Disusun Oleh
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan Tugas guna memenuhi Tugas ”Makalah
Keterbacaan” Mata Kuliah Membaca Komprehensif, Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Saya selaku penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Dra.Sudiati M.Hum. selaku Dosen Mata Kuliah Membaca Komprehensif yang telah
memberi banyak bantuan, dorongan, masukan, dan dukungan terkait penulisan tugas ini,
serta pihak-pihak lain yang membantu dalam penulisan tugas akhir ini.
Saya menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk kesempurnaan tugas akhir ini. Penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat
bermanfaat bagi semua orang.
2|Makalah Keterbacaan
DAFTAR ISI
3|Makalah Keterbacaan
BAB I
PENDAHULUAN
Membaca menduduki posisi serta peran yang sangat penting dalam konteks
kehidupan umat manusia, terlebih pada era informasi dan komunikasi seperti sekarang ini.
Membaca juga merupakan sebuah jembatan bagi siapa saja dan di mana saja yang
berkeinginan meraih kemajuan dan kesuksesan, baik di lingkungan dunia persekolahan
maupun di dunia pekerjaan. Oleh karena itu, para pakar sepakat bahwa kemahiran membaca
(reading literacy) merupakan conditio sine quanon (prasyarat mutlak) bagi setiap insan yang
ingin memperoleh kemajuan (Harras Kholid, 2014: 1.3)
Memilih sebuah bacaan yang pantas untuk dikonsumsi oleh siswa merupakan tugas
utama seorang guru. Kita harus mampu memilah dan memilih bacaan yang sesuai untuk
siswa. Bahan bacaan tidak hanya berasal dari buku paket saja, melainkan dari koran, majalah,
pamfet-pamflet, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana kita menyortir bacaan yang tepat untuk
dikonsumsi murid-murid? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaan yang
layak untuk siswanya?
Semua pertanyaan tersebut akan kita bahas dalam makalah yang mengambil topik
tentang keterbacaan sebuah bacaan. Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran
membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang.
Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu
bagi peringkat pembaca tertentu. Makalah kali ini akan membahas mengenai pengertian
keterbacaan, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan, dan grafik yang digunakan, yaitu
grafik Fry.
4|Makalah Keterbacaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan dalam KBBI (2003: 83) adalah perihal dapat dibacanya teks
secara cepat, mudah dipahami, dan diingat. Keterbacaan berhubungan dengan
pembaca maka keterbacaan yang dimaksud dalam makalah ini adalah ukuran tentang
sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari tingkat kemudahan
atau kesukaran wacananya.
Tampubolon (dalam Dalman, 2014: 24) mengatakan bahwa keterbacaan
(readability) ialah sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari
segi tingkat kesukarannya. (Tampubolon, 1990). Jika bacaan terlalu sukar, maka
pembaca terpaksa membacanya dengan lambat, atau bahkan berulang-ulang, agar
dapat mengerti. Sebaliknya, bacaan yang terlalu mudah akan membuat pembaca
bosan, karena tidak mengandung tantangan bagi kemampuannya.
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentukan readability
merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat
dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal
yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya.
Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau
ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi,
"keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu
bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan (readability) Harjasujana (dalam Gumono, 2013: 132)
mendefinisikan “keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu
bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan
wacananya atau kemudahan teksnya”. Selain itu, Harjasujana (dalam B.
Widharyanto, dkk., 2016: 249) juga memaparkan bahwa readability merupakan
padanan istilah keterbacaan. Keterbacaan didefinisikan sebagai pengukuran tingkat
kesulitan sebuah buku teks atau wacana.
5|Makalah Keterbacaan
Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas.
Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang
akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas
tertentu.
Gray dan Leary sebagaimana dikutip oleh Harjasujana dan Mulyati, (dalam
Isna Sulastri 2010) mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi
keterbacaan sebuah wacana. Dari sekian banyak faktor itu menurut mereka dua puluh
faktor di antaranya dinyatakan signifikan.
Dalam tulisan ini akan merinci dua faktor saja yang menurut para pakar
termasuk faktor yang paling sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengukuran keterbacaan wacana berbahasa Indonesia. Faktor tersebut ialah
6|Makalah Keterbacaan
2. Perbedaan latar belakang penulis dengan pembaca
Seperti dikatakan Gray dan Lary pada bagian awal pembicaraan tentang
faktor yang mempengaruhi keterbacaan ini, Baradja (dalam Isna Sulastri, 2010)
juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan wacana
banyak sekali. Dia melihatnya secara makro dan mikro. Kesulitan-kesulitan dilihat
dari segi makro menurutnya antara lain adalah faktor perbedaan latar belakang
antara penulis dan pembaca. Perbedaan latar belakang ini menurutnya meliputi
perbedaan budaya, asumsi, dan penguasaan ilmu-ilmu tertentu.
Dalam hubungan itu, sebagai contoh Baradja mengangkat cerita Gone
With the Wind karya Margaret Mitchell. Menurut beliau cerita ini akan lebih
mudah dipahami oleh orang Amerika dibanding oleh masyarakat Indonesia.
Dengan lebih tegas diungkapkannya bahwa isi pesan yang dituangkan dalam
cerita itu akan lebih mudah lagi dipahami orang Amerika yang hidup dan
dibesarkan di daerah Atlanta, Amerika. Mengapa begitu? Hal ini tentu disebabkan
adanya persamaan latar belakang dan persamaan kebudayaan antara penulis dan
pembaca cerita tersebut karena cerita tersebut menurut beliau mengangkat
fenomena yang terjadi di daerah Atlanta. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
cerita Gone With the Wind lebih kontekstual bagi masyarakat Atlanta.
C. Grafik Raygor
1. Pengertian Grafik Raygor
Formula keterbacaan Raygor dibuat pertama kali oleh Alton Raygor, lalu
dikenal dengan formula Raygor (Grafik Raygor). Grafik Raygor menilai keterbacaan
berdasarkan panjang kalimat dan kata. Teori Raygor menyatakan bahwa semakin
panjang suatu kalimat, akan lebih sulit dibaca oleh kemampuan membaca
tertentu. Hal yang sama juga terjadi dengan panjang kata sebuah teks.
7|Makalah Keterbacaan
Berikut ini grafik Raygor yang digunakan untuk melihat keterbacaan suatu teks.
Keterangan :
100 kata
Average number of 6+ character words per 100 words = rata rata sulit
Dari grafik di atas angka 3.2, 3.4, 3.6, dan seterusnya nunjukan rata-rata panjang
kalimat. Angka 6, 8, 10, dan seterusnya menunjukan rata-rata jumlah kata sulit.
Angka- angka yang berada dalam tengah garfik dan berada diantara garis-garis
penyekat dari grafik tersebut , menunjukan perkiraan peringkat keterbacaan
wacana yang diukur. Angka 3 menunjukan wacana tersebut cocok untuk pembaca
pada tingkat kelas 3 SD, dan seterusnya hingga kelas professional yang ditunjukan
dengan angka 14. Daerah di bawah angka 3 dan diatas angka profesional merupakan
daerah invalid.
2. Petunjuk penggunaan
8|Makalah Keterbacaan
5. Mencari titik temu hasil yang diperoleh dari langkah kedua dan ketiga tersebut
ke dalam grafik Raygor
D. Prosedur Klose
1. Pengertian Prosedur Klose
Salah satu upaya pertama untuk memasukan pembaca dalam evaluasi teks
adalah uji klose yang diperkenalkan oleh Wilson Taylor pada tahun 1953. Pengujian
Klose didasarkan pada gagasan Gestalt “Klosure” yang merupakan kemampuan
pikiran untuk menyelesaikan kata kata yang tidak lengkap, gambar
visual/pemikiran.
Prosedur untuk Test Klose yang diusulkan oleh Wilson Taylor (1953)
memanfaatkan kemampuan pikiran untuk membuat penutupan. Dalam
pengujiannya, pembaca mengganti kata-kata yang dihapus secara sistematis dari
suatu bagian teks; persentase penggantian yang benar memberi kita informasi
tentang seberapa efektif pembaca yang menangani teks yang diberikan. Karena
uji klose adalah contoh lingkungan yang lebih besar (misal buku teks itu sendiri),
kemudian penulis membuat beberapa asumsi tentang bagaimana pembaca akan dapat
membaca dan membangun makna dari buku teks itu secara keseluruhan.
3. Memilih suatu wacana yang relatif sempurna yakni wacana yang tidak
tergantung pada informasi sebelumnya.
4. Melakukan penghilangan/pengosongan kata ke-n, tanpa memperhatikan arti
dan fungsi kata-kata yang dihilangkan
5. Mengganti bagian-bagian yang dihilangkan tersebut dengan tanda garis lurus
datar yang sama panjangnya
6. Memberi salinan (copy) dari semua bagian yang direproduksi kepada
siswa/peserta tes.
7. Mengingatkan siswa untuk berusaha mengisi semua delisi dengan pertanyaan-
pertanyaan dari konteks atau kata-kata sisanya.
8. Menyediakan waktu yang relatif cukup untuk memberi kesempatan
kepada siswa dalam menyelesaikan tugasnya. (Wilson Taylor, 1953 melalui
Ahmad S. Harjasujana, 1998:5)
9|Makalah Keterbacaan
3. Prosedur Penilaian Tes Klose
9. Hanya memberi angka kepada jawaban yang sama persis sesuai dengan
kata aslinya.
10. Angka diberikan tidak hanya kepada jawaban yang sama persis.
5. Kegunaan
10 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
6. Kriteria Pembuatan Prosedure Klose
KEUNGGULAN:
11 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
E. Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry
Akhmad dan Yeti (Dalam Heni Sulistyo, 2006: 28) mengatakan bahwa
Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula
ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading”
Formula keterbacaan ini memberikan gambaran mengenai keterbacaan sebuah teks
berdasarkan kelas-kelas. Kelas ini menggambarkan kelas pembacanya yaitu kelas 1
untuk siswa kelas 1, kelas 2 untuk siswa kelas 2, dan begitulah seterusnya.
Harjasujana (dalam B. Widharyanto, 2019: 249) menyatakan bahwa Grafik
Fry merupakan formula keterbacaan yang menekankan penggunaan variable
kesukaran kata dan kerumitan gramatikal. Grafik Fry termasuk instrument sederhana
dan cukup efisien dalam menentukan keterbacaan suatu teks. Grafik Fry mendasarkan
pengukuran dari panjang pendeknya kalimat dari kesukaran kosakata yang
membentuk setiap kata pada wacana tersebut.
Angka-angka yang ditulis pada bagian horisontal grafik Fry menunjukkan data
jumlah suku kata perseratus perkataan, yakni jumlah kata yang dijadikan sampel
pengukuran keterbacaan wacana. Perhitungan bagian ini mencerminkan faktor kata
sulit yang menjadi salah satu faktor utama terbentuknya formula keterbacaan. Angka-
angka yang tertera pada samping kiri grafik menunjukkan data rata-rata jumlah
12 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
kalimat per seratus kata. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor
penentu formula keterbacaan yaitu faktor panjang pendek kalimat. Angka-angka yang
berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik
tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1
menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level
peringkat baca 1; dan seterusnya.
Pertama, jika yang akan diteliti adalah keterbacaan wacana dalam sebuah
buku, maka pengukuran sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali,
dengan memilih sampel yang berbeda. Untuk ini peneliti dapat mengambil sampel
wacana dari bagian awal, tengah, dan bagian akhir buku. Akan tetapi jika yang akan
diteliti berupa artikel, jurnal, atau surat kabar, pengukuran dapat dilakukan satu kali
saja, kecuali jika penulisnya berbeda-beda.
13 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
Kedua, formula Fry pada awalnya dirancang untuk pengukuran wacana
berbahasa Inggris. Mengingat sistem persukuan kata-kata berbahasa Inggris sangat
berbeda dengan sistem pola suku kata bahasa Indonesia, maka formula Fry ini tidak
dapat digunakan langsung untuk meneliti keterbacaan wacana berbahasa Indonesia.
Namun demikian, bukan berarti tidak dapat dipakai sama sekali. Peneliti wacana
berbahasa Indonesia dapat menggunakan formula ini, asal saja dimodifikasi terlebih
dahulu.
Sehubungan dengan pandangan terakhir itu, Harjasujana dan Mulyati (dalam
Isna Sulastri, 2010) menawarkan satu model modifikasi yang mereka rancang
berdasarkan pada satu penelitian terhadap buku Lancar Berbahasa Indonesia 2 untuk
Sekolah Dasar kelas 4 karangan Dendy Sugono. Cara yang mereka tawarkan adalah
dengan menambah satu langkah lagi –di luar langkah yang ditetapkan Fry–, yakni
dengan cara memperkalikan hasil perhitungan suku kata (sesuai dengan prosedur
kerja Fry) dengan angka 0,6. Angka 0,6 ini menurut mereka merupakan
perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa
Indonesia, yakni 6:10. Artinya, enam suku kata bahasa Inggris, kira-kira sama dengan
sepuluh suku kata bahasa Indonesia.
Selain itu pula dalam buku pembelajaran tematik siswa juga terdapat wacana
yang jumlah kalimatnya kurang dari seratus kata. Laksono (dalam Nuyan Saroni, dkk.
2017: 162) menyatakan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
menganalisis wacana yang kata-katanya kurang dari seratus kata yaitu sebagai
berikut:
a. Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada bilangan puluhan
terdekat
b. Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana.
c. Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam
daftar konversi.
14 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
Laksono (dalam Nuyan Saroni, dkk. 2017: 162).
Laksono (dalam Nuyan Saroni, dkk. 2017: 162) menyatakan Jika dalam
jumlah kata dalam wacana itu sejumlah Perbanyak jumlah suku kata dan kalimat
dengan bilangan berikut 30 3,3 40 3,5 50 2 60 1,67 70 1,43 80 1,25 90 1,1. Sebagai
contoh; ada sebuah wacana didapati jumlah katanya ada 34 buah, dibulatkan menjadi
30 buah. Jumlah kalimatnya ada 2 kalimat. Jumlah suku katanya ada 60 suku kata.
Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan suku kata untuk jumlah 30
adalah 3,3. Dengan demikian jumlah kalimatnya adalah 2 x 3,3= 6,6 sedangkan
jumlah suku katanya adalah 60 x 3,3= 198. Dalam mengukur tingkat keterbacaan
sebuah buku, setelah si pengukur menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan
Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata inilah yang
kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku
tersebut.
15 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A. Saran
Demikian makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk menambah pengetahuan tentang keterbacaan
16 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n
DAFTAR PUSTAKA
17 | M a k a l a h K e t e r b a c a a n