Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam berbagai kepustakaan linguistik disebutkan bidang studi linguistik yang
objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Kalau
istilah ini tetap dipakai terus harus diingat bahwa status tataran semantik dengan
tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial
satuan bahasa yang disebut wacana, seperti sudah dibicarakan pada bab-bab
terdahulu, dibangun dengan oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa;
satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata
dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan
fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun-membangun itu, kita bias bertanya,
di manakah letaknya semantik? Semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di
seluruh atau di semua tataran yang bangun-membangun ini: makna berada di dalam
tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu, penamaan tataran untuk
semantic agak kurang tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun
satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur yang berada pada semua
tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama. Oleh karena
itu pula, barangkali para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah
makna ini, karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang sederajat
dengan tataran yang bangun-membangun itu. Hockett (1954), misalnya, salah seorang
tokoh strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari
kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa itu terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem
gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfonemik, subsistem semantik, dan
subsistem fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama derajatnya. Subsistem
gramatika, fonologi dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan subsistem

1
semantik dan fonetik disebut periferal. Mengapa susbsistem semantik disebut
periferal? Karena, seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang
menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris,
sebagaimana subsistem gramatika (morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan
Chomsky, bapak linguistik transformasi dalam bukunya yang pertama (1957) tidak
menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru kemudian dalam bukunya yang kedua
(1965) beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata
bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat
ditentukan oleh komponenen semantik ini.
Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik,
maka studi semantik sebagai bagian dari studi lingustik menjadi semarak. Semantik
tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setaraf dengan
bidang-bidang studi linguistik lainnya. Banyak perhatian diarahkan pada semantik.
Berbagai teori tentang makna bermunculan. Memang kalau kita ingat akan teori
Bapak Linguistik modern, Ferdinand de Saussure, bahwa tanda linguistik terdiri dari
komponen signifian dan signifie, maka sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai
dengan studi semantih adalah tidak ada artinya, sebab kedua komponen itu signifian
dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Laksana sekeping mata
uang logam, siginifian berada di sisi yang satu dan signifie berada di sisi yang lain.
Apa sebenarnya makna itu sebagai objek semantik, dan bagaimana
persoalannya, secara singkat akan dibahas dalam makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Semantik
Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics,
dan dari bahasa Yunani sema (nomina tanda) atau dari verba samaino (menandai,
berarti). Istilah tersebut digunakan oleh para pakar bahasa untuk menyebut bagian
ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran
bahasa yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis.1 Sebagai istilah teknis,
semantik mengandung pengertian „studi tentang makna‟. Dengan anggapan bahwa
makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.2
Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang
dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah
tanda linguistic (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure (1916), yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang
mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang
diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini
merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah
sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti,
yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.
Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti
semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang
studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Namun, istilah
semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah yang

1
Achmad, Alek Abdullah, Linguistik Umum (Jakarta: Erlangga, 2012), hal. 87.
2
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008)
hal.15

3
lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda
atau lambang pada umumnya.
Dalam analisis semantik harus juga disadari karena bahasa itu bersifat unik,
dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya,
maka analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Bahasa itu adalah produk budaya dan
sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa
tidak selalu “yang menandai” dan “yang ditandai” berhubungan sebagai satu lawan
satu, artinya, setiap tanda linguistik hanya memiliki satu makna. Adakalanya
hubungan itu berlaku sebagai satu lawan dua atau lebih; bisa juga sebagai dua atau
lebih lawan satu.
Contoh:
1) Becak : “kendaraan umum tak bermotor beroda tiga”
2) Pacar : “ina” atau kekasih
3) Buku : “lembaran kertas berjilid”
Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok
yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang
berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna
yang berlainan.
Pandangan yang bermacam-macam dari para ahli menjadikan para ahli
memiliki perbedaan dalam mengartikan semantik. Pengertian semantik yang berbeda-
beda tersebut justru diharapkan dapat mengembangkan disiplin ilmu linguistik yang
amat luas cakupannya. Berikut ini pengertian semantik menurut para ahli:
1. Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda
dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.

4
2. J.W.M Verhaar (1981:9)
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau
teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
3. Lehrer (1974: 1)
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang
kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan
fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan
antropologi.
4. Kambartel (dalam Bauerk, 1979: 195)
Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan
makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
5. Ensiklopedia britanika (Encyclopedia Britanica, vol.20, 1996: 313)
Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan
hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.
6. Dr. Mansoer Pateda
Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.
7. Abdul Chaer
Semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Yaitu salah satu dari 3
(tiga) tataran analisis bahasa (fonologi, gramatikal dan semantik).
8. Muljana (1965: 11)
Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti makna kata, asal-usulnya,
perkembangannya, dan sebab-sebab terjadinya perubahan makna.
B. Ruang Lingkup Semantik
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa semantik dapat mencakup
bidang yang lebih luas, baik dari segi struktur dan fungsi bahasa maupun dari segi
interdisipliner bidang ilmu. Akan tetapi, dalam hal ini ruang lingkup semantik
berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri di dalam linguistik, meskipun faktor
nonlinguistik ikut mempengaruhi sebagai fungsi bahasa yang nonsimbolik (emotif

5
dan afektif). Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses
mental atas simbolisme dalam aktivitas bicara.3
Hubungan antara bahasa dan proses mental dapat dinyatakan dengan beberapa
cara. Ada yang menyatakan bahwa proses mental tidak perlu dipelajari karena
membingungkan. Ada pula yang menyatakan harus dipelajari secara terpisah dari
semantik atau bahasa harus dipelajari secara terpisah, lepas dari semantik tanpa
menyinggung proses mental. Tanpa menyinggung hal tersebut kita dapat mengerti
sesuatu yang terjadi melalui bahasa.
Pendapat tersebut kita jumpai pada aliran behaviorisme yang dipelopori
Skinner. Pandangan Sommefelt sama halnya dengan pendapat Skinner bahwa bahasa
merupakan hal yang prinsip dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah suatu sistem
yang harus dipelajari seseorang dari orang lain yang menjadi anggota masyarakat
penutur bahasa tersebut. Argumentasi tersebut menyatakan bahwa objek semantik
adalah makna. Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran
bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis).
Tataran fonologi dalam hal ini fonem dapat membedakan makna di dalam
minimal pair (pasangan minimal), dandi dalam fonestem (fonem yang memiliki
makna, tetapi tidak melebihi morfem), misalnya fonem /u/ menyatakan „benar‟,
„bergulung‟, seperti pada kata kerudung atau /i/ menyatakan kecil, seperti pada
gelinding. Makna dapat pula diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi
hubungan antar unsur (struktur - hubungan antar struktur - strukturalisme de
Saussure). Dengan demikian kita mengenal makna leksikal (makna leksem itu
sendiri) dan makna gramatikal (hubungan antar unsur secara fungsional), demikian
pula ada makna kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana sehingga ruang lingkup
semantik dapat menjangkau semua tataran bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, dan
wacana, bahkan teks.4

3
Achmad, Alek Abdullah, Op.Cit., hal. 89.
4
Ibid.

6
C. Cabang-Cabang Semantik
Pada perkembangannya, semantik bergabung dengan ilmu lain untuk
mendapatkan dan menelusuri informasi selengkapnya tentang makna. Cabang-cabang
semantik yang penting antara lain:
1. Semantik Leksikal
Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon
(vocabulary, kosakata, pembendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem,
yaitu satuan kata yang bemakna (Chaer, 2002: 60). Kalau leksikon disamakan dengan
kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat disamakan dengan kata.
Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan dengan sebagai makna yang
bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal dapat
juga diartikan makna yang sesuai dengan acuannya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi panca indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita. Beberapa ahli menegaskan demikian, The noun ‘lexeme’ is of course related to
the words ‘lexical’ and ‘lexicon’, (we can think of ‘lexicon’ as having the same
meaning as vocabulary or dictionary (Lyons, 1995:47). Dalam semantik leksikal
diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu,
makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah
istilah-istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebutkan satuan
bahasa bermakna. Istilah leksem ini kurang lebih dapat dipadankan dengan istilah
kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis dan yang lazim
didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil. Leksem dapat berupa kata,
dapat juga berupa gabungan kata. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebut
leksikon, sedangkan kumpulan kata-kata dari suatu bahasa disebut leksikon atau kosa
kata.

Kajian makna bahasa yang lebih memusatkan pada peran unsur bahasa atau
kata dalam kaitannya dengan kata lain dalam suatu bahasa lazim disebut sebagai
semantik leksikal.

7
2. Semantik Gramatikal
Tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitu
morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah cabang dari linguistik yang mempelajari
struktur intern kata, serta proses-proses pembentukannya; sedangkan sintaksis adalah
studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam membentuk satuan yang lebih
besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat. Satuan-satuan morfologi, yaitu morfem dan
kata, maupun satuan sintaksis yaitu kata, frase, klausa, dan kalimat, jelas ada
maknanya. Baik proses morfologi dan proses sintaksis itu sendiri juga makna. Oleh
karena itu, pada tataran ini ada masalah-masalah semantik yaitu yang disebut
semantik gramatikal karena objek studinya adalah makna-makna gramatikal dari
tataran tersebut.
3. Semantik Kalimat
Verhaar (1978: 126) memaparkan semantik kalimat yang membicarakan hal-hal
seperti soal topikalisasi kalimat yang merupakan masalah semantik, namun bukan
masalah ketatabahasaan tentang semantik kalimat ini menurut beliau memang masih
belum banyak menarik perhatian para ahli linguistik.
D. Hubungan Semantik dengan Ilmu lain
1. Semantik dengan linguistik
Makna adalah unsur yang menyertai aspek bunyi, jauh sebelum hadir dalam
proses komunikasi. Sebagai unsur yang melekat pada bunyi, makna juga
senantiasa menyertai sistem relasi atau kombinasi bunyi dalam satuan struktur
yang lebih besar seperti yang akhirnya terwujud dalam komunikasi
2. Semantik dengan filsafat
Filsafat berkaitan erat dengan semantik karena masalah makna tertentu dapat
dijelaskan secara filosofis (misalnya makna ungkapan dan pribahasa).
3. Semantik dengan antropologi
Antropologi mempunyai hubungan yang erat dengan semantik, karena analisis
makna dalam linguistik (bahasa) dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai
bahasa (sosiolinguistik) secara praktis.

8
4. Semantik dengan psikologi
Psikologi berhubungan erat dengan semantik, karena psikologi memanfaatkan
gejala kejiwaan yag ditampilkan manusia secara verbal atau nonverbal.
5. Semantik dengan sosiologi
Sosiologi mempunyai kepentingan erat dengan semantik, karena ungkapan atau
ekspresi tertentu dapat menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu.
E. Hakikat Makna
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orang. Untuk permulaan
barangkali kita ikuti saja pendangan Ferdinand de Saussure dengan teori tanda
linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau
“yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie
atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki
oleh signifian).5 Umpamanya tanda linguistik berupa (ditampilkan dalam bentuk
ortografis) <meja>, terdiri dari komponen signifian, yakni berupa runtutan fonem
/m/e/j/ dan /a/, dan komponen signifienya berupa konsep atau makna „sejenis perabot
kantor atau rumah tangga‟. Tanda linguistik ini yang berupa runtutan fonem dan
konsep yang dimiliki runtutan fonem itu mengacu pada sebuah referen yang berada di
luar bahasa, yaitu “sebuah meja”.
Dengan demikian, menurut teori Ferdinand de Saussure bahwa makna adalah
„pengertian‟ atau „konsep‟ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-lingistik.
Masalah kita sekarang, di dalam praktek berbahasa, tanda linguistik itu berwujud apa.
Kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka
berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau
leksem; kalau tanda linguistik itu disamakan dengan identitasnya dengan morfem,
maka berarti makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap
morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks.

5
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal. 286.

9
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau leksem
itu seringkali dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep
dasarnya dan juga acuannya. Misalnya, kata buaya dalam kalimat berikut, sudah
terlepas dari konsep asal acuannya.
 Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya.
Oleh karena itu, banyak pakar mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna
sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Perhatikan
makna kata jatuh dalam kalimat-kalimat berikut:
 Adik jatuh dari sepeda.

 Dia jatuh ujian yang lalu.

 Dia jatuh cinta pada adiku.

 Kalau harganya jatuh lagi kita akan bangkrut.

Selanjutnya para pakar itu menyatakan pula bahwa makna kalimat baru dapat
ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks
situasinya. Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita tentu memahami apa makna
kalimat beikut:
 Sudah hamper pukul dua belas!
Apabila diucapkan oleh seoran ibu asrama putri terhadap seorang pemuda yang masih
bertandang di asrama itu padahal jam sudah menunjukan hamper pukul dua belas
malam. Lain maknanya apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang guru agama
ditujukan kepada para santri pada siang hari. Makna kalimat di atas yang diucapkan si
ibu asrama tentu berarti „pengusiran‟ secara halus, sedangkan yang diucapkan oleh
guru agama itu berarti „pemberitahuan bahwa sebentar lagi masuk waktu sembahyang
Zuhur‟. Kalimat di atas mungkin akan bermakna lain lagi apabila diucapkan oleh
seorang karyawan kantor kepada temannya pada siang hari; mungkin berarti „sebentar
lagi waktu beristirahat tiba‟.

10
Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat
arbitrer, maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbitrer. Kita tidak
dapat menjelaskan, mengapa benda cair yang selalu kita gunakan untuk keperluan
mandi, minum, masak, dan sebagainya disebut air, bukan ria, atau rai, atau juga
sebutan lainnya. Begitu juga dengan kata-kata lainnya, kita tidak bisa menjelaskan
hubungan kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.6
F. Jenis Makna
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam
bila dilhat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah
dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik. Di antara jenis-
jenis makna yaitu:

1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual


Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal „sejenis binatang
berkaki empat yang biasa dikendarai‟; pensil bermakna leksikal „sejenis alat tulis
yang terbuat dari kayu dan arang; dan air bermakna leksikal „sejenis barang cair yang
biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari‟. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan
bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan
hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses
gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya
dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal
„mengenakan atau memakai baju‟; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal
„mengendarai kuda‟; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal
„melakukan rekreasi‟.

6
Ibid., hal 289.

11
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
satu konteks. Misalnya, makna kata jatuh yang dibicarakan sebagai contoh pada
kalimat di atas. Contoh lain perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat
berikut:
 Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
 Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
 Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
 Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.
 Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenan dengan situasinya, yakni tempat, waktu,
dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Sebagai contoh pehatikan kalimat (8) berikut:
 Tiga kali empat berapa?
Apabila pertanyaan tersebut dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata
pelajaran matematika berlangsung, tentu akan dijawab “dua belas”. Jika dijawab lain,
maka jawaban itu pasti salah. Namun, kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang
foto di tokonya, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab “dua ribu” atau mungkin
juga “tiga ribu” atau mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu, sebab
pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran tiga kali
empat centimeter.
2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Donotatif mengacu kepada makna leksis yang umum dipakai atau singkatnya
makna yang biasa, obyektif, belum dibayangi perasaan, nilai dan rasa tertentu.7
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki
oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna
leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif „sejenis binatang yang biasa
diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya‟. Kata kurus bermakna denotatif „keadaan

7
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 162.

12
tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal‟. Kata rombongan
bermakna denotatif „sekumpulan orang yang mengelompok menjadi satu kesatuan‟.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari
sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain yang
“ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari
orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi
pada contoh di atas, pada orang yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam
mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan tidak enak bila mendengar
kata itu. Kata kurus juga pada contoh di atas, berkonotasi netral, artinya tidak
memiliki nilai rasa yang mengenakan; tetapi kata ramping, yang sebenarnya
bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, nilai yang mengenakan;
orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata kerempeng, yang
sebenarnya juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu, mempunyai konotasi
yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakan; orang akan merasa tidak enak kalau
dikatakan tubuhnya kerempeng.
Dari contoh kurus, ramping, dan kerempeng itu dapat simpulkan, bahwa ketiga
kata itu secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi
ketiganya memiliki konatasi yang tidak sama; kurus berkonotasi netral, ramping
berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.
3. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah
leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata kuda memiliki makna
konseptual „sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai; dan kata rumah
memiliki makna konseptual „bangunan tempat tinggal manusia‟. Jadi, makna
konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan
makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.

13
Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian; kata merah
berasosiasi dengan „berani‟ atau juga „paham komunis‟; dan kata buaya berasosiasi
dengan „jahat‟ atau juga „kejahatan‟. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan
lambing atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk
menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri
yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati yang bermakna
konseptual „sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum‟ digunakan
untuk menyatakan perlambang „kesucian‟; kata merah yang bermakna konseptual
„sejenis warna terang mencolok‟ digunakan untuk perlambang „keberanian, ayau di
dunia politik untuk melambangkan „paham atau golongan komunis‟; dan kata buaya
yang bermakna konseptual „sejenis binatang reptile buas yang memakan binatang apa
saja termasuk bangkai‟ digunakan untuk melambangkan „kejahatan‟ atau „penjahat‟.
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki
sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun,
dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada
di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata
jatuh sebelum kita berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan
lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti pada contoh kalimat
(16) dan (17) berikut:
(16) Tangannya luka kena pecahan kaca
(17) Lengannya luka kena pecahan kaca
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim, atau
bermakna sama.
Berbeda dengan kata, makna yang disebut istilah mempunyai makna yang
pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh
karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat
bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

14
Umpamanya, kata tangan dan lengan yang menjadi contoh di atas. Kedua kata itu
dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian
dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari
pergelangan sampai ke pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah
dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda. Demikian juga
dengan kata kuping dan telinga. Dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua
kata yang bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan. Namun sebagai
istilah dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna yang tidak sama; kuping
adalah bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga; sedangkan telinga adalah
bagian sebelah dalam. Maka dari itu, yang biasanya diobati oleh dokter adalah telinga
bukan kuping.
5. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara
gramatikal bentuk menjual rumah bermakna „yang menjual menerima uang dan yang
membeli menerima rumahnya‟; bentuk menjual sepeda bermakna „yang menjual
menerima uang dan yang membeli menerima sepeda‟; tetapi, dalam bahasa Indonesia
bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna
„tertawa keras-keras‟. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah
yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain dari makna idiom adalah bentuk
membanting tulang dengan makna „bekerja keras‟; meja hijau dengan makna
„pengadilan‟; dan sudah beratap seng dengan makna „sudah tua‟.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secaa leksikal
maupun gramatikal, maka yang disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat
ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara
makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa Seperti
anjing dengan kucing yang bermakna „dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah
akur‟. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing
jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai. Contoh lain, peribahasa

15
Tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna „orang yang banyak cakapnya
biasanya tidak berilmu‟. Makna ini dapat ditarik dari asosiasi: tong yang berisi bila
dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong kosong akan mengeluarkan bunyi yang
keras, yang nyaring.
6. Makna Sempit dan Makna Luas
Kridalaksana (1993), memberikan penjelasan bahwa makna sempit (specialized
meaning, narrowed meaning) adalah makna ujaran yang lebih sempit daripada makna
pusatnya. Makna sempit adalah kata-kata yang bermakna khusus atau kata-kata yang
bermakna luas dengan unsur pembatas. Makna kitab “buku” merupakan makna
sempit. Kitab yang berarti “buku” itu tidak lagi “sembarang buku”. Sekarang kata
kitab lebih bermakna “buku suci” seperti yang tampak dalam pemakaian kitab Al-
Qur`an, kitab Injil, kitab Zabur dan seterusnya.
Makna luas (qidened meaning atau extended meaning) adalah makna yang
terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan. Contohnya kata
saudara, yang tidak hanya bermakna “saudara satu bapak/ibu”, tetapi juga “orang lain
yang tidak ada hubungan darah”. Suatu kata yang asalnya memiliki makna luas
(genetik) dapat menjadi memiliki makna sempit (spesifik). Kata taqwa itu dalam arti
luas adalah “berserah diri kepada Allah” dan dalam arti sempit adalah “menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya”.

7. Makna Emotif dan Makna Kognitif


Makna emotif menurut Sipley (dalam Mansoer Pateda, 2001:101) adalah
makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai
atau terhadap sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan. Dicontohkan dengan
kata kerbau dalam kalimat Engkau kerbau, kata itu tentunya menimbulkan perasaan
tidak enak bagi pendengar. Dengan kata lain, kata kerbau tadi mengandung makna
emosi. Kata kerbau dihubungkan dengan sikap atau perilaku malas, lamban, dan
dianggap sebagai penghinaan. Orang yang dituju atau tentunya akan merasa
tersinggung dan ingin melawan.

16
Makna kognitif (deskriptif atau denotatif) adalah makna yang ditunjukkan
oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia
luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis
komponenya (Mansoer Pateda, 2001:109). Kata pohon bermakna tumbuhan yang
memiliki batang dan daun dengan bentuk yang tinggi besar dan kokoh. Makna
kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata yang menunjuk benda-benda nyata, tetapi
mengacu pula pada bentuk-bentuk yang makna kognitifnya khusus dan termasuk pula
partikel yang memiliki makna relasional.

G. Relasi Makna
Yang dimaksud relasi makna adalah hubungan semantik yang terletak antara
satuan bahasa yang satu dengan satuan bahsa lainnya. Satuan bahasa dapat berupa
kata, frase, maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan
makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Dalam
pembicaraan relasi makna biasanya dibicarakan sinonim, antonim, polisenmi,
homonimi, hiponimi, dan ambiguiti.
1. Sinonim
Kata sinonim terdiri atas sin (sama atau serupa) dan akar kata onim „nama‟.8
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesatuan
makna antara satu satuan ujaran dengan ujaran lainnya. Misalnya antara kata betul
dengan benar; antara kata hamil dan frase duduk perut; antara kalimat Dika
menendang bola dengan Bola ditendang Dika.
Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya kalau satu ujaran A bersinonim
dengan satu ujaran B, maka satuan ujaran B bersinonim dengan ujaran A. Secara
konkret kata betul bersinonim dengan kata benar, maka kata benar itu pun
bersinonim dengan kata betul.
Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain :

8
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik (Bandung: Angkasa, 2009), hal. 14.

17
a. Faktor waktu. Contohnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.
Namun kata hulubalang hanya cocok digunakan pada konteks yang bersifat
klasik, sedangkan kata komandan tidak cocok digunakan pasa konteks klasik.
b. Faktor tempat atau wilayah. Misalnya kata saya dan beta adalah dua buah kata
yang bersinonim. Namun kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan kata
beta hanya cocok untuk wilayah di Indonesia bagian timur, atau dalam konteks
masyarakat yang berasal dari Indonesia bagian timur.
c. Faktor keformalan. Misalnya kata uang dan duit adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun kata uang dapat digunakan dalam situasi formal dan tidak
formal, sedangkan kata duit hanya cocok pada situasi tidak formal.
d. Faktor sosial. Umpamanya kata saya dan aku adalah dua buah kata yang
bersinonim, tetapi kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa
saja, sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya,
yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukan
sosialnya.
e. Bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua buah kata
yang bersinonim. Namun kata matahari dapat digunakan dalam kegiatan apa
saja, atau dapat digunakan secara umum, sedangkan kata surya hanya cocok
digunakan pada ragam khusus, terutama ragam sastra.
f. Faktor nuansa makna. Umpamanya kata-kata melihat, melirik, menonton,
meninjau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Namun antara
yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dapat dipertukarkan, karena masing-
masing memilki nuansa makna yang tidak sama.
2. Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan
ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang
satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati
dengan kata hidup, kata guru berantonim dengan kata murid, dan kata membeli
berantonim dengan kata menjual.

18
Hubungan antara dua satuan ujaran yang berantonim juga bersifat dua arah. Jadi
jika kata buruk berantonim dengan kata baik, maka kata baik berantonim dengan kata
buruk.
Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi itu dapat dibedakan atas
beberapa jenis, antara lain :
a. Antonimi yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim secara
mutlak dengan kata mati, sebab sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati;
dan sesuatu yang sudah mati tentunya sudah tidak hidup lagi.
b. Antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil
berantonimi secara relatif, juga antara kata jauh dan dekat, dan antara kata gelap
dan terang. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batas antara satu
dengan lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas; batasnya itu dapat bergerak
menjadi lebih atau menjadi kurang. Karena itu, sesuatu yang tidak besar belum
tentu kecil; dan sesuatu yang tidak dekat belum tentu jauh.
c. Antonimi yang bersifat relasional. Umpamanya antara kata suami dan istri, dan
antara kata membeli dan menjual. Antonimi ini disebut relasional karena
munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain. Adanya membeli karena
adanya menjual, adanya suami karena ada istri. Kalau salah satu tidak ada, maka
yang lain juga tidak ada.
d. Antonini yang bersifat hierarkial. Umpamanya kata tamtama dan bintara
berntonim secara hierarkial; juga antara kata gram dan kilogram. Disebut
hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada pada satu garis
jenjang atau hierarki. Demikianlah, kata tamtama dan bintara berada dalam satu
garis kepangkatan militer; kata gram dan kilogram berada dalam satu garis
jenjang ukuran timbangan.
3. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai
makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala yang setidaknya mempunyai makna
(1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada di

19
sebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat, (5) sesuatu atau bagian yang sangat
penting, seperti pada contoh kalimat di bawah ini:
 Kepalanya luka kena pecahan kaca, artinya kepala bagian tubuh manusia
 Kepala kantor itu bukan paman saya, artinya ketua atau pemimpin.
 Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor, artinya sesuatu yang berada
sebelah atas.
 Kepala jarum itu terbuat dari plastik, artinya sesuatu yang berbentuk bulat.
 Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting, artinya sesuatu atau bagian
yang sangat penting.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan dalam
kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, atau makna denotatifnya. Yang
lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen
makna yang dimiliki kata atau ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah
kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lainnya.
4. Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan”
sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau
bentuk ujaran yang berlainan. Umpamanya, antara kata pacar yang bermakna „inai‟
dan kata pacaar yan bermakna „kekasih‟; antara kata bisa yang berarti „racun ular‟
dan kata bisa yang berarti „sanggup‟; dan juga antara kata mengurus yang berarti
„mengatur‟dan kata mengurus yang berarti „menjadi kurus‟.
Sama dengan sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah satuan ujaran yan
homonimi juga berlaku dua arah. Jadi, kalau pacar I yan bermakna „ inai‟
berhomonimi dengan pacar II yang bermakna „kekasih‟ maka pacar II juga
berhomonim dengan pacar I. Perhatikan bagan berikut !

Pacar I Pacar II

20
Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu
homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah kesamaan bunyi
(fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama
ataukah berbeda. Oleh karena itu, bila dilihat dari bunyinya atau lafalnya, maka
bentuk-bentuk pacar I dan pacar II yang kita bicarakan di atas adalah juga dua buah
bentuk yang homonim. Demikian juga dengan kata bisa yang berarti „ racun ular‟ dan
kata bisa yang berarti „sanggup‟.
Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau
ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dalam bahasa Indonesia bentuk-
bentuk homografi hanya terjadi karena ortografi untuk fonem /e/ dan fonem /a/ sama
lambangnya yaitu huruf <e>. Maka contoh homografi yang ada dalam bahasa
Indonesia tidak banyak. Kita hanya menemukan contoh kata teras /taras/ yang
maknanya „inti‟ dan kata teras /teras/ yang maknanya „bagian serambi rumah‟;
memerah /mamarah/ yang berarti „melakukan perah‟ dan kata memerah /mamerah/
yang artinya „menjadi merah‟; dan kata mereka /maraka/ yang artinya „merancang‟
dan kata mereka /mareka/ yang berarti „dia bersama-sama‟. Dalam bahasa Inggris
contohnya wind [wind] „angin‟ dan kata wind [waind] belok, lingkaran.
Karena homografi ini berkenaan dengan tulisan atau ortografi, maka dalam
bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab, seperti masih digunakan di Malaysia
dan Brunei Darussalam, akan banyak kita jumpai bentk-bentuk homograf. Misalnya,

tulisan ‫كمبج‬ bisa dibaca [kambing], [kumbang], [kembung], [ kambang] yang

keempatnya mengacu pada kata yang berlainan. Begitu juga dengan tulisan ‫لمبج‬
dapat dibaca sebagai [lambang], [lambung], dan [lembing] ; yang jelas ketiganya
adalah kata yang berlainan. Bahasa Arab dengan system tulisannya juga penuh
dengan bentuk-bentuk homograf, sehingga jika kita belajar bahasa Arab sama artinya
dengan kita belajar membaca tulisannya.

21
5. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara kata
merpati dan kata burung. Disini kita lihat makna kata merpati tercakup dalam makna
kata burung. Kita dapat mengatakan merpati adalah burung; tetapi burung bukan
hanya merpati, bisa juga tekukur, perkutut, balam, kepodang, dan cendrawasih. Oleh
karena itu, kalau lingkaran besar dalam bagan berikut berisi konsep „ burung‟, maka
lingkaran-lingkaran kecil di dalamnya berisi nama-nama binatang yang termasuk
burung itu.
1. Merpati

2. Tekukur
1 4
3. Perkutut
3 2 5
4. Balam

5. Kepodang
6 7
6. Cendrawasih

7. Cucakrawa

Prinsip ketercakupan hubungan hiponim ini dapat juga digambarkan dengan bagan
berikut:

Burung

Merpati Tekukur Perkutut Balam Kepodang Cucakrawa

22
Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau merpati
berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan merpati,
melainkan berhipernim. Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung,
maka burung adalah hipernim dari merpati. Ada juga yang menyebut burung adalah
superordinat dari merpati dari merpati (dan tentu saja dari tekukur, dari perkutut, dari
balam, dari kepodang, dan dari jenis burung lainnya). Hubungan antara merpati
dengan tekukur, perkutut, dan jenis burung lainnya disebut kohiponim dari burung.
6. Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna
akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini
umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental
tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat
ditafsirkan maknanya menjadi (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu
memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan makna (1) dan (2) itu terjadi karena kata
baru yang ada dalam konstruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah,
dapat juga dianggap hanya menerangkan kata sejarah.
Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda,
tetapi karena masalah homonimi, sedangkan konteksanya tidak jelas. Umpamanya
kalimat berikut:
 Mereka bertemu paus
Dapat ditafsirkan (1) mereka bertemu sejenis ikan besar, dan dapat juga berarti (2)
meraka bertemu dengan pemimpin agama Katolik yang ada di Roma. Kata paus
dalam arti (1) dan arti (2) bentuknya merupakan homonimi. Begitu juga kata kudus
dalam kalimat di bawah ini dapat ditafsirkan „suci‟ atau nama kota di Jawa Tengah.
 Dia memang bukan orang kudus

23
BAB III
KESIMPULAN

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dan
dari bahasa Yunani sema (nomina tanda) atau dari verba samaino (menandai, berarti).
Sedangkan menurut istilah, semantik adalah cabang linguistik yang meneliti makna
kata, asal-usulnya, perkembangannya, dan sebab-sebab terjadinya perubahan makna.
Kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.
Semantik dapat mencakup bidang yang lebih luas, baik dari segi struktur dan
fungsi bahasa maupun dari segi interdisipliner bidang ilmu. Akan tetapi, dalam hal ini
ruang lingkup semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri di dalam
linguistik, meskipun faktor nonlinguistik ikut mempengaruhi sebagai fungsi bahasa
yang nonsimbolik (emotif dan afektif).
Pada perkembangannya, semantik bergabung dengan ilmu lain untuk
mendapatkan dan menelusuri informasi selengkapnya tentang makna. Cabang-cabang
semantik yang penting adalah semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik
kalimat.
Makna merupakan objek dari pembahasan semantik. Berbagai nama jenis
makna telah dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik. Di
antara jenis-jenis makna yaitu (1) Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual, (2)
Makna Denotatif dan Makna Konotatif, (3) Makna Konseptual dan Makna Asosiatif,
(4) Makna Kata dan Makna Istilah, (5) Makna Idiom dan Peribahasa.
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terletak antara satuan bahasa
yang satu dengan satuan bahsa lainnya. Dalam pembicaraan relasi makna biasanya
dapat berupa sinonim, antonim, polisenmi, homonimi, hiponimi, dan ambiguiti.

24
DAFTAR PUSTAKA

 Achmad, Alek Abdullah. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.


 Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
 Aminuddin. 2008. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
 Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
 Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal.
Bandung: Refika Aditama.
 Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

25

Anda mungkin juga menyukai