MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra
Dosen Pengampu:
Dra. Endang Sriwidayati, M.Pd. (195711031985022001)
Siswanto, S.Pd., M.A. (198407222015041001)
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB IV KESIMPULAN 14
4.1 Kesimpulan 14
4.2 Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Pratt Sinter untuk berhasil membaca karya sastra , memahami, dan
menafsirkannya orang harus siap mental dan tahu tentang konvensi yang dimiliki karya
sastra. Konvensi adalah aturan sosial, sesuatu yang disetujui/disepakati masyarakat.
Diantara konvensi-konvensi di bidang sastra yang harus diketahui adalah sistem sastra.
Sistem sastra merupakan asas, prinsip, dan norma-norma sastra yang sudah tersusun
secara teratur yang harus disepakati. Walaupun karya sastra merupakan satu bangunan
atau struktur yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan, secara universal tidak
mungkin lepas sepenuhnya dari sistem sastra yang ada. Pada sisi lain, sistem sastra
sifatnya longgar. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan karya individual.
Adapun sistem sastra yang patut diketahui agar dapat melakukan penafsiran dalam rangka
memproduksi makna menurut Fananie ( 2000: 23 – 62 adalah: konvensi bahasa, konvensi
sastra, dan aliran sastra. Selain tiga hal itu, Teeuw ( 1984:95-119) menambahkan
konvensi budaya, jenis sastra /genre, dan teks sastra sebagai sistem sastra. Sejalan dengan
Teeuw dan Fananie di atas, Pradopo ( 2002: 47-63) menambahkan kerangka kesejarahan:
hubungan intertekstual sebagai salah satu sistem sastra yang perlu mendapat perhatian
apabila akan menafsirkan karya sastra dengan kerangka semiotik., Keseluruhan sistem
sastra itu sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep sistem sastra.
2. Untuk mengetahui sistem teks sastra.
4
BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sistem adalah perangkat unsur yang
secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Menurut Jogianto dalam Hutahaean (2014;1), sistem adalah kumpulan dari elemen-
elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sistem ini menggambarkan
suatu kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat,
benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi. Sistem juga terdapat dalam karya
sastra.
Istilah sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya teks yang
mengandung ‘instruksi’ atau ‘pedoman’, dari kata dasar sas ‘instruksi’ atau ‘ajaran’. Dalam
Bahasa Indonesia kata ini bisa digunakan untuk merujuk pada “kesusastraan” atau sebuah
tulisan yang memiliki arti keindahan tertentu. Berdasarkan istilah tersebut, maka pengertian
sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan,
semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkrit yang membangkitkan pesona
dengan alat-alat bahasa.
Menurut Aristoteles, sastra sebagai kegiatan lain melalui agama, ilmu pengetahuan
dan filsafat. Sementara itu, Menurut Plato, sastra merupakan hasil peniruan atau representasi
dari kenyataan (Mimesis).
Sistem sastra terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan dalam sastra. Sistem menjadi
pembangun yang membentuk karya sastra.
5
BAB III
PEMBAHASAN
6
diciptakan oleh pengarang. Penonjolan kekhasan Bahasa tersebut, akan tampak jelas
apabila kita menelaah karya sastra dalam bentuk puisi. Penyimpangan pemakaian Bahasa
sering kita dapati, karena pemakaian Bahasa dalam karya puisi banyak yang bersifat
abstrak, imajinatif, dan inkonvensional yang secara lahir seringkali sulit dimengerti.
Pemakaian Bahasa dalam karya sastra ini semenjak abad kelima sudah sering
dibicarakan kata art sekarang lebih dispesiffikasikan dengan literature, pada awalnya
banyak mengundang perbedaan pendapat. Art pada awalnya mempunyai referensi
gramatika dan retorika. Gramatika meliputi recte liquendi scientia, ilmu untuk berbicara
secara tepat (dalam pengertian sekarang banyak dikaitkan dengan ilmu Bahasa atau tata
Bahasa), dan poetrum enarratio, yaitu semacam teori sastra Teeuw, 1984:71). (Fananie,
2002:23-24).
3.2.2 Konvensi Sastra
Istilah konvensi masuk bidang sastra dan ilmu sastra dari dunia hukum, lewat ilmu-ilmu
sosial: konvensi mula-mula dianggap lembaga, aturan sosial, sesuatu yang disetujui oleh
anggota masyarakat; kemudian masuk bidang sastra lewat orang Romantik dalam abad
ke-19, khususnya Madame de Stael; mereka justru sangat kuat menentang konvensi
sosial, mau kembali kealam tanpa konvensi yang mengikat secara sosial, jadi konvensi
dialami sebagai ikatan, lingkungan yang dari padanya kita harus membebaskan diri.
Tetapi betapa kuat kita menantang adanya dan perlunya konvensi, sastra dan seni selalu
berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis dan kreasi, antara tiruan
dan ciptaan.
Konvensi pada awalnya mengandung pengertian aturan-aturan sosial yang
sudah disetujui oleh masyarakat. Konvensi tersebut kemudian masuk dalam bidang sastra
pada abad ke-19. Adanya konvensi sastra menyebabkan timbulnya berbagai macam
aturan yang harus dipenuhi oleh pengarang. Kita ambil contoh, seorang pengarang yang
akan menulis pantun, maka dia terikat dengan konvensi seperti persajakan, jumlah baris,
sampiran, dan isi.
3.2.3 Aliran Sastra
Aliran dalam suatu karya sastra biasanya berkembang dalam satuan waktu tertentu.
Dalam setiap periode sastra, umumnya selalu diikuti oleh suatu aliran yang lagi menjadi
mode pada waktu itu. Beberapa aliran sastra yang kita kenal yang pernah menjadi ciri
khas anutan dan mode pengarang Indonesia diantaranya adalah aliran romantisme,
romantis idealisme, romantis idealism, ekspresionisme, impresionisme, naturalism,
imajisme.
7
Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua
masyarakat meskipun secara social, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak
merupakan keharusan. Hal ini berarti bahwa sastra merupakan gejala yang universal.
Namun, suatu fenomena bahwa gejala yang universal tidak mendapat konsep universal
pula. Kriteria ke “sastra” an yang ada dalam suatu masyarakat tidak selalu cocok dengan
kriteria ke”sastra”an yang ada pada masyarakat yang lain.
8
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulannya dapat diringkaskan sebagai berikut: kalau kita kembali ke karya
sastra, tujuan awal dan akhir ilmu sastra, jelaslah yang menentukan ciri khasnya adalah
ketegangan antara inovention dan convention, antara sistem konvensi yang mengikatnya dan
sekaligus diatasinya. Peneliti sastra yang tidak memperhatikan ketegangan itu tidak mungkin
memahami karya sastra itu secara tepat: penelitiannya secara terisolasi selalu menghilangkan
sesuatu yang esensial dari karya sastra ; dan hal itu berkonsekuensi langsung untuk penelitian
sastra. Dalam hubungan ini perlu pula diperhatikan bahwa hubungan antara konvensi dan
karya individual bukan suatu berian yang tetap; dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup
besar antara masyarakat –masyarakat tertentu; khususnya dalam masyarakat tradisional
barangkali umumnya konvensi lebih mengikat, pencipta karya sastra lebih patuh pada
konvensi, sedangkan dalam kebudayaan modern justru penyimpangan, pembaharuan yang
dianggap penting sehingga malahan dikatakan bahwa hanya karya sastra yang jelas-jelas
merombak konvensi dapat bernilai.
B. Saran
Sebaiknya karya sastra maupun sistem sastra yang ada dinegara kita ini diharus
diperhatikan lagi, karena menurut saya karya sastra yang dimiliki oleh orang Indonesia ini
bagus-bagus. Dan sebaiknya juga masyarakat setempat harus bangga dengan karya yang
dimiliki oleh negaranya sendiri.
9
DAFTAR PUSTAKA
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya
10