Semiotika
Oleh:
2173311014
MEDAN, 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan Critical Book Review ini
dengan tepat waktu. Makalah ini disusun dalam memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Semiotik. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan, isi maupun pemilihan ide. Oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang dapat membangun penulis agar dapat
menulis makalah yang lebih baik lagi.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca baik itu dari
dosen pengajar, teman-teman kuliah dan seluruh pembaca yang sudah mau menyempatkan
diri untuk membaca makalah ini. Terimakasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Identitas Buku
Buku Utama
1. Judul Buku : Handbook Of Semeotics
2. Pengarang : Winfried Noth
Buku Pendamping
1. Judul Buku : Semiotika Komunikasi
2. Pengarang : Drs. Alex Sobur, M. Si
3. Penerbit : Rosda
4. Tahun Terbit : 2009
5. Jumlah Halaman : 333
6. ISBN : 979-692-238-X
3
BAB II
PEMBAHASAN
Buku Utama
BAB I. PENDAHULUAN
“Bahasa dalam bentuk sintaksis dan morfologi pada satu sisi dan struktur bunyi pada
sisi yang lain, hanya merupakan sarana untuk menyampaikan segala aspek kemaknaan yang
hendak disampaikan oleh penuturnya” (Farera, 2004:2). Kutipan ini menyuratkan bahwa,
semantik (dalam penggunaan bahasa, baik tuturan langsung, maupun dalam bentuk literatur)
merupakan salah satu elemen yang sangat penting (untuk dikaji) dari struktur bahasa sebagai
media komunikasi dan informasi.
Tradisi pengkajian keilmuan terhadap bahasa, dalam hal ini pengkajian mengenai semantik,
penulis lakukan terhadap buku Handbook of Semeotics karya Winfried Noth, yang lebih
khusus pada bab VI. Pada bab VI ini Winfried Noth menjelaskan ranah kajian semiotik.
Ranah kajian semiotik ini terpusat pada literatur/ teks yang memiliki sifat estetis, seperti epik,
lirik, puisi, atau drama.
Ada beberapa sub bab yang dibahas dalam bab VI ini, diantaranya :
Dari beberapa sub bab di atas, dapat diketahui bahwa sub bab 1 hingga 8 background literatur
yang menjadi ranah kajian semiotik adalah literatur yang memiliki nilai estetis (karya sastra),
namun seiring dengan perkembangan penelitian semiotik, literatur yang dikaji kemudian
meluas kepada ideologi, dan teologi.
4
BAB II. RANGKUMAN HASIL BACA
Inti dari penelitian semiotik teks adalah bidang literatur. Pada awalnya penelitian semiotik
dilakukan pada literatur yang bersifat estetis dengan berbagai kandungan metafora, seperti
literatur, epik, lirik, puisi dan drama, namun seiring dengan perkembangannya, dimana
kepentingannya dalam mitos, ideologi, dan teologi, semiotik teks berubah menjadi fenomena
non estetika.
Bartes mengemukakan bahwa berdasarkan pada sebuah model linguistik yang lebih
sempit yang diperluas dari fonologi ke sintaksis. (Cf. Tingkat linguistik Martinet: fonim,
monim, dan frase) struktur-struktur diluar kalimat tidak lagi menjadi subyek dalam penelitian
linguistik. Penelitian pada tingkat tekstual kemudian dianggap semiotik.
Semiotik teks dalam perspektif ini adalah perluasan dari analisis ke dalam dimensi
pragmatik dari teks. Fokusnya berada dalam proses-proses komunikatif dan fungsi-fungsi
dari teks, dan perhatian khusus diberikan pada proses-proses pada resepsi teks, peran dari
pembaca.
Semiotik terhadap linguistik dimulai dengan analisis pada tanda-tanda non linguistik dan
kode-kode dalam teks. Hubungan diantara struktur-struktur linguistik dan tanda-tanda non
5
linguistik atau kode-kode dalam teks dapat menjadi salah satu dari pemetaan ikonik atau
salah satu dari persinggungan indeksikal. Pada kasus pertama, teks-teks verbal
menggambarkan atau menjelaskan mengenai tanda-tanda nonverbal atau visual (misalnya,
dalam sebuah puisi atau naratif). Dalam kasus kedua, teks verbal ditempatkan dalam konteks
tanda-tanda atau kode-kode non linguistik (misalnya, dalam teater, film, komik, dll).
Bakhtin, seperti yang dikutip oleh Todorov, menyebut teks sebagai “fakta primer” dalam
ilmu manusia: “Teks adalah realitas saat itu juga (realitas dari pemikiran dan pengalaman)
dimana pemikiran dan disiplin-disiplin ini dapat secara ekslusif menyusun dirinya sendiri.
Dimana tidak terdapat teks, tidak terdapat obyek dalam pengkajian atau pemikiran” (1981:
17). Secara lebih spesifik, Uspenskij dkk, menganggap teks sebagai “unsur utama (unit dasar)
dari kebudayaan” (1973: 6), sebagai sebuah pesan yang dihasilkan oleh sistem-sistem dalam
kode-kode budaya. (Untuk kriteria tambahan dari definisi ini lihat 3.2.1.)
Dalam artian yang lebih sempit, teks adalah hanya sebuah pesan verbal. Secara etimologi
teks, mengandung pengertian ‘sesuatu yang terjalin’, mengacu pada sebuah karakteristik
tekstualitas yang dapat dibatasi sebagai sebuah ‘keseluruhan yang padu’.
Dalam pandangan pragmatis, teks didefinisikan oleh kriteria komunikasi: teks adalah
pesan (verbal) dari seorang pengirim kepada seorang penerima. Hartmann, mengajukan
hipotesis dari teks sebagai tanda linguistik murni, menyatakan bahwa bahasa dalam
komunikasi selalu pada dasarnya teks (dan hanya secara sekunder kalimat, kata, dll) (1971:
10-11).
Kriteria pragmatik menentukan teks berada di dalam konteks situasionalnya. Konteks ini
terdiri dari fenomena tekstual dan ekstra tekstual, yang Lotman telah coba bedakan dengan
dua kriteria ekspresi dan demarkasi (1970: 51-52).
6
d. Teks Sebagai Sebuah Struktur Yang Padu
Dalam struktur sintaktik teks dan struktur semantik teks internalnya, teks dicirikan
sebagai sebuah otonomi dan dalam hal-hal tertentu sistem tertutup (cf. Ducrot & Todorov
1972: 294). Keseluruhan sistemik dari teks diciptakan oleh sebuah proses dalam integrasi dari
tanda-tanda individu kedalam sebuah tanda integral (Uspenskij dkk, 1973: 6) atau, dalam
terminologi semiotik teoritis informasi, kedalam sebuah supertanda (cf. Posner & Reinecke,
eds, 1977: 47-106).
Hermeneutik merupakan pendahulu dan disiplin yang berhubungan dengan semiotik teks.
Hermeneutik pada awalnya merupakan “seni dalam interpretasi”, hermeneutik merupakan
salah satu ilmu teks yang paling awal dan merupakan pendahulu dari semiotik teks. Seperti
retorik, hermeneutik memiliki akar yang penting pada Yunani kuno.
1. Asal-Usul Hermeneutik
a. Hermeneutik Kuno
Sebuah topik utama dari kritik tekstual kuno adalah penafsiran bahasa kiasan dari hasil
penelitian Homer. Kritik klasik ditujukan pada dua tingkatan analisis teks. Pada “tingkat
permukaan”, komentar tekstual harus menjelaskan makna-makna kata dan kalimat. Pada
analisis “tingkat dalam”, sebuah ‘arti tersembunyi’ kedua harus diungkap yang kemudian
dikenal dengan arti kiasan.
b. Penafsiran Injil
7
Dasar pemikiran kuno mengenai dua tingkat makna tekstual dikembangkan kedalam
sebuah sistem penafsiran yang kompleks oleh ahli teologi Kristen setelah Origines (185-254).
Tradisi hermeneutik membedakan tiga tahapan dalam analisis injil (cf. Robertson & Huppe
1951: 1-3): tahap pertama, disebut dengan littera, berkaitan dengan struktur gramatik. Pada
tahap kedua, yang disebut dengan sensus, makna yang jelas, harfiah atau naratif harus
dipahami. Littera dan sensus membentuk kulit luar dari teks. Pada waktu yang sama, sensus
mengandung tingkat pertama dari empat tingkat dalam makna-makna injil. Hal disebut
dengan makna harfiah atau makna historis (sensus litteralis, s. historicus). Makna yang lebih
luas yang berkaitan dengan dengan inti dari injil diungkap hanya pada tahap penafsiran
ketiga, yang disebut dengan setentia (lihat Contoh H 1). Tahap penafsiran dari sententia
adalah makna-makna spiritual dari Kitab Suci. Makna-makna ini dipelajari berdasarkan pada
doktrin yang rinci dari berbagai makna-makna kitab. Dalam injil setiap makna di pelajari
berdasarkan tiga gaya dari makna spiritual, yaitu
Dari tradisi filosofis ini, hanya dua masalah inti dalam memahami dan interpretasi, siklus
hermeneutik dan bentuk ideal dalam interpretasi/ pemahaman yang benar.
8
(semantik) historicus)
Nukleus(struktur 3. sententia Tiga makna spiritual(2)
inti) (penafsiran sensus tropologicus(3)
tekstual) sensus allegoricus
a. Siklus Hermeneutik
Dari kata-kata individu dan kombinasinya, keseluruhan dari sebuah kerja adalah untuk
dipahami, dan toh, pemahaman yang lengkap dari bagian individu telah mengandung arti
keseluruhan. Siklus ini terjadi lagi dalam hubungannya dengan kerja individu pada mentalitas
dan perkembangan dari penulisnya. Siklus ini terjadi lagi dalam hubungannya dengan kerja
individu ini pada genre sastra. (1900: 330)
Penentuan pemahaman oleh pra konsepsi individu dan pra disposisi historis dari penafsir
adalah salah satu topik utama dari hermeneutik. (Lihat juga masalah yang berhubungan dari
ideologi dalam Ideologi 2.2).
pra konsepsi ini menghasilan sebuah konteks dalam makna dimana teks diintegrasiskan dan
dimana teks tampak dipahami. Ketika teks disesuaikan dengan bingkai interpretatif tertentu,
pra konsepsi ini [ . . .] disesuaikan. Ketika teks bertentangan dengan dengan bingkai yang pra
diterima, berkontradiksi dengan ekspektasi semantik tertentu, pembaca akan tersinggung:
Hanya pada saat ini dia menciptkan situasi yang menuntut penafsiran eksplisit. Pemahaman
tekstual dilihat sebagai sebuah integrasi dari sesuatu yang asing menjadi sesuatu yang
familiar, sesuatu yang belum diketahui menjadi sesuatu yang telah diketahui [. . .] (1971: 24).
Siklus hermeneutik bukanlah sebuah lingkaran setan. Siklus hermeneutik bukanlah subyektik
atau obyektif, siklus hermeneutik menggambarkan pemahaman sebagai keadaan yang saling
mempengaruhi dalam gerakan dari tradisi dan gerakan dari penafsir. Antisipasi dari
signifikasi yang menentukan pemahaman dari sebuah tes bukanlah sebuah tindak
9
subyektifitas, tetapi ditentukan oleh komunitas yang menghubungkan kita dengan tradisi.
(1960: 252, 277).
Adanya perbedaan prespektif antara monosemi yang lebih mengacu pada teks dan
menekankan kepentingan pada maksud penulis yang dibuktikan dengan penafsiran
rekonsruktif, dan polisemi yang lebih mengacu pada perspektif pembaca yang dibuktikan
dalam penafsiran produktif.
Dari kelahirannya di Sisilia pada abad kelima sebelum masehi sampai berakhirnya pada
abad kesembilan belas, retorika, dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu wacana lainnya,
mengalami beberapa fase yang signifikan.
Retorika, seni kuno dari persuasi, dan gaya penulisan, turunannya yang terbaru, secara
programatik dicakup dalam bidang semiotik oleh mereka yang mempertimbangkan semiotik
menjadi sebuah disiplin yang mempelajari “kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (cf.
Saussure 2.1).
Pada awalnya, retorika merupakan seni dan teori dari penuturan publik. Aristotle (ca.
335-34 SM) dengan jelas membedakan disiplin ini dari puisi dan membahas keduanya dalam
acuan yang berbeda (cf. misalnya, Herrick 1965). Puisinya adalah sebuah teori dalam
literatur, yang berkaitan dengan epik, drama, dan lirik (hanya secara tidak langsung). Inti dari
puisi dicirikan oleh imitasi (cf. Literatur 2.1), sementara persuasi didefinisikan sebagai inti
dari retorika. Dipandang dari sudut semiotik, puisi didefinisikan dalam semantik dan
retorikanya dalam dimensi pragmatik.
10
b. Retorika, Tata Bahasa, Dan Logika
Tata bahasa didefinisikan sebagai seni dari penuturan yang benar (ars recte loquendi),
retorika adalah teori dan praksis dari penuturan yang baik secara teknis dan moral (ars bene
dicendi) (cf. Lausberg 1960: 35-40).
Dalam Rhetoric nya (1, 1-2; II, 20, 22), Aristoteles membahas baik paralel dan perbedaan-
perbedaan diantara seni persuasi dan logika, atau dialektik. Keduanya berkaitan dengan
metoda-metoda dalam penalaran dan argumentasi. Tetapi metoda-metoda dalam memberikan
bukti dengan sarana induksi atau deduksi (silogisme) berbeda. Logika mendapatkan bukti
dari kesimpulan yang diikuti oleh kebutuhan. Tetapi dalam retorika, persuasi seringkali
dicapai oleh bukti yang jelas saja. Disini, induksi berlanjut dengan memberikan contoh-
contoh faktual atau fiktif, dan deduksi oleh silogisme yang tidak lengkap (cf. Lausberg 1960:
199-200),
Retorika kuno mencakup gayapenulisan dalam cabang elocutio. Secara umum, tiga gaya
(genera) dibedakan (dalam beragam versi cf. Wimsatt & Brooks 1957: 102-103),gaya
penulisan yang luhur,gaya penulisan pertengahan atau umum, dangaya penulisan datar.
2. Retorika
Sistem rinci dari retorika kuno menekankan pada dimensi pragmatik dalam penuturan
persuasi. Morris menyebutkan retorika sebagai “sebuah bentuk awal dan terbatas dari
pragmatik” (1938: 30).
Aristoteles menggolongkan tiga faktor-faktor persuasi efektif, (a) “ciri personal dari
penutur,” (b) “menempatkan audiens kedalam sebuah bingkai pemikiran tertentu,” dan (c)
“bukti” dan “subyek”, membatasi fungsi-fungsi ekspresif, penunjukan, dan referensi dari
wacana
11
Kriteria pragmatik juga menjadi dasar dari tipologi wacana Aristoteles: Wacana forensik dan
yudisial diarahkan pada seorang hakim. Subyeknya adalah tuduhan atau pembelaan. Wacana
deliberatif diarahkan pada perkumpulan publik, yang didorong “untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.” Sebuah wacana dengan fungsi referensi dari pujian dan celaan disebut
dengan penuturan epideiktik.
3. Gaya Penulisan
Gaya seringkali didefinisikan dalam banyak artian yang lebih luas (tidak digunakan
dalam artikel ini). Hill, contohnya, mendefinisikangayapenulisan sebagai studi bahasa diluar
batas-batas dari kalimat (1958: 406). Gaya penulisan maka mencakup keseluruhan bidang
dalam linguistik teks.
Gaya penulisan tidak dibatasi pada bahasa atau literatur. Didefinisikan sebagai perbedaan
diantara pesan-pesan alternatif,gayabergantung pada kode. Oleh karenanya, kode-kode,
seperti lukisan, arsitektur, atau kebiasaan, mengandung arti gaya-gayanya sendiri (cf.
Uspenskij 1971a: 445). Ini membuatgayasebuah fenomena pansemiotik, sekalipun
identifikasi darigayapenulisan dan semiotik (teks) ditolak.
12
IV. LITERATUR
Semiotik dalam literatur mempelajari spesifik dari tanda-tanda dan sistem-sistem literal.
semiotik literatur menunjukan adanya saling tumpang tindih terutama dengan semiotik puitik
dan estetik. Juga, semiotik literatur tidak selalu jelas dibedakan dari semiotik teks sebagai
sebuah keseluruhan. Bab ini akan berfokus pada teori-teori semiotik dalam kesusasteraan.
Semiotik dalam literatur memiliki akar-akarnya dalam linguistik dan strukturalisme semenjak
FormalismeRussia. Disamping beragam pendekatan-pendekatan semiotik pada literatur,
semiotik literatur hanyalah salah satu diantara beberapa teori literatur modern lainnya.
Perbedaan dalam aliran-aliran semiotik dan tradisi telah mencegah sebuah konsensus umum
mengenai inti dari literatur.
Wacana mengenai literatur, yaitu kritik sastra, secara umum mengambil dua arahan,
penafsiran (atau interpretasi; cf. Hermeneutik) dan teori. Semiotik dalam literatur adalah
sebuah teori, tetapi dalam aplikasinya menjadi sebuah metoda dari penafsiran.
Studi semiotik mengenai puisi dalam artian yang lebih sempit adalah bagian dari semiotik
dalam literatur. Puisi juga kadang-kadang menjadi topik dalam studi dibawah judul semiotik
dan puisi. tetapi yang lainnya (cf. Todorov 1968, Culler 1975), puitik mencakup keseluruhan
bidang dalam literatur (cf. Retorika 1.1). Kepuitisan juga didefinisikan sebagai sebuah
fenomena semiosis yang lebih umum, terjadi di dalam dan diluar literatur dan bahkan bahasa
(lihat, misalnya, Film; cf. Ejxenbaum, ed 1927). Jakobson mendefinisikannya sebagai sebuah
fenomena pansemiotik (1960: 351). Dalam artian yang lebih luas, semiotik dari kepuitisan
bertemu dengan estetika semiotik. Poin-poin kontak ini membuatnya tidak mungkin untuk
membatasi kepuitisan secara jelas dari area-area yang berhubungan dalam bidang semiotik.
Dua posisi dasar telah secara dasar mendominasi debat semiotik dalam inti dari puitik (cf.
Koch 1983). Seseorang mempertimbangkan kepuitisan sebagai sebuah fungsi tekstual atau
sebuahgayadalam komunikasi; yang lainnya menggambarkannya sebagai sebuah struktur
tekstual. Untuk integrasi dari kedua prinsip didalam satu model semiotik dalam kepuitisan
13
semiotik yang dapat terjadi pada beragam tingkatan sebagai sebuah fungsi dari teks. Puisi,
disisi lain, mengandung arti kepuitisan, tetapi, sebagai tambahan, evaluasi dalam sebuah teks
sebagai puisi bergantung pada kaidah-kaidah literal dari sebuah era tertentu. Jakobson, oleh
karena itu, menyimpulkan: “Studi linguistik dalam fungsi puitis harus melangkahi batas-batas
dari puisi, dan, disisi lain, penelitian linguistik dalam puisi tidak dapat membatasi dirinya
sendiri pada fungsi puitis”
Sesuai dengan teori semiotik dalam literal dan otonomi estetik, Jakobson mendefinisikan
pesan puitik sebagai ototelik, yaitu, tidak memiliki fungsi lainnya disamping dirinya sendiri.
Secara umum, alat-alat struktural dalam puisi telah ditempatkan pada dua tingkat analisis
linguistik 1) Pada tingkat ekspresi, ciri spesifik dalam puisi secara umum telah menjadi
pengulangan fonetik dalam bentuk rima, aliterasi, atau struktur-struktur prosodik. 2) Pada
tingkat isi, puisi secara umum telah didefinisikan dipandang dari sudut deviasi semantik,
khususnya didalam retorika dan gaya penulisan.
1. Patokan
Kontribusi pada semiotik dalam teater telah datang dari aliran-aliran individu dalam
semiotik, dan baru-baru ini dari penulis yang telah mencoba sintesis pluralistik dalam
beragam pendekatan. Survey umum dalam bidang keseluruhan diberikan oleh Wittig (1974),
14
De Marinis & Magli (1975), Ertel (1977), de Lauretis (1979), Elam (1980), Lewis (1981), De
Marinis (1982: 9-23), Pavis (1982: 11-21), dan Esslin (1987).
Studi-studi semiotik awal mengenai teater dimulai pada tahun 1930-an dan 40-an didalam
estetika Aliran Praha. Diantara kontributornya adalah Zich (1931: cf. Steiner & Volek 1978),
Bogatyrev (1931; 1938; 1940), Brusak (1939), Honzl (1940), Veltrusky (1940; 1978; 1984a),
dan Mukarovsky (1941). Untuk survey secara umum lihat Deak (1976), Matejka & Titunik,
eds (1976: xi-xv), Slawinska (1978),Elam(1980: 5-19) dan Veltrusky (1981). Aliran-aliran
lainnya dalam semiotik mengembangkan kontribusi-kontribusi baru pada studi teater hanya
beberapa dekade kemudian.
Teori informasi dan linguistik matematik adalah model-model dari analisis untuk serangkaian
studi-studi: Frank (1959), Balcerzan & Osinski (1966), Dinu (1968; 1972), Schraud (1966),
Marcus (1970; 287-370; 1975), Ruffini (1973), dan Marcus, ed (1977). Dari sudut pandang
glossematik Hjelmslev, Jansen (1968) menggariskan sebuah semiotik dalam drama.
Sementara studinya berkaitan terutama dengan tes tertulis, Kowzan (1968; 1975), terinspirasi
oleh semiologi Saussure, yang meluncurkan sebuah teori dalam kode-kode teatrikal.
Pendekatan-Pendekatan Pluralistik
Menurut Alter, pendekatan-pendekatan semiotik pada teater berkaitan dengan “dua kategori
dalam tanda-tanda” yang penulis sebut sebagai tanda-tanda verbal dan tanda-tanda
pementasan (1981: 113-14). Studi-studi teater seringkali mengabaikan
salah satu dari dua dimensi semiotik dan maka menjadi korban dari satu atau dua
“kesalahan”: Kesalahan literal membawa pada asimilasi dari teater kepada hanya teks dan
hasil-hasil dalam reduksinya pada status dari sebuah genre literatur tertentu. Kesalahan dalam
penampilan, sangat populer, membawa pada asimilasi dalam teater pada hanya performa, dan
hasil-hasil dalam reduksinya pada status dari sebuah genre tertentu dari pertunjukan”. Usaha
untuk mengatasi kesalahan tersebut dalam sebuah pendekatan holistik pada media barangkali
salah satu dari ciri-ciri yang paling umum dalam pendekatan-pendekatan semiotik pada
teater.
15
2. Komunikasi Dalam Teater
Dengan menyangkal sifat komunikatif dalam semiosis teatrikal adalah dipahami hanya
dipandang dari sudut konsep-konsep dalam komunikasi dan signifikasi yang dikembangkan
oleh aliran fungsional semiotik dari Buyssens, Prieto, dan Mounin. Teori ini menyatakan
intensionalitas, bidireksionalitas, dan sebuah kode yang umum pada pengirim dan penerima
sebagai kriteria dalam sebuah semiosis komunikasi (q.v.2.4). Mounin menyatakan bahwa
interaksi semiotik tidak terjadi diantara audiens dan aktor-aktor dalam sebuah pertunjukan
teatrikal (1970b: 91).
Secara prototip, semiosis teatrikal terdiri dari dua sistem yang saling bersambung atau
bingkai-bingkai dalam komunikasi (cf. Pfister 1977: 21, Koch 1988: 4). Bingkai dalam
adalah komunikasi dalam panggung. Ini sebuah pertukaran bidireksional secara esensial
dalam pesan-pesan diantara sekurangnya dua aktor. Bingkai luar terdiri dari pesan penulis
(yang tanda-tandanya adalah aktor) pada audiens teatrikal. Aliran komunikasi ini adalah
unidireksional secara permukaan, tetapi jika beragam pesan-pesan feedback dari penonton
pada penulis dipertimbangkan, sistem luar ini memiliki aspek-aspek bidireksional, juga.
Analisis yang lebih komprehensif dalam komunikasi dalam teater telah seringkali dilakukan
dalam dasar model Jakobson dalam fungsi-fungsi komunikatif (misalnya, Revzine & Revzine
1971). Untuk fungsi-fungsi ini dalam semiosis teatrikal, lihat juga Pavis (1976: 23-25),
Pfister (1977: 149-68), Ubersfeld (1977: 42-44), dan Veltrusky (1978: 576-92). Elam
mengembangkan sebuah “model komunikasi teatrikal” yang lebih kompleks (1980: 39).
16
Obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, dan akting-akting diatas panggung memiliki ciri dari
sebuah tanda, apa saja struktur dari tanda-tanda tersebut, dan tipe-tipe tanda apa yang
digunakan dalam pertunjukan teater?
Esensi dari tanda teatrikal dan dinamika-dinamika semiotik adalah sebuah topik pengulangan
dari semiotik-semiotik teks Praha (cf. Bogatyrev 1936; 1938, Veltrusky 1940, 1981; untuk
ringkasan lihat Elam 1980: 3-19). Untuk kaum strukturalis Praha, teater adalah sebuah tempat
dari transformasi semiotik: Obyek-obyek materi, peristiwa-peristiwa, dan prilaku yang
memiliki sebuah fungsi praktis, non semiotik dalam kehidupan sehari-hari ditransformasi
kedalam tanda-tanda dengan dipresentasikan dalam konteks estetika dalam panggung.
Obyek-obyek, orang-orang, dan prilaku mereka adalah penanda dalam tanda-tanda teatrikal
yang dibentuk oleh ciri-ciri panggung, aktor, dan akting.
Berkaitan dengan tanda-tanda yang dibentuk oleh obyek, Bogatyrev membedakan diantara
tanda-tanda dalam obyek-obyek dan tanda-tanda dalam tanda-tanda (1938: 33-34). Tanda-
tanda dalam obyek, misalnya, sebuah kartu yang menunjukan sebuah gambar ‘rumah batu’,
menyiratkan hanya sebuah transformasi dari non semiotik pada semiotik. Tanda-tanda dalam
tanda-tanda, misalnya, sebuah kostum adat menunjukan pertama-tama sebuah nasionalitas
dan kedua sebuah status sosial, mentransformasi obyek non semiotik (“sepotong pakaian”)
dua kali kedalam unit-unit dalam makna kultural. Ini merupakan proses semiotik yang
Hjelmslev telah mencirikan sebagai sebuah semiotik-semiotik konotatif. Dalam tingkat-
tingkat makna konotatif tersebut dalam teater, lihat juga Ubersfeld (1977: 33-35) dan Elam
(1980: 10).
AKTOR REFERENSI-DIRI
Berkaitan dengan aktor-aktor dan akting. Veltrusky menekankan bahwa “materi yang aktor
gunakan adalah aktor diri itu sendiri, ciri-cirinya sendiri dan kemampuan-kemampuan”
(1978: 554). Penanda, manusia dan prilakunya, dan yang ditandakan, merepresentasikan
17
orang dan tindakan-tindakannya, adalah ciri yang sama: “Bahkan konsep dalam kesamaan
dalam arti semiotik yang paling sederhana dari kemiripan cenderung, oleh karena itu, untuk
memberikan cara pada gagasan dalam kesamaan.” Aspek ini dalam referensi-diri juga
ditekankan oleh Ubersfeld, yang menyatakan bahwa tanda teatrikal memiliki tiga referensi,
(1) di dalam dunia yang direpresentasikan secara teatrikalm (2) di dalam dunia ekstra
teatrikal dan, (3) dalam eksistensi materinya sendiri (1977: 37).
POLISEMI MULTIMEDIAL
Tanda-tanda teatrikal maka pada dasarnya adalah polisemi. Sebagai sebuah sumber dari
polisemi ini, Ubersfeld membahas perbedaan-perbedaan semiotik yang mungkin diantara teks
teatrikal sebagai naskah tertulis, disisi lain, dan sebagai performa, disisi lainnya (1977: 35-
36). Dalam interpretasinya, kedua bentuk dari teatrikal menyusun dua tanda-tanda triadik
independen secara potensial (dengan penanda, yang ditandakan, dan referensi).
Kaidah-kaidah dalam pertunjukan teater menyusun kode teatrikal, tetapi teater adalah sebua
media yang menggunakan banyak kode yang memiliki sebuah eksistensi semiotik diluar
panggung.
Kode Teatrikal
Kaidah-kaidah semiotik yang menyusun kode dan sistem dalam teater dibahas secara rinci
oleh Ertel (1977), Elam (1980: 49-87). De Marinis (1982: 113-38), dan Esslin (1987).
Dengan mengikuti Coseriu (lihat Sistem 2.2.3), Fischer-Lichte membedakan diantara kode
teatrikal sebagai sistem, sebagai norma, dan sebagai penuturan (1983a: 21-23). Sebagai
sistem, kode teatrikal terdiri dari semua unsur-unsur semiotik, kode-kode dan sub kode yagn
dapat digunakan dalam pertunjukan teater.
18
(3) mimik wajah (lihat Sinyal-Sinyal Wajah), (4) isyarat (q.v.), (5) gerakan (lihat Kinesik),
(6) tata rias, (7) gaya rambut, (8) kostum, (9) aksesoris panggung, (10) dekorasi, (11)
pencahayaan (cf. Russell 1978), (12) musik (q.v.), dan (13) efek suara.
VII. NARATIF
Semiotik naratif telah menjadi sebuah area klasik dalam semiotik teks. Bidang terdekat
adalah semiotik literatur, tetapi naratologi, teori naratif, juga berkaitan dengan naratif non
literal. Dalam dasarnya, naratologi semiotik juga dipengaruhi oleh analisis struktural dalam
mitos. Dengan mengikuti sebuah tradisi yang dimulai dengan kaum Formalisme Russia
(Propp) dan strukturalisme dalam antropologi (Levi-Strauss; lihat Mitos 2), penelitian
semiotik teks telah memberikan perhatian khusus pada unit-unit minimal dari sebuah naratif
dan prinsip-prinsip dalam kombinasi mereka ke dalam sebuah tata bahasa dalam plot.
Naratifitas, ciri spesifik dari sebuah teks naratif, adalah sebuah subyek dari penelitian antar
disiplin yang dikenal juga sebagai naratologi.
19
Naratifitas diperluas diluar lingkup dari sebuah genre spesifik dan media ekspresi. Didalam
bidang antar disiplin dari naratologi, beberapa pendekatan telah dibedakan disamping
perbedaan semiotik.
1. Lingkup Naratifitas
2. Lingkup Naratorogi
3. Pendekatan-pendekatan Semiotik pada Naratifitas
Dengan referensi pada teori kaum Formalis dalam kesusasteraan, ahli naratologi semiotik
telah mengajukan untuk mempelajari naratifitas (sebagai pengganti “naratif”) sebagai ciri
khusus dalam wacana naratif (cf. misalnya, Cerisola 1980: 109). Inti dari naratif telah
didefinisikan dalam hubungannya dengan beragam gaya-gaya lainnya dalam wacana.
Ahli naratologi mengakui kepentingan dari membedakan diantara wacana naratif dan
peristiwa-peristiwa yang dinarasikan. Perbedaan ini pertama-tama dibahas dalam bentuk
dikotomi, seperti mitos vs. mimesis dari Aristoteles (cf. Ricouer 1983: 31-35) atau baru-baru
ini cerita dan alur (atau wacana). Kemudian, beragam perluasan dari perbedaan dasar ini
diajukan (cf. Stierle 1975: 49-55, Segre 1979c: 1-56, Schmid 1984).
Motif, motifim (Dundes 1962: 101; Dolezel 1972), mitim, narim, naratif minimal (Labov &
Waletzky 1967, Dorfman 1969), cerita minimal, dan cerita inti (Prince 1973; 1982) adalah
konsep-konsep yang telah diajukan dalam mencari sebuah konstituen minimal dalam naratif
(cf. Kongas & Maranda 1971: 21). Dua pendekatan pada masalah ini dapat dibedakan:
Pertama adalah penetapan sebelumnya dalam narim dalam dasar sebuah logika tindakan
dasar, dan yang kedua adalah pendekatan sesudahnya, yang berasal dari narim dengan
deduksi dari sebuah kumpulan dalam naratif.
20
2.1 Unit Dasar Dalam Tindakan
Dari sudut pandang logika dalam tindakan, ahli naratologi telah mendefinisikan narim
sebagai unit-unit yang sesuai dengan satu, dua, atau tiga pernyataan.
1. Pandangan Monadik.
2. Pandangan Diadik dan Triadik Pada Narim.
Morphology of the Folktale (1928) dari Propp adalah titik tolak dari sebuah naratologi yang
berasal dari unit-unit dasar dari teks naratif sebagai sebuah keseluruhan dan/atau dari sebuah
kumpulan dalam naratif. Dengan metoda formalisnya. Propp menemukan sebuah naratologi
struktural yang beralih dari sebuah pendekatan etik pada sebuah pendekatan emik pada
struktur naratif (Dundes 1962; cf. Strukturalisme 1.1.3). Pengaruh Propp pada Levi-Strauss
dan studi struktural pada mitos, lihat Levi-Strauss (1973: 115-45) dan Mitos (2).
1. Fungsi-Fungsi Propp.
2. Motif dan Motifim
3. Fungsi-Fungsi Barthes.
Titik tolak berpengaruh lagi-lagi berasal dari Propp. Sintaks naratifnya dikembangkan lebih
jauh oleh Bremond, Greimas dan banyak ahli naratologi lainnya.
21
3.2 Makrostruktur Naratif
Waktu dan kausalitas sebagai dimensi-dimensi dasar dalam proses naratif (cf. Ricceur 1983-
84) menunjukan sebuah makrostruktur linear dalam narataif. Rangkaian-rangkaian seperti
“keadaan awal → transisi → keadaan akhir” (cf. Dijk dkk 1972: 17) atau masalah → solusi”
(cf. Todorov 1969: 76) menunjukan linearitas dalam makrostruktur naratif. Kebanyakan ahli
naratologi, bagaimanapun juga, menyetujui naratif-naratif yang pada dasarnya mengacu pada
rangkaian-rangkaian peristiwa dimana peristiwa terakhir secara semantik berhubungan
dengan peristiwa awal.
Perkembangan baru-baru ini terhadap sebuah pragmatik dalam naratifitas dibahas oleh Prince
(1983). Sebuah pendekatan pada struktur-struktur komunikasi naratif, berdasarkan pada
glosematik Hjelmslev, digariskan oleh Janik (1985). Wienold (1972) mengembangkan
sebuah pragmatik dalam naratifitas didalam teori pemrosesan teksnya, yang merupakan
sebuah varian semiotik teks dalam teori resepsi literal (cf. Holub 1984). Wienold
memperhatikan bukan pada “struktur-struktur teks” tetapi lebih kepada struktur-struktur dari
reaksi-reaksi pembaca pada naratif (1972: 65, 82; cf. Gulich & Raible 1977: 280-305). Dua
strategi dalam pemrosesan teks digambarkan sebagai umum dalam naratifitas oleh Wienold:
penyusunan kembali tekstual, dimana pembaca membentuk kembali peristiwa-peristiwa yang
dinarasikan dalam rangkaian logis mereka, dan komitmen resipien (Rezipientenengagement),
yang menggambarkan keterlibatan emosional pembaca dalam situasi-situasi naratif seperti
horor atau ketegangan. Untuk sebuah teori semiogenetik dalam ketegangan naratif, lihat
Koch (1985).
Dalam semiotik mengenai komunikasi visual, spesifik dalam naratifitas telah dipelajari
khususnya dalam bidang-bidang film (Metz 1968, Chatman 1978; 1980, Scholes 1982: 57-
22
72) dan komik-komik (Hunig 1974, Mathieu 1977: 257 dengan kepustakaan). Untuk
naratifitas dalam pengiklanan, lihat Pengiklanan.
VIII. MITOS
Mitos (dari bahasa Yunani, ‘kata’, ‘penuturan’, ‘cerita dewa’) “dapat didefinisikan
sebagai sebuah cerita atau sebuah gabungan dari unsur-unsur cerita yang diambil sebagai
mengekspresikan, dan oleh karena itu sebagai secara implisit menyimbolkan, aspek-aspek
yang mendalam dalam eksistensi manusia dan transmanusia” (Wheelwright 1974: 538).
23
Dengan buku Mythologies (1957) nya, Bathes menemukan sebuah pendekatan semiotik
pada kebudayaan modern yang mendefinisikan mitos bukan sebagai sebuah bentuk dari
naratif, tetapi sebuah fenomena dari kehidupan sehari-hari (lihat Barthes 2, Hervey 1982:
139-48, Lavers 1982: 113-27).
4. Kesadaran Mitologi
Mitos dan mitologi juga berada diantara topik dominan dalam semiotik Soviet (cf. Ivanov
1978b). Dalam tradisi ini, Lotman & Uspenskij mendefinisikan pemikiran mitologi seabgai
sebuah fenomena umum dalam kesadaran manusia (1974: 5): Dunia mitologi tampaknya
tersusun dari obyek-obyek holistik yang merupakan (a) tidak terintegrasikan kedalam hirarki,
(b) tanpa ciri-ciri struktural, dan (c) singular. Dalam sebuah dunia tersebut, tanda-tanda
tampak sebagai analogi pada kata benda-kata benda yang sesuai. Nama-nama tanpa ciri-ciri
semantik, semata-mata mendenotasikan obyek-obyek, dan, menurut Lotman & Uspenskij,
diidentifikasi dengan yang dinamakan. Dengan ciri-ciri ini, kesadaran mitologi
diinterpretasikan sebagai asemiotik: “Mitos dan nama yang secara langsung berhubungan
dalam sifat mereka [. . .]: Mitos adalah personal (nominasional), dan nama adalah mitologi”.
Dalam perspektif ini, kesadaran mitologi dalam sejarah kebudayaan “dimulai untuk diterima
sebagai sebuah alternatif pada pemikiran semiotik”, kadang-kadang bahkan sebagai sebuah
penyangkalan pada sistem-sistem tanda.
IX. IDEOLOGI
Studi ideologi membawa semiotik kedalam kontak antar disiplin dengan filsafat dan
ilmu sosial. Sebagai sebuah sains, ideologi telah berhubungan dengan semiotik modern
semenjak sejarah awalnya. Saat ini, analisis semiotik dalam ideologi adalah sebuah topik
pengulangan dalam semiotik-semiotik teoritis dan semiotik-semiotik teks, khususnya dalam
studi semiotik kritis dalam media massa.
1. Makna Ideologi
Istilah ideologi pertama kali digunakan pada tahun 1796 oleh A. L. C Destut de Tracy
untuk menunjukan sebuah empiris baru “sains dalam gagasan-gagasan” (cf. Rastier 1972a).
24
Dalam Zaman Pencerahan, bahasa Perancis ideologues (lihat Sejarah 3.3.4; Busse & Trabant,
eds 1986) mengembangkan “studi dalam asal-usul gagasan-gagasan” ini sebagai sebuah sains
yang bebas dari metafisik dan prasangka keagamaan. Ketika Napoleon kemudian menyerang
dan mencemooh filsuf-filsuf ini, konsep dalam ideologi dimulai untuk memperoleh sebuah
konotasi negatif.
Buku Kedua
PENDAHULUAN
Dengan sarana tanda-lah manusia bisa berpikir, karena tanpa tanda kita tidak dapat
berkomunikasi (Charles Sanders Peirce). Sebab komunikasi senantiasa terjadi dengan
perantaraan tanda-tanda (signs), dimana tanda-tanda tersebut menjadi basis seluruh
komunikasi (Littlejohn), dan semiotika-lah pendekatan yang paling berperan dalam kajian
komunikasi tanda (Sobur, 2004)
Pernyataan di atas memberikan kesan bahwa semiotika menjadi salah satu ilmu
penting dalam dinamika perkembangan metodologi ilmiah yang secara konsisten dan khas
dalam kajian komunikasi. Karena itu kita mendapati bahwa analisis semiotika muncul segera
setelah/bersamaan metodologi analisis teks komunikasi lainnya seperti analisis isi (content
analysis) dan analisis wacana (discourse analysis).
Sebagai satu corak khas (karakteristik) penelitian dalam bidang ilmu Komunikasi,
kajian pesan teks (analisis isi, analisis wacana hingga analisis semiotika) sesunguhnya masih
sangat minim dilakukan, khususnya di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
STAIN Pontianak. Meskipun dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir metodologi ini mulai
dikenalkan kepada mahasiswa di Prodi KPI melalui mata kuliah Metodologi Penelitian
Komunikasi, kenyataannya dalam penerapan tidaklah semudah yang dibayangkan. Ada
banyak faktor yang menyebabkannya. Satu diantara faktor utama tersebut adalah ketiadaan
contoh/pelopor kajian ini pada tingkat local (dosen dan mahasiswa), terutama dengan
pendekatan analisis semiotik.
Sebagai ilmu baru (atau baru mulai dikenalkan), mahasiswa di Program Studi KPI
patut didorong dan dibimbing dengan sungguh-sungguh untuk dapat menerapkan pendekatan
analisis semiotika ini dalam penelitian akhir (skripsi) sebagaimana analisis isi dan analisis
wacana yang sudah dimulai beberapa tahun ini, meski dengan kualitas yang sangat sederhana.
Akan tetapi, itulah upaya yang harus dilakukan, dan begitulah seharusnya kebijakan dalam
rangka pengembangan kajian ilmu komunikasi, dalam hal ini metodologi penelitiannya.
25
Tulisan sederhana ini sesungguhnya merupakan buah dari kegelisahan penulis
terhadap lemahnya kemampuan kita dalam pengembangan metodologi kajian komunikasi
pada satu sisi, dan pada sisi lain merupakan satu upaya awal untuk mendorong dan membantu
mahasiswa KPI lebih memahami analisis semiotika sebagai suatu pendekatan penting dalam
memahami teks/makna komunikasi, dan pada akhirnya dapat diterapkan dalam penelitian
akhir mereka (skripsi mahasiswa).
26
Menurut van Zoest (1993), semiotika atau semiologi menjadi ilmu pengetahuan yang
sangat penting dalam komunikasi manusia, sebab manusia hidup senantiasa memerlukan
tanda dan simbol. Disinilah kita menemukan beberapa istilah yang menunjukkan hubungan
erat manusia dengan tanda atau simbol sebagaimana istilah homo semioticus dalam van Zoest
(1993), atau homo symbolicum dalam diskursus filsafat humanism, dan animal symbolicum
dalam Erns Cassirer dan Susanne Langer (Nuerhadi dalam Sobur, 2004: 14). Meskipun dalam
perjalanannya kedua istilah ini mendatangkan perdebatan tersendiri di kalangan semioticus
yang beranggapan bahwa penggunaan istilah animal untuk manusia merupakan
penghinaan/merendahkan, dan itu berbeda dengan sebutan homo.
Realitas perdebatan tersebut sesungguhnya tidak sampai pada substansi keilmuan
Semiotika itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan ini sebagai satu
metode penelitian ilmiah, khususnya dalam studi pemaknaan simbol atau teks media hingga
saat ini. Dinamika ini pada akhirnya melahirkan berbagai upaya aplikasi metodologi
penelitian semiotika dalam kajian komunikasi.
27
itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal yang lain, sebagai contoh,
asap menandai adanya api (Sobur, 2004: 17).
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak mempunyai
arti apa-apa dalam komunikasi. Tanda-tanda tersebut akan mempunyai arti ketika dimaknai
oleh pengirim (pemberi tanda) dan pembacanya (penerima tanda). Pembaca (penerima tanda)
itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan
konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan.
28
Ikon adalah suatu lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh objek yang
dinamis karena sifat-sifat internal yang ada (a sign which is determined by is dynamic object
by virtue of ist own internal nature), meskipun biasanya objek yang menjadi acuannya tidak
hadir. Hal-hal seperti kemiripan (resemblance), kesesuaian, tiruan, dan kesan-kesan atau citra
menjadi kata kunci untuk memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang
bersifat ikonik. Dengan kata lain, Ikon merupakan satu benda fisik (dua atau tiga dimensi)
yang menyerupai apa yang direpresentasikan (mirip-kemiripan). Misalnya foto Megawati
adalah ikon Megawati, gambar Amin Rais adalah ikon Amin Rais (Sobur, 2004: 158).
Menurut Zoest (dalam Sobur, 2004), ikon dapat dijelaskan dalam tiga bentuk; 1). Ikon
spasial atau topologis, yang ditandai dengan adanya kemiripan antara ruang/profil dan bentuk
teks dengan apa yang dijadikan acuannya; 2). Ikon relasional atau diagramatik dimana terjadi
kemiripan antara hubungan dua unsur tekstual dengan hubungan dua unsur acuan; 3). Ikon
metapora, dimana hubungan dilihat bukan lagi karena adanya kemiripan antara tanda dan
acuan, melainkan antara dua acuan, yang mana kedua-dua diacu dengan tanda yang sama,
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Dalam konteks seni, ikon metapora (menurut
Dahana, dalam Sobur, 2004) biasanya muncul dalam bentuk parabel, alegori atau kisah
metafisis.
Sementara indeks menunjuk pada lambang yang cara pemaknaannya lebih ditentukan
oleh objek dinamis dengan cara being in a real relation to it (keterkaitan yang nyata
dengannya). Proses pemaknaannya tidak bersifat langsung, melainkan dengan mengkait-
kaitkan maknanya. Contoh asap selalu dikaitkan dengan api, nangis dikaitkan dengan
kesedihan, dsb.
Indeks juga dapat dilihat dalam contoh lain misalnya kata rokok yang memiliki indek
asap, dimana hubungan indeksional antara rokok dengan asap terjadi karena terdapatnya
hubungan ciri yang bersifat tetap antara rokok dan asap. Kata-kata yang memiliki hubungan
indeksional masing-masing memiliki ciri utama secara individual yang saling berbeda dan
tidak dapat saling menggantikan sebagai rokok dengan asap mempunyai ciri utama yang
saling berbeda (lihat dalam Sobur, 2004: 159).
Simbol sendiri dalam semiotika biasanya dipahami sebagai a sign which is
determined by its dynamic object only in the sense that it will be so interpreted (suatu
lambang yang ditentukan oleh objek dinamisnya dalam arti ia harus benar-benar
diinterpretasi). Interpretasi yang dimaksudkan adalah satu upaya pemaknaan terhadap
lambang-lambang simbolik dengan melibatkan unsur dari proses belajar, berdasarkan
pengalaman sosial dan kesepakatan dalam masyarakat tentang makna lambang tersebut.
29
Contoh, bendera disepakati sebagai lambang yang bersifat simbolik dari suatu bangsa yang
karenanya segenap warga bangsa melakukan penghormatan terhadapnya. Lihat penjelasan
lebih lanjut dalam Pawito (2007), Sobur (2004).
Dalam banyak kasus, kita sering menganggap simbol dengan tanda itu sebagai sama.
Padahal keduanya berbeda. Dimana tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan
simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia
dengan objek. Dengan kata lain simbol lebih substantif daripada tanda. Dalam konteks tanda,
salib yang dipajang di gereja menjadi identitas sebagai rumah ibadah umat Kristen.
Sementara sebagai simbol, salib tersebut merupakan lambang penghormatan atas
pengorbanan jiwa dan raga Kristus demi umat manusia (Liliweri, 2001: 296).
Berikut ini adalah gambaran singkat penerapan analisis semiotika dalam berbagai
bidang dan objek kajiannya dalam disiplin ilmu komunikasi, yang meliputi pemberitaan
media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik-kartun, sastra, dan
musik (Sobur, 2004: 110).
30
pendekatan politik-ekonomi (the political-economiy approach), pendekatan organisasi
(organizational approach) dan pendekatan budaya (culturalist approach).
Pendekatan politik-ekonomi berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media (faktor eksternal).
Kekuatan tersebut antaranya adalah pemilik media, pemodal, dan pendapatan media. Faktor
inilah yang dipercayai lebih menentukan mengenai berita/peritiwa apa yang bisa dan tidak
bisa ditampilkan/diberitakan dalam media.
Pendekatan organisasi berpendapat kebalikan dari politik ekonomi di atas.
Pendekatan ini berpandangan bahwa organisasi pengelola medialah yang menentukan proses
pembentukan dan produksi berita melalui praktek kerja, professionalisme, tata aturan
organisasi dan mekanisme yang ada di ruang redaksi (paktor internal). Ideologi media
merupakan bagian dari paktor ini, dimana ia akan tercermin dalam keseluruhan nilai yang
dijadikan landasan kerja organisasi pengelola media. Ideologi media itu pulalah pada
akhirnya akan menjadi acuan dan nilai dasar bagi semua pengelola (organisasi media) dalam
menentukan (memilih) berita mana yang layak dan tidak layak diterbitkan, dalam bentuk apa
dan cara yang bagaimana sebuah berita harus dipublikasikan, dst. Di sinilah media lebih
banyak tampil sebagai “perumus realitas” (definer of reality) sebagaimana ideologi yang
melandasinya, ketimbang menjadi “cermin realitas” (mirror of reality) (lihat Sobur, 2004)
Pendekatan budaya berpendapat bahwa pemberitaan media ditentukan oleh kedua-dua
faktor di atas (eksternal dan internal) secara bersamaan. Media pada dasarnya mempunyai
mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi dengan berbagai pola
tersebut dalam memaknai peristiwa tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan politik-
ekonomi di luar media.
Melalui tanda (sign), analisis semiotika pada media juga melihat bagaimana huhungan
pemilik media dengan konstruk sosial (realitas) yang dibangun memalui pemberitaan media.
Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif
dan efisien. Akan tetapi pada prakteknya, seringkali apa yang disebut sebagai kebenaran itu
ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian
bisnis maupun politis. Bahkan menurut Budi Susanto (1992) sebagaimana dikutif dalam
Sobur (2004), “kebenaran sesungguhnya adalah milik perusahaan”. Atas nama kebenaran
itulah menurut Leksono (1998) realitas ditampilkan oleh media, yang bukan hanya realitas
tertunda, namun juga realitas tersunting
31
Analisis Semiotika pada Film
Penelitian terhadap film atau bentuk-bentuk narative story lain yang bersifat audio-visual
dapat dilakukan dengan memilih salah satu model analisis semiotika tertentu (Pawito, 2007:
155-156). Bagaimana analisis semiotika diterapkan pada sebuah film, penelitian Aditia S.
Hapsari (2005) yang mengkaji film Biola tak Berdawai produksi Kalyana Shira Film
(bekerjasama dengan Cinekom) dapat dijadikan contoh dalam kajian ini (lihat dalam Pawito,
2007: 165-167).
Dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, Hapsari mengkaji makna
lambang yang terdapat dalam film tersebut. Kesannya dengan kajian tersebut adalah Film
yang disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara (sekaligus penulis skenario) ini sarat dengan pesan-
pesan moral, terutama cinta kasih dengan konteks yang bervariasi, seperi cinta kasih terhadap
sesama, cinta kasih antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, cinta kasih dalam konteks
ibu dan anak, serta cinta kasih terhadap seluruh makhluk ciptaan Tuhan berupa binatang dan
tumbuhan.
Analisis semiotika pada film tersebut memperlihat nilai kecintaan terhadap sesama
manusia yang disimbolkan dengan adegan tokoh-tokoh sentral (Bhisma, Renjani dan Mbak
Wid) yang mau merawat Dewa dan anak-anak cacat lainnya di Panti Asuhan Ibu Sejati
dengan tulus penuh kasih sayang kendati orang tua anak-anak bersangkutan telah membuang
mereka.
Kemudian cinta kasih dalam pengertian umum antara seorang lelaki dengan seorang
perempuan dapat dipahami dari simbol romantisme jalinan hubungan asmara antara Bhisma
(yang diperankan oleh Nocholas Saputra) dan Renjani (yang diperankan oleh Ria Irawan).
Cinta kasih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan dapat dipahami dari simbol lakonan
Renjani yang berusaha menangkap seekor kupu-kupu tampa melukai atau menyakitkannya.
Selain itu, film yang berdurasi 90 menit itu juga membawa pesan moral lain, yakni
ketegaran dan kejujuran. Hal ini disimbolkan (signed) lewat tokoh Renjani yang begitu tegar
menjalani hidup dengan tindakan terpuji-mendirikan panti Asuhan untuk menampung anak-
anak cacat dan terbuang dari orang tuanya-meskipun dirinya sendiri adalah perempuan
korban pemerkosaan dan melakukan aborsi. Lihat dalam Pawito (2007).
Contoh di atas memberikan satu bentuk pemaknaan pesan pada sebuah film melalui
tanda-tanda (signs). Film (menurut van Zoest, 1993) umumnya dibangun dengan banyak
tanda, dimana tanda-tanda tersebut (termasuk berbagai sistem tandanya) bekerjasama dengan
baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan, terutama dalam bentuk gambar dan suara
(lihat dalam Sobur, 2004: 128).
32
Analisis Semiotika pada Musik
Apa yang dapat kita kaji pada musik yang menganut sistem tanda auditif. Aart van Zoest
(1993) memberikan tiga kemungkinan cara dalam melalukan analisis semiotika pada musik.
Lihat dalam Sobur (2004: 144-145).
Pertama, untuk menganggap unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala-
gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikian, irama musik dapat dihubungkan dengan
ritme biologis. Kedua, untuk menganggap gejala-gejala struktural dalam musik sebagai ikonis
bagi gejala-gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal. Ketiga, untuk mencari
denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat
indeksikal.
Bagi Zoest, sifat indeksikal tanda musik ini merupakan kemungkinan yang paling
penting, sebab simbolitas juga wujud dalam musik, baik menyangkut jenis, historisitas,
maupun gaya senantiasa menjadi bagian yang kompleks yang diekspresikan dalam musik.
Melalui tanda (sintak, semantic dan ekspressif), kita bukan hanya dapat mengenali
pesan/makna yang disampaikan dalam musik, akan tetapi juga dapat mengenali perasaan
seseorang (kebahagian, kesedihan, dan sebagainya) melalui musik. Lihat contoh analisis
Zoest dalam Sylado (1977) yang menafsirkan tanda-tanda kesedihan lewat lagu pop Amerika
tahun 60 –an yang berjudul Crying in the Rain, hit besar Everly Brothers (Sobur, 2004: 146).
Sebagai satu proses simbolik, Alan P. Marriam melalui bukunya Anthropology of
Music menekankan pentingnya studi tentang fungsi musik dalam masyarakat. Menurutnya,
simbolisme musik dan fungsinya dapat dikaji melalui aspek instrumentation, word of songs,
native typology and classification of music, role and status of musicians, function of music in
relation to other aspect of culture and music as creative activity (Bandem, 1981, dalam
Sobur, 2004: 147).
Musik juga sesungguhnya menjadi refresentasi dari kehidupan masyarakat kita, sebab
musik merupakan ekspresi dari perasaan dan hati seseorang. Memahami masyarakat dan
perasaannya antara lain dapat dilakukan melalui kajian musiknya, sebagaimana mengkaji
musik juga dapat memberikan gambaran tentang masyarakat dan perasaan orang-orang di
sekitarnya. Itulah kepercayaan dalam analisis semiotika komunikasi pada musik.
33
2.2 Penilaian Terhadap Buku
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pada bab VI ini Winfried Noth menjelaskan ranah kajian semiotik. Ranah kajian
semiotik ini terpusat pada literatur/ teks dan memperkenalkan beberapa definisi utama dari
teks dan kriteria tekstualitas.
Adapun teks yang dikaji pada awalnya adalah teks yang memiliki sifat estetis, seperti
epik, lirik, puisi, atau drama, namun seiring dengan perkembangan penelitian semiotik,
literatur yang dikaji kemudian meluas kepada ideologi dan teologi.
Demikian simpulan hasil baca ini, pelaksanaan diskusi yang saling mengisi sebagai
tindak lanjut kegiatan membaca ini, menjadi sebuah harapan agar adanya peningkatan
pemahaman mengenai buku ini.
Pada prinsipnya; kata, simbol, lambang atau apapun tanda (signs) dalam komunikasi
tidak mempunyai makna pasti. Akan tetapi manusia (yang menggunakannya) lah yang
memberikan makna terhadap kata, simbol, lambang atau apapun tanda tersebut. Words don`t
mean people means, demikian aksioma komunikasi menegaskan.
Sementara pada sisi lain, komunikasi adalah suatu hal yang mesti terjadi dan tak
terelakkan dalam hubungan sosial kita sebagaimana dalam aksiomanya we can`t not to
communication. Di mana dalam proses komunikasi, lambang, simbol atau tanda (signs)
menjadi paktor penting dalam pertukaran makna/pesan atau maksud berkomunikasi. Karena
itu, memahami lambang, simbol dan seperangkat tanda dalam komunikasi menjadi sesuatu
yang niscaya (mutlak) untuk menemukan makna/pesannya. Dalam hal ini, analisis semiotika
menjadi ilmu penting yang harus dikuasai, bersamaan dengan analisis lainnya dalam
memahami makna/pesan dalam disiplin ilmu komunikasi, khususnya teks media.
Akhirnya, semoga perspektif teoritis yang singkat mengenai analisis semiotika sebagai
satu pendekatan memahami makna teks dalam komunikasi ini dapat membantu pemahaman
para pencinta kajian dan penelitian komunikasi kedepan, amin.
35
3.2 Saran
Saran dari saya sebagai pembaca adalah agar penulis agar lebih memerhatikan dalam
pengetikan serta tanda bacanya dan lebih melengkapi isi buku sehingga disaat pembaca
sedang mencari informasi atau membaca itu dapat mendapatkan informasi yang lengkap.
Semoga penulis dapat menulis buku dengan baik lagi dan lebih semngat dalam menulis buku.
36