, dan dapat
disebarluaskan. Sehingga masyarakat semakin sadar akan pentingnya sastra anak.
Saya harap pembaca laporan ini dapat memberikan kritik dan sarannya untuk
kemajuan penulis dalam menulis laporan semakin baik lagi
DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak di Usia Awal dan Literasi. Vol. 12, No. 1. Hal 71-
93

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak dan Pembentukan Karakter. Hal 25-40.

Anda mungkin juga menyukai