Anda di halaman 1dari 24

METAFORA PADA NOVEL BUMI MANUSIA KARANGAN

PRAMOEDYA ANANTA TOER

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sepersi

Dosen Pengampu:
Dr. Endry Boeriswati, M.Pd.

Dosen Pembimbing:
1. Prof. Dr. Sakura Ridwan, M.Pd.
2. Dr. Miftahul Khairah, M.Hum.

Disusun Oleh:
Adi Darmawan (2115101141)
Kelas 3A

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh

masyarakat untuk tujuan komunikasi. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat

sistematis dan sistemis. Dikatakan sistematis karena bahasa memiliki kaidah atau

aturan tertentu. Dikatakan sistemis karena bahasa memiliki subsistem, yaitu

subsistem fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Ketiga sistem

tersebut bertemu dalam dunia bunyi dan dunia makna. Bunyi secara detail dikaji

dalam ilmu yang disebut fonologi, sedang makna secara mendalam dikaji dalam

ilmu yang disebut semantik1.

Untuk memahami semantik lebih dalam, seseorang yang akan belajar

semantik haruslah dapat memahami beberapa sifat bahasa yang salah satunya

adalah bahasa bersifat arbitrer. Sifat arbitrer dalam bahasa ini diartikan bahwa

tidak ada hubungan spesifik antara deretan fonem pembentuk kata dengan

maknanya2. Dengan demikian, tidak ada hubungan langsung antara yang

diartikan (signifie) dengan yang mengartikan (signifiant). Setiap tanda linguistik

terdiri atas unsur bunyi dan unsur makna 3. Kedua unsur tersebut merupakan unsur

dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk kepada sesuatu referen yang

merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual).

Umpamanya tanda linguistik yang dieja ”kursi.” Tanda ini terdiri dari

unsur makna atau diartikan ’kursi’ (inggris: chair) dan unsur bunyi yang

1
Yayat Sudaryat, Makna dalam Wacana (Bandung: CV Yrama Widya, 2009), hlm. 2.
2
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta, 2009), hlm. 32.
3
Ibid., hlm. 29
mengartikan dalam wujud runtutan fonem [k, u, r, s, i]. Tanda kursi ini mengacu

kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu kursi sebagai salah satu

perabot rumah tangga yang biasanya digunakan untuk duduk. Dengan demikian,

kata kursi adalah hal yang menandai (tanda linguistik) dan sebuah kursi sebagai

perabot (konsep) adalah hal yang ditandai.

Ruang lingkup kajian tentang makna sangatlah luas. Dan untuk membuat

makalah ini menjadi lebih terarah pembahasanya, maka tema yang diangkat

sebagai bahan kajian utama makalah ini adalah tentang makna yang ada dalam

ranah semantik yaitu makna figuratif.

Makna figuratif disebut juga makna kias. Tampaknya penggunaan istilah

arti kiasan atau makna figuratif ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh

karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frasa, maupun kalimat) yang tidak

merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif)

disebut mempunyai arti kiasan4. Arti kiasan ini banyak ditemukan dalam karya

sastra, salah satuya adalah novel.

Berdasarkan alasan-alasan itulah masalah mengenai penggunaan metafora

dalam sebuah kalimat ini diangkat. Kata atau frasa bermetafora yang akan diteliti

bersumber dari novel Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.

Alasan penulis memilih novel sebagai objek kajian adalah karena seperti

yang diketahui, dalam karya sastra, tulisan yang digunakan tentu berbeda dengan

karya ilmiah atau non-fiksi karena kata atau frasa dalam sebuah kalimat yang

digunakan dalam karya sastra banyak menggunakan metafora.

Alasan novel Bumi Manusia ini dipilih sebagai objek penelitian

penggunaan metafora adalah karena Pramoedya adalah seorang sastrawan hebat


4
Ibid., hlm. 77.
yang karya-karyanya sudah diakui oleh dunia. Kalimat-kalimat yang digunakan

sudah pasti bukanlah kalimat sembarangan, pasti bernilai atau bermakna tinggi,

serta banyak menggunakan metafora sebagai “bumbu” bacaan.

Alasan kedua terkait pemilihan novel Bumi Manusia dibandingkan novel-

novel Tetralogi Pulau Buru yang lain seperti Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,

dan Rumah Kaca, ditemukan lebih banyak kata atau frasa bermetafora dalam

novel Bumi Manusia. Dalam novel tersebut akan dianalisis penggunaan metafora

serta makna apa yang terkandung dari kata atau frasa bermetafora dalam kalimat-

kalimat tersebut.

Terkait dengan pembelajaran siswa di sekolah, penggunaan metafora ini

cukup penting karena keterampilan siswa dalam menulis, khususnya dalam

menulis teks sastra seperti puisi atau cerpen, akan diuji. Penggunaan metafora ini

berguna selain agar siswa dapat memahami makna-makna metafora yang

terkandung dalam kalimat, juga berguna bagi siswa dalam menulis.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan

beberapa masalah, antara lain:

1. Apa saja jenis-jenis metafora?

2. Kata atau frasa apa saja yang mengandung metafora dalam novel Bumi

Manusia?

3. Apa makna dari kata atau frasa bermetafora dalam novel tersebut?

4. Jenis metafora mana yang paling banyak digunakan dalam novel

tersebut?
1.3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada

metafora pada novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer.

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang dapat

dirumuskan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah metafora pada novel

Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer?”

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah

Sepersi dan dapat diajukan ke tahap yang lebih tinggi, yaitu untuk tugas skripsi

dalam rangka memperoleh gelar sarjana pendidikan.

1.6. Manfaat Penelitian

Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan

wawasan tentang metafora dalam wacana novel. Bagi pengembangan ilmu,

penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan tentang pengembangan

metode yang lebih tepat dalam memahami dan menggunakan metafora. Bagi

pembaca, dapat memberikan petunjuk untuk memberikan bekal penguasaan gaya

bahasa yang cukup sehingga pembaca dapat meningkatkan kemampuan dalam

membaca dan menulis. Bagi penulis lain yang meneliti novel, penelitian ini dapat

memberi masukan yang lebih dalam mengenai metafora itu sendiri.


BAB II

KAJIAN TEORITIK

2.1. Hakikat Semantik

Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada

studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para

ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang

mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual

dengan hal-hal yang ditandainya (makna).

Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika,

semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun

menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa

semantik adalah studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer

semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung

aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan

psikologi, filsafat, dan antropologi.

Pendapat yang berbunyi “semantik adalah studi tentang makna”

dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195). Menurutnya

semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan

makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.

Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna

atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia

Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya

“Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan
hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi

urusan semantik.

Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah

subdisiplin linguistik yang membicarakan tentang makna. Dengan kata lain,

semantik berobjekkan makna.

2.2. Jenis Makna

Makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.

Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna

gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem

dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan

ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna

denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna

kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan

kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna

asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya5.

a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina

leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang

bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan

kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian,

makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat

leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna

leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai

5
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)
dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata

dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah

sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit

tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing,

atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.

Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal.

Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai

dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir

sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses

reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter-

pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik,

melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan

itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan

ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai

referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata

tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak

mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.

Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai

referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya

kata karena tidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang

bermakna nonreferensial.

c. Makna Denotatif dan Konotatif


Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab

makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan

hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau

pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-

informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut

sebagai ’makna sebenarnya’. Umpama kata perempuan dan wanita, kedua

kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-

laki’.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu

mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai

rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut

berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.

Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti

’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.

d. Makna Kata dan Makna Istilah

Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam

penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada

di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan

kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan,

meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan

bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah

hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan

antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut

(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.


(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.

Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim

atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu

memiliki makna yang berbeda.Tangan bermakna bagian dari pergelangan

sampai ke jari tangan; sedangkan lenganadalah bagian dari pergelangan

sampai ke pangkal bahu.

e. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna

asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang

dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun.

Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang

biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan

makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata

berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di

luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau

kesucian.

f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan”

dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.

Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja

keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.

Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat

ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi”


antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya

peribahasa Seperti anjing dengan kucingyang bermakna ’dikatakan ihwal dua

orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang

yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak

pernah damai.

g. Makna Kias

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan

sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa

(baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti

leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan.

Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam

arti ’matahari’.

2.3. Metafora

2.3.1. Hakikat Metafora

Metafora, mengandung unsur-unsur yang kadang-kadang tidak disebutkan

secara eksplisit. Metafora merupakan bentuk perbandingan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat6.

Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain.

Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan

lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.

Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen

6
Pradopo, Rahmat Djoko Pradopo, Stilistika dalam Buletin Humaniora No.1 tahun 1994
(Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1994), hlm. 66.
makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan

juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik.

Lebih lanjut, Beekman dan Callow menjelaskan bahwa metafora terdiri

atas tiga bagian, yaitu (a) topik, yaitu benda atau hal yang dibicarakan; (b) citra,

yaitu bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk mendeskripsikan

topik dalam rangka perbandingan; (c) titik kemiripan, yaitu bagian yang

memperlihatkan persamaan antara topik dan citra. Ketiga bagian yang menyusun

metafora tersebut tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu

dari ketiga bagian itu, yaitu topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripannya

implisit, seperti yang terlihat dalam contoh.

He is also Baldwin’s legal eagle. ‘Dia juga elang dalam urusan hukum

Baldwin’.

Topik metafora pada contoh di atas adalah he ‘dia’, sedangkan citranya

adalah eagle ‘elang’. Akan tetapi, titik kemiripan yang menunjukkan dalam hal

apa he ‘dia’ dan eagle ‘elang’ tidak disebutkan secara eksplisit. Untuk mengetahui

titik kemiripan ini diperlukan pengetahuan tentang konteks tempat metafora

tersebut terdapat, pemahaman terhadap makna simbol ‘elang’ dalam masyarakat

dan unsur implisit lainnya.

Keraf menyebut metafora termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini

pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan.

Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba

menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.

Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu perbandingan yang

termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung seperti “Dia sama pintar dengan
kakaknya.” Sedangkan bentuk yang satu lagi adalah perbandingan yang termasuk

dalam gaya bahasa kiasan, seperti “Matanya seperti bintang timur”.

Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat perbedaan antara gaya bahasa

langsung dan gaya bahasa kiasan. Perbandingan biasa atau langsung mencakup

dua anggota yang termasuk dalam kelas kata yang sama, sedangkan perbandingan

berupa gaya bahasa kiasan mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas kata

yang berlainan7.

Untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa

kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut8:

1) Tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan

2) Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut

3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu ditemukan. Jika tak

ada kesamaan maka perbandingan itu adalah bahasa kiasan.

Aristotees mempergunakan kata analogi dengan pengertian kuantitatif

maupun kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai

kemiripan atau relasi idenstitas antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah

besar ciri yang sama. Sedangkan, dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan

kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas

ini, analogi lalu berkembang menjadi bahasa kiasan. Metafora merupakan analogi

kualitatif9.

Kata manis dalam frasa ”lagu yang manis” adalah suatu ringkasan dari

analogi yang berbunyi:”Lagu ini merangsang telinga” dengan cara yang sama

menyenangkan seperti manisan merangsang alat perasa. Ungkapan ibu pertiwi

7
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 136.
8
Ibid., hlm. 137.
9
Ibid.
mengandung pula analogi yang berarti: hubungan antara tanah air dengan

rakyatnya sama seperti hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. Analogi

kualitatif ini juga dipakai untuk menciptakan istilah baru dengan mempergunakan

organ-organ manusia atau organ binatang.  Misalnya kapal laut berlayar di laut

maka kapal terbang berlayar di udara.

Metafora merupakan semacam analogi yang membandingkan dua hal

secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah

hati, cindera mata, dan sebagainya10. Sebagai bentuk perbandingan langsung,

metafora tidak mempergunkan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan

sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.

Bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna dasar

dari konotasinya sekarang, maka metafora itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak

dapat menentukan konotasinya lagi, maka  metafora itu sudah mati.

Contoh:

a) ”Perahu itu menggergaji ombak.”

b) ”Mobilnya batuk-batuk sejak pagi tadi.”

c) ”Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa.”

Kata-kata menggergaji, batuk-batuk, bunga dan bangsa masih hidup

dengan arti aslinya. Oleh sebab itu, penyimpangan makna seperti terdapat dalam

kalimat-kalimat di atas merupakan metafora hidup. Namun, proses penyimpangan

semacam itu pada saat dapat membawa pengaruh lebih lanjut dalam perubahan

makna kata. Menurut Keraf kebanyakan perubahan makna kata mula-mula karena

metafora.

10
Ibid., hlm. 139.
Senada dengan Beekman dan Callow, Parera mengatakan salah satu unsur

metafora adalah kemiripan dan kesamaan tanggapan pancaindra11. Struktur

metafora utama yang utama ialah (1) topik yang dibicarakan; (2) citra atau topik

kedua; (3) titik kemiripan atau kesamaan. Hubungan antara topik atau citra dapat

bersifat objektif dan emotif. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai

bahasa dan para penulis di pelbagai bahasa, pilihan citra dibedakan atas empat

kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra

hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia

atau pertukaran tanggapan/persepsi indra12.

Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para

pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang

terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam

banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan,

dan lain-lain.

Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk

menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai

bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada tanaman,

misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah.

Metafora dengan unsur binatang juga dikenakan pada manusia dengan

citra humor, ironi, peyoratif, atau citra konotasi yang luar biasa, misalnya, fable

dalam Fabel MMM yang dikutip oleh Parera terdapat nama-nama seperti Mr.

Badak bin Badak, Profesor Keledai, dan terdapat pula Majelis Pemerintah Rimba

(MPR), dan lain-lain.

Jos Daniel Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 119.
11
12
Ibid., hlm. 119.
Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan bahwa manusia disamakan

dengan sejumlah takterbatas binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau,

singa, buaya, dst sehingga dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa

“Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan makian 

”anjing, lu”, dan seterusnya13.

Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapan-

ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan

ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran

etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan

oleh Parera, secepat kilat ‘satu kecepatan yang luar biasa’, moncong senjata

‘ujung senjata’, dan lain-lain.

Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora

berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.

Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “enak didengar”

untuk musik walaupun makna enak selalu dikatkan dengan indra rasa; “sedap

dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.

2.3.2. Jenis-jenis Metafora

Dilihat dari bentuk sintaksis, ada tiga macam metafora, yaitu

metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimat14.

a. Metafora Nominatif

Metafora nominatif merupakan metafora yang memiliki potensi

menduduki posisi satuan gramatika pembangun kalimat yang disebut

13
Ibid., hlm. 120.
14
Akip Effendy, Metafora dalam Puisi (online),
http://akipeffendy.blogspot.com/2009/07/metafora-dalam-puisi.html
subjek dan objek, sehingga metafora ini terbagi menjadi dua macam,

yaitu metafora nominatif subjektif dan metafora nominatif objektif.

Memperhatikan kerangka berpikir dan istilah yang digunakan,

dalam mengelompokkan macam-macam metafora ini tampaknya

Wahab bertumpu pada teori linguistik yang dikemukakan kaum

strukturalis, khususnya tentang kalimat. Satuan gramatika pembangun

kalimat yang posisinya mengikuti predikat lazim mereka sebut sebagai

komplemen. Bertolak dari pandangan inilah metafora nominatif

objektif oleh Wahab disebut sebagai metafora komplementatif.

Sementara, metafora nominatif subjektif selanjutnya disebut sebagai

metafora nominatif saja15.

Pada metafora nominatif, lambang kias muncul hanya pada

subjek kalimat saja, komponen-komponen lainnya dalam kalimat tetap

menyatakan langsung. Contoh metafora subjektif dapat dilihat pada

sebuah larik yang ditemukan dalam puisi Tunggu karya Slamet

Sukirnanto berikut.

1) Angin lama tak singgah

Dalam sajak di atas, subjek angin dikiaskan sebagai utusan pembawa

berita sedangkan komponen lainnya, yaitu lama tak singgah tetap

dinyatakan dalam makna sebenarnya atau makna langsung.

Selanjutnya, metafora komplementatif memakai lambang kias

hanya pada komplemen kalimat, sedang komponen-komponen lain

dalam kalimat metaforis itu tetap menyatakan kandungan makna

15
Wahab dalam Akip Effendy, loc.cit.
langsung. Contoh metafora komplementatatif dapat dilihat pada sebuah

larik yang ditemukan dalam puisi Tonggak karya Ismet Natsir berikut.

2) Aku minta dibikinkan jembatan cahaya

Pada metafora di atas, kelompok kata jembatan cahaya berfungsi

sebagai komplemen kalimat metaforis itu. Jembatan cahaya adalah

kata-kata kias yang makna sebenarnya ialah jalan yang terang.

b. Metafora Predikatif

Dalam metafora predikatif, kata-kata lambang kias hanya

terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan subjek dan komponen

lain kalimat itu (jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung.

Contoh metafora predikatif dapat dilihat pada sebuah larik yang

ditemukan dalam puisi Tonggak karya T. Mulia Lubis berikut.

3) Suara aneh terbaring di sini

Kata terbaring merupakan predikat untaian kalimat itu. Kata terbaring,

dapat digunakan sebagai predikasi yang cocok untuk mamalia

(termasuk manusia). Dalam metafora tersebut, suara aneh (ungkapan

kebahasaan dengan makna langsung) dihayati sebagai manusia yang

dapat terbaring.

c. Metafora Kalimat

Dalam metafora ini, seluruh lambang kias yang dipakai tidak

terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang

berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan seluruh

komponen dalam kalimat metaforis itu. Semua akata yang terdapat

dalam sebuah untaian kalimat metafora kalimat tidak menyatakan


makna langsungnya, tapi secara keseluruhan menyatakan makna kias.

Contoh metafora kalimat dapat dilihat pada sebuah larik yang

ditemukan dalam puisi Api Pembakaran karya Slamet Sukirnanto

berikut.

4) Api apa membakar?

Seluruh kalimat di atas adalah kias. Tidak ada satu komponen pun

dalam kalimat itu yang dipakai sebagai pengungkapan makna

langsung.

2.4. Hakikat Novel16

Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esai, puisi, novel, cerita pendek,

drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para

pembaca. Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan juga berisi

karya-karya novel.

Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “sebuah kisah

atau sepotong berita”. Penulis novel disebut novelis. Novel lebih panjang

(setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi

keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah

novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan

sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut.

Novel dalam bahasa Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur

ceritanya lebih kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra

ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada

Anonim, Pengertian Novel (online), http://www.lokerseni.web.id/2011/09/pengertian-novel-


16

menurut-para-pakar.html.
masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan

yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga

ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan

bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut

agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga

memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah

novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan

mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.

Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik

adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya

novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting

memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel

hiburan terikat dengan pola- pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel

serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan hanya berfungsi personal. Novel

berfungsi sosial lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat

menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang

dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel

memikat dan orang ingin cepat-cepat membacanya.

Banyak sastrawan yang memberikan yang memberikan batasan atau

definisi novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena

sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Definisi-definisi itu

antara lain adalah sebagai berikut:


a. Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini

paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya

komunitasnya yang luas pada masyarakat (Drs. Jakob Sumardjo).

b. Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai

budaya sosial, moral, dan pendidikan (Dr. Nurhadi, Dr. Dawud, Dra. Yuni

Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M.Pd).

c. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu : undur

intrinsik dan unsur ekstrinsik yang kedua saling berhubungan karena

sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Drs.

Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd).

d. Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-

unsur intrinsik (Paulus Tukam, S.Pd)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang

ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai tujuan penelitian, tempat dan waktu

penelitian, fokus penelitian, metode penelitian, objek penelitian, instrumen

penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Hal tersebut

diuraikan secara berurutan di bawah ini.

3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang

penggunaan metafora dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya

Ananta Toer, baik itu metafora nominatif, metafora predikatif, maupun

metafora kalimat.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jakarta pada semester genap tahun 2013.

3.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang

metafora yang dirinci menjadi jenis metafora dan makna metafora dalam

novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Jenis metafora

mencakup metafora nominatif subjektif, metafora nominatif objektif, metafora

predikatif, dan metafora kalimat. Makna metafora itu mencakup makna

substitusi dan surplus makna

3.4. Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif dengan teknik analisis isi.

3.5. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah kalimat dalam novel Bumi Manusia

karangan Pramoedya Ananta Toer.

3.6. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah penulis sendiri dengan

dibantu oleh beberapa data yang ada dan tabel analisis sebagai berikut.

Jenis Metafora Makna Metafora


Paragra
No Wacana Kalimat Nominatif Predikati Makna Surplus Analisis
f Kalimat
Subjektif Objektif f Substitusi Makna

3.7. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

1. Mengambil data dari novel Bumi Manusia karangan Pramoedya

Ananta Toer.

2. Menentukan data novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta

Toer yang akan dianalisis.

3.8. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, langkah yang akan dilakukan dalam analisis

data ini adalah sebagai berikut:


1. Membaca novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer.

2. Menentukan paragraf yang mengandung metafora dalam novel Bumi

Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer.

3. Menentukan kalimat yang memiliki metafora dalam novel Bumi

Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer.

4. Menentukan makna metafora dalam kalimat pada novel Bumi Manusia

karangan Pramoedya Ananta Toer.

5. Mengelompokkan metafora berdasarkan jenis metafora dan makna

metafora. Makna substitusi dan surplus makna ditentukan oleh intuisi

penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Kamus Idiom.

6. Memberikan interpretasi.

Anda mungkin juga menyukai