Anda di halaman 1dari 43

PENGANTAR ILMU BAHASA

Critical Book Review (CBR)

Dosen Pengampu : M.Surip, S.Pd., M.Si

Disusun Oleh :

Kristin Monika Sirait – 2203210024

Sastra Indonesia B-2020

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Book Review dalam
mata kuliah Pengantar Ilmu Bahasa.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sastra khususnya dalam bidang linguistik (ilmu bahasa) di dunia
sastra.

Mengingat berbagai kendala dan kesulitan penulis saat menyelesaikan makalah ini,
penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 30 Oktober 2020

Kristin Monika Sirait – 2203210024

DAFTAR PUSTAK

i
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................1
B. TUJUAN..................................................................................................................1
C. MANFAAT..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2
A. IDENTITAS BUKU................................................................................................2
B. RINGKASAN BUKU.............................................................................................3
1. Ringkasan Buku Utama....................................................................................3
2. Ringkasan Buku Pembanding.........................................................................25

BAB III PENILAIAN BUKU.......................................................................................................37


A. BUKU UTAMA....................................................................................................37
1. Kelebihan Buku...............................................................................................37
2. Kekurangan Buku...........................................................................................37
B. BUKU PEMBANDING........................................................................................37
1. Kelebihan........................................................................................................37
2. Kekurangan.....................................................................................................37

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................38
A. KESIMPULAN......................................................................................................38
B. SARAN..................................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................39

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Orang pada umumnya tidak merasakan bahwa menggunakan bahasa merupakan
suatu keterampilan yang luar biasa rumitnya. Pemakaian bahasa terasa lumrah karena
memang tanpa diajari oleh siapa pun, bahkan bayi akan tumbuh bersamaan dengan
pertumbuhan bahasanya. Dari umur satu sampai dengan satu setengah tahun seorang bayi
mulai mengeluarkan bentuk-bentuk bahasa yang telah kita identifikasikan sebagai kata.
Ujaran satu kata ini tumbuh menjadi ujaran dua kata dan akhirnya menjadi kalimat yang
komplek.
Setelah kita dewasa, kita memakai bahasa seolah-olah tanpa berpikir. Begitu pula jika
kita ingin mengungkapkan sesuatu pada saat itu pulalah kita mengeluarkan bunyi-bunyi yang
disebut bahasa. Akan tetapi jika kita renungkan secara mendalam akan kita rasakan
bahwa pemakaian bahasa merupakan cerminan dari kemampuan yang hanya manusialah
yang dapat melakukannya.

B. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas Critical Book Riview mata kuliah Pengantar Ilmu Bahasa.
2. Untuk menambah kemampuan dalam menganalisa buku.
3. Untuk menambah pemahaman dalam mengkritisi buku.

C. MANFAAT
1. Menambah wawasan mengenai seluk beluk bahasa.
2. Mengetahui kelebihan dan kekurangan buku.
3. Sebagai bahan pertimbangan pembaca dalam memilih buku.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. IDENTITAS BUKU
Buku Pertama (Buku Utama)
1. Judul buku : Linguistik Umum
2. Penulis : Abdul Chaer
3. Penerbit : PT Rineka Cipta
4. Tahun terbit : 2012
5. Kota terbit : Jakarta
6. Tebal buku : 386 halaman
7. ISBN : 978-979-518-587-1

Buku Kedua (Buku Pembanding)

1. Judul buku : Linguistik Umum


2. Penulis : Prof. Dr. Achmad HP & Dr. Alek Abdullah
3. Penerbit : Erlangga
4. Tahun terbit : 2013
5. Kota terbit : Jakarta
6. Tebal buku : 216 halaman
7. ISBN : 978-602-241-357-8
B. RINGKASAN BUKU

1. Ringkasan Buku Utama

BAB I PENDAHULUAN

Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai
objek kajiannya. Kata linguistik (berpadanan dengan linguistics dalam bahasa Inggris,
linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistiek dalam bahasa Belanda) diturunkan
dalam bahasa latin lingua yang berarti ‘bahasa’. Bahasa Prancis mempunyai dua
istilah, yaitu langue yang berarti suatu bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris, bahasa
Jawa, dan bahasa Prancis. Sedangkan langage berarti bahasa secara umum, seperti
tampak dalam ungkapan ‘manusia punya bahasa sedangkan binatang tidak’. Orang
yang ahli dalam ilmu linguistik disebut linguis.

BAB II LINGUISTIK SEBAGAI ILMU


1) Keilmiahan Linguistik
Tiga tahap perkembangan:
a. Tahap spekulasi, dalam tahap ini dibicarakan mengenai sesuatu dan cara
mengambil kesimpulan dilakukan dengan sikap spekulatif atau dibuat tanpa
didukung oleh bukti-bukti empiris.
b. Tahap observasi dan klasifikasi, pada tahap ini para ahli di bidang bahasa baru
mengumpulkan dan menggolong-golongkan segala fakta bahasa dengan teliti
tanpa memberi teori atau kesimpulan apa pun.
c. Tahap perumusan teori, pada tahap ini setiap disiplin ilmuberusaha memahami
masalah-masalah dasar dan mengajukan pertanyaan mengenai masalah itu
berdasarkan data empiris yang dikumpulkan.

3
2) Subdisiplin Linguistik
Setiap disiplin ilmu biasanya dibagi atas bidang-bidang bawahan
(subdisiplin) atau cabang-cabang berkenaan dengan adanya hubungan disiplin itu
dengan masalah-masalah lain. Demikian pula dengan linguistik, dalam berbagai
buku teks linguistik mungkin akan kita dapati nama-nama subdisiplin linguistik
seperti linguistik umum, linguistik deskriptif, linguistik komparatif, linguistik
struktural, dan sebagainya.

3) Analisis Linguistik
Analisis linguistik dilakukan terhadap bahasa, atau lebih tepat terhadap semua
tataran tingkat bahasa, yaitu fonetik, fonemik, morfologi, sintaksis, dan semantik.
a. Struktur, sistem, dan distribusi. Bisa dikatakan struktur adalah susunan
bagian-bagian kalimat atau konstituen kalimat secara linier. Sistem pada
dasarnya menyangkut masalah distribusi. Distribusi yang merupakan istilah
utama dalam analisis bahasa menurut model strukturalisme Leonard
Bloomfield (tokoh linguis Amerika), adalah menyangkut masalah dapat
tidaknya penggantian suatu konstituen tertantu dalam kalimat tertentu dengan
konstituen lainnya.
b. Analisis bawahan langsung, sering disebut juga analisis unsur langsung atau
analisis bawahan terdekat (Immediate Constituent analysis) adalah suatu
teknik dalam menganilisis unsur-unsur atau konstituen-konstituen yang
membangun suatu satuan bahasa, entah satuan kata, satuan frase, satuan
klausa, maupun satuan kalimat.
c. Analisis rangkaian unsur dan analisis proses unsur, yaitu rangkaian unsur
yang mengajarkan bahwa setiap satuan bahasa dibentuk atau ditata dari unsur
lain. Misal, satuan ‘tertimbun’ terdiri dari ter- + timbun. Sedangkan analisis
proses unsur menganggap setiap satuan bahasa adalah merupakan hasil dari
suatu proses pembentukan. Jadi, bentuk ‘tertimbun’ adalah hasil dari proses
prefiksasi ter- dengan dasar timbun.

4
4) Manfaat Linguistik
Bagi linguis, akan membatunya dalam memahami karya-karya sastra
dengan lebih baik, sebab bahasa yang menjadi objek penelitian linguistik itu
merupakan wadah pelahiran karya sastra. Bagi guru, dapat melatih keterampilan
berbahasa dan dapat menerangkan kaidah-kaidah bahasa dengan benar. Bagi
penerjemah, pengetahuan linguistik mutlak diperlukan bukan hanya berkenaan
dengan morfologi, sintaksis, dan semantik saja, tetapi juga yang berkenaan
dengan sosiolinguistik dan kontrasif linguistik. Sedangkan bagi penyusun kamus
atau leksikografer menguasai semua aspek linguistik mutlak diperlukan, sebab
semua pengetahuan linguistik akan memberi manfaat dalam menyelesaikan
tuganya.

BAB III OBJEK LINGUISTIK: BAHASA

1) Pengertian Bahasa
“Apakah bahasa itu?” Seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983) dan
juga Djoko Kentjono (1982) “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi
dari Barber (1964: 21), Wardhaugh (1977: 3), Trager (1949: 18), de Saussure
(1966: 16) dan Bolinger (1975: 15). Dalam pendidikan formal di sekolah
menengah bahwa” bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah tetapi
juga tidak benar sebab hanya mengatakan” bahasa adalah alat”.

2) Hakikat Bahasa
a. Bahasa sebagai sistem, bahasa terdiri dari unsur-unsur atau komponen-
komponen yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu, dan membentuk
suatu kesatuan.
b. Bahasa sebagai lambang, umpamanya dalam membicarakan bendera Sang
Merah Putih sering dikatakan warna merah adalah lambang keberanian dan
warna putih adalah lambang kesucian.

5
c. Bahasa adalah bunyi, bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi. Jadi, sistem
bahasa itu berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi.
d. Bahasa itu bermakna, bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujd bunyi.
Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau
suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Oleh karena
lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide, atau pikiran, maka
dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
e. Bahasa itu arbitrer, yang dimaksud dengan arbitrer adalah tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep atau pengertian yang
dimaksud oleh lambang tersebut.
f. Bahasa itu konvensional, artinya semua anggota masyarakat bahasa itu
mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk
mewakilikonsep yang diwakilinya.
g. Bahasa itu produktif, kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda
produksi. Arti produktif adalah banya hasilnya atau lebih tepat terus menerus
menghasilkan.
h. Bahasa itu unik, artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak
dimiliki oleh orang lain.
i. Bahasa itu universal, artinya ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini.
j. Bahasa itu dinamis, karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan
manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan
manusia itu tidak tetap atau selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut
berubah, menjadi tidak tetap. Karena itula bahasa itu disebut dinamis.
k. Bahasa itu bevariasi, mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yaitu idiolek
adalah variasi atau ragam bahsa yang bersifat perseorangan. Dialek adalah
variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada
suatu tempat. Sedangkan ragam adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi, keadaan, atau keperluan tertentu.

6
l. Bahasa itu manusiawi, bahwa alat komunikasi manusia yang namanya bahasa
adalah bersifat manusiawi,dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat
digunakan oleh manusia.

3) Bahasa dan Faktor Luar Bahasa


a. Masyarakat bahasa, adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan
bahasa yang sama. Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa pada “
merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa
dapat menjadi luas dan dapat menjadi sempit.
b. Variasi dan status sosial bahasa, dalam beberapa masyarakat tertentu ada
semacam kesepakatan untuk membedakan adanya dua macam variasi bahasa
yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya, yaitu yang pertama adalah
variasi bahasa tinggi (T) digunakan dalam situasi- situasi resmi, dan yang
kedua adalah variasi bahasa rendah (R) digunakan dalam situasi tidak formal.
c. Penggunaan bahasa, suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus
memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING,
yakni: Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan
waktu terjadinya percakapan, Participants, yaitu orang- orang yang terlibat
dalam percakapan, Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan, Act sequences,
yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan, Key, yaitu yang
menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan,
Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara
lisan atau bukan, Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta
percakapan, dan Genres, yaitu menunjuk pada kategori atau ragam bahasa
yang digunakan. Kedelapan unsur tersebut dalam formulasi lain bisa
dikatakan dalam berkomunikasai lewat bahasa harus diperhatikan faktor-
faktor siapa lawan atau mitra bicara kita, tentang apa, situasinya bagaimana,
tujuannya apa, jalurnya apa dan ragam bahasa yang digunakan yang mana.
d. Kontak bahasa, bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan
saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang datang. Hal yang
sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah

7
terjadinya atau terdapatnya apa yang disebut bilingualisme dan
multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, sepertu interferensi,
integrasi, alihkode, dan campurkode.
e. Bahasa dan budaya, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf ( hipotesis Sapir-
Whorf) menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan atau bahasa itu
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.
Jadi bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Apa yang
dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat- sifat bahasanya.

4) Klasifikasi Bahasa
a. Klasifikasi genetis, disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan
garis keturunan bahasa-bahasa itu.
b. Klasifikasi tipologis, dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe-tipe yang
terdapat pada sejumlah bahasa.
c. Klasifikasi areal, dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah,
tanpa memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak.
d. Klasifikasi sosiolinguistik, dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa
dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat.

5) Bahasa Tulis, Aksara, dan Ejaan


Bahasa tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan,
sebagai usaha manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa
disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Namun, ternyata rekaman bahasa tulis sangat tidak sempurna. Banyak unsur
bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada yang tidak dapat direkam secara
sempurna dalam bahasa tulis, padahal dalam berbagai bahasa tertentu tiga unsur
itu sangat penting.
Hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan manusia mulai
menggunakan tulisan. Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan
tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat dari gua-gua di Altamira di Spanyol

8
Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar- gambar itu dengan bentuknya yang
sederhana secara langsung menyatakan maksud atau konsep yang ingin
disampaikan. Gambar- gambar ini disebut piktogram, dan sebagai sistem tulisan
disebut piktograf.
Beberapa waktu kemudian gambar-gambar piktogram itu benar- benar
menjadi sistem tulisan yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf
yang berupa satu gambar, melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf
ini selanjutnya tidak lagi menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah
digunakan untuk menggambarkan sifat benda atau konsep yang berhubungan
dengan benda itu. Piktograf yang menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini
disebut ideograf. Kemudian ideograf berubah menjadi lebih sederhana, sehingga
tidak tampak lagi hubungan langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud.
Sistem demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang
Yunani yang kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu
dengan menggambarkan setiap konsonan dan vokal dengan satu huruf.
Selanjutnya, aksara Yunani ini diambil alih pula oleh orang Romawi. Pada abad-
abad pertama Masehi aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara Latin)
menyebar ke seluruh dunia. Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan
dengan penyebaran agama Kristen oleh orang Eropa.
Jadi, sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu
aksara piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua
jenis aksara itu tidak ada yang bisa “merekam” bahasa lisan secara sempurna.
Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan
tepat dan akurat. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur-
unsur bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk memulai kalimat, koma untuk
menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk menyatakan
interogasi, tanda seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk
menyatakan penggabungan. Bahasa- bahasa di dunia ini dewasa ini lebih umum
menggunakan aksara Latin daripada aksara lain. Aksara Latin adalah aksara yang
tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal dan

9
huruf konsonan. Huruf vokal untuk melambangkan fonem vokal dan huruf
konsonan untuk melambangkan fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan.
Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan
makna dalam suatu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil
dalam aksara) ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa
tidak sama dengan jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.
Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah
ejaan yang melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya
setiap huruf hanya dipakai untuk melambangkan satu fonem. Jika demikian,
ternyata ejaan bahasa Indonesia belum seratus persen ideal, sebab masih ada
digunakan gabungan huruf untuk melambangkan sebuah fonem. Namun,
tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh lebih baik daripada ejaan bahasa
Inggris.

BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI

1) Fonetik
Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa
memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna
atau tidak. Fonetik artikulatoris, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat
bicara manusia bekerja dalam manghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana
bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik, mempelajaribunyi bahasa
sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Sedangkan fonetik auditoris,
mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga
kita.
Proses fonasi terjadinya bunyi bahasa dimulai dengan proses pemompaan
udara keluar dari paru-paru melalui pangkal tenggorok ke pangkal tenggorok,
yang dalamnya terdapat pita suara.

10
Klasifikasi Bunyi, Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga
faktor, yaitu pernafasan (sebagai sumber tenaga), alat ucap (yang menimbulkan
getaran), dan rongga pengubah getaran (pita suara).
a. Klasifikasi vokal, bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama
berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat
vertikal bisa bersifat horisontal.
b. Klasifikasi konsonan, berdasarkan posisi pita suara dibedakan adanya
bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara. Bunyi bersuara terjadi apabila pita
suara hanya terbuka sedikit, sehingga terjadilah getaran pada pita suara itu.
Yang termasuk bunyi bersuara, antara lain, bunyi /b/, /d/, /g/, dan /c/.
Bunyi tidak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar,
sehingga tidak ada getaran pada pita suara. Yang termasuk bunyi tidak
bersuara, antara lain, bunyi /s/, /k/, /p/, dan /t/.

Unsur suprasegmental. Tekanan atau stres, tekanan ini menyangkut


masalah keras lunaknya bunyi. Nada atau pitch, nada berkenaan dengan tinggi
rendahnya suatu bunyi. Jeda atau persendian, berkenan dengan hentian bunyi
dalam arus ujar.

Silabel atau suku kata, adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus
ujaran atau runtutan bunyi ujaran. Satu silabel biasanya meliputi satu vokal, atau
satu vokal dan satu konsonan atau lebih.

2) Fonemik
Identifikasi fonem, untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau
bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang
mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain
yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama.
Alofon, alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kamiripan fonetis.
Artinya banyak mempunyai kesamaan dalam pengucapanya.
Perubahan fonem, asimilasi dan disimilasi adalah peristiwa berubahnya
sebuah bunyi menjadi bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di
lingkungannya, sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang

11
sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. Netralisasi dan arkifonem, fonem
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna kata. Misalnya, bunyi [p] dan [b]
adalah dua buah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia karena terbukti dari
pasangan minimal seperti paru vs baru atau pasangan minimal rabat vs rapat.
Namun, dalam kasus pasangan [sabtu] dan [saptu] atau [lembab] dan [lembap],
kedua bunyi itu tidak membedakan makna. Umlaut, ablaut, dan harmoni vokal:
umlaut adalah perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah
menjadi vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya yang
tinggi. Ablaut adalah perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa
Indo Jerman untuk menandai berbagai fungsi gramatikal. Harmoni vokal yaitu
perubahan bunyi, contohnya kata at ‘kuda’ bentuk jamaknya adalah atlar ‘kuda-
kuda’. Metatesis dan epentesis, proses metatesis bukan mengubah bentuk fonem
menjadi fonem yang lain, melainkan mengubah urutan fonem yang terdapat
dalam suatu kata, contohnya selain bentuk sapu, ada bentuk apus dan usap. Dalam
proses epentesis sebuah fonem tertentu, biasanya yang homorgan dengan
lingkungannya, disisipkan ke dalam sebuah kata. Contoh dalam bahasa Indonesia
ada sampi di samping sapi.

3) Fonem dan Grafem


Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat
membedakan makna kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus
sebagai fonem atau bukan harus dicari pasangan minimalnya.
Grafem merupakan pelambangan fonem ke dalam transkripsi ortografis,
yaitu penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku
pada suatu bahasa, atau penulisan menurut huruf dan ejaan suatu bahasa.

BAB V TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI

1) Morfem
a. Identifikasi morfem, untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem
atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya

12
dengan bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-
ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah morfem.
b. Morf dan Alomorf. Alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertuturan)
dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah
satu, entah dua, atau juga enam buah. Selain itu bisa juga dikatakan morf dan
alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah
nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya; sedangkan
alomorf adalah nama untuk bentuk kalau sudah diketahui status morfemnya.
c. Klasifikasi Morfem
a) Morfem Bebas dan Morfem Terikat. Morfem bebas adalah morfem
yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan
sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu
dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan.
b) Morfem Utuh dan Morfem Terbagi. Morfem utuh adalah morfem
yangtanpa kehadiran morfem lain, yang termasuk morfem utuh seperti
[meja], [kursi], [kecil], [laut], dan [pinsil]. Morfem terbagi adalah
sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah,
misalnya kata ‘kesatuan’ terdapat satu morfem utuh yaitu satu.
c) Morfen Segmental dan Morfem Suprasegmental. Morfem segmantal
adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti
morfem [lihat], [lah], [sikat], dan [ber]. Jadi, semua morfem yang
berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem
suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur
suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.
d) Morfem Beralomorf Zero. Artinya morfem yang salah satu alomorfnya
tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur
suprasegmental), melainkan berupa kekosongan.
e) Morfem bermakna Leksikal dan morfem tidak bermakna Leksikal.
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-
morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya
sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya

13
morfem [kuda], [pergi], dan [lari]. Sedangkan morfem tak bermakna
leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri.
Contohnya morfem afiks [ber-], [me-], dan [ter-].
d. Morfem dasar, dasar, pangkal, dan akar. Istilah morfem dasar biasanya
digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Istilah bentuk dasar atau
dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang
menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Misalnya kata ‘berbicara’ yang
terdiri dari morfem ber- dan bicara. Istilah pangkal (stem) digunakan untuk
menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan afiks
inflektif. Contoh dari bahasa Inggris ‘books’ menjadi ‘book’. Akar (root)
digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi.

2) Kata
Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap
kata berdasarkan arti dan ortografi. Menurut mereka kata adalah satuan bahasa
yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh
dua buah spasi, dan mempunyai satu arti.
Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria
fungsi dalam mengklasifikasikan kata. Para tata bahasawan strukturalis membuat
klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau
konstruksi.
Untuk dapat digunakan dalam suatu kalimat, maka setiap bentuk dasar,
terutama dalam bahasa fleksi dan aglutunasi, harus dibentuk lebih dahulu menjadi
sebuah kata gramatikal melalui proses afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi.
Kata-kata dalam bahasa berfleksi, seperti bahasa Arab, bahasa Latin, dan
bahasa Sansekerta, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan
dulu bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa
itu. perubahan atau penyesuaian bentuk pada verba disebut konyugasi, dan
perubahan atau penyesuaian pada nomina dan ajektifa disebut deklinasi.
Pembentukan kata secara inflektif tidak membentuk kata baru atau kata
lain yang berbeda identitasnya dengan bentuk dasarnya; sedangkan pembentukan

14
kata secara deviratif membentuk kata baru atau kata yang bentuk leksikalnya
tidak sama dengan bentuk dasarnya.

3) Proses Morfemis
a. Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk
dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang
diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Misalnya
sufiks –s pada kata books. Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di muka
bentuk dasar, seperti me- pada kata menghibur. Infiks adalah afiks yang
diimbuhkan di tengah bentuk dasar. Misalnya infiks –el- padab kata telunjuk.
Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar. Misalnya
sufiks –an pada kata bagian. Konfiks adalah afiks yang berupa morfem
terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian
yang kedua berposisi pada akhir bentuk dasar. Misalnya konfiks per-/-an pada
kata pertemuan.
b. Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik
secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan
bunyi. Seperti ‘meja-meja’ dari dasar meja.
c. Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan
morfen dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk
sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda, atau yang
baru. Misalnya lalu lintas, daya juang, dan rumah sakit.
d. Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi. Konversi sering disebut juga
derivasi zero, transmutasi, dan transposisi adalah proses pembentukan kata
dari sebuah kata menjadi kata lain tanpa perubahan unsur segmental.
Modifikasi internal (sering disebut juga penambahan internal atau perubahan
internal) adalah proses pembentukan kata dengan penambahan unsur-unsur
(yang biasanya berupa vokal) ke dalam morfem yang berkerangka tetap (yang
biasa berupa konsonan). Ada sejenis modifikasi internal lain yang disebut
suplesi. Dalam proses suplesi perubahannya sangat ekstrem karena ciri-ciri
bentuk dasar tidak atau hampir tidak tampak lagi.

15
e. Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan
leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama
dengan makna bentuk utuhnya. Misalnya, bentuk ‘lab’ utuhnya
‘laboratorium’.
f. Produktifitas proses morfemis, yang dimaksud dengan produktifitas dalam
proses morfemis adalah dapat tidaknya proses pembentukan kata itu, terutama
afiksasi, reduplikasi, dan komposisi, digunakan berulang-ulang yang secara
relatif tak terbatas artinya ada kemungkinan menambah bentuk baru dengan
proses tersebut.

4) Morfofonemik
Disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau
peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik
afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Perubahan fonem dalam proses
morfofonemik ini dapat berwujud pemunculan fonem, pelepasan fonem,
peluluhan fonem, perubahan fonem, dan pergeseran fonem.

BAB VI TATARAN LINGUISTIK (3): SINTAKSIS

1) Struktur Sintaksis
Dalam pembicaraan struktur sintaksis, pertama-tama dibicarakan masalah
fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis. Istilah subjek, predikat,
objek, dan keterangan adalah peristilahan yang berkenaan dengan fungsi sintaksis.
Istilah nomina, verba, ajektifa, dan numeralia adalah peristilahan yang berkenaan
dengan kategori sintaksis. Istilah perilaku penderita, dan penerima adalah
peristilahan yang berkenaan dengan peran sintaksis.

2) Kata Sebagai Satuan Sintaksis


Dalam tataran morfologi, kata merupakan satuan terbesar; tetapi dalam
tataran sintaksis, kata merupakan satuan terkecil, yang secara hierarkial menjadi
komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frase. Dalam

16
pembicaraan kata sebagai pengisi satuan sintaksis, dibedakan adanya kata penuh
(fullword) dan kata tugas (functionword). Kata penuh adalah kata-kata yang
termasuk kategori nomina, verba, akjetifa, adverbia, dan numeralia. Sedangkan
kata tugas adalah kata-kata yang berkategori preposisi dan konjungsi.

3) Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan
kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang
mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Frase dibedakan menjadi 4
yaitu:
a. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen komponennya tidak
mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya
frase ‘di pasar’ yang terdiri dari komponen di dan pasar.
b. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya
memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Misalnya
‘sedang membaca’ dalam kalimat nenek sedang membaca komik di kamar.
c. Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua
komponen atau lebih yang sam dan sederajat, dan secara potensial dapat
dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, baik yang tunggal seperti dan, atau,
tetapi, maupun konjungsi terbagi seperti baik...baik, makin...makin, dan
baik...maupun....
d. Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling
merujuk sesamanya dan oleh karena itu, urutan komponennya dapat
dipertukarkan.

Salah satu ciri frase adalah bahwa frase itu dapat diperluas. Maksudnya frase
itu dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian
yang akan ditampilkan. Dalam bahasa Indonesia perluasan frase ini tampaknya
sangat produktif. Hal ini karena untuk menyatakan konsep-konsep khusus, atau
sangat khusus, atau sangat khusus sekali, biasanya diterangkan secara leksikal.

17
4) Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi
predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase,
yang berfungsi sebagai subjek, predikat, objek, atau keterangan. Fungsi subjek
dan predikat boleh dikatakan wajib, sedangkan fungsi lain bersifat tidak lain.
Jenis klausa dapat dibedakan berdasarkan strukturnya dan berdasarkan
kategori segmental yang menjadi predikatnya. Berdasarkan strukturnya dibedakan
adanya klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas adalah klausa yang
mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya subjek dan predikat.
Sedangkan klausa terikat memiliki struktur yang tidak lengkap, mungkin hanya
subjeknya saja atau predikatnya saja, atau mungkin keterangan saja.

5) Kalimat
Kalimat merupakan satuan bahasa yang “langsung” digunakan sebagai
satuan ujaran di dalam komunikasi verbal. Jenis kalimat dapat dibedakan
berdasarkan berbagai kriteria atau sudut pandang, yaitu:
a. Kalimat inti dan kalimat non-inti
b. Kalimat tunggal an kalimat majemuk
c. Kalimat mayor dan kalimat minor
d. Kalimat verbal dan kalimat non-verbal
e. Kalimat bebas dan kalimat terikat

Intonasi merupakan salah satu alat sintaksis yang sangat penting. Intonasi
dapat berwujud nada, tekanan, dan tempo. Dalam bahasa Indonesia, intonasi tidak
berlaku pada tataran fonologi danmorfologi, melainkan hanya berlakuk pada
tataran sintaksis. Tekanan yang berbeda akan menyebabkan intonasi yang
berbeda, akibatnya makna keseluruhan kalimat pun akan berbeda.

Modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis


perbuatan menurut tafsiran si pembicara atau sikap si pembicara tentang apa yang
diucapkannya. Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara
internal di dalam suatu situasi, keadaan, kejadian atau proses. Kala atau tenses

18
adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya perbuatan,
kejadian, tindakan atau pengalaman yang disebutkan di dalam predikat. Modalitas
adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pembicara terhadap hal
yang dibicarakan, yaitu mengenai perbuatan, keadaan, dan peristiwa atau juga
sikap terhadap lawan bicaranya. Fokus adalah unsur yang menonjolkan bagian
kalimat sehingga perhatian pendengar atau pembaca tertuju pada bagian itu.
Sedangkan diatesis adalah gambaran hubungan antar pelaku atau peserta dalam
kalimat dengan perbuatan yang dikemukakan dalam kalimat itu.

6) Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, sehingga dalam hierarkial
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi. Sebagai satuan bahasa yang
lengkap, maka dalam wacana itu terdapat konsep yang utuh yang bisa dipahami
oleh pembaca atau pendengar. Sebagai satuan gramatikal tertinggi, wacana
dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal.
Alat-alat gramatikal yang digunakan untuk membuat wacana menjadi
kohesif adalah konjungsi, kata ganti, dan ellipsis.
Jenis wacana ada wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan
sasarannya. Kemudian ada pembagian wacana prosa dan wacana puisi dilihat dari
pengguanaan bahasa apakaha dalam bentuk uraian atau puitik. Wacana prosa
dilihat dari isinya dibedakan adanya wacana narasi, wacana eksposisi, wacana
persuasi, dan wacana argumentasi.
Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau sub-
subsatuan wacana yang disebut bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf.
Namun, dalam wacana–wacana singkat sub-subsatuan wacana tidak ada.

BAB VII TATARAN LINGUISTIK (4): SEMANTIK

1) Hakikat Makna
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure
bahwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada
sebuah tanda linguistik.

19
2) Jenis-jenis Makna
a. Makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual. Makna leksikal adalah makna
yang dimiliki atau ada pada leksem mesti tanpa konteks apapun. Makna
gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi,
reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Makna kontekstual adalah makna
sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks.
b. Makna referensial dan nonreferensial. Sebuah kata disebut atau leksem
disebut bermakna referensial kalau adal referensnya atau acuannya. Kata-kata
seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermkna
referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata
seperti dan, atau, dan karena adala termasuk kata-kata yang tidak bermakna
ferensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
c. Makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif adalah makna asli,
makna asal, atau makna sebernarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna konotatif adalah makna makna alin yang ‘ditambahkan’ pada makna
denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa.
d. Makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dikasud dengan makna
konseptual adalah makna yang dimiliki sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apapun. Sedangkan makna sosiatif adalah makna yang dimiliki
sebuah leksesm atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan
sesuatu yang berada di luar bahasa.
e. Makna kata dan makna istilah. Penggunaan makna kata ini baru menjadi lebih
jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks
situasinya. Berbeda dengan kata, maka yang disebut dengan istilah
mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun
tanpa konteks kalimat.
f. Makna idiom dan peribahasa. Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya
tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal
maupun secara gramatikal. Yang disebut peribahasa memiliki makna yang
masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya
asosiasi antara makna asli dengan makna nya sebagai peribahasa.

20
3) Relasi Makna
a. Sinonimi atau sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya
kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lain.
b. Antonimi atau antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan
ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras
antara yang satu dengan yang lain.
c. Polisemi adalah sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu
mempunyai makna lebih dari satu.
d. Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan
sama maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata
atau bentuk ujaran yang berlainan.
e. Hipomini adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain.
f. Ambiguiti adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya
terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental
tidak dapat digambarkan dengan akurat.
g. Redundansi, istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya
penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.

4) Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah,
tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang
relative singkat, makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam waktu yang
relative lama ada kemungkinan makna tersebut akan berubah. Ini tidak berlaku
untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah kata saja, yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perkembangan dalam bidang ilmu dan
teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan pemakaian kata,
pertukaran tanggapan indera (sinestesia), dan adanya asosiasi.

21
BAB VIII SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK

1) Linguistik Tradisional
a. Zaman Yunani. Dalam perkembangannya di dalam aliran linguistik tradisional
dikenal linguistik zaman Yunani. Sejarah studi bahasa pada zaman Yunani ini
sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M sampai lebih kurang
abad ke 2 M. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan pada
linguis pada waktu itu adalah pertentangan antara bahasa bersifat alami (fisis)
dan bersifat konvensi (nomos).
b. Zaman Romawi. Studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan
dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya kerajaan
Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang terkenal antara lain, Varro (116 –
27 S.M) dengan karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya
Institutiones Grammaticae.
c. Zaman Pertengahan. Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat
perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi
Lingua Franta, karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan
bahasa ilmu pengetahuan.
d. Zaman Renaisans. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman ini
yang menonjol, yaitu yang pertama, selain menguasai bahasa Latin, sarjana-
sarjana pada waktu itu juga mengusai bahasa Yunani, Ibrani, dan Arab.
Kedua, selain bahasa Yunani, Ibrani, dan Arab, bahasa Eropa lainnya juga
mendapat perhatian.
e. Menjelang lahirnya linguistik modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang
sangat penting dalam sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan adanya hubungan
kekerabatan antara bahasa Sanskerta dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan
bahasa-bahasa Jerman lainnya.

2) Linguistik Strukturalis
a. Ferdinand de Saussure. Ferdinand de saussure (1857-1913) dianggap sebagai
bapak linguistik modern, pandangannya dimuat dalam buku course de
linguistique generle. Beliau mengemukakan teori bahwa setiap tanda

22
linguistik (signe) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan,
yaitu komponen signifiant (bentuk) dan komponen signifie (makna)
b. Aliran praha. Tokohnya Vilem Mathesius. Aliran praha inilah yang pertama-
tama membedakan tegas akan fonetik dan fonolog.
c. Aliran glosematik. Tokohnya Louis Hjemslev beliau terkenal karena usaha
untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri.
d. Aliran firthian. Tokohnya R. Firth (1890-1960) beliau terkenal karena
teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk
menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-
satuan fonematis dan satuan prosodi
e. Aliran linguistik sistemik. Tokohnya M.A.K Halliday belaiu mengembangkan
teori Fith mengenai bahasa khususnya yang berkenaan dengan segi
kemasyarakatan bahasa.Pokok-pokok pandangannya antara variasinya
pemberian bahasa tertentu berserta variasinya mengenai adanya gradasi dan
kontinum.
f. Aliran tagmemik. Tokohnya Kenneth L. Pike, menurut aliran ini satuan dasar
dari sintaksis adalah tagmen. Yang dimaksud tagmen adalah bentuk kata yang
dapat saling dipertukarkan untuk mengisisi slot tertentu.

3) Linguistik Transformasional dan Aliran-aliran Sesudahnya


a. Tata Bahasa Transformasi, teori ini lahir dengan terbitnya buku Noam
Chomsky yang berjudul ‘Syntactic Structure pada tahun 1957. Sejalan dengan
konsep langue dan parole dari de Saussure, Chomsky membedakan adanya
kemampuan  (competence) dan perbuatan berbahasa (performance).
b. Semantik Generatif, menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik
dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya adalah satu.
c. Tata Bahasa Kasus, teori ini pertama kali di perkenalkan oleh Charles J.
Fillmore dalam karangannya berjudul ‘The Case for Case’ tahun 1968. Yang
dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan
nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan

23
argumen dalam teori semantik generatif. Hanya argumen dalam teori ini diberi
label kasus.
d. Tata Bahasa Relational, teori ini muncul pada tahun 1970-an sebagai
tantangan langsung terhadap beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori
sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata bahasa transformasi. Tokoh-tokoh
aliran ini antara lain David M. Perlmutter dan Paul M. Postal.

4) Tentang Linguistik di Indonesia


Pada awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh para ahli
Belanda dan Eropa lainnya, dengan tujuan untuk kepentingan pemerintahan
kolonial. Pendidikan formal linguistik di fakultas sastra dan di lembaga-lembaga
pendidikan guru sampai akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-
konsep tata bahasa tradisional yang sangat bersifat normatif. Pada tanggal 15
November 1975, atas prakarsa sejumlah linguis senior berdirilah organisasi
kelinguistikan yang diberi nama Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI).
Anggotanya adalah para linguis yang kebanyakan bertugas sebagai pengajar di
perguruan tinggi negeri atau swasta dan di lembaga-lembaga penelitian
kebahasaan. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa
nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar Indonesia. Pelbagai segi
dan aspek bahasa telah dan masih menjadi kajian yang dilakukan oleh banyak
pakar dengan menggunakan pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis.
Dalam kajian bahasa nasional Indonesia, di Indonesia tercatat nama-nama seperti
Kridalaksana, Kaswanti Purwo, Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah
menghasilkan tulisan mengenai pelbagai segi dan aspek bahasa Indonesia.

24
2. Ringkasan Buku Pembanding

BAB I HAKIKAT BAHASA

Bahasa itu arbitrer, artinya tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa
(yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang terkandung dalam
lambang tersebut. Bahasa itu konvensional, artinya semua anggota masyarakat bahasa
itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep
yang diwakilinya. Bahasa itu bervariasi, artinya anggota masyarakat suatu bahasa
biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar
belakang budaya yang tidak sama. Bahasa itu identitas suatu kelompok sosial, artinya
bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena lewat bahasa tiap
kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain.

BAB II STUDI BAHASA

1) Studi Bahasa dan Ilmu Linguistik


Ilmu linguistik telah mengalami tiga tahap perkembangan ilmu. Tahap
pertama, yaitu spekulasi. Dalam tahap ini, pembicaraan mengenai sesuatu dan
cara mengambil kesimpulan dilakukan dengan sikap spekulatif. Artinya,
kesimpulan itu dibuat tanpa didukung oleh bukti-bukti empiris dan dilaksanakan
tanpa menggunakan prosedur-prosedur tertentu. Tahap kedua, adalah tahap
observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini, para ahli di bidang bahasa baru
mengumpulkan dan menggolong-golongkan segala fakta bahasa dengan teliti
tanpa memberi kesimpulan apa pun. Tahap ketiga adalah tahap perumusan teori.
Pada tahap ini setiap disiplin ilmu berusaha memahami masalah-masalah dasar
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah itu
berdasarkan data empiris yang dikumpulkan.

25
2) Pembidangan Linguistik
a. Berdasarkan cakupan objek kajiannya, dibedakan menjadi linguistik umum
yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa secara umum dan linguistik
khusus yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa yang berlaku pada
bahasa tertentu.
b. Berdasarkan kurun waktu objek kajiannya, dibedakan adanya linguistik
sinkronis yang mengkaji bahasa pada kurun waktu tertentu dan linguistik
diakronis yang mengkaji bahasa pada masa yang tidak terbatas.
c. Berdasarkan hubungan dengan faktor di luar bahasa, objek kajiannya
dibedakan menjadi linguistik mikro yang mempelajari struktur internal bahasa
dan linguistik makro yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor-
faktor di luar bahasa.
d. Berdasarkan tujuan kajiannya, dibedakan antara linguistik teoretis yang
berusaha mengadakan penyelidikan terhadap bahasa-bahasa atau juga
terhadap hubungan bahasa dengan faktor-faktor yang berada di luar bahasa
dan linguistik terapan yang berusaha mengadakan penyelidikan terhadap
bahasa atau hubungan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa untuk
memecahkan masalah-masalah praktis yang terdapat di dalam masyarakat.
e. Berdasarkan aliran atau teori yang digunakan dalam penyelidikan bahasa
dikenal adanya linguistik tradisional, linguistik struktural, linguistik
transformasional, linguistik semantik generatif, linguistik relasional, dan
linguistik sistemik. Bidang sejarah linguistik ini berusaha menyelidiki
perkembangan seluk beluk ilmu linguistik dari masa ke masa serta
mempelajari pengaruh ilmu-ilmu lain, dan pengaruh berbagai pranata
masyarakat terhadap linguistik sepanjang masa.

3) Manfaat Linguistik
Bagi linguis sendiri, pengetahuan yang luas mengenai linguistik tentu akan
sangat membantu dalam menyelesaikan dan melaksanakan tugasnya. Bagi
peneliti, kritikus, dan peminat sastra, linguistik akan membantunya dalam
memahami karya-karya sastra dengan lebih baik. Bagi guru, terutama guru

26
bahasa, pengetahuan linguistik sangat penting, mulai dari subdisiplin fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi, sampai dengan pengetahuan
mengenai hubungan bahasa dengan kemasyarakatan dan kebudayaan. Bagi
penerjemah, pengetahuan linguistik mutlak diperlukan dan bukan hanya yang
berkenaan dengan morfologi, sintaksis, dan semantik saja, melainkan juga yang
berkenaan dengan sosiolinguistik dan linguistik kontrastif. Bagi penyusun kamus
atau leksikografer, penguasaan semua aspek linguistik mutlak diperlukan, sebab
semua pengetahuan linguistik akan memberi manfaat dalam menyelesaikan
tugasnya. Bagi penyusun buku pelajaran atau buku teks, pengetahuan linguistik
akan memberi tuntunan bagi penyusun buku teks dalam penyusunan kalimat yang
tepat dan memilih kosakata yang sesuai dengan jenjang usia pembaca buku
tersebut.

BAB III DASAR-DASAR FONOLOGI

1) Jenis Fonetik
Fonetik terbagi atas tiga jenis, yaitu fonetik organis yang mempelajari
bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat bicara, fonetik
akustis yang mempelajari bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya, dan fonetik
auditoris yang mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu
oleh telinga kita.

2) Terjadinya Bunyi Bahasa (Fonasi)


Udara dipompakan dari paru-paru melalui batang tenggorok ke pangkal
tenggorok, yang di dalamnya terdapat pita suara. Pita suara itu  harus terbuka
supaya udara bisa keluar, melalui rongga mulut atau rongga hidung atau melalui
kedua-duanya. Kemudian udara diteruskan ke udara bebas.

3) Klasifikasi Bunyi Bahasa

27
a. Bunyi vokoid dihasilkan dengan udara yang keluar dari paru-paru tanpa
adanya hambatan. Proses terjadinya vokal, selain oleh hambatan udara,
dipengaruhi pula oleh gerakan bibir dan gerakan lidah.
b. Bunyi kontoid atau sering disebut konsonan adalah bunyi bahasa yang
dihasilkan oleh aliran udara yang menemui berbagai hambatan atau
penyempitan.
c. Bunyi semi vokoid sering disebut semi vokal. Bunyi ini dikategorikan ke
dalam bunyi ke dalam bunyi semi vokal karena dapat berstatus konsonan, dan
juga berstatus vokal.

4) Diftong atau Vokal Rangkap


Ketika memroduksi bunyi diftong atau vokal rangkap posisi lidah pada
bagian awal dan akhir tidak sama. Arus ujaran merupakan suatu runtunan bunyi
yang sambung-menyambung terus-menerus diselang-selingi dengan jeda singkat
atau jeda agak singkat, yang disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah
bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya.

BAB IV DASAR-DASAR FONOLOGI FONEMIK

1) Fonem
Objek kajian fonemik adalah fonem, yakni bunyi-bunyi bahasa yang
membedakan makna kata. Untuk menentukan apakah sebuah bunyi itu fonem atau
bukan, kita harus mencari sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu
membandingkannya dengan kata lain yang mirip. Adapun bunyi-bunyi yang
merupakan realisasi dari sebuah fonem, disebut alofon. Kita mengenal adanya
fonem segmental dan fonem suprasegmental. Fonem segmental terdiri atas vokal
dan konsonan. Ciri dan karakteristik vokal maupun konsonan ini sama dengan
klasifikasi bunyi vokal maupun konsonan. Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-
beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain
yang berada di sekitarnya. Beberapa perubahan fonem yang epentesis antara lain

28
asimilasi dan disimilasi, netralisasi dan arkifonem, umlaut, ablaut dan harmoni
vokal, kontraksi dan hilangnya bunyi, metatesis.

2) Fonem dan Grafem


Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau
membedakan makna kata. Untuk menetapkan sebuah bunyi berstatus sebagai
fonem atau bukan, antara lain harus dicari pasangan minimalnya, yang berupa dua
buah kata yang mirip, yang memiliki lingkungan yang sama dan satu bunyi yang
berbeda. Bila ternyata kedua kata itu memiliki makna yang berbeda, maka kedua
bunyi itu adalah dua buah fonem yang berbeda.
Alofon-alofon yang merealisasikan sebuah fonem itu dapat dilambangkan
secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik. Dalam transkripsi
fonetik ini setiap alofon, termasuk unsur-unsur suprasegmentalnya, dapat
digambarkan secara tepat atau tidak meragukan. Dalam transkripsi fonemik,
penggambaran bunyi-bunyi itu sudah kurang akurat, sebab alofon-alofon yang
bunyinya jelas tidak sama dilambangkan dengan lambang yang sama. Yang
dilambangkan adalah fonemnya, bukan alofonnya.

BAB V DASAR-DASAR FONOLOGI

Untuk menentukan apakah sebuah satuan gramatikal itu morfem atau bukan, kita
perlu membandingkan bentuk satuan gramatikal tersebut di dalam kehadirannya
dengan bentuk-bentuk lain dalam ujian. Jika bentuk tersebut ternyata muncul secara
berulang-ulang (walaupun dalam bentuk lain), maka bentuk tersebut adalah sebuah
morfem. Di samping merupakan bentuk yang berulang, morfem juga menunjukkan
makna tertentu baik leksikal maupun gramatikal. Adapun jenis-jenis morfem, yaitu:

a. Morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang dapat
muncul dalam ujaran tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam ujaran.
Sebaliknya, morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat muncul dalam ujaran
tanpa digabung dulu dengan morfem lain. Semua imbuhan (afiks) dalam bahasa
Indonesia adalah morfem terikat.

29
b. Morfem segmental dan morfem suprasegmental. Morfem segmental adalah
morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lari},
{kah}, {kali}, dan {ter}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah
morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang
dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental.
c. Morfem bermakna leksikal dan morfem tidak bermakna leksikal. Morfem
bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki
makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain.
Morfem tak bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang tidak mempunyai
makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini akan mempunyai makna dalam
gabungannya dengan bentuk lain dalam ujaran.

Morfem dasar, bentuk dasar (lebih umum dasar saja), pangkal, dan akar adalah
empat istilah yang biasa digunakan dalam kajian morfologi. Namun, kadang-kadang
istilah-istilah ini digunakan dengan pengertian yang kurang cermat. Pengertian
pangkal digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses
pembubuhan afiks inflektif. Akar digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat
dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua
afiksnya ditanggalkan.

Klasifikasi kata disebut juga penggolongan kata, atau penjenisan kata. Dalam
sejarah linguistik klasifikasi kata selalu, menjadi salah satu topik pembicaraan, sejak
zaman Aristoteles hingga kini, termasuk juga dalam kajian linguistik Indonesia.
Pembentukan kata sering disebut juga proses morfologi, yaitu proses terjadinya kata
yang berasal dari morfem dasar melalui perubahan morfemis.

BAB VI DASAR-DASAR SINTAKSIS

1) Alat Sintaksis

30
Alat sintaksis merupakan bagian dari kemampuan mental penutur untuk dapat
menentukan apakah urutan kata, bentuk kata, dan unsur lain yang terdapat dalam
ujaran itu membentuk kalimat atau tidak, atau kalimat yang didengar atau
dibacanya dapat diterima atau tidak.
a. Urutan. Dalam bahasa pada umumnya peranan urutan sangat penting, karena
ikut menentukan makna gramatikal.
b. Bentuk kata. Bentuk kata sebagai alat sintaksis biasanya diperlihatkan oleh
afiks (imbuhan).
c. Partikel atau kata tugas. Partikel atau kata tugas sebagai salah satu alat
sintaksis mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari kategori kata yang
lain.

2) Satuan Sintaksis
a. Kata sebagai satuan sintaksis. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal
memiliki makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses
morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah
satuan tuturan. Sedangkan yang disebut kata tugas adalah kata yang secara
leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi,
merupakan kelas tertutup, dan di dalam pertuturan dia tidak dapat berdiri
sendiri.
b. Frase sebagai satuan sintaksis. Frase adalah suatu konstruksi atau satuan
gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih, yang tidak berciri klausa dan
yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
c. Klausa sebagai satuan sintaksis. Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun
oleh kata dan atau frase, dan mempunyai satu predikat.
d. Kalimat sebagai satuan sintaksis. Kalimat adalah satuan bahasa yang secara
relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual
maupun potensial terdiri dari klausa.

3) Peran Sintaksis

31
Dalam pembentukan suatu konstruksi, misalnya kalimat, tiap unsur
memiliki andil dalam membentuk makna secara keseluruhan. Dengan kata lain
konstituen itu memiliki peran gramatikal masing-masing. Jenis peran itu ada
banyak. Beberapa di antaranya antara lain pelaku (agentif), tujuan (obyektif),
penerima (benefaktif), penyebab (kausatif), alat (instrumental), waktu (temporal),
tempat (lokatif), tindakan (aktif), sandangan (pasif), dan pemilikan (posesif).

BAB VII DASAR-DASAR SEMANTIK

1) Apa Itu Semantik?


Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics,
dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti ‘tanda’ atau dari
verba samaino yang berarti ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan para
pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna.
Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi,
sintaksis (tata bahasa), dan semantik.

2) Ruang Lingkup Semantik


Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas
dari konteks. Misalnya, kata culture (bahasa Inggris), yang berarti budaya di
dalam kamus Shadily & Echols disebutkan sebagai nomina (kata benda) dan
artinya, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan biakan (biologi). Makna
gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa atau makna
yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Makna
ideasional adalah makna yang muncul sebagai akibat penggunaan kata yang
berkonsep.

BAB VIII DASAR-DASAR PSIKOLINGUISTIK

32
1) Apa Itu Psikolinguistik?
Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis
yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang
didengarnya ketika berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu
diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984: 240), membatasi
psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Tujuan utama seorang
psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses yang melandasi kemampuan
manusia untuk berbicara dan memahami bahasa. Yang mereka kerjakan terutama
ialah menggali apa yang terjadi dalam individu yang berbahasa.

2) Subdisiplin Psikolinguistik
a. Neuropsikolinguistik berbicara tentang hubungan bahasa dengan otak
manusia.
b. Psikolinguistik Eksperimental berbicara tentang eksperimen-eksperimen
dalam semua bidang yang melibatkan bahasa dan perilaku berbahasa.
c. Psikolinguistik Terapan berbicara tentang penerapan temuan-temuan keenam
subdisiplin psikolinguistik ke dalam bidang-bidang tertentu, seperti psikologi,
linguistik, berbicara dan menyimak, pendidikan, pengajaran dan pembelajaran
bahasa, pengajaran membaca, neurologi, psikiatri, dan komunikasi.

BAB IX DASAR-DASAR WACANA

1) Hakikat Wacana
Istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak; vak, artinya
‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976). Apabila dilihat dari jenisnya, kata wacana
dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III
parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata
tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang

33
muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membendakan’
(nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau
‘tuturan’.

2) Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik terhadap wacana didasarkan pertama-tama pada ide
ahli filsafat Grice. Konsep-konsep pragmatik adalah kajian tentang tiga konsep
dalam interaksi komunikatif yaitu makna, konteks, dan komunikasi. Salah satu
jenis pragmatik yang relevan dengan wacana adalah teori kerjasama Grice.
Konsep sentral pragmatik Grice adalah makna penutur dan prinsip kerja sama.

3) Kedudukan Wacana dalam Satuan Kebahasaan


Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang dalam hierarki kebahasaan
merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan
dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa
amanat lengkap. Esensi sebuah wacana tidaklah hanya dipandang sebagai satuan
bahasa di atas tataran kalimat. Esensi sebuah wacana dapat dipandang dari sisi
komunikasi dan dari sisi maksud komunikasi itu sendiri.

4) Unsur-unsur Wacana
Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan
unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur
tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.
Unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana,
namun tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual
wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Adapun
unsur eksternal terbagi sebagai berikut:
a. Implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan. Implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-
ungkapan hati yang tersembunyi.

34
b. Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan,
sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/
penulis.
c. Inferensi percakapan adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi
dan konteks. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga maksud dari
pembicara. Dan dengan itu pula pendengar dapat memberikan responnya.

BAB X MASYARAKAT BAHASA DAN VARIASI BAHASA

1) Pengertian Masyarakat Bahasa


Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap
diri mereka memakai bahasa yang sama (Halliday, 1968). Frase ‘merasa atau
menganggap diri’ perlu ditekankan di sini, karena dari kenyataan sehari-hari,
sering kita jumpai adanya anggapan masyarakat mengenai bahasa yang berbeda
dengan konsep linguis mengenai hal yang sama.

2) Fungsi Bahasa
Fungsi ekspresif (untuk mengekspresikan perasaan pembicara), fungsi
direktif (untuk meminta seseorang untuk melakukan sesuatu), fungsi referensial
(untuk menyediakan informasi), fungsi metalinguistik (untuk mengomentari
tentang bahasa itu sendiri), fungsi puitis (untuk memfokuskan karakteristik bahasa
yang estetik, misalnya, puisi, moto, dan ritme), dan fungsi fatis (untuk
mengekspresikan suatu solidaritas dan empati kepada orang lain). Fungsi fatis ini
digunakan untuk memulai dan mempertahankan komunikasi.

3) Variasi Bentuk Direktif

35
Menurut Leech (1983), variasi bentuk direktif merupakan tindak tutur
yang dilakukan oleh penutur untuk membuat pendengarnya melakukan sesuatu,
bertindak, atau berkata. Bentuk tindak tutur direktif itu dapat bersifat langsung
dan tidak langsung.

4) Alih Kode dan Campur Code


Alih kode adalah peralihan atau kode bahasa, baik antarragam bahasa,
dialek, peralihan antarbahasa dan dapat juga berupa klausa atau kalimat lengkap
yang mempunyai kaidah gramatika sendiri. Alih kode dilakukan secara sadar
karena alasan-alasan tertentu. Penyebab terjadi alih kode karena adanya selipan
dari lawan bicara, pembicara teringat pada hal-hal yang perlu dirahasiakan, salah
bicara, rangsangan lain yang menarik perhatian, dan hal-hal yang sudah
direncanakan.

5) Diglosia
Diglosia diidentikkan sebagai situasi kebahasaan yang menunjukkan
adanya pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu masyarakat tutur. Ragam
tinggi dan rendah ini mengacu pada pemakaian bahasa yang dikaitkan dengan
situasi komunikasinya.

6) Kedwibahasaan (Billingualisme)
Bilingualisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa yang meliputi
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. . Bilingualisme
dipengaruhi oleh tingkat hubungan antara dua kelompok bahasa yang mungkin
saja bervariasi tingkatannya pada tiap individu yang dikenali dengan baik, mulai
dari menyimak sampai berbicara, dan dari membaca sampai menulis.

36
37

BAB III

PENILIAIAN BUKU

A. BUKU UTAMA

1. Kelebihan Buku

a. Materi yang dipaparkan sudah cukup lengkap secara umum sehingga dapat
menambah pengetahuan tentang linguistik bagi pembacanya.
b. Bahasa yang digunakan buku ini baku.
c. Di dalamnya terdapat soal evaluasi bagi pembacanya agar lebih memahami
tentang linguistik.

2. Kekurangan Buku

a. Bahasa buku yang baku membuat pembaca sulit memahami makna kata
ataupun kalimatnya.
b. Buku ini terlalu tebal dan isinya penuh hanya dengan tulisan sehingga
membuat pembacanya mudah bosan.
c. Buku ini jarang ditemukan di toko-toko buku umum.

B. BUKU PEMBANDING

1. Kelebihan

a. Buku memberikan informasi tentang kajian bahasa yang cakupannya sangat


luas namun dirangkum dan diuraikan secara ringkas dan padat.
b. Buku ini menggunakan kata-kata yang lugas dan baku sehingga mudah untuk
dipahami oleh semua kalangan orang.
38

c. Sampul buku cukup bagus sehingga menarik perhatian untuk dibeli.

2. Kekurangan

a. Buku terlalu monoton dalam menyampaikan isinya sehingga terlalu


mendominasi pada sebuah teori saja.
b. Subbab yang diberikan juga terlalu banyak sehingga membuat pembaca malas
untuk membacanya.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara popular orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang
bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Pada dasarnya setiap
ilmu, termasuk juga ilmu linguistik telah mengalami 3 tahap perkembangan, yaitu
spekulasi, observasi dan klasifikasi, dan perumusan teori. Dengan mempelajari linguistik
berarti membuka gerbang menuju berbagai pintu masuk pada bidang kajian kebahasaan
dan ilmu-ilmu lainnya. Buku ini membantu dan mempermudah proses pembelajaran
untuk memahami konsep-konsep yang termasuk dalam lingkup bidang kebahasaan
sebagai upaya menjelajahi samudera linguistik. Buku ini bebas digunakan oleh kalangan
apapun, baik pelajar dan mahasiswa. Karena buku ini berisi tentang sifat dasar sebuah
bahasa.

B. SARAN
Sebaiknya penulis menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami (tidak baku)
sehingga memudahkan para pembaca terutama bagi pemula untuk memahaminya. Dan
39

apabila ada penggunaan istilah-istilah kesastraan, alangkah baiknya untuk membuat


catatan kaki yang membahas artinya.
40

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.


Abdullah, Alek dan Achmad HP. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai