PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Menurut Darmawati (2018:7) kata semantik merupakan istilah teknis yang
mengacu pada studi tentang makna. Istilah semantik berpadanan dengan kata
semantique dalam bahasa prancis. Semantik merupakan bagian ilmu linguistik
yang mempelajari arti atau makna dalam bahasa. Cakupan ilmu semantik ini
hanya membahas makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat
komunikasi verbal.
Menurut Suhardi (2015:41) semantik dan semiotik adalah dua istilah yang
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua bidang ilmu bahasa
tersebut adalah sama sama menjadikan makna sebagai objek kajiannya.
Sementara perbedaannya, semantik lebih fokus mengkaji tentang makna kata,
sementara semiotik lebih fokus melakukan kajiannya pada makna yang berkaitan
dengan simbol, tanda, atau lambang.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas bahwa semantik adalah
cabang ilmu linguistik yang mempelajari studi tentang makna atau arti dari
sebuah kata atau kalimat yang berkenaan dengan bahasa yang digunakan sebagai
alat komunikasi.
4
Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. ChrReisig,
mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut Reisig meliputi tiga
unsur utama, yakni (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang
kalimat, serta (3) etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan
perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik itu sendiri belum
digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa
tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang
diistilahkannya dengan underground period.
5
Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi
dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah (1)
linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan
bahasa pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan
pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang
sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang
menggunakan pendekatan diakronis, (2) bahasa merupakan suatu gestalt atau suatu
totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, yang elemen yang satu dengan lain
mengalami saling kebergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya.
Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistik struktural.
Menurut Ulman (dalam Aminuddin, 2015: 17) tokoh yang secara sungguh-
sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat Saussure itu dalam bidang semantik
adalah Trier’s. Salah satu teori profesor kebangsaan Jermam tersebut adalah Teori
Medan Makna. Dengan diadaptasikannya teori Saussure dalam bidang semantik,
maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantik memiliki ciri (1) meskipun
semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat
historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakuka bersifat deskriptif, serta (2)
struktur dalam kosakata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres
pada linguis di Oslo (1957) maupun di Cambridge (1962), masalah “semantik
struktural” merupakan salah satu masalah yang hangat dibicarakan.
6
memandang kajian makna bukanlah hal yang cukup penting. Oleh sebab itu, kajian-
kajian yang berkaitan dengan makna sangat sedikit dijumpai.
Menurut Parera (dalam Suhardi, 2015: 42) objek kajian Semiotik, seperti
kajian tentang makna rambu-rambu lalu limtas (jalan mendaki, menurun, berbelok,
berkerikil, dilarang berhenti, dilarang masuk, dan seterusnya), maka cahaya yang
dipancarkan oleh sebuah trafic light (merah, kuning, dan hijau), dan makna-makna
yang terdapat pada lambang-lambang partai (pohon beringin, Kakbah, matahari terbit,
benteng, dan seterusnya). Termasuk juga dalam kajian ilmu Semiotik ini adalah
terjemahan tentang rasi bintang (Cancer, Virgo, Scorpio, Libra, dan sebagainya).
Istilah Semiotik pertama kali dikemukakam Charles Morris. Moris menyebut
Semiotik dengan Ilmu isyarat. Berbeda dengan Semantik yang lebih memfokuskan
dirinya pada makna-makna bahasa seperti makna leksikal, struktural, proposisi,
pragmatik, dan makna konseptual. Hal ini sebagaimana pembahasan yang telah
dilakukan sebelumnya.
7
Sears, 1981:135), lebih lanjut juga disebutkan bahwa … we cannot get outside
language to reach thought, noe outside thought to reach language.
Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung dalam suatu
bentuk kebahasaan pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan
secara verbal tentang aneka warna bunga mawar, tidak akan setepat dan sejelas
dibandingkan dengan bersama sama mengamati secara langsung aneka warna bunga
mawar. Ambiguity berkaitan dengan ciri keraksaan makna dari suatu bentuk
kebahasaan. Kata bunga, misalnya, dapat berkaitan dengan “bunga mawar”, “bunga
melati”, “bunga anggrek” maupun “gadis“. Begitu juga untuk menentukan makna
kata tinggi, bisa, mampu, seseorang harus mengetahui dimana konteks kata itu
berada. Meskipun demikian, dalam dunia kepenyiaran, kesamaran dan ketaksaan
makna itu justru dimanfaatkan untuk memperkaya gagasan yang disampaikannya.
Pernyataan penyair Goenawan Mohammad yang berbunyi:
8
Pada sisi lain bukan hanya menggambarkan suasana sepi, dingin yang dibagi
pohon pohon maupun esok yang mungkin tidak ada, melainkan juga mampu
membawa pembaca kepada pemikiran filosofis tentang hakikat keberadaan manusia
serta kehidupan itu sendiri. Dari contoh itu juga didapat kesimpulan bahwa
kesamaran dan ketaksaan makna suatu bahasa sebenarnya juga akibat “kelebihan”
bahasa itu sendiri yang memiliki multifungsi, yakni selain berfungsi simbolik, bahasa
juga memiliki fungsi emotif dan efektif. Selain itu, adanya sinonimi, hiponimi,
maupun polisemi juga memiliki faktor penyebab kesamaran dan ketaksaan makna.
Sejumlah masalah tersebut, secara lebih lengkap akan dibahas tersendiri dibelakang
nanti.
Akibat lebih lanjut dari adanya kekaburan dan ketaksaan makna adalah
terjadinya inexplicitness, sehingga bahasa sering kali tidak mampu secara eksak, tepat
dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang direpresentasikannya. Selain itu
pemakaian suatu bentuk sering kali berpindah pindah maknanya sesuai dengan
konteks gramatik, sosial, serta konteks situasional dalam pemakaian, sehingga juga
mengalami context-dependent. Dari adanya sejumlah kekurangan diatas, tidak
mengherankan apabila paparan lewat bahasa sering mengandung misleadingness
sehubungan dengan keberadaannya dalam komunikasi. Pernyataan seperti, Wah, Ali
sudah Parah, misalnya dapat saja dimaknai “Ali sakitnya sudah parah”. Sementara
yang dimaksud penutur mungkin, “Nilai Ali sangat jelek” , “Ali sangat nakal dan sulit
dinasehati” , “Hubungan ali dengan ani sudah demikian jauhnya”, serta sejumlah
maksud isi pesan lainnya. Dalam situasi demikian itulah, pemilihan kata, pengolahan
dan penataan unsur gramatikal maupun konteks harus dilakukan secara tepat dan
cermat.
Keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang khas milik manusia, menjadi media
pengembang pikiran manusia bagi para filsuf Yunani juga digunakan untuk
merumuskan ciri ciri manusia. Istilah animal rationale, misalnya dalam bahasa
Yunani berpangkal dari logon, ekhoon yang menganudng makna “dilengkapi dengan
9
tutur kata dan akal budi”. Dari sejumlah fitur semantis itu para filsuf yunani
merumuskan pengertian logos sebagai kegiatan menyatakan sesuatu yang di dukung
oleh sejumlah komponen yang masing masing komponen tersebut antara yang satu
dengan yang lain memiliki hubungan dengan menggunakan kata-kata.
Hubungan yang begitu erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia,
salah satunya ditandai oleh kehadiran disiplin ilmu yang megkaji linguistik dari sudut
psikologi. Seperti telah diketahui, disiplin ilmu yang dimaksud adalah psikolinguistik.
Disiplin ilmu tersebut selain mengkaji masalah proses belajar bahasa, baik secara
reseptif maupun produkti, seperti diungkapkan oleh Osgood dan Sebeok,…
psycholinguistics deal directly with the process of encoding and decoding as they
relate states messages to states of communication (Stern, 1984: 296). Dalam proses
menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur unsur kejiwaan seperti
kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun pengalaman jelas tidak dapat diabaikan.
Seorang filsuf yang juga berpengaruh besar dalam bidang psikologi, John
Locke, mengungkapkan bahwa pemakaian kata kata juga dapat diartikan sebagai
penanda bentuk gagasan tertentu karena bahasa juga menjadi instrument pikiran yang
10
mengacu pada suasana maupun realitas tertentu. Keberadaan kata kata yang menjadi
penanda bentuk gagasan itu tentunya bukan pada struktur bunyi atau bentuk
penulisannya, melainkan pada makna. Kekuatan pengaruh psikologi dalam bidang
semantik juga ditandai oleh adanya pengaruh sejumlah aliran dalam psikologi,
misalnya behaviorisme, psikologi gestart, field theory, kognivisme maupun psikologi
humanistik dalam kajian semantik. Pada sisi lain rangkaian pengaruh filsafat terhadap
kajian psikologi itu sendiri tentunya juga tidak dapat diabaikan.
11
Salah satu model analisis fitur semantis kata lewat pendekatan psikologi
kognitif yang lebih banyak berorientasi pada linguistik, dilaksanakan antara lain
dengan cara (1) mengidentifikasi sejumlah ciri referen yang diacu oleh kata, (2)
mengidentifikasi kemungkinan adanya hubungan referen suatu kata dengan acuan
referen dalam kata lainnya, serta (3) mengidentifikasi “ciri khusus” setiap kata yang
memiliki ciri hubungan acuan referen, sebagai butir ciri yang membedakan fitur
semantis kata itu dengan lainnya. Contoh model analisis itu dapat diperiksa pada
bagan 1.
Binatang
Burung ikan
Berbeda dengan kelompok yang lebih banyak berorientasi pada linguistik, maka
kelompok yang lebih banyak berorientasi pada aspek kejiwaan manusia dalam
kaitannya dengan referen dan konteks pemakain bentuk kebahasaan beranggapan
bahwa (1) pemahaman makna ditentukan oleh pengetahuan seseorang tentang referen
12
yang diacu serta konteks pemakaiannya, bukan pada “ingatan semantis” serta
pemahaman struktur sintaktik, serta (2) penyimpulan makna kata kata dapat berbeda
beda sesuai dengan konteks pemakaiannya. Dikaitkan dengan kedua prinsip tersebut
“ingatan semantis” terhadap kata binatang seperti telah diberikan didepan, bila
dihubungkan dengan konteks pemakaian (1) diucapkan dengan nada tinggi oleh
seseorang yang lagi marah, (2) dalam salah satu baris puisi Chairil Anwar, serta (3)
dihubungkan dengan kata kebun sebagai salah satu “tempat rekreasi” di Ragunan atau
Surabaya bisa saja menyesatkan karena makna kata binatang telah mengalami
peralihan sesuai dengan konteks pemakainnya.
Batas antara antropolgi dengan sosiologi sering kali kabur karena keduanya
mengkaji masalah manusia dalam masyarakat. Roger T. Bell, dalam membedakan
bentuk kajian kedua disiplin ilmu itu, menyimpulkan bahwa (1) pusat kajian
antropologi adalah pada sekelompok masyarakat tertentu, sedangkan sosiologi pada
kelompok masyarakat yang lebih luas, (2) antropologi mengkaji perkembangan
masyarakat yang relative homogen dengan berbagai karateristiknya, sedangkan
sosiologi mengkaji proses perkembangan social- ekonomi masyarakat yang heterogen
(Bell, 1976: 64). Akan tetapi, karena bahasa merupakan unsur yang digunakan
manusia sebagai bagian hidup yang menyertai berbagai aktivitasnya, karena bahasa
merupakan unsur yang digunakan manusai sebagai bagian hidup yang menyertai
berbagai aktivitasnya, maka topic permasalahan yang dikaji Dell Hymes dalam
Language in culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology (1964)
serta topic permasalahan yang dikaji Joshua A. Fishman dalam Readings in the
Sociology of language (1970) tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama mengkaji
bahasa sebagai fenomena sosial dan kultural.
13
sangat berperanan dalam menetukan bentuk perkembangan maupun perubahan
makna kebahasaan sebab itulah Halliday misalnya mengemukakan bahwa . . . . the
semantic syste, that is of primary cocern in a sociolinguistic context (Halliday, 1978:
111). Dalam menentukan fungsi dan komponen semantic bahasa halliday
menegemukkkan adanya 3 unsur yang tidak dapat dipisah –pisahkan ketika unsur itu
meliputi (1) ideational, yakni isi pesan yang ingin disampaikan, (2) interpersonal.
,makna yang hadir bagi pemberan dalam peristiwa kultural serta (3) textual, bentuk
kebahasaan serta konteks kultural yang merepsentasikan serta menunjang makna
tuturan. Lebih lanjut kajian tentang hubungan antara sematik dengan fenomena
sosial- kultural ini dapat dipelajari dalam pembahasan sosiosematis.
Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni ,meggunakan bahasa sebagai
media pemaparnya. Akan tetapi, berbeda denga bahasa yang digunakan sehari- hari,
bahasa dalam karya sastra memilki kekhasannya sendiri. Disebut demikian karena
bahasa dalam sastra merupakan salah satu bentuk idiosyncratic di mana tebaran kata
yang digunakan merupakan hasil pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya
(cf. Lyons, 1979: 108). Selain itu, sebagai komunikasi tulis karya sastra juga telah
kehilangan indentitas sumber tunturan, kepastian referen yang diacu, konteks tuturan
yang secara pasti menunjang pesan yang ingin direpresentasikan, Serta keterbatasan
tulisan itu sendri dalam mewakili bunyi ujaran.
14
ingarden sebagai pencetus awal konsep strata makna dalam sastra itu
menggungkpakan bahwa makna karya sastra adalah proses kongkerstitasi yang
diadakan terus menerus oleh pembaca ( Teew, 1984: 191).
15
Sistem internal yang meladasi penataan lamabng, pada sisi lain juga menunjuk pada
aspek semantic tertentu. Apabila sisitem internal penataan lambang berkaitan dengan
ketatabahasaan, maka aspek semantis berkaitan dengan tata makna.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkam bahwa makna adalah unsur yang
meneyertai aspek bunyi, jauh sebelum hadir dalam kegiatan komunikasi. Sebagai
unsur yang melekat pada bunyi, makan juga senantiasa menyertai sistem relasi dan
kombinasi bunyi dalam satuan struktur yang lebih besar seperti yang akhirnya
terwujud dalam kefgiatan komunikasi. Akan tetapi, didasari atau tidak, maulai dari
tataran (1) abstrsksi (2) relasi dan kombinasi, serta (3)komunikasi, aspek bunyi dan
makna pada dasrnya disebut demikian karena pada tataran abstraksi saja, bunyi dan
makna sudah berhubungan dengan masyarakat pemakai, baik secara kolektif maupun
individual. Sementara. Dalam relasi dan kombinasi mapupun dalam komunikasi,
bunyi dan makna, selain berkaitan dengan sistem internal kebahasaan, masyarakat
pemakai yang memilki ;atar sosial budaya tertentu juga telah mengacu pada adanya
sistem pemakaian maupun konteks pemakain itu sendiri.
Dari adanya sejumlah tataran dan kompleksitas itu, dapat dimaklumi bahwa
meskipun makna dan lambang serta aspek semantik dan tata bahasa merupakan
unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dalam memnetukan hubungan
semantik dan linguistik masih terdapat sejumlah perbedaan. Ada pengkaji yang lebih
senag menyebut semantic dengan teori makna dan langsung memasukkannya ke
dalam bidang filsafat bahasa. Pada sisi lain, ada juga pengkaji yang beranggapan
bahwa sealam dalam abtraksi dan proses relasi dan kombinasi, makna masih
merupakan sesuatu yang abstrak sehingga kajian empiris dan hasil studi yang
saintifik tidak mungkin dapat dilaksanakan dan dicapai. Untuk mencapainya, studi
makna harus dilaksnakan setelah makna berada dalam komunikasi dan menggejala
lewat stimulus dan respons . kajian linguis seperti Bloomfied (1933) dan Haris (1951)
adalah kajian yang melihat makna berdasarkan kontras dan ciri substitusi setiap
bentuk. Bagi mereka, tentunya semantik adalah studi yang berada di luar lingustik.
16
Anggapan demikian hadir selain dilatari pendapat bahwa makan adalah
sesuatu yang abstrak sehingga tidak mungkin dapat dikaji secara empritis, juga ada
dalam setiap santuan bunyi. Sebab itu, kanyataan bahwa makna dalam satuan bunyi
pada dasarnya baru merupakan “ potensi” sehingga kehadirannya sebagai unit makna
masih harus melalui proses tersendiri, diabaikan. Hal itu juga dilakukan oleh Noam
Chomsky (1957) pada periode pemunculannya yang pertama sehingga kajian yang
dilakukan hanya berfokus pada komponen sintaktik dan komponen sintaktik dan
komponen fonolohi. Dalam perkembangan berikutnya, teori transformasi generatif.
Seperti dikembangkan oleh pengikut Chomsky, yakni Kats fan Fador (1963) maupun
Chomsky sendiri (1965), dengan tegas memasukkan komponen semantis sebagai
bagian dari kedua komponen sebelumnya. Hal itu dilatari pemikiran bahwa telah
hadir jauh sebelum adanya surface structure . Makna, dengan kata lain, sidah berada
pula dalam deep structure yang berkaitan dengan komponen representasi semantic
(Chomsky, 1971: 183).
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari studi tentang
makna atau arti dari sebuah kata atau kalimat yang berkenaan dengan
bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi.
2. Sejarah semantik memiliki tiga masa perkembangan, pada masa pertama
meliputi setegah abad termasuk di dalamnya kegiatan reisig, maka ini
disebut Ullman sebagai “Underground” period. Masa kedua yakni
semantik sebagai ilmu murni historis, adanya pandangan historical
semantics, dengan munculnya kasya klasik Breal (1883). Masa
perkembangan ketiga studi makna ditandai dengan munculnya karya
filolog Swedia Gustaf Steam (1931) yang berjudul “meaning and Change
of Meaning With Special Reference to the English Language Stern
melakukan kajian makna secara empiris.
3. Hubungan semantik dengan disiplin ilmu lain:
a. Semantik dan filsafat. Semantik dan filsafat memiliki hubungan yang
sangat erat. Filsafat yang mengkaji masalah berfikir secara benar dan
peranan semantik tampak sekali dalam rangka menentukan pernyataan
yang benar maupun tidak benar, dengan bertolak dari adanya premis
serta simpulan yang diberikan.
b. Semantik dan psikologi. Hubungan semantik dengan psikologi yaitu
hubungan yang erat antara bahasa dengan aspek kejiwaan manusia.
c. Semantik dan antropologi. Hubungan semantik dan antropoli mengacu
pada makna bahasa melalui pilihan kata yang dipakai penuturnya itu
menggambarkan kehidupan budaya penutur.
18
d. Semantik dan kesastraan. Semantic dan kesastraan saling memiliki
keterkaitan, dalam hal ini bahasa dalam kesusastraan memiliki bentuk
dan tuturan yang sama, tetapi dipandang dari segi makna belum tentu
dipahami dengan pemahaman yang seragaman oleh tiap tiap orang.
e. Semantik dan linguistik. Semantic dan linguistik memiliki hubungan
yang sangat erat karena linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa,
baik yang berbentuk kata, frase, kalimat dan wacana yang terdiri atas
dua lapisan yaitu lapisan bentuk dan makna. Berdasarkan asumsi bahwa
makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian
dari linguistik.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat menyimpulkan saran sebagai
berikut :
1. Makalah selanjutnya dapat membahas mengenai pengertian bahasa dan ciri
ciri bahasa.
2. Makalah selanjutnya dapat membahas bagaimana bahasa sebagai sistem
semiotik.
3. Makalah selanjutnya dapat membahas informasi factual, sosial, dan
ekspresif.
4. Makalah selanjutnya dapat membahas pembayangan informasi: langsung,
tersirat dan pembayangan.
19
DAFTAR PUSTAKA
20