Anda di halaman 1dari 29

C

MORFOLOGI BAHASA INDONESIA


Buku Mengenai “ MORFOLOGI BAHASA INDONESIA”

NAMA MAHASISWA : Cindy Irene Githa Sihombing


NIM : 2193510017
KELAS : Sastra Indonesia B 2019
DOSEN PENGAMPU : Dr. MALAN LUBIS, M.Hum.
MATA KULIAH : MORFOLOGI

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
EXCECUTIVE SUMMARY

Didalam buku yang saya analisis berjudul “Morfologi Bahasa Indonesia” memberikan
pembahasan materi yang jelas mengenai dasar-dasar dan prinsip morfologi. Topik ini
memberikan dasar yang jelas pada pembaca, literatur-literatur tentang bahasa senantiasa
memberikan penjelasan bagaimana menjadi komunikator dan komunikan yang baik, sikap
dan gaya yang sesuai dengan situasi dan sayarat-syarat bahasa yang baik. Buku ini juga
bertujuan untuk memberikan uraian mengenai hal-hal yang baik tentang bidang morfologi.

Buku-buku dibidang linguistik yang ditulis dalam Bahasa Indonesia belum banyak kita
dapati, kalau kita bandingkan dengan yang ditulis dalam bahasa Asing terutama dalam
Bahasa Inggris. Oleh karena itu perlunya pembaharuan agar bahan bacaan akademisi
termasuk mahasiswa tidak terbatas. Penerbitan buku-buku baru yang telah mengalami
pembaharuan diharapkan dapat digunakan oleh para mahasiswa agar memperdalam
pengetahuan mereka terkhusus dibidang morfologi ini.
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
Critical Book Report tepat pada waktunya.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wahyu Wiji Astuti,.S.Pd,. M.A selaku
dosen pengampu mata kuliah Morfologi Bahasa Indonesia yang merupakan matakuliah
wajib yang diselenggarakan di seluruh Program Studi Sastra Indonesia. Didalamnya
membahas dasar-dasar Stilistika berupa pembekalan mengenai “STILISTIKA” yang
nantinya akan dijadikan bekal mahasiswa/i untuk mengkaji di kehidupan sosial pada
pembahasan matakuliah selanjutnya.

Karena sifatnya membantu, maka seyogyanya mahasiswa/i yang lain dapat melengkapi
makalah ini dengan bahan bacaan materi yang lain sehingga akan membantu dan
memahami materi yang sebelumnya telah disajikan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penyusun nantikan. Semoga pembuatan makalah selanjutnya dapat
lebih baik lagi.

Medan, 18 Mei 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR


Critical Book Report adalah tugas menulis yang mengharuskan kita untuk
meringkas dan mengevaluasi tulisan. Dalam menulis critical jurnal review kita harus
membaca secara seksama dan juga membaca tulisan lain yang serupa agar kita bisa
memberikan tinjauan dan evaluasi yang lebih komprehensif, obyektif dan faktual.
Dengan memperbanyak mengkritisi suatu buku atau jurnal akan melatih cara
berpikir kritis kita terhadap suatu hal tetapi berdasarkan bukti dan analisis yang
mendasar, bukan sekedar mencari kelemahan buku dan menilainya secara sepihak
oleh karena itu diperlukan pemikiran rasional dan logis dalam membandingkan
suatu buku. Adapun dalam penuntasan tugas Critical Book Report ini mahasiswa
dituntut dalam meringkas,menganalisa dan membandingkan serta memberikan
kritik berupa kelebihan dan kelemahan pada suatu buku berdasarkan fakta yang
ada dalam buku tersebut ,sehingga dengan begitu mahasiswa akan menjadi terbiasa
dalam berpikir logis dan kritis serta tanggap terhadap hal-hal yang baru yang
terdapat dalam suatu buku.
Penugasan Critical Book Report  ini juga merupakan bentuk pembiasaan agar
mahasiswa terampil dalam menciptakan ide-ide kreatif dan berpikir secara analitis
sehingga pada saat pembuatan tugas-tugas yang sama mahasiswa pun menjadi
terbiasa serta semakin mahir dalam penyempurnaan tugas tersebut.
Pembuatan tugas Critical Book Report ini juga melatih, menambah, serta
menguatkan pemahaman mahasiswa betapa pentingnya mengkritikalisasi suatu
karya berdasarkan data yang factual.

B. Tujuan Penulisan CBR


a. Menambah Wawasan Pembaca Mengenai bahasa dan Ilmu morfologi
b. Meningkatkan Motivasi Pembaca Dalam Melahirkan Ide Kreatif dalam
menganalisis bahasa-bahasa baru terkait sistem morflogi
c. Menguatkan Pemahaman Kepada Para Pembaca Untuk Dapat Memahami
Mengenai Ilmu Morfologi melalaui Teori – Teori yang ada.

C. Manfaat Penulisan CBR


Manfaat yang dapat disimpulkan pada hal diatas ialah :
1. Bagi Penulis :
a. Untuk Dapat Memenuhi Tugas Mata Kuliah Morfologi Bahasa Indoensia.
b. Melatih Kemampuan Penulis Dalam Mengkritisi Buku.
c. Menumbuhkan Pola Pikir Kreatif  Dalam Membandingkan Buku Yang Satu
Dengan Yang Lain.
2. Bagi Pembaca
a. Mempermudah pembaca mendapatkan inti dari sebuah buku yang telah di
lengkapi dengan ringkasan buku, pembahasan  isi buku, serta kekurangan dan
kelebihan buku tersebut.
b. Menambah wawasan pengetahuan tentang pengertian morfologi, unsur-unsur
dari morfologi , prinsip-prinsip morfologi dan lainnya.

D. Identitas Buku
1. Buku Utama (Pertama)
Judul :
Pengarang :
Penerbit :
Kota Terbit :
Tahun Terbit :
Tebal Buku :

2. Buku Pembanding (Kedua)


Judul :
Pengarang :
Penerbit :
Kota Terbit :
Tahun Terbit :
Tebal Buku :
ISBN :

BAB II
DAFTAR ISI
RINGKASAN ISI BUKU...................................................................................................................................7
A. RINGKASAN BUKU UTAMA (PERTAMA)...............................................................................................7
BAB I. SEJARAH PERKEMBANGAN STILISTIKA...........................................................................7
2.1. Sekilas Perkembangan Stillistika di Dunia Barat...............................................................................7
2.2 Sekilas Perkembangan Stilistika di Indonesia.....................................................................................9
2.3 Stilistika dan Puitika.........................................................................................................................10
BAB II. STILISTIKA DAN SISTEM SASTRA.................................................................................................11
Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa dalam Struktur Karya Bahasa.......................................................11
Gaya Bahasa sebagai Sistem..................................................................................................................12
Gaya Bahasa dan Genre Sastra..............................................................................................................13
Gaya Bahasa Sebagai Energi Proses Kreatif...........................................................................................13
BAB III. PROSES KREATIF, KARYA SASTRA, DAN PERANAN MASYARAKAT PEMBACA.............................13
4.1 Peranan Pengarang sebagai Pencipta..............................................................................................13
Fungsi dan Kedudukan Karya Sastra......................................................................................................14
PERANAN PEMBACA Sebagai Penanggap.............................................................................................15
4.4. Karya Sastra,Periode, dan Aliran.....................................................................................................15
BAB IV. STILISTIKA BAHASA DAN STILISTIKA SASTRA............................................................................16
5.1 Hubugan antara Bahasa dan Sastra.................................................................................................16
Bab V: Stilistika dan Relevansi Teori......................................................................................................17
Bab VI: Stilistika dan Sistem Sosial.........................................................................................................18
Bab VIII: Stilistika dan Analisis Karya Sastra...........................................................................................18
RINGKASAN BUKU PEMBANDING (KEDUA)...........................................................................................21
Bab I : Selayang Pandang Stilistika.........................................................................................................21
Bab II : Sejarah stilistika.........................................................................................................................22
Bab III: Stilistika dan Teori Lain..............................................................................................................22
Bab IV: Stilistika Jenis dan Pendekatan..................................................................................................23
Bab V: Stilistika Gaya Kebahasaan Sastra...............................................................................................23
Aspek Kajian Stilistika Puisi....................................................................................................................24
Aspek Stilistika Puisi.............................................................................................................................24
BAB II.........................................................................................................................................................26
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................................................................26
A. Kesimpulan.......................................................................................................................................26
B. Saran..................................................................................................................................................26
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................26

RINGKASAN ISI BUKU

A. RINGKASAN BUKU UTAMA (PERTAMA)

BAB I. SEJARAH PERKEMBANGAN STILISTIKA

Sejarah perkembangan stilistika dibedakan menjadi dua macam, pertama yang terjadi
didunia barat, kedua bagaimana perkembangan nya sesudah berada di Indonesia. Tidak banyak
informasi yang dapat dikumpulkan terhadap kedua perkembangan tersebut. Seperti disinggung
diatas, keterbatasan literature yang berhasil diperoleh disatu pihak, kurangnya perhatian para
ilmuwan dipihak lain, menyebabkan pembicaraan ini terbatas sebagai bersifat sepintas lalu.

Sejarah perkembangan stilistika menyangkut dua masalah pokok, pertama,


perkembangan stilistika sebagai teori, kedua perkembangan dalam kaitannya engan
penggunaannya dalam karya sastra. Kedua masalah sama pentingnya, dalam praktik
pemahamannya bersifat saling melengkapi. Meskipundemikian dalam rangka menopang
perkembangan sastra Indonesia keseluruhan proses kedualah yang lebih penting sebab proses
inilah yang lebih diperlukan oleh masyarakat, seberapa jauh karya sastra berfungsi untuk
mengetahui peranan masyarakat sebagai latar belakangnya.

2.1. Sekilas Perkembangan Stillistika di Dunia Barat

Sejarah perkembangan stilistika didunia barat tidak bisa dilepaskan dengan sejarah
perkembangan retorika. Secara historis, yang lebih dahulu berkembang adalah retorika. Secara
etimologis retorika berasal dari akar kata rhetor (latin), berarti ahli berpidato. Jadi, retorika
adalah seni dan teori berbicara didepan publik. Dalam pengertian luas retorika diartikan sebagai
seni, tehnik penguasaan sekaligus penggunaan bahasa, baik lisan dan tulisan. Tujuannya bukan
semata-mata melukiskan sifat benda atau gagasan tertentu, melainkan untuk membangkitkan
emosi, mendorong, memengaruhi agar pendengar mengambil sikap tertentu. Atas dasar ciri-ciri
persuasi inilah Hough (1972:1-2) menyimpulkan bahwa asal usul stilistika adalah retorika bukan
puitika.

Barthes (2007:95) membatasi masa keemasan retorika selama dua setengah millennium,
dari zaman Gorgias hingga Napoleon III, sehingga disebut sebagai imperium retorika. Selama
tiga abad sejak Zaman Renaissance dianggap sebagai masa kemunduran. Meskipun demikian ada
sejumlah konsep yang seolah-olah masih bertahan hingga sekarang, seperti pemahaman bahwa
makna tidak tergantung dalam kata-kata, melainkan didlam diri kita, sehingga manusia lain
dianggap sebagai alat ukur segala sesuatu. Langkah pertama adalah menemukan, menganalisis
materi, langkah kedua adalah penyusunan materi, langkah ketiga merupakan ekspresi pikiran,
gagasan melalui bahasa yang tepat, langkah keempat dilakukan dengan cara mengingat,
menghafal, langkah kelima adalah penyajian pidato itu sendiri, dengan suara, sikap, dan cara lain

Dikaitkan dengan langkah kedua, yaitu pidato itu sendiri, retorika klasik dibedakan
menjadi 6 bagian yaitu a) exordium, pembukaan yang harus dikemukakan secara jelas; b)
narration, pernyataan fakta dan kasus; c) divisio, kerangka dasar pembicaraan; d) convirmatio,
argumentasi fakta; e) reputatio, penolakan terhadap fakta yang berlawan; f) peroratio, sebagai
kesimpulan, rangkuman. Barthes (2007:93-94) menunjukkan sejumlah praktik social yang
pernah muncul dibarat yang terjadi sejak abad-5 SM hingga abad ke-19 M, yaitu: a) retorika
sebagai tehnik, sebagai seni persuasi; b) retorika sebagai seni mengajar; c) retorika sebagai ilmu,
sebagai protosains; d) retorika sebagai system moral; e) retorika sebagai praktik social; f)
retorika sebagai macam permainan, parody, dan alusi. Diantara keenam langkah diatas
Aristoteles (Ricour, 1984;9) hanya memasukkan tiga ciri, yaitu, Inventio, elocution, composition.
Gaya bahasa terkandungdalam ciri kedua (elocutio), cara-cara mengemukakan gagasan dengan
tepat.

Dengan adaya potensi retorika sebagai salah satu saran untuk menjadi pemimpin Negara
di satu pihak, mulai diakuinya kebebasan berbicara dipihak yang lain retorika mulai diajarkan
disekolah-sekolah formal. Retorika seolah-olah menyaingi filsafat, retorika sebagai relasi oposisi
dialektika. Menurut Josiah Ober (2001;156) retorika ada dua macam, retorika praktik dan
retorika kritis. Yang pertama dikembangkan oleh orator politik praktis, seperti para insitusi
yudisial, dan legislative di Athena. Kedua merupakan penolakan, dikemukakan oleh para guru
formal. Kedua ide inilah yang pada gilirannya meberikan dasar pemikiran pada Plato dan
Aristoteles. Aristoteles lahir di Stagira, Yunani Utara, tahun 384 SM, nikah dengan Herpyllis
(Losco, 177-178). Paling dikenal dengan gaagasan bahwa manusia adalah binatang politik.

Aristoteles (Shipley, 1962 :342; Ricoeur, 1984 : 7-13) membedakan anatara puitika dan
retorika. Puitika adalah teori sastra dalam kaitannya dengan epic, drama dan lirik. Esensi puisi
adlah imitasi, sedangkan persuasi adalah esensi retorika. Tujuan retorika adalah efektivitas
praktis, sedangkan tujuan puitika adalah keindahan. Dikaitkan dengan subjek kreatornya,
perbedaan tampak pada wacana yang dihasilkan. Apabila subjek creator retorika bertujuan untuk
memepengaruhi pendengar, subjek creator puitika bertujuan untuk melukiskan kehidupan.
Tujuan akhir puitika adalah simulasi spirit dan imajinasi misalnya, dengan cara menghibur,
memikat dan membelokkan perhatian (refraksi). Hubungan antara retorika dengan puitika inilah
yang diaanggap sebagai awal lahirnya gagasan mengenai sastra, sekaligus memposisikan retorika
sebagai gaya, bukan penalaran.
Persuasi ada dua macam, artistic dan non artistic, atau disebut juga saintifik dan non
saintifik. Persuasi artistic lahir melalui kemampuan pembicara sendiri. Non artistic sudah ada
sebelumnya, seperti kesaksian, pengakuan karena penyiksaan, pernjajian tertulis. Di abad
pertama sejak lahirnya agama Kristen reotrika terutama dimanfaatkan untuk khotbah dan
pelaksanaan secara religious lainnya. Fase pertama didukung oleh kuatnya pengaruh agama
Kristen, jadi retorika sebagai bagian integral khotbah di gereja. Sebaliknya, fase kedua dificu
oleh perkembangan ilmu pengetahuan teoritis, adaya kecenderungan cara-cara yang aneh,
sehingga memicu mulai digunakannya stilistika. Diantara gramatika, dialektika, dan retorika
(trivium), yang disebut sebagai subjek fundamental abad pertengahan, retorikalah yang paling
dominan. Gramatika adalah seni berbicara yang tepat, retorika adalah kepandaian mengatakan
sesuatu dengan baik, adaya kaitannya dengan moral, demikian juga denga orator, yang kemudian
berkaitan dengan bahasa sastra. Dialektika adalah logika abad pertengahan.

Retorika modern tidak jauh bergeser dari konsep-konsep retorika klasik. Dengan sedikit
modifikasi, lima prisip dasar retorika klasik diatas tetap dimanfaatka dalam retorika modern.
Retorika modern jelas didominasi oleh bahasa tulis. Menurut North (1990: 339) dikaitkan
dengan retorika klasik, stilistika terkandung dalam elucatio. Perbedaan antara retorika dengan
stilistika yaitu sebagai berikut.

1. Stilistika pada dasarnya memusatkan perhatian pada struktur permukaan teks, pada
umumnya merupakan varian ekspresi leksikal dan sintaktik, sedangkan retorika
menyediakan aturan bagi pengorganisasian wacana secara keseluruhan.
2. Stilistika lebih banyak tertarik terhdap ciri bahasa pengarang individual (jaman).
3. Retorika lebih tertarik terhadap efek wacana atas audiens, sedangkan stilistika lebih
focus pada keunikan tekstual, fase teks pragmatic yang berbeda, seperti resepsi teks
dan produksi teks.

Uraian singkat diatas menunjukkan bahwa sejarah perkembangan stilistika, khususnya


didunia barat dikondisikan, bahkan bahkan didominasi oleh retorika. Oleh karena itulah menurut
Hough (1972;1) genesis stilistika adalah retorika, bukan puitika dengan alasan bahwa tujuannya
adalah persuasi.

2.2 Sekilas Perkembangan Stilistika di Indonesia

Genre sastra seperti sonata, jenis-jenis puisi bebas, cerpen, novel berasal dari barat.
Pengakuan ini tidak mengurangi nilai sastra di Indonesia. Masalah yang penting adalah
bagaimana kita biasa mengemukakannya sehingga bermanfaat bagi kehidupan kita. Ada
pendapat bahwa sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus berbicara mengenai
stilistika. Dalam rangka menemukan sejarah perkembangan stilistika diindonesia dalam
pembicaraan ini menelusuri buku-buku yang dapat di implikasikan baik terhadap gaya bahasa
maupun stilistika itu sendiri.
Buku pertama dalam kaitannya dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah gaya bahasa dan stilistika, tetapi dikaitkan
dengan judulnya yaitu peristiwa bahasa dan peristiwa sastra (1956) dapat disebut bahwa buku
tersebut mewakili study stilistika diindonesia.

Teeuw dalam bukunya yang berjudul tergantung pada kata (1980) menganalisis sepuluh
pusi dari 10 penyair terkenal. Gorys dalam bukunya berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984)
sama sekali tidak menyinggung istilah stilistika tetapi dilihat dari isisnya secara keseluruhan
mengarah pemahaman stilistika.

Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya yang berjudul pengkajian puisi: Analisis Strata
Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik (1987) membagi pembicaraannya menjadi dua,
bagian pertama berjudul “Analisis Strata Norma Puisi”, bagian kedua “Analisis Struktural dan
Semiotik”.

Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993) secara
jelas telah menyinggung makna stilistika, yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam
wacana sastra.

2.3 Stilistika dan Puitika

Medium utama sastra adalah bahasa sehingga keduanya berkaitan tangan erat, tidak bisa
dipisahkan. Dalam genre tertentu, seperti puisi, bahasa buka semata-mata alat melainkan
bertujuan itu sendiri. Meskipun demikian, dalam rangka memperoleh pemahaman secara
maksimal, pembicaraan mengenai bahasa dan sastra harus dipisahkan. Sebagai medium bahasa
adalah fakta kultural dengan hokum positif, seperti penerapan kaidah-kaidah fonologi,
morfologi, dan sintaksis. Dikaitkan dengan bahasa sastra itu sendiri, ada dua pendapat yang
berbeda secara diamental. Pendapat pertama mengatakan bahwa berbeda dengan bahasa sehari-
hari, medium sastra adalah bahasa yang pas. Pendapat kedua mengatakan bahwa bahasa sastra
pada dasarnya sama dengan bahasa sehari-hari. Gaya bahasa yang menjadi unsur pokok utama
untuk mencapai berbagai bentuk keindahan.

Putika berasal dari akar kata poet (penyair). Puitika dikenal sebagai zaman yunani kuno
dibicarakan dalam retorika. Retorika bertujuan mempengaruhi, sedangkan tujuan puitika adalah
keindahan, melukis kehidupan. Pada awalnya puitika diartikan sebagai ilmu yang berkaitan
dengan puisi. Dalam perkembangan puitika tidak terbatas dalam kaitannya dengan puisi
melainkan juga prosa dan drama, genre sastra secara keseluruhan. Menurut Saussure objek utama
linguistic adalah system bahasa sebab merupakan produk social dan konpensional. Bahasa
menjadi bermakna oleh karena dikaitkan oleh system yang dipahami bersama. Salah seorang
tokoh yang paling sering disebut adalah Roman Jakobson (1987:71) dengan mengemukakan 6
fungsi bahasa, yaitu:
1. Emotive
2. Referential
3. Poetic
4. Phatic
5. Metalingual
6. Conative

Diantara keenam fungsi tersebut terpenting adalah fungsi puitika sesuai dengan visiformalisme
dan strukturalisme pada umunya puitika jakobson menganggap karya sastra dapat dipahami dan
dijelaskan terlepas dari latar belakang social yang ada diluar. Sejak awal stilistika jelas
bersumber dari kedua buku penting Aristoteles yaitu Rhetoric dan Poetics. Baik dengan tujuan
untuk memepengaruhi maupun mengemukakan dengan sesuatu yang khas, maka cara yang
dilakukan adalah menggunakan bahasa yang khas, sebagai gaya bahasa.

Perkembangan puitika konkret banyak dipengaruhi oleh linguistik generatif Chomsky


(Fowler, 1987 :184-185) penutur asli memiliki kompetensi linguistic yang didasarkan atas
kekayaan bahasa secara universal yang memungkinkan setiap orang untuk menghasilkan
sejumlah kalimat secara tak terbatas. Puitika adalah cara membaca untuk menemukan prinsip
umum dalam teks tertentu, seperti prinsip yang membedakan antara puisi dengan prosa, cerpen,
dengan novel.

Puitika bahasa dan sastra, termasuk puitika budaya tidak bisa dipisahkan secara jelas.
Disuatu pihak, sastra adalah system sekunder sesudah bahasa. Dengan singkat, medium sastra
adalah bahasa. Pada gilirannya (todorov 1985:12-13) dalam menganalisis timbul hubungan
bertingkat diantara bahasa dan sastra, yaitu : analisis verbal, sitaksis, dan analisis semantic.
Dalam secara perkembangannya jelas terjadi pehaman, perhatian dalam pemakain. Aspek verbal,
sebagai gaya bahasa memperoleh perhatian pada masa kritik baru, modalitas naratif dalam tradisi
morfologi jerman, sudut pandang visi Hendri James. Dalam analisis puitika jelas berkaitan
dengan teori dan metode. Keduanya bahkan sulit dibedakan. Sebgai ilmu, puitika berkaitan
dengan hakikat karya. Sebaliknya, sebagai pemahaman, baik teori maupun metode berkaitan
dengan cara tertentu.

BAB II. STILISTIKA DAN SISTEM SASTRA

Secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:

a. System fisik, seperti jam dan tatasurya


b. System social, seperti kekerabatan dan insitusi
c. System tanda seperti karya sastra dan karya seni pada umumnya.
Sastra terdiri atas berbagai system yang dibedakan menjadi system makro dan mikro yang lebih
dikenal dengan istilah struktur ekstrinsik dan instrinsik. System makro hamper sama dengan
system social melibatkan masyarakat, pengarang sebagai pencipta, karya sastra, pembaca, dan
penerbit. Dalam analisis dibedakan menjadi sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi
sastra. System mikro melibatkan unsur-unsur dalam karya sastra itu sendiri, seperti tema,
insiden,plot, tokoh, sudut pandang.

Fungsi dan Kedudukan Gaya Bahasa dalam Struktur Karya Bahasa

Piaget (1973:1-16), sacara jelas menyebutkan struktur terdiri atas keseluruhan,


tranformasi, regulasi diri. Susunan inilah yang disebut sebgai struktur yang otonom sebab tidak
memerlukan hal yang berbeda diluarnya sebagai contoh puisi “malam lebaran” (Sitor
Situmorang) yang dianggap sebagai totalitas yang cukup diri.

Struktur prosa, baik cerpen dan novel, maupun drama, berbeda dengan puisi. Dalam
prosa unsur yang dominan adalah puisi, plot, kejadian, tokoh, sudut pandang. Tokoh dan
kejadianlah yang membentuk cerita, dan plot yang dianggap sebagai unsur utama. Oleh karena
itu ada pendapat bahwa keberhasilan novel tergantung bagaimana cerita dijalin menjadi plot.
Disamping itu oleh karena prosa umumnya panjang, dengan jumlah ratusan bahwan ribuan
halaman maka di analisis gaya dalam novel terbatas dalam gaya keseluruhan.

Berbeda dengan puisi, dalam prosa bahasa lebih berfungsi sebagai alat. Seperti diatas,
plotlah yang menjadi tujuan utamanya. Plot membawa ide, pesan, tema, dan pandangan dunia.
Disamping itu masalah terpenting yang perlu diperhatikan dalam plot terkandung kualitas estetis,
bagaimana peristiwa dan kejadian disusun sedemikian rupa sehingga masalah yang biasa
menjadi luar biasa, sehingga setiap kejadian seolah-olah didengar seperti pertama kali.

Gaya Bahasa sebagai Sistem

System karya sastra di bedakan dengan system mekanis dan system social yang mengarah
pada pemahaman bahwa karya sastra dan karya seni merupakan aptraksi berbagai mekanisme
antar hubungan yang mungkin terjadi. Apabila system pertama dan kedua menggunakan bentuk
fisik dan perilaku bentuk totalitas, maka unsur utama karya sastra adalah bahasa. a. bahasa baik
lisan maupun tulisan adalah alat untuk memisahkan sekaligus menunjukkan keumuman, lepas
dari unsur-unsur yang membangunnya. b. keseluruhan kehidupan ini adalah bahasa, dapat
diwujudkan dan dipahami melalui bahasa.

Menurut Wellek dan Warren (1989: 220) karya sastra pada dasarnya adalah system
bunyi. Pernyataan ini sangat jelas dalam puisi. Dalam sastra lama, misalnya persamaan bunyi,
yaitu sajak memegang peranan penting. Perbedaannya dalam sastra lama mekanisme yang terjadi
bersifat lebih statis seperti persamaan bunyi dalam pantun (ab-ab) demikian juga berbentuk sajak
dalam tembang. Oleh karena itulah, puisi modern disebut puisi bebas sebab gaya bahasanya tidak
terikat oleh system semiotika primer melainkan system sekunder yang didasarkan atas intuisi,
intensi dan emosi penulis.

Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Tujuan ini terjadi baik
dalam kaitannya dengan penggunaan gaya bahasa sebagai system model pertama, dalam ruang
lingkup linguistic, maupun sebagai system model kedua, dalam ruang lingkup kreatifitas sastra.
Meskipun demikian menurut wellek dan warreng kualitas estetis menjadi pokok permasalahan
pada tataran bahasa kedua sebab dalam sastralah, melalui metode dan teknik diungkapkan secara
rinci ciri-ciri bahasa yang indah, sebagai stilistika.

Menurut goldman (1977:25) secara sosiologis genesisnya dalah kelompok social


ditempat karya sastra dengan berbagai acuannya melibatkan diri. Secara psikologis bagaiman
penulis menyikapi, mematangkannya sehingga lahir karya sastra dengan kualitas estetis.

Gaya Bahasa dan Genre Sastra

Genre (Prancis) berasal dari akar kata genus (Latin), memiliki tiga pengertian yaitu:
sikap, macam, dan jenis. Dalam sastra yang digunakan adalah pengrtian ketiga. Weisstein
(1973:309) menggunakan isltilah kind (macam) untuk menunjuk klasifikasi utama, sedangkan
genre digunakan untuk menunjuk penggolangan selanjutnya yang kemudian dibedakan menjadi
spesies. Diindonesia dikenal dengan nama prosa, puisi,dan drama. Dalam perkembangan
kemudian sebutan fiksi kembali menduduki posisi dominan yang digunakan secara bergantian
deangan istilah cerita rekaan yang terdiri atas cerita pendek, novel atau roman.

Gaya Bahasa Sebagai Energi Proses Kreatif

Karya sastra berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai akibat dorongan batin
yang dimana manusia dewasa memiliki tanggung jawab, kesadaran, dan dengan sendirinya
kemauan untuk melaksanakannya. Totalitas puisi didefenisikan sebagai satu bait. Oleh karena itu
pula proses penerbitannya pada umumnya terbentuk kumpulan puisi. Dengan adanya bentuk
singkat puisi dapat dibaca berulang-ulang,cara yang agak sulit dilakukan terhadap cerpen atau
novel. Secara tradisional energy karya sastra dan dengan demikian gaya yang tergantung
persamaan bunyi yang diperluas dengan majas adalah keindahan bunyi. Dan untuk menunjukan
kehadiran dan keindahan bunyi maka puisi harus dibaca dan dikenal dengan “poetry reading”

BAB III. PROSES KREATIF, KARYA SASTRA, DAN PERANAN MASYARAKAT


PEMBACA
4.1 Peranan Pengarang sebagai Pencipta

Menurut Barthes (1977; cf. Teeuw, 1988: 157-163) pengarang adalah tokoh modern
yang dihasilkan oleh masyarakat barat, sepanjang abad pertengahan dalam kerangka karya seni
sebagai peniruan alam yang kemudian dilanjutkan oleh empirisme inggris, rasionalisme Perancis,
dan mencapai klimaks pada abad Romantik. Bartheis (2007:115) membedakan 4 fungsi dalam
kaitannya dengan proses menulis, yaitu

a. Scriptor, yaitu orang yang menyalin secara murni


b. Complicator, yaitu orang yang mengumpulkan dan menambahkan hal tertentu
c. Commelator, orang yang memeberikan pengantar agar sebuah teks lebih mudah untuk
dipahami
d. Auctor, orang yang menyajikan gagasan nya sendiri tetapi atas dasar otoritas orang
lain.

Ada lima factor utama proses kreatif yaitu

a. Factor psikologis
b. Didaktis
c. Sosiologis
d. Ekonomis
e. Estetis

Secara genetis kelima factor dapat dibedakan menjadi 3 kelompok. Dua factor pertama
berasal dari dalam diri pengarang sendiri, dua factor berikut lebih banyak merupakan pengaruh
dari luar, khususnya dalam kaitannya dengan globalisasi dalam masyarakat kontenporer, factor
terakhir sebagai bentuk pengungkapan itu sendiri.

Foucoult (1987: 125-127) mengemukakan 3 masalah dalam kaitannya dengan peranan


pengarang terhadap hasil karya nya, sebagai berikut:

1. Karya sastra adalah struktrur diskursif, subjek dihilangkan secara terus-menerus


2. Relasi oposisi pengarang dengan karya
3. Dengan mengadopsi proporsi Derrida, tulisan sebagai erriture, mengacu pada aktivitas
menulis itu sendiri disatu pihak dan hakikat primordial dipihak lain.

Foucoult menyimpulkan 4 masalah dalam kaitannya dengan fungsi pengarang sebagai berikut

1. Pengarang terkondisikan atas system legal dan insitusional yang membatasi, menetapkan,
mengartikulasikan bidang wacana
2. Wacana sastra tidak beroperasi dengan cara yang seragam, sepanjang waktu, dan pada
kebudayaan tertentu
3. Fungsi pengarang dengan karyanya tidak didefinisikan melalui hubungan kasual, tetapi
melalui serangkaian prosedur yang kompleks, sesuai dengan sifat teks
4. Karya tidak mengacu secara murni dan sederhana pada seorang individu actual, tetapi
subjek trans individ, kelas social, dan komunitas tertentu sesuai dengan petunjuk struktur
naratif

Fungsi dan Kedudukan Karya Sastra

Karya sastra hanyalah salah gendre dari sejumlah besar hasil peradaban manusia.Karya
sastra menggunakan bahasa sebagai medium utama, maka aspek keindahan dievokasi melalui
kemampuan medium tersebut, dalam hubungan gaya bahasa.Karya sastra jelas merupakan hasil
aktivitas pengarang.Oleh karena itu, gaya bahasa yang dimaksudkan berkaitan erat dengan
maksud, tujuan, dan ciri-ciri personalitas pengarang.

Sesuai dengan hakikatnya, kaya sastra, baik sebagai temuan pengarang maupun
pemahaman pembaca, adalah imajinasi dan kreativitas.Meskipun demikian, imajinasi dan
kreativitas bukan hayalan seperti dibayangkan oleh masyarakat umumnya. Karya sastra terdiri
atas bentuk (struktur) da isi (kandungan).Kedua aspek memerlukan cara-cara penyajian.Tetapi
aspek bentuklah dominan , sebagai gaya bahasa.Oleh karena itulah, disebutkan bahwa dalam
karya sastra bahasa berfungsi sekaligus sebagai alat dan tujuan.Dalam bentuk terkandung dalam
unsur, berbeda-beda genre.

PERANAN PEMBACA Sebagai Penanggap

Secara linguistis karya yang ditulis oleh pengarang sama dengan apa yang dibaca oleh
pembaca.Bagi pembaca modern, dalam hubungan ini pembaca dan paradigma postrukturalis,
setiap karya adalah asli sekaligus baru, arketipe sekaligus salinan dan saduran, bahkan
tiruan.Menurut Derrida (1976:167) karya sastra sebagai teks hanyalah jejak (trache), bekas
telapak kaki, didalamnya pembaca harus menemukan manusianya.Karya dalam bentuk bahasa,
sebagai kualitas artistic dihasilkan oleh pengarang, sedangkan teks, sebagai kualitas estetik
dihasilkan oleh pembaca .pada saat menulis sesuatu karya pada dasarnya pengrang hanya
menghasilkan gaya dalam kaitannya dengan linguistik, majas dalam pengertian
tradisional.Selanjutnya pembacalah yang memberikan arti sehingga gaya memiliki rerevansinya
dengan makna karya secara keseluruhan.Perbedaan antara gaya tradisional dengan modern, gaya
linguistik dengan sastra dengan demikian terletak dalam perbedaan tersebut.Peranan pembaca
sebagai penangap, khususnya kapasitasnya sebagai pembaca mahatau jelas memiliki arti
tersendiri pada tingkat tertentu pembaca mahatau memiliki kesejajaran dengan pengarang
mahatau yang dalam hubungan ini diwakilkan melalui sudut pandang orang ketiga yang
ditampilkan oleh penulis sebagai memiliki seluruh pengetahuan, baik masalalu, sekarang dan
yang akan datang.
4.4. Karya Sastra,Periode, dan Aliran

Karya sastra dalam dirinya sendiri, struktur karya berubah oleh karena dievokasi oleh
perkembangan masyarakat itu benar, pengaranglah yang melakukannya, melalui proses imajinasi
dan kreatifitas tetapi pemahaman secara sosiologis menunjukan bahwa pengarang dikondisikan
oleh masyarakatnya.

Periodisasi disamping mengorganisasikan karya kedalam kelompok tertentu dangan


system norma tertentu jug. Satbilitas dapat dilihat, misalnya, melalui durasi periodesasi itu
sendiri, didalamnya setiap periode yang sangat panjang tetapi tidak menunjukan perkembangan
gaya yang berarti, dapat diduga telah terjadi stag nasi, baik dalam proses kreatif maupun
reseptifnya. Apabila periode ditandai oleh system norma, aliran ditandai oleh system ide periode
mengimplikasikan sejarah, aliran mengimplikasikan paham (isme) tertentu. Dalam satu periode
mungkin terdapat beberapa aliran sebaliknya beberapa periode mungkin di dominasi oleh aliran
yang sama seperti balai pustaka dan punjangga baru bahkan seorang pengarang mungkin
menghasilkan karya dengan aliran yang berbeda-beda.

Periodesasi dan aliran merupakan salah satu tolok ukur kehidupan sastra dan aspek-aspek
kebudayaan yang lain sebab kedua gejala mengadaikan terjadinya suatu perubahan dan
perkembangan. Terjadinya perbedaan pendapat antar mereka yang menerima atau sebaliknya
menolaknya, dengan argumentasinya masing-masing tidak perlu artikan sebagai kendala,
melainkan merupakan ciri-ciri dinamika kehidupan senidiri. Dalam perbedaan pendapat itulah
justru terkandung embrio, gagasan, dan berbagai wawasan yang pada gilirannya berfungsi untuk
menemukan periodesasi yang lebih akurat disatu pihak, melahirkan periode dan aliran berikutnya
dipihak lain.

BAB IV. STILISTIKA BAHASA DAN STILISTIKA SASTRA


5.1 Hubugan antara Bahasa dan Sastra

Hubungan antara bahasa dan sastra merupakan masalah biasa, dibicarakan dalam
berbagai kesempatan, karya sastra berasal dari bahasa sebab medium utamanya adalah bahasa.
meskipun demikian belum banyak disadari bahwa dalam proses tersebut masih banyak masalah
yang tersembunyi, khususnya apabila dikaitan dengan mekadisme antar hubungan itu sendiri.
Formalisme dan Strukturalisme, teori-teori yang paling intens dalam kaitannya dangan analisis
karya sastra belum menunjukan adanya tanda-tanda hubungan seimbang kedua komponen,
sehinga pemahan bahasa dan sastra belum berfungsi secara proporsional. Hubungan antara
bahasa dan satra merupakan kunci untuk memahami baik bahasa maupun sastra. Sampai saat ini
seolah-olah antar bahasa dengan sastra sudah tidak ada hubungan seperti berdiri sendiri.
Keduanya seharunya sama-sama saling memanfaatkan kompetensi puitika interlocutor.
Masalah hubungan antara bahasa dan sastra dapat dipecahkan dengan mejelaskan lebih
jauh ciri-ciri kedua gejala, sebagai berikut. Seperti disinggung diatas, bagi karya sastra bahasa
adalah alat, sarana, bahan, medium, bahan kasar. Bahasa dengan demikian merupakan medium
komunikasi utama, bahkan sebagai system. Tetapi, perlu diketahui bahwa system itu bekerja
pada tataran pertama, dan dengan senidirnya melalui mekanisme sebagaimana diisyaratkan oleh
bahasa. oleh karena itu, dalam praktis analisis yang dilakukan pada umumnya adalah deskripsi
jenis-jenis gaya bahasa (bahasa majas), seperti: repetisi, infersi, hiperbola, dan sebagainya.
Akibat yang ditimbulkan adalah tidak adanya pemahaman mengenai relefansi aspek stilistika itu
sendiri. Memahami kembali hubungan antara bahasa dengan sastra berarti mengembalikan tugas
utama bahasa dan satra itu sendiri terhadap kebudayaan dan dengan demikian juga terhadap umat
manusia yang menggunakannya.

Bab V: Stilistika dan Relevansi Teori

Secara leksikal teks dan wacana dianggap memiliki ciri-ciri yang sama, bersifat dinamis,
sedangkan karya bersifat statis. Pendapat di atas diperkuat oleh pendapat Noth (1990:34-40)
dengan mengatakan bahwa teks dengan wacana memiliki identitas yang sama sehingga
keduanya merupakan sinonim.Teks dengan wacana hanya berbeda menurut aliran, tradisi.
Tradisi amerika lebih suka mengunakan istilah wacana, sedangkan tradisi eropa (Jerman) lebih
sukan menggunakan istilah teks.

Wacana membentuk dan mengkonstuksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwa-
peristiwa tersebut kedalam narasi yng dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya
kita mengkategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang
tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita sukar keluar dari struktur diskursif yang terbentuk.
Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu terbentuk
sebuah episteme, perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui nama
kebudayaan berfikir. Melalui episteme itu, kita mengerti dan memahami suatu objek dengan
pernyataan dan pandangan tertentu , dan tidak yang lain. Unit-unit diskursif ini megamsumsikan
koheresi dan koherivitas sebagai sesuatu ide sehingga sehingga kita mengatakan sebagai
“Pandangan Orde Baru”, atau “Pandangan Orde lama”, dan sebagainya.

Hermeutika berasa dari akar kata herme (Yunani) berarti mengatakan sesuatu. Dalam bentuk kata
kerja (Hermenuein) berarti menafsirkan, dalam bentuk kata benda (Hermeania) berarti
interpretasi itu sendiri, sedangkan orang yang menafsirkan disebut hermeneus. Seperti stilistika,
semiotika, teks, dan berbagi kompetesi yang berkaitan dengan hermeneutika sudah sangat
komplek sehingga memerlukan perhatian yang serius.

Sepanjang sejarah (kutha ratna, 2007: 321-321), dalam khazanah indonesia ada empat
jenis estetika, sebagai berikut.

1. Estetika sastra Sansekerta (estetika rasa)


2. Estetika sastra Jawa Kuno (estetika lango)
3. Estetika sastra Melayu Kuno (estetika ekstatis)
4. Estetika sastra Indonesia Modern (estetika oposisi)

Estetika rasa berkaitan dengan emosi (perasaan). Estetika lango bekaitan dengan pengalaman
estetis pengarang, hanyut dalam keindahan, bersatu dalam adikodrati.

Bab VI: Stilistika dan Sistem Sosial

Pembicaraan stilistika tidak dapat dilepaskan dari linguistik atau ilmu bahasa. Bahkan,
secara tegas Starcke (2010: 2) dalam definisinya menyatakan bahwa stilistika sebagai salah satu
disiplin linguistik. Eksistensi linguistik dalam konteks stilistika itu seperti tampak pada
pandangan beberapa pakar berikut. Junus (1989: xvii) misalnya, memandang stilistika sebagai
ilmu gabung (inter atau multidisiplin) antara linguistik dan ilmu sastra. Widdowson (1997: 3)
dan Sudjiman (1993: 3) memandang stilistika sebagai kajian mengenai diskursus (wacana)
kesastraan yang beranjak dari orientasi linguistik.
Mcrae dan Clark (dalam Davies dan Elder, 2006: 328) berpendapat bahwa stilistika
sebagai penggunaan linguistik (ilmu bahasa) untuk mendekati teks sastra. Simpson (2004: 3)
melihat analisis stilistika berfungsi untuk memahami teks sastra dengan dasar wawasan struktur
linguistik. Sementara Child dan Fowler (2006: 229) memandang stilistika sebagai kajian analitis
terhadap sastra dengan menggunakan konsep atau teknik linguistik modern. Berdasarkan
pandangan beberapa pakar tadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa stilistika merupakan
pengkajian sastra dari perspektif linguistik.

Bab VIII: Stilistika dan Analisis Karya Sastra

Pendekatan stilistika memberikan perhatian penuh kepada kemampuan dan kreativitas


pengarang. Hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

a. Memperhatikan ciri khas atau gaya personal pengarang.

b. Memperhatikan corak dan pancaran bakat kepengarangan.

c. Analisis ciri khas kepengarangan tersebut kemudian dikaitkan dengan kelompok


pengarang pada periode tertentu.

d. Analisis tersebut juga dapat dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya perubahan
gaya pada seseorang yang menjalankan profesi dalam jangka waktu yang panjang.

Teori yang diambil yaitu menurut Nurhayati Pada Tahun 2008. Menurut Nurhayati unsur utama
pembentuk puisi selain bahasa adalah sebagai berikut:

1. Struktur Fisik Puisi

Struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang
digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal
sebagai berikut :

1) Diksi
Pemilihan kata yang sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh pemadatan.
Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata agar komposisi bunyi rima dan
iramanya memiliki kedudukan yang sesuai dan indah.

2) Citraan

Merupakan penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan,


pikiran, ide, pernyataan, pikiran dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera yang
istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud citraan yang meliputi gambaran angan-angan dan
penggunaan bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut.

3) Kata-kata konkret

Merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa
yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Ataupun menurut Tarigan bahwa kata-kata konkret
merupakan salah satu cara membangkitkan daya bayang imajinasi para penikmat puisi.

4) Bahasa figuratif

Bahasa yang digunakan untuk memperoleh kepuitisan, penyair menggunakan bahasa


figuratif, yaitu bahasa kiasan atau majas. Menurut Ratna majas adalah pilihan kata tertentu sesuai
dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan.

5) Rima dan ritma

Merupakan pengulangan bunyi dalam puisi, dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi
menjadi merdu bila dibaca.

2. Strukur Batin Puisi

Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal
sebagai berikut:

1) Tema/ makna (sense)


Media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka
puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

2) Rasa (feeling)

Yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair,
misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan

Bab IX: Kesimpulan

Sebelum mengalami perkembangan dan perluasan seperti pada masa kini, stilistika
sebagai sebuah bagian dari linguitik telah disepakati memiliki kaitan yang sangat erat dengan
sastra. Sudjiman (1993: 3) menyebut bahwa sesungguhnya sumbangan linguitik dalam kritik
sastra ialah misalnya sorotan pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa sebagai unsur yang
membangun karya sastra, penggunaan dialek dan register tertentu. Pengetahuan linguistik,
khususnya fonologi dan fonemik, sangat bermanfaat dalam pengkajian puisi, yaitu dalam
pautannya dengan metrik, penyusunan struktur segmen bunyi dalam hubungannya dengan
unit-unit bunyi pada bahasa tertentu, atau derap dengan irama. Adapun pengetahuan
linguistik yang termasuk di dalamnya fonologi, dan fonemik, dan juga syntax, lexico-
semantic, adalah merupakan point utama dalam analisis stilistika sastra pada awal
kemunculannya.
Stilistik juga berusaha untuk menetapkan prinsip-prinsip yang mampu menjelaskan
pilihan tertentu yang dibuat oleh individu dan kelompok sosial dalam penggunaan bahasa, seperti
sosialisasi, produksi dan penerimaan makna, analisis wacana kritis dan kritik sastra. Fitur lain
dari stilistik termasuk penggunaan dialog, termasuk aksen regional dan dialek masyarakat,
bahasa deskriptif, penggunaan tata bahasa, seperti suara aktif atau suara pasif, distribusi panjang
kalimat, penggunaan register bahasa tertentu, dll.
RINGKASAN BUKU PEMBANDING (KEDUA)
Bab I : Selayang Pandang Stilistika

Melalui buku Stilistika; Menyimak Gaya Kebahasaan Sastra ini, penelaah, pembaca, sastrawan
dan penikmat sastra dapat mengetahui asal usul, kompleksitas, dan hubungan stilistika dengan gaya
bahasa kesusastraan. Di samping itu, akan mengetahui bagaimana stilistika dikaitka dengan karya sastra
wacana puisi, dan prosa diksi berupa cerpen dan novel. Dari nama sastrawan, karya, aspek yang dikaji
dan hasil kajianny. Karena pada hakikatnya, keunikan karya sastra terlihat pada hasil akhir analisis
wacana secara keseluruhan.

Berangkat dari asal usul kata atau etimologi, stilistika berasal dari kata bahasa inggris yakni
“Stylistics”. Penggabungan kata “Style” dan “ics”. Kata “Style” bermakna gaya, sedangkan kata “ics”
mempunyai arti kajian atau ilmu. Kebangkitan Stilistika tidak terlepas dari peranan para ahli yang
memberikan pemaknaan dan pemahaman yang berbeda terhadap studi bahasa. Perbedaan dan
persamaan konsep mereka justru memberikan awan cerah bagi eksistensi kajian tersebut. Berikut
formulasi definisi stilistika dari perspektif para ahli.

1. Menurut Simpson, Stilistika merupakan sebuah metode interpretasi tekstual karya sastra yang
dipandang memiliki keunggulan dalam pemberdayaan bahasa. (Stylistics: a Resource Book of
Students, 2004:2)
2. Menurut Sudjiman, secara umum lingkup telaah stilistika mencakupi diksi atau pilihan kata
(pilihan leksikal), Struktur kalimat, majas, citraan, dan pola rima yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. (Bunga Rampai Stilistika, 1993; 152)

Sesuatu dengan definisi stilistika yang ditujukan terhadap berbagai penggunaan bahasa, yang
dalam hal ini tidak hanya terbatas pada bahasa sastra, namun juga pada penggunaan gaya bahasa dalam
kehidupan sehari-hari, yang meliputi kegiatan berorasi, beragrumen, dan kegiatan berpolitik, yang
menggunakan bahasa sebagai media.

Selain memiliki definis dan tujuan, stilistika juga memiliki manfaat yang kompleks, manfaat
stilistuka juga sangat besar bagi kesusastraan dalam aktivitas pengkajiannya. Berikut adalah manfaat
kajian stilistika bagi para penelaah sastra.

1. Mengidentifikasi dan menemukan fakta dari setiap keestetikaan karya sastra.


2. Mengindentifikasi letak ciri kekhassan secara luas pada masing-masing sastrawan yang terlihat
jelas dalam perbedaan karya.
3. Menjadi sumber pengetahuan akan perbedaan bahasa, dinamika gaya, dan letupan imajiner
seorang sastrawan.
4. Dalam proses telaahannya, menjadi nilai tersendiri dari penelaah tentang aktivitas alam liar
sastrawan yang meliputi gejolak psikosis dan bentuk rasa.
5. Mengemukakan pada massa dalam bentuk makalah sastra tentang korelasi yang tersusun baik
antara penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Bab II : Sejarah stilistika

Sejarah stilistika dibarat tertulis dalam sejarah, stilistika muncul semenjak zaman yunani kuno
dengan tiga konsep utama nilai bahasa sastra, yaitu Rhetoric, poetics, dan Dialectics. Salah satu di antara
ketiga nilai ini, yang paling mnecolok karya Aristoteles (348-322 SM) yaitu Poestics. Ketiga utama ini
yang menjadikan awal kelahiran kritik sastra. Pada perkembangan selanjutnya di Roma sekitar 300
tahun kemudian terdapat dua style yang berbeda ditemukan oleh Caesar dan Cicero. Stilistika
berkembang pada zaman pertengahan dengan dua konsep utama yang dikenal form (bentuk) dan
content (isi). Perkembangan selanjutnya pada masa Romanticism, style dilekatkan pada bentuk bahasa
tertulis, tidak pada bahasa lisan dan dikenal dengan sebutan stylos.

Kemudian taham perkembangan stilistika di Indonesia pertama sekali dilakukan oleh Slamet
Mulyana pada tahun 1956. Melalui penerbit Ganato Bandung, bukunya yang diberi judul Peristiwa
Bahan dan Peristiwa Sastra. Dalam buku ini Mulyana memandang hakikat puitika dari sudut filsafat.
Sebagian besar hasil pemikirannya dalam buku tersebut berkaitan dengan bahasa sastra. Tahun 1978,
Jassin juga menulis buku yang yang diberi judul Tifa Penyair dan Daerahnya. Tahun 1979, mengantar
Simanjuntak mulai memfokuskan bahasa pada kajian stilistika. Perkembangan ini terus berlanjut di
indonesia.

Bab III: Stilistika dan Teori Lain

Dalam buku Stilistika pada Bab ketiga ini, membahas kajian stilistika dengan teori lain. Pertama
dijelaskan tentang stilistika dan analisis wacana kesusastraan, bahwa Konsep terkecil sebuah wacana
adalah apabila seseorang menyampaikan maksud yang mengandung pengertian (termasuk di dalamnya
kesatuan dan kepaduan) dengan bermediakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Kemudian stilistika
dan retorika, kedua ilmu ini saling berkaitansatu sama lain. Sejarah mengatakan retorika adalah yang
lebih dulu muncul daripada stilistika. Selanjutnya, stilistika dan semiotika. Pada abad masehi, istilah
semiotika pertamakali digunakan oleh John Locke pada tahun 1632-1704 dalam tulisannya yang diberi
judul Essay Concerning Human Understanding. Dan yang terakhir adalah Stilistika dan Kritik sastra. Kritik
sastra merupakan satu dari ilmu sastra. Dipandang cukup baik untuk mengungkapkan seberapa baik
sebuah karya.

Bab IV: Stilistika Jenis dan Pendekatan

pada bab ini, penjelasan dibedakan menjadi duga bagian. Yang pertama adalah stilistika dan
jenis, kemudian stilistika dan pendekatan. Membahas bagian pertama, stilistika terbagi atas dua jenis;
stilistika genetis dan stilistika deskriptif. Endaswara (2004: 73) menjelaskan, stilistika genetis merupakan
gaya bahasa individual yang memandang gaya bahasa sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi.
Sedangkan stilistika deskriptif menggambarkan gaya sebagai seluruh alur luapan kejiwaan sastrawan.

Pembahasan selanjutnya adalah tentang stilistika dan pendekatannya. Pendekatan pertama


adalah pendekatan roman jokobson, pendekatan ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai
sebuah penggunaan bahasa yang berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri. Kedua,
pendekatan Geoffrey Leech. Pendekatan ini mengungkapkan tiga gejala ekspresif sastra, yaitu cohesion,
foregrounding, dan cohesion of foregrounding. Ketiga, pendekatan Halliday, pendekatan yang
mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori dan metode-metode linguistik deskriptif daoat di
aplikasikan kedalam analisis teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks lainnya. Keempat,
pendekatan Samuel R. Levin, pendekatan ini sama halnya dengan pendekatan Halliday dan Jakobson
yang mengintegrasikan analisis wacana pada tataran linguistik. Terdapat kesejajaran yang berlaku pada
level fonologi, sintaksis, dan semantik untuk menghasilkan ciri-ciri struktural. Kelima, pendekatan
Sinclair, pendekatan yang menerapkan kategori-kategorideskripsi linguistik.

Yang terakhir adalah pendekatan wellek dan Warren, pendekatan ini menawarkan dua aspek
kajian atau analisis. (1) analisis scara sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, kemudian
membahas interpretasi tentang ciri-ciri dilihat berdasarkan makna total atau makna keseluruhan.
Melalui hal ini, akan muncul sistem linguistik yang khas dari karya atau sekelompok karya. (2)
mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan sistem satu dengan sistem yang lainnya. Pendekatan
Wallek dam Warren ini menitik beratkan kajian stilistika pada kebahasaan puisi karena di dalamya
terpaut sistem seleksi, manipulasi, dan mengombinasi kata-kata pada berbagai perpaduan rasa
(emosionalitas).

Bab V: Stilistika Gaya Kebahasaan Sastra

Stilistika sebagai salah satu kajian sastra, mampu menjadi pisau analisis pengungkapan aspek-
aspek estetik. Sastrawan yang pandai memanfaatkan unsur stilistika (style), akan terlihat pada karya-
karya yang berbobot dan spektakuler. Kelihaian sastrawan pada penggunaan bahasa yang bernilai tinggi,
semakin membuktikan bobot kepenyairannya. Purba (2005:55) menyatakan, stilistika akan membangun
aspek keindahan karya sastra semakin pandai sastrawan stilistika, karya sastra yabg dihasilkan akan
semakin menarik.

Seorang sastrawan mempergunakan sekaligus menentukan kepiawaian estetikanya. Lanjut


Purba (2005: 56) stilistika adalah penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya
bahasa itu mungkin disengaja atau timbul serta merta ketika sastrawan mengungkapkan idenya. Gaya
bahasa itu merupakan aspek seni dalam sastra yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa,
sastrawan menuangkan ekspresinya. Bagaimanapun rasa jengkel dan senang jika dibungkus dengan gaya
bahasa akan semakin indah. Dengan demikian gaya bahasa pembungkus ide yang akan menghasilkan
wacana sastra.

Bab VI;

Aspek Kajian Stilistika Puisi

Puisi sebagai salah satu karya estetis, merupakan bentuk ekspresi tulis yang mengandung
gagasan, pikiran, perasaan, pengalaman, dan pengamatan penyair dalam kesatuan bentuk dan
penciptaan yang utuh serta bebas. Kesatuan bentuk dalam puisi dapat berupa tema (sense),
suasana/rasa (feeling), imajinasi (imagination), nada (tone), dan amanat (intention).
Tema (sense) pada puisi merupakan media atau sarana yang wajib mengandung makna.
Hal ini tergantung penyair meletakkan dimensi makna pada tiap kata, baris, bait, maupun
kesatuan wacana. Suasana rasa (feeling) pada kesatuan bentuk puisi adalah sikap penyair
terhadap permasalahan yang terkonsep pada puisinya. Kedalaman pengungkapan tema dan
ketepatan dalam menyikapi suatu propblematika oleh penyair, tidak hanya terbatas pada daya
mampu penyair menampilkan kata-kata, rima dan gaya bahsa saja, melainkan juga pada
pengetahuan, wawasan, dan kepribadian penyair. Imajinasi (imagination), merupakan
kesatuan bentuk puisi yang memiliki aspek estetik tersendiri. Nada (tone) sebagai bentuk
kesatuan puisi yang terakhir. Merupakan suatu sikap antara penyair sebagai oknum penerima.

Aspek Stilistika Puisi

Studi stilistika sebagai salah satu pisau analisis puisi memiliki beberapa aspek pengkajian.
Aspek kajian yang dimaksud bertujuan untuk mengetahui kecirikhasan seorang penyair
dalam karyanya. Aspek kajian stilistika puisi meliputi :
a. Pemilihan kata (diksi) : pemilihan kata harus dilihat dalam konteks yang utuh. Diksi juga
memiliki criteria, yaitu ketepatan dalam pemilihan kata, kemampuan untuk membedakan
secara tepat nuansa- nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa
pembacannya, menguasai berbagai macam kosakata dan mampu memanfaatkan kata-kata
tersebut menjadi sebuah kalimat yang jelas, efektif dan mudah dimengerti.
b. Bunyi : secara harfiah bunyi merupakan kompreasi mekanikal atau gelombang
longitudinal yang merambat melalui medium. Medium atau zat perantara ini dapat berupa
zat cair, padat, dan gas. Jadi gelombng bunyi dapat merambat misalnya di dalam air,
batu, atau udara. Bunyi merupakan suara yang keluar dari alat ucap manusia, suara yang
terbentuk dari alat ucap manusia menghasilkan bunyi yang disebut bunyi bahasa.
Walaupun demikian, tidak semua bunyi yang keluar dari alat ucap manusia dapat
dikatakan bunyi bahasa, hal ini merujuk kepada tingkatan struktur bahasa, meliputi
tataran fonem hingga wacana.
c. Rima : rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi sehingga menjadi indah pada
proses pembacaan. Pengulangan tersebut terjadi baik dlam larik maupun pada akhir puisi
yang berdekatan. Kerimaan bunyi terjadi pada tekanan, perpanjangan suara dan tinggi
nada.
d. Irama : irama dalam konsep bunyi, tidak terbatas pada kesastraan saja. Dalam dunia
music, irama dapat dikatakan sebagai jiwa atau watak yang terkandung dalam gerak
melodi, irama juga disebut denyut jantungnya music.
e. Intonasi : disebut juga dengan istilah lagu kalimat, hal ini berkaitan dengan ketepatan
dalam menentukan kuat lemahnya pengucapan suatu kata. Selain itu intonasi merupakan
bagian kesatuan dari irama yang memberikan tekanan pada kata atau bagian kata.
f. Citraan : dalam puisi mewakili setiap lataran bahasa dari tingkat morfologi sampai
sintaksis. Secara sederhana citraan merupakan penggambaran objek berupa kata, frase,
atau kalimat yang terdapat didalam bahasa puisi. Hal ini dimaksudkan agar pembaca
sebagai penerima pesan bahasa mendapat gambaran atau dapat menafsirkan tentang hal
yang disampaikan penyair.
g. Bahasa Figuratif (permajasan) : bahasa figuratif lazim disebut dengan majas atau gayaa
bahasa yang dapat digunakan dalam karya sastra puisi, prosa, dan drama. Bahasa figuratif
ini terbagi atas empat jenis, yaitu majas perbandingan, penegasan, sindiran, dan
pertentangan.
BAB II
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari kedua buku ini memiliki banyak perbedaan dan ada beberapa persamaan dalam pembahasan
materinya. Buku utama dan buku kedua sebagai buku pembanding sudah memenuhi konten materi
yang sesuai dengan materi Ilmu Stilistika. Buku ini juga memiliki banyak manfaat dan juga memberikan
pembelajaran.

B. Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis, maka untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar lagi, disarankan kepada pembaca untuk membaca
literatur-literatur yang telah ditampilkan pada masing-masing materi buku. Serta memahami kembali
kata-kata yang rumit.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai