TUGAS KELOMPOK V
LINGUISTIK MIKRO DAN MAKRO
MORFOLOGI
Dosen Pengampu:
Dr. DWIYANI RATNA DEWI, M.Pd.
Bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara teratur. Bahasa itu bukanlah
sejumlah unsur yang terkumpul secara acak atau tidak beraturan. Bahasa itu sistematis. Di
samping itu, dapat pula dinyatakan bahwa bahasa terdiri dari subsistem-subsistem, artinya
bahasa bukanlah sistem tunggal. Bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem
fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Agak berbeda dengan subsistem yang
lain, subsistem bahasa tertata secara hirearkis. Jenjang subsistem ini dalam linguistik dikenal
dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Jika diurutkan dari tataran yanng terendah
sampai tataran yang tertinggi, dalam hal ini yang menyangkut ketiga subsistem bahasa di atas
adalah tataran fonem, morfem, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Tataran fonem masuk
dalam bidang kajian fonologi, tataran morfem dan kata masuk dalam tataran kajian morfologi;
tataran frasa, klausa, kalimat, dan wacana merupakan tataran tertinggi, dikaji oleh bidang
sintaksis. Dalam morfologi, kata menjadi satuan terbesar, sedangkan dalam sintaksis menjadi
satuan terkecil. Dalam kajian morfologi, kata itu dikaji struktur dan proses pembentukannya,
sedangkan dalam sintaksis dikaji sebagai unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar.
Linguistik dari segi telaahnya dapat dibagi atas dua jenis, yaitu linguistik mikro dan
linguistik makro. Linguistik mikro dipahami sebagai linguistik yang sifat telaahnya lebih
sempit. Artinya, bersifat internal, hanya melihat bahasa sebagai bahasa. Linguistik makro
bersifat luas, sifat telaahnya ekternal. Linguistik mengkaji kegiatan bahasa pada bidang-
bidang lain, misalnya ekonomi dan sejarah. Bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat
bahasa dari sudut pandangan dari luar bahasa.
Bahasa dapat dilihat secara deskriptif, historis komparatif, kontrastif, sinkronis, dan
diakronis. Linguistik deskriptif melihat bahasa yang masih hidup apa adanya. Linguistik
komparatif membandingkan dua bahasa atau lebih pada periode berbeda. Linguistik kontrastif
membandingkan bahasa-bahasa pada periode tertentu atau sezaman. Dalam kajian ini dicari
persamaan dan perbedaan dalam bidang struktur: fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Linguistik sinkronis mempersoalkan bahasa pada massa tertentu. Dalam kajian ini kita tidak
membandingkan dengan bahasa lain dan periode lain. Dengan demikian, kajian linguistik ini
bersifat mendatar atau horizontal.
Linguistik dapat pula berhubungan dengan ilmu lain. Ilmu tersebut antara lain adalah
psikologi, sosiologi, dan antropologi. Ahli bahasa dapat memanfaatkan psikologi untuk
menganalisis perolehan bahasa dan akibat gangguan psikologi. Perhubungan ini melahirkan
psikolinguistik. Hubungan dengan sosiologi melahirkan sosiolinguistik. Subdisiplin ini dikaji
hubungan bahasa dengan pembicara, bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan,
kepada siapa, dan kapan terjadi pembicaraan. Dengan kata lain, sosiolinguistik menganalisis
hubungan antara aspek sosial dengan kegiatan berbahasa. Pemanfaatan antropologi
menghasilkan anropolinguistik atau etnolinguistik. Subdisiplin ini mempelajari hubungan
antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini akan diuraikan apa yang
disebut dengan linguistik makro dan linguistik mikro secara umum beserta kajian ilmiahnya.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan linguistik mikro?
2. Bagaimana penerapan linguistik mikro dalam kajian ilmiah?
C. Kajian Teori
Dalam pembagian seperti itu, linguistik termasuk salah satu ilmu pengetahuan sosial
budaya (inggris humanities, Jerman: Geisteswissenschaften). Perlu dijelaskan bahwa ilmu
kemanusiaan pada hakikatnya tidak dapat diterima karena fenomena sosial tergantung
sepenuhnya dari ciri-ciri manusia, sebaliknya ilmu tentang manusia tidak harus bersifat sosial)
Jean Piaget, ahli psikologi dan pemikir ilmu pengetahuan swiss membagi ilmu pengetahuan
sosial atas empat cabang, yaitu; 1) ilmu-ilmu nomotetik; 2) ilmu-ilmu sejarah; 3) ilmu-ilmu
hukum; 4) ilmu-ilmu filsafat. Linguistik menurut pembagian ini termasuk ilmu-ilmu
nomotetik, yaitu ilmu yang berusaha mencari kaidah-kaidah mempergunakan metode
eksperimental dan berusaha untuk memusatkan perhatian pada bidang yang terbatas.
Termasuk pula sebagai ilmu nomotetik itu antara lain: psikologi, sosiologi, ekonomi. Jean
peaget mengatakan bahwa beberapa aspek bahasa dapat ditinjau dari pendekatan historis dan
adapula beberapa aspek bahasa yang dapat didekati secara filosofis. Linguistik merupakan
salah satu jenis dari ilmu sosial dan kemanusiaan dan kedudukannya sebagai ilmu yang
otonom tidak perlu diragukan lagi karena linguistik menyelidiki bahasa sebagai data utama.
tambahan pula linguistik sudah mengembangkan seperangkat prosedur yang sudah dianggap
benar standar.
Pada dasarnya, linguistik terdiri atas dua bidang besar, yaitu; (1) Mikrolinguistik, yaitu
bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalam dengan kata lain mempelajari struktur
bahasa itu sendiri; (2) Makrolinguistik, yaitu bidang linguistik yang mempelajari bahasa
dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk di dalamnya bidang
interdisipliner dan bidang terapan.
Ditinjau dari sudut tujuan, linguistik dapat dibagi atas dua bidang, yaitu linguistic teoritis
dan terapan, yakni;
(1) Linguistik teoritis, yaitu bidang linguistik yang mengkaji dan mengupas bahasa untuk
mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa. Linguistik teoritis ada ada yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Linguistik yang bersifat umum biasanya disebut
linguistik umum yang berusaha memahami ciri-ciri umum dari berbagai bahasa. Linguistik
teoritis yang khusus berusaha menyelidiki ciri-ciri khusus dalam bahasa tertentu saja.
Linguistik teoritis mencakup: linguistik deskriptif, linguistik historis komparatif. Pembagian
ini dirinci satu persatu sebagi berikut: a) linguistik teoritis adalah cabang llinguistik yang
memusatkan perhatian pada teori umum dan metode-metode umum dalam penyelidikan
bahasa; b) linguistik deskriptif disebut juga linguistik sinkronis adalah bidang linguistik yang
menyelidiki sistem bahasa pada waktu tertentu saja. Misalnya: bahasa Indonesia dewasa ini,
bahasa Inggris yang dipakai oleh shakepeare, dan sebagainya tanpa memperhatikan
perkembangannya dari waktu ke waktu. Cabang ini terbagi atas fonologi deskriptif,
morfologi deskriptif, sintaksis deskriptif, leksikologi deskriptif.
Fonologi meneliti tentang ciri-ciri bunyi dan fungsi bunyi. Morfologi menyelidiki tentang
kata, unsur, dan proses pembentukannya, sintaksis menyelidiki satuan antara satuan-satuan
itu. Morfologi dan sintaksis termasuk dalam tataran tata bahasa atau gramatika. Leksikologi
menyangkut perbendaharaan kata atau leksikon; c) linguistik historis komparatif (diakronis)
adalah linguistik yang mempelajari dan menyelidiki perkembangan bahasa dari satu masa ke
masa lain, serta menyelidiki perbandingan satu bahsa dengan bahasa lain untuk menemukan
bahasa purba atau bahasa proto sebagai bahasa induk bersama. LHK terbagi pula atas bidang
(1) fonologi), (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) leksikologi historis komparatif. Dinyatakan pula
bahwa bahasa mempunyai aspek makna atau aspek semantis. Penyelidikan tentang aspek ini
baik yang bersifat teoritis umum maupun yang bersifat deskriptif dan bersifat historis
komparatif, disebut semantik. Bidang ini sering disebut semantik linguistik, untuk
membedakannya dengan semantik filosofis, yakni cabang ilmu filsafat yang juga menyelidiki
makna.
Kajian linguistik terapan merupakan salah satu bagian dari kajian linguistik
interdisipliner. Kajian interdisipliner yang antara lain psikolinguistik, sosiolinguistik,
etnolinguistik. Secara singkat penjelasannya sebagai berikut: (1) Filsafat bahasa adalah kajian
yang mengupas kodrat dan kedudukan bahasa manusia dalam hubungannya dengan filsafat
dan peranan melahirkan pemikiran filsafat; (2) Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara bahasa dan perilaku serta akal budi manusia atau ilmu interdisipliner
linguistik dengan psikologi; (3) Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki
hubungan antara bahasa dan masyrakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai
tulisan. Bidang ini disebut juga linguistik antropologi.
Berdasarkan hubungan dengan faktor di luar bahasa objek kajiannya dibedakan adanya
linguistik mikro dan linguistik makro Linguistik mikro mengarahkan kajian pada struktur
internal atau struktur bahasa tertentu atau subsistem bahasa tertentu, maka dalam linguistik
mikro terdapat pembidangan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Ada
juga yang menggabungkan morfologi dengan sintaksis menjadi morfosintaksis, dan
menggabungkan morfologi dengan semantik dan leksikologi menjadi leksikosemantik.
Namun, dalam makalah ini akan membahas mengenai fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, wacana, dan sejarah aliran linguistik. Kemudian, dalam kajian mikrolinguistiknya,
yaitu sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, pragmatik, dan neurolinguistik.
1) Fonologi
Fonologi menyelidiki ciri-ciri bunyi ujar, cara terjadinya dan fungsinya dalam sistem
kebahasaan secara keseluruhan. Fonologi dapat dipelajari dengan dua sudut pandang.
Pertama, bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata tak ubahnya seperti benda atau
zat. Dengan demikian, bunyi dianggap sebagai bahan mentah , bagai bahan mentah, bagaikan
batu, semen sebagai bagian dari bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang
bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik. Kedua, bunyi ujar dipandang sebagai sistem
bahasa. Bunyi ujar merupakan bagian dari struktur kata dan sekaligus berfungsi untuk
membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem
bahasa, lazim disebut fonemik (Muslich, 2008: 1-2).
2) Morfologi
Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari
seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan
dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk
bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata iti, baik fungsi gramatik maupun
fungsi semantik (Ramlan, 2009: 21).
Morfologi disebut juga ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata. Verhaar
(1984:52) berpendapat bahwa morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan
bagian kata secara gramatikal. Begitu pula Kridalaksana (1984:129) yang mengemukakan
bahwa morfologi, yaitu (1) bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-
kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata,
yaitu morfem.
3) Sintaksis
Sintaksis adalah cabang ilmu linguistik yang membicarakan kata dalam hubungannya
dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai suatu satuan ujaran, dalam sintaksis yang biasa
dibicarakan adalah struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, peran sintaksis,
satuan sintaksis berupa frase, kalimat, kalimat, dan wacana (Chaer, 2007: 206).
4) Semantik
Verhaar (dalam Pateda, 2001: 7) mengatakan bahwa semantik adalah teori makna atas
teori arti (kata semantik sebagai nomina dan semantik sebagai ajektiva). Memang secara
empiris sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang,
terjadi proses mental pada diri keduanya. Proses mental itu berupa menyusun kode semantik,
kode gramatikal dan kode fonologis pada pihak pembicara, dan proses memecahkan kode
fonologis pada pihak pendengar. Dengan kata lain, baik pada pihak pembicara maupun
pendengar terjadi pemaknaan. Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan hal tersebut
dapat sisimpulkan bahwa semantik adal subdisiplin ilmu linguistik yang membicarakan
makna.
PEMBAHASAN
Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan.
Bidang linguistik murni mencakup fonologi (fonetik/fonemik), morfologi, sintaksis, dan
semantik. Sedangkan, bidang linguistik terapan mencakup psikolinguistik, sosiolinguistik,
antropolinguistik, pragmatik dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab
berikut ini.
A. FONOLOGI
1. FONETIK
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa dapat
pula diartikan sebagai bunyi yang diartikulasikan yang menghasilkan gelombang bunyi
sehingga dapat diterima oleh telinga manusia.
Fonetik merupakan kajian mengenai bunyi bahasa. Berdasarkan proses terjadinya, fonetik
dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu; (1) Fonetik akustis yaitu mempelajari bunyi bahasa
yang berupa getaran udara dan mengkaji tentang frekuensi getaran bunyi, amplitudo,
intensitas dan timbrenya; (2) Fonetik auditoris yaitu mempelajari bagaimana mekanisme
telinga menerima bunyi sebagai hasil dari udara yang bergetar; (3) Fonetik
artikulatoris adalah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat ucap manusia
menghasilkan bunyi bahasa serta pengklasifikasian bahasa berdasarkan artikulasinya.
Dalam kesempatan kali ini hanya akan membahas mengenai fonetik artikulatoris karena
yang menjadi perhatian mengenai proses produksi bunyi bahasa dan alat ucap apa saja yang
beroperasi ketika bunyi itu diproduksi.
Proses pembentukan bahasa melibatkan empat komponen, yaitu proses aliran udara,
proses fonansi, proses artikulasi dan proses orsonal. Produksi bunyi melibatkan alat-alat ucap
di sekitar mulut, hidung dan tenggorokan. Namun, pada dasarnya alat ucap terdiri atas paru-
paru, kerongkongan, langit-langit, gusi dalam, gigi, bibir, dan lidah.
Berdasarkan ada tidaknya artikulasi, yaitu; (1) vokal, yaitu bunyi bahasa yang tidak
mengalami hambatan pada saat pembentukannya; (2) konsonan, yaitu bunyi bahasa yang
dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat ucap;(3) semi-vokal, yaitu bunyi
yang sebenarnya tergolong konsonan tetapi pada saat diartikulasikan belum membentuk
konsonan murni.
Berdasarkan jalan keluarnya arus udara, yaitu; (1) bunyi nasal, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut dan membuka jalan agar
arus udara dapat keluar melalui rongga hidung; (2) bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan
dengan jalan mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi
rongga hidung, sehingga arus udara keluar melalui mulut.
Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di artikulasikan, yaitu; (1)
bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan
kuat arus; (2) bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu diartikulasikan tidak disertai
ketegangan kuat arus.
Berdasarkan lamanya bunyi diucapkan atau diartikulasikan, yaitu; (1) bunyi panjang;
dan (2) bunyi pendek. Berdasarkan derajat kenyaringannya, bunyi dibedakan menjadi bunyi
nyaring dan bunyi tak nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya ruang
resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang resonansi saluran bicara waktu
membentuk bunti, makin tinggi derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata, yaitu; (1) bunyi tunggal, yaitu bunyi yang
berdiri sendiri dalam satu suku kata (semua bunyi vokal atau monoftong dan konsonan); (2)
bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam satu suku kata. Bunyi rangkap
terdiri dari diftong (vokal rangkap): [ai], [au] dan [oi] dan- klaster (gugus konsonan): [pr],
[kr], [tr] dan [bl].
Berdasarkan arus udara, yaitu; (1) bunyi egresif, adalah bunyi yang dibentuk dengan
cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru. Bunyi egresif dibedakan menjadi bunyi
egresif pulmonik (dibentuk dengan mengecilkan ruang paru-paru,otot perut dan rongga dada)
dan bunyi egresif glotalik (terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga glotis dalam
keadaan tertutup); (2) bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara menghisap udara
ke dalam paru-paru. Bunyi ingresif dibedakan menjadi dua, yaitu ingresif
glotalik (pembentukannya sama dengan egresif glotalik tetapi berbeda pada arus udara) dan
ingresif velarik (dibentuk dengan menaikkan pangkal lidah ditempatkan pada langit-langit
lunak).
3. Pembentukan Vokal
Berdasarkan posisi bibir, yaitu; (1) vokal bulat, yaitu vokal yang diucapkan dengan
bentuk bibir bulat. Misalnya, vokal [u], [o] dan [a]; dan (2) vokal tak bulat, yaitu vokal yang
diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau melebar. Misalnya, [I], [e] dan [ə].
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, yaitu; (1) vokal tinggi, yaitu vokal yang dibentuk
jika rahang bawah merapat ke rahang atas : [I] dan [u]; (2) vokal madya , yaitu vokal yang
dibentuk jika rahang bawah menjauh sedikit dari rahang atas : [a] dan [o]; (3) vokal rendah,
yaitu vokal yang dibentuk jika rahang bawah dimundurkan lagi sejauh-jauhnya : [a].
Berdasarkan maju mundurnya lidah, yaitu; (1) vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan
oleh gerakan naik turunnya lidah bagian depan : [i] dan[e]; (2) vokal tengah, yaitu vokal yang
dihasilkan oleh gerakan lidah bagian tengah: [a] dan [o]; dan (3) vokal belakang, yaitu vokal
yang dihasilkan oleh gerakan naik turunnya lidah bagian belakang : [u] dan [o].
4. Pembentukan Konsonan
1. Proses Asimilasi
Proses asimilasi adalah pengaruh yang mempengaruhi bunyi tanpa mempengaruhi identitas
fonem dan terbatas pada asimilasi fonetis saja. Berdasarkan arah pengaruh bunyinya, proses
asimilasi dibedakan menjadi; (a) Asimilasi Progresif, yaitu proses asimilasi yang terjadi
apabila arah pengaruhnya ke depan; dan (b) Asimilasi Regresif, yaitu proses asimilasi yang
terjadi apabila arah pengaruhnya ke belakang.
2. Artikulasi penyerta
Proses pengaruh bunyi yang disebabkan oleh artikulasi ini dibedakan menjadi;
(a) Labialisasi, yaitu pembulatan bibir pada artikulasi primer sehingga terdengar bunyi semi-
vokal [w] pada bunyi utama tersebut. Misalnya, bunyi [t] pada kata tujuan terdengar sebagai
bunyi [tw]; (b) Retrofleksi, yaitu penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer,
sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utama. Misalnya, [kr] dari bunyi [k] pada
kata kardus;(c) Palatalisasi, yaitu pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada
artikulasi primer. Misalny bunyi [p] pada kata piara terdengar sebagai [py]; (d) Velarisasi,
yaitu pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada artikulasi primer. Misalnya,
bunyi [m] pada kata mahluk terdengar sebagai [mx]; (e) Glotalisasi, yaitu proses penyerta
hambatan pada glottis atau glottis tertutup rapat sewaktu artikulasi primer diucapkan. Vokal
dalam bahasa Indonesia sering diglotalisasi. Misalnya, bunyi [o] pada kata obat terdengar
sebagai [ɔ].
3. Pengaruh Bunyi karena Distribusi
a) Pengaruh bunyi karena distribusi menimbulkan proses-proses sebagai berikut; Aspirasi,
yaitu pengucapan suatu bunyi disertai dengan hembusan keluarnya udara dengan kuat
sehingga terdengar bunyi [h]. Misalnya, konsonan letup bersuara [b,d,j,g] terdengar sebagai
[bh,dh,jh,gh].
b) Pelepasan, yaitu pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat tetapi tidak
dihambat dan dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Pelepasan dibedakan menjadi
tiga, yaitu; (1) lepas tajam atau lepas penuh, yaitu pelepasan alat-alat artikulasi dari titik
artikulasinya yang terjadi secara tajam atau secara penuh; (2) lepas nasal, yaitu suatu
pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi nasal didepannya; (3) lepas sampingan , yaitu
pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi sampingan didepannya; dan (3) Pemgafrikatan ,
yaitu suatu keadaan yang terjadi jika bunyi letup hambat yang seharusnya dihambat dan
diletupkan tidak dilakukan, melainkan setelah hambatan dilepaskan secara bergeser dan
pelan-pelan.
4. Kehomorganan
Kehomorganan yaitu konsonan yang mempiunyai sifat khusus. Terdapat dua jenis
kehomorganan, yaitu; (a) kehomorganan penuh adalah kehomorganan yang muncul akibat
perbedaan bunyi; dan (b) kehomorganan sebagian adalah kehomorganan yang muncul apabila
perbedaan diantara pasangan fonem tersebut pada cara artikulasinya, sedangkan daerah
artikulasinya sama.
Transkripsi adalah penulisan tuturan atau perubahan teks dengan tujuan untuk
menyarankan lafal bunyi, fonem, morfem atau tulisan sesuai dengan ejaan yang berlakudalam
suatu bahasa yang menjadi sasarannya. Transkripsi dibedakan menjadi.
Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang
lain tanpa menghiraukan lafal bunyi kata yang bersankutan. Misalnya, transliterasi dari aksara
jawa dialihkan ke huruf abjad latin.
d) Bunyi Suprasegmental
2. FONEMIK
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan
memiliki fungsi untuk membedakan makna. Sedangkan, fonemisasi adalah usaha untuk
menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut.
a. Pengenalan Fonem
Dalam mengenal fonem terdapat beberapa pokok pikiran umum yang disebut premis-premis
fonologis. Berdasarkan sifat umumnya premis-premis bahasa tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bunyi bahasa mempunyai kencenderungan untuk dipengaruhi oleh lingkungannya.
2. Sistem bunyi mempunyai kecenderungan bersifat simetris.
3. Bunyi-bunyi bahasa yangsecara fonetis mirip harus digolongkan ke dalam kelas-kelas
bunyi (fonem) yang berbeda, apabila terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang sama.
4. Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip dan terdapat di dalam distribusi yang
komplementer, harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas bunyi (fonem) yang sama.
Dalam kajian fonologi sering dipaparkan beban fungsional dari oposisi fonemis tertentu.
Beban oposisi rendah terdapat pada bunyi /p/ dan /f/ pada kata kapan dan kafan, sedangkan
beban oposisi tinggi terdapat pada bunyi /k/ dan /g/ pada kata gita dan kita.
c. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan sebenarnya dari ciri atau satuan fonologis, yaitu fonem
menjadi bunyi bahasa.
1. Realisasi vokal berdasarkan pembentukannya, realisasi fonem vokal dibedakan sebagai
berikut :
a. Fonem /i/ adalah vokal tinggi-depan-tak bulat.
b. Fonem /u/ adalah vokal atas-belakang-bulat.
c. Fonem /e/ adalah vokal sedang-depan-bulat.
d. Fonem /ə/ adalah vokal sedang-tengah-bulat.
e. Fonem /o/ adalah vokal sedang-belakang-bulat
f. Fonem /a/ adalah vokal rendah-tengah-bulat.
2. Realisasi konsonan
Berdasarkan cara pembentukannya, realisasi fonem konsonan dibedakan sebagai berikut :
a. Konsonan hambat
b. Konsonan Frikatif
c. konsonan getar-alveolar
d. konsonan lateral-alveolar
e. konsonan nasal
f. semi-vokal .
d. Variasi Fonem
Variasi fonem ditentukan oleh lingkungan dalam distribusi yang komplementer disebut
variasi alofonis. Variasi fonem yang tidak membedakan bentuk dan arti kata disebut alofon.
1. Alofon vokal
- Alofon fonem /i/, yaitu
[i] jika terdapat pada suku kata terbuka. Misalnya, [bibi] /bibi/
[I] jika terdapat pada suku kata tertutup. Misalnya, [karIb] /karib/
[Iy] palatalisasi jika diikuti oleh vokal [aou]. [kiyos] /kios/
[ϊ] nasalisasi jika diikuti oleh nasal. [ϊndah] /indah/
- Alofon fonem /ε/, yaitu [e] jika terdapat pada suku kata terbuka dan tidak diikuti oleh suku
kata yang mengandung alofon [ε]. Misalnya, [sore] /sore/[ε] jika terdapat pada tempat-tempat
lain. Misalnya, [pεsta] /pesta/[ǝ] jika terdapat pada posisi suku kata terbuka. [pǝta]/peta/
[ǝ] jika terdapat pada posisi suku kata tertutup. [sentǝr]/senter/- Alofon fonem /o/, yaitu [o]
jika terdapat pada suku kata akhir terbuka. [soto]/soto/ [ɔ] jika terdapat pada posisi lain.
[jeblɔs]/jeblɔs/
- Alofon fonem /a/, yaitu
[a] jika terdapat pada semua posisi suku kata.
[aku] /aku, [sabtu] /sabtu/
- Alofon fonem /u/, yaitu
[u] jika terdapat pada posisi suku kata terbuka.
[aku] /aku/, [buka] /buka/
[U] jika terdapat pada suku kata tertutup.
[ampUn]/ampun/, [kumpul] /kumpul/
[uw] labialisasi jika diikuti oleh[I,,a].
[buwih] /buih/, [kuwe] /kue/
2. Alofon konsonan
- fonem /p/
[p] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [pipi] /pipi/, [sapi] /sapi/.
[p>] bunyi tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup, misalnya: [atap>] /atap/, [balap>]
/balap/
[b] bunyi lepas jika diikuti oleh vocal, misalnya: [babi] /babi/, [babu] /babu/
[p>] bunyi taklepas jika terdapat pada suku kata tertutup, namun berubah lagi menjadi [b] jika
diikuti lagi vokal, misalnya: [adap>] /adab/, [jawap>] /jawab/
- Fonem /t/
[t] bunyi lepas jika diikutu oleh vokal, misalnya: [tanam] /tanam/, [tusuk] /tusuk/
[t>] bunyi tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup, misalnya: [lompat>] /lompat/,
[sakit>] /sakit/.
[d] bunyi lepas jika diikuti vocal, misalnya: [duta] /duta/, [dadu] /dadu/.
[t>] bunyi hambat-dental-tak bersuara dan tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup atau
pada akhir kata, misalnya: [abat>] /abad/,[murtat>] /murtad/
- Fonem /k/
[k] bunyi lepas jika terdapat pada awal suku kata, misalnya: [kala]/ kala/, [kelam] /kelam/.
[k>] bunyi tak lepas jika tedapat pada tengah kata dan diikuti konsonan
lain, misalnya:m[pak>sa] /paksa/, [sik>sa] /siksa/.
[?] bunyi hambat glottal jika terdapat pada akhir kata, misalnya: [tida?] /tidak/ [ana?] /anak/
- Fonem /g/
[g] bunyi lepas jika diikuti glottal, misalnya: [gagah] /gagah/, [gula] /gula/
[k>] bunyi hambat-velar-tak bersuara dan lepas jika terdapat di akhir
kata, misalnya: [beduk>] /bedug/,[gudek>] /gudeg/
- Fonem /c/
[c] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [cari] /cari/, [cacing] /cacing/
- Fonem /j/
[j] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [juga] /juga/, [jadi] /jadi/
- Fonem /f/
[j] jika terdapat pada posisi sebelum dan sesudah vokal, misalnya: [fakir] /fakir/, [fitri] /fitri/
- Fonem /p/
[p] bunyi konsonan hambat-bilabial-tak bersuara, misalnya: [piker] /piker/, [hapal] /hapal/
- Fonem /z/
[z] [zat] /zat/, [izin]- /izin/
- Fonem /š/
[š] umumnya terdapat di awal dan akhir kata, misalnya: [šarat] /syarat/, [araš] /arasy/
- Fonem /x/
[x] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [xas] /khas/, [xusus] /khusus/
- Fonem /h/
[h] bunyi tak bersuara jika terdapat di awal dan akhir suku kata, misalnya: [hasil] /hasil,
[hujan] /hujan/
[H] jika berada di tengah kata, misalnya: [taHu] /tahu/, [laHan] /lahan/
- Fonem /m/
[m] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [masuk] /masuk/, [makan] /makan/
- Fonem /n/
[n] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [nakal] /nakal/, [nasib] /nasib/
- Fonem /ň/
[ň] berada di awal suku kata, misalnya: [baňak] /banyak/, [buňi] /bunyi/
- Fonem /Ƞ/
[Ƞ] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [Ƞarai] /ngarai/, [paȠkal] /pangkal/
- Fonem /r/
[r] berada di awal dan akhir suku kata, kadang-kadang bervariasi dengan bunyi getar uvular
[R], misalnya: [raja] atau [Raja] /raja/, [karya] atau [kaRya] /karya/
- Fonem /l/
[l] berada di awal dan akhir suku kata, misalnya: [lama] /lama/, [palsu] /palsu/
- Fonem /w/
[w] merupakan konsonan jika terdapat di awal suku kata dan semi vokal pada akhir suku
kata, misalnya: [waktu] /waktu/, [wujud] /wujud/
- Fonem /y/
[y] merupakan konsonan jika terdapat di awal suku kata dan semi vocal pada
akhir suku kata, misalnya: [santay] /santai/, [ramai] /ramai/
Arkifonem adalah golongan fonem yang kehilangan kontras pada posisi tertentu dan biasa
dilambangkan dengan huruf besar seperti/D/ yang memiliki alternasi atau varian fonem /t/ dan
fonem /d/ pada kata [babat] untuk /babad/.
Pelepasan bunyi adalah hilangnaya bunyi atau fonem pada awal, tengah dan akhir sebuah
kata tanpa mengubah makna. Contoh : /tetapi/ menjadi /tapi/.
Pelepasan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Aferesis, yaitu pelepasan fonem pada awal kata, misalnya: /tetapi/ menjadi /tapi/, /baharu/
menjadi /baru/.
2) Sinkope, yaitu pelepasan fonem pada tengah kata, misalnya: /silahkan/ menjadi
/silakan/, /dahulu/ menjadi /dulu/.
3) Apokope, yaitu pelepasan fonem pada akhir kata, misalnya: /president/ menjadi
/president/, /standard/ menjadi /standar/
Jenis pelepasan bunyi yang lain adalah haplologi ,yaitu pemendekan pada sebuah kata karena
penghilangan suatu bunyi atau suku kata pada pengucapannya. Misalnya : tidak ada menjadi
tiada, bagaimana menjadi gimana.
g. Disimilasi
Disimilasi adalah perubahan bentuk kata karena salah satu dari dua buah fonem yang sama
diganti dengan fonem yang lain. Contoh disimilasi :
1) Disimilasi sinkronis, contohnya : ber + ajar/ belajar. Fonem /r/ pada awalan ber- diubah
menjadi /l/.
h. Metatesis
Metatesis adalah letak dua segmen yang dapat dipertukarkan, dalam proses metatesis yang
diubah adalah urutan fonem-fonem tertentu yang biasanya terdapat bersama dengan bentuk
asli, sehingga ada variasi bebas. Misalnya, jalur menjadi lajur, almari menjadi lemari.
B. MORFOLOGI
1. Proses Morfologis
Proses morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4) suplisi,
dan (3) modifikasi kosong (Samsuri, 190-193). Namun, di dalam bahasa Indonesia yang
bersifat aglutinasi ini tidak ditemukan data proses morfologis yang berupa perubahan intern,
suplisi, dan modifikasi kosong. Jadi, proses morfologis dalam bahasa Indonesia hanya melalui
afiksasi dan reduplikasi.
a) Afiksasi
Afiksasi menurut Samsuri (1985: 190), adalah penggabungan akar kata atau pokok dengan
afiks. Afiks ada tiga macam, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Karena letaknya yang selalu
di depan bentuk dasar, sebuah afiks disebut awalan atau prefiks. Afiks disebut sisipan (infiks)
karena letaknya di dalam kata, sedangkan akhiran (sufiks) terletak di akhir kata. Dalam
bahasa Indonesia, dengan bantuan afiks kita akan mengetahui kategori kata, diatesis aktif atau
pasif, tetapi tidak diketahui bentuk tunggal atau jamak dan waktu kini serta lampau seperti
yang terdapat dalam bahasa Inggris.
b) Prefiks (Awalan)
Prefiks be(R)-
Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi be- dan bel-.
Be(R)- berubah menjadi be- jika (a) kata yang dilekatinya diawali dengan huruf r dan (b)
suku kata pertama diakhiri dengan er yang di depannya konsonan.
be(R)- + renang → berenang .
be(R)+ ternak — beternak
be(R)+kerja – bekerja
Prefiks me (N)-
Prefiks me(N)- mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu mem-, men-, meny-, meng-,
menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah menjadi mem- jika bergabung dengan kata yang
diawali huruf /b/, /f/, /p/, dan /v/, misalnya:
me(N)- + baca →membaca
me(N)- + pukul → memukul.
Prefiks me(N)- berubah menjadi men- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /d/,
/t/, /j/, dan /c/, misalnya, me(N)- + data → mendata, me(N)- + tulis → menulis, me(N)-
+ jadi → menjadi, dan me(N)- + cuci →mencuci. Prefiks me(N)- berubah menjadi meny- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, me(N)- + sapu → menyapu.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meng- jika bergabung dengan kata yang diawali dengan
huruf /k/ dan /g/, misalnya, me(N)- + kupas →mengupas dan me(N)- + goreng menggoreng.
Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika bergabung dengan kata yang terdiri dari satu
suku kata, misalnya, me(N)- + lap → mengelap, me(N)- + bom→ mengebom, dan me(N)- +
bor→ mengebor.
Prefiks pe (R)-
Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari prefiks be(R). Perhatikan contoh berikut!
Berawat→ perawat
Bekerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)- berubah menjadi pe, jika
bergabung dengan kata yang diawali huruf r dan kata yang suku katanya berakhiran er,
misalnya, pe(R)- + rawat →perawat dan pe(R)- + kerja→ pekerja. Prefiks pe(R)- berubah
menjadi pel- jika bergabung dengan kata ajar, misalnya, pe(R)- + ajar→ pelajar.
Prefiks pe(N)-
Prefiks pe(N)- mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar dengan
prefiks me(N)-. Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-, peny-, peng-, pe-, dan penge-.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh
huruf /t/, /d/, /c/, dan /j/, misalnya, penuduh, pendorong, pencuci, dan penjudi. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/,
misalnya, pebaca dan pemukul. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peny- jika bergabung dengan
kata yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, penyaji. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peng- jika
bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /g/ dan /k/,
misalnya, penggaris dan pengupas. Prefiks pe(N)- berubah menjadi penge- jika bergabung
dengan kata yang terdiri atas satu suku kata, misalnya, pengebom, pengepel,
dan pengecor. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata yang diawali
oleh huruf /m/, /l/, dan /r/, misalnya, pemarah, pelupa, dan perasa.
Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel-, misalnya, terbaca, ternilai,
tertinggi, dan telanjur.
c) Infiks (Sisipan)
Infiks termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif. Infiks dalam bahasa
Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-, dan –er-.
1. Infiks -el-, misalnya, geletar;
2. Infiks -er-, misalnya, gerigi, seruling; dan
3. Infiks -em-, misalnya, gemuruh, gemetar
d) Sufiks (Akhiran)
Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti wan (karyawan), wati
(karyawati), man (seniman). Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan, dan –i.
1. sufiks -an, misalnya, dalam ayunan, pegangan, makanan;
2. sufiks -i, misalnya, dalam memagari memukuli, meninjui;
3. sufiks -kan, misalnya, dalam memerikan, melemparkan; dan
4. sufiks -nya, misalnya, dalam susahnya, berdirinya.
e) Konfiks
Konfiks adalah “gabungan afiks yang berupa prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang
merupakan satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks gabungan itu muncul secara
serempak pada morfem dasar dan bersama-sama membentuk satu makna gramatikal pada kata
bentukan itu” (Keraf, 1984: 115). Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
1. konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perbaikan, perkembangan,
2. konfiks pe(N)-an misalnya, dalam penjagaan, pencurian,
3. konfiks ke-an misalnya, kedutaan, kesatuan,
4. konfiks be(R)-an misalnya, berciuman.
f) Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses pengulangan kata dasar baik keseluruhan maupun sebagian.
Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat dibagi sebagai berikut:
1. pengulangan seluruh
Dalam bahasa Indonesia perulangan seluruh adalah perulangan bentuk dasar tanpa
perubahan fonem dan tidak dengan proses afiks.
Misalnya: orang → orang-orang, cantik → cantik-cantik
2. pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian morfem dasar, baik bagian awal
maupun bagian akhir morfem. Misalnya:
tamu → tetamu
berapa → beberapa
4. pengulangan berimbuhan.
Pengulangan berimbuhan adalah pengulangan bentuk dasar diulang secara keseluruhan
dan mengalami proses pembubuhan afiks. Afiks yang dibubuhkan bisa berupa prefiks, sufiks,
atau konfiks. Perhatikan data berikut!
batu → batu-batuan
hijau → kehijau-hijauan
tolong → tolong-menolong
C. SINTAKSIS
Frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Frasa
membicarakan hubungan antara sebuah kata dan kata yang lain. Frasa terdiri atas frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris terdiri atas frasa eksosentris direktif
(berpartikel) dan frasa eksosentris nondirektif (konektif dan predikatif). Frasa endosentris
terdiri atas frasa endosentris berinduk tunggal dan frasa endosentris berinduk jamak. Frasa
endosentris berinduk tunggal dapat dibedakan menjadi frasa nominal, frasa pronominal, frasa
verbal, frasa adjektival, dan frasa numeral. Frasa endosentris berinduk jamak terbagi menjadi
frasa koordinatif dan frasa apositif.
Frasa Eksosentris
Frasa eksosentris adalah frasa yang sebagian atau seluruhnya tidak memiliki perilaku
sintaksis yang sama dengan semua komponennya, baik dengan sumbu maupun dengan
preposisi. Frasa eksosentris mempunyai dua komponen. Komponen yang pertama berupa
perangkai dan perangkai itu berwujud preposisi partikel dan komponen kedua berupa sumbu.
Frasa yang berperangkai preposisi disebut frasa preposisional atau frasa eksosentris direktif.
Frasa yang berperangkai lain disebut frasa eksosentris nondirektif.
a. Frasa Eksosentris Direktif (Frasa Preposisional)
Pada dasarnya, frasa preposisional menunjukkan makna berikut:
Tempat, seperti di kampus, ke sekolah, dan pada lemari.
Asal arah, seperti dari rumah dan dari kampung.
Asal bahan, seperti (cincin) dari emas dan (jaket) dari kulit.
Tujuan arah, seperti ke Lombok dan ke kampus.
Menunjukkan peralihan, seperti kepada saya dan (percaya) terhadap Tuhan.
Perihal, seperti tentang bahasa dan (terkenang) akan kebaikannya.
Tujuan, seperti untukmu dan buatku
Sebab, seperti karena, lantaran, sebab, gara-gara (kamu).
Penjadian, seperti oleh karena dan untuk itu.
Kesertaan, seperti denganku dan dengan ibu.
Cara, seperti dengan baik dan dengan senang.
Alat, seperti dengan palu dan dengan penggaris.
Keberlangsungan, seperti sejak kemarin, dari tadi, dan sampai nanti.
Penyamaan, seperti selaras dengan, sesuai dengan, dan sejalan dengan.
Perbandingan, seperti sebagai bandingan dan seperti dia.
Akan tetapi, ada juga frasa yang tidak memiliki perilaku yang sama dengan bagian-
bagiannya, seperti yang mulya, yang besar, yang hebat, yang itu, yang muda, yang bercinta.
Jadi, yang hebat tidak berperilaku sama dengan yang dan tidak berperilaku sama pula
dengan mulya atau hebat.
Frasa Endosentris
Frasa endosentris adalah frasa yang seluruhnya memiliki perilaku sintaksis yang sama
dengan perilaku salah satu komponennya. Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi frasa
endosentris berinduk tunggal (frasa modifikatif) dan frasa endosentris berinduk jamak.
a. Frasa Endosentris Berinduk Tunggal (Frasa Modifikatif)
Frasa endosentris berinduk tunggal terdiri atas induk yang menjadi penanda kategorinya dan
modifikator yang menjadi pemerinya. Frasa endosentris berinduk tunggal dapat diperinci
sebagai berikut.
Frasa nominal adalah frasa yang terdiri atas nomina (sebagai pusat) dan unsur lain yang
berupa adjektiva, verba, numeralia, demonstrativa, pronomina, frase preposisional, frasa
dengan yang, konstruksi dengan yang ...-nya, atau frasa lain. Contoh: meja batu, kursi rotan,
tukang septau, dokter mata, teman separtai, aturan setempat, anak manis, orang yang
dicintainya.
Frasa Pronominal adalah frasa yang terdiri atas gabungan pronomina dan pronomina atau
gabungan pronomina dan adjektiva, adverbia, numeralia, atau demonstrativa. Contoh: kami
berdua, engkau sendiri, mereka itu, kalian ini, tidak hanya kamu, kamu dan dia.
Frasa verbal adalah frasa yang terdiri atas gabungan verba dan verba atau gabungan verba
dan adverbia atau gabungan verba dan preposisi gabungan. Contoh: pergi kerja, berlari cepat,
bernyanyi merdu, tidur dengan nyamuk.
Frasa adjektival adalah frasa yang terdiri atas gabungan beberapa kata atau yang terdiri
atas induk berkategori adjektiva dan modifikator berkategori apa pun, asalkan seluruhnya
berprilaku sebagai adjektiva. Contoh: sedikit masam, agak pusing, cantik benar, gagah
berani, panas terik, hitam kelam, sering tidak ingat, agak nakal juga.
Frasa numeral adalah frasa yang terdiri atas numeralia sebagai induk dan unsur perluasan
lain yang mempunyai hubungan subordinatif dengan nomina penggolong bilangan, dan
nomina ukuran. Contoh: sembilan gelas, dua lusin, dua atau tiga, sudah lima, beribu-ribu
lalat, beberapa sak semen.
Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, yang sekurang-
kurangnya memiliki sebuah predikat, dan berpotensi menjadi kalimat. Dengan kata lain,
klausa membicarakan hubungan sebuah gabungan kata dan gabungan kata yang lain.
Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi satuannya dan berdasarkan fungsinya.
Berdasarkan distribusi satuannya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa bebas dan klausa
terikat. Berdasarkan fungsinya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa subjek, klausa objek,
klausa keterangan, dan klausa pemerlengkapan.
Kedua klausa itu disebut klausa inti karena terdiri atas subjek (kami sekelurga, berenang itu)
serta predikat (berlibur, menyehatkan). Kedua klausa itu dapat menjadi inti kalimat, yang
bagian-bagiannya juga tetap menduduki fungsi subjek dan predikat, seperti:
Kami sekeluarga bulan yang lalu berlibur di Bali.
Berenang itu ternyata dapat turut menyehatkan fisik dan mental.
b. Objek
Objek adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau frasa nominal yang melengkapi
verba transitif. Obje dikenai pebuatan yang disebutkan dalam predikat verbal. Objek dapat
dibagi menjadi objek langsung dan objek tak langsung.
Objek langsung adalah objek yang langsung dikenai perbuatan yang disebut dalam
predikat verbal; objek tak langsung adalah objek yang menjadi penerima atau yang
diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat dalam predikat verbal. Contoh objek langsung:
Bibi sedang menanak nasi.
Ibu membawa minuman.
Nasi pada contoh di atas merupakan objek bagi verba menanak dan minuman menjadi objek
bagi verba membawa.
c. Keterangan
Klausa keterangan adalah klausa yang menjadi bagian luar inti, yang berfungsi
meluaskan atau membatasi makna subjek atau makna predikat. Contohnya:
Keterangan akibat: penjahat itu dihukum mati
Keterangan sebab: karena sakit, ia tidak jadi ikut
Keterangan jumlah: bagai pinang dibelah dua
Keterangan alat: dinaikkan dengan mesin pengangkat
Keterangan cara: diterima dengan baik
Keterangan kualitas: berlari bagai kilat
Keterangan modalitas: mustahil ia berbohong
Keterangan pewatas: keterangan lebih lanjut, diceritakan lebih detail
Keterangan subjek: guru yang baik, rumah yang bersih
Keterangan syarat: angkatlah jika kuat
Keterangan objek: menjadi istri yang baik
Keterangan tujuan: bekerja untuk hidup
Keterangan tempat: datang dari Lombok, pergi ke Solo
Keterangan waktu: ditunggu sampai besok pagi, berangkat masih subuh
Keterangan perlawanan: meskipun lambat, selesai juga dikerjakannya
d. Pelengkap
Klausa pelengkap adalah klausa yang terdiri atas nomina, frasaa nomina, ajektiva, atau frasa
adjektiva yang merupakan bagian dari predikat verbal, seperti:
Abangku menjadi pilot
Kami bermain bola
Aku dianggap patungpaman berdagang kain
Negara kita berdasarkan pancasila
Selain itu ada juga verbal aktif yang tidak menyebutkan objek karena objek itu amat
dipahami masyarakat pemakai bahasa. Misalnya, pemakai bahasa Indonesia dapat memahami
bahwa klausa mereka makan bersama berarti ‘mereka makan nasi bersama’
dan kelakuannya sangat menarik berarti ‘kelakuannya sangat menarik hati’.
Klausa verbal aktif transitif resiprokal adalah klausa yang subjeknya melakukan
pekerjaan yang disebut predikat verbalnya, tetapi secara berbalasan atau klausa yang
subjeknya saling melakukan pekerjaan yang disebutkan predikat verbalnya.
Klausa jenis ini ada yang bersubjek tunggal dan ada juga yang bersubjek jamak.
Bersubjek tunggal: ia berpandangan dengan ibunya
Bersubjek jamak: mereka berbantah, mobil bertabrakan, perusuh baku pukul
Klausa verbal pasif adalah klausa yang menunjukkan bahwa subjek dikenai pekerjaan
atau sasaran perbuatan seperti yang disebutkan dalam predikat verbalnya. Verba yang menjadi
predikatnya berimbuhan di-, ter-, atau ber-, ke-/-an atau diawali oleh kata kena.
Dikenai pekerjaan, seperti kakak bercukur, korban tertembak, korban ditembak, kami
kehujanan
Dikenai sasaran perbuatan, seperti melarikan diri, memperkaya diri
Klausa verbal aktif tak transitif adalah klausa yang predikat verbalnya tidak mempunyai
sasaran dan tidak mempunyai objek. Contohnya:
Kelakuannya menjadi-jadi
Pengetahuan kita bertambah
Para nelayan bersatu
b. Klausa Nonverbal
Klausa nonverbal adalah klausa yang predikatnya berupa nomina, pronomina, adjektiva,
numeralia, atau frasa preposisional, seperti:
Saya ke bandung
Ayahku guru
Dia sedang sakit
Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, yang sekurang-
kurangnya memiliki sebuah subjek dan predikat, mempunyai intonasi final (kalimat lisan),
dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Dapat dikatakan bahwa kalimat
membicarakan hubungan antara sebuah klausa dan klausa yang lain.
Menurut bentuknya, kalimat dibedakkan menjadi kalimat tunggal, kalimat tunggal dan
perluasannya, serta kalimat majemuk. Kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk
setara, kaliamt majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
D. SEMANTIK
A. Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna
ungkapan dan dengan struktur makna suatu wicara. Makna adalah maksud pembicaraan,
pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilakumanusia atau kelompok
(Kridalaksana, 2001:1993). Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu
semantik. Berbagai jenis makna kata dikaji dalam ilmu semantik. Makna konotatif adalah
salah satu jenis makna yang ada dalam kajian semantik. Makna konotatif merupakan makna
yang bukan sebenarnya. Makna konotatif terdapat dalam sebuah klausa.
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer (1989:60) yang menyatakan bahwa dalam
semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata
tersebut, serta benda atau hal-hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada diluar bahasa.
Makna dari sebuah kata, ungkapan atau wacana ditentukan oleh konteks yang ada.
Menurut Tarigan (1985:7) semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda
yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya
terhadap manusia dan masyarakat. Jadi semantik senantiasa berhubungan dengan makna yang
dipakai oleh masyarakat penuturnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semantik adalah
ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan
makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara kata dengan konsep atau makna
dari kata tersebut.
B. Pengertian Makna
Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik. Semantik
berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna
suatu kata dalam bahasa, sedangkan linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa lisan
dan tulisan yang memiliki ciri-ciri sistematik, rasional, empiris sebagai pemerian struktur dan
aturan-aturan bahasa (Nurhayati, 2009:3). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa makna suatu kata dalam bahasa dapat diketahui dengan landasan ilmu semantik.
Hornby (dalam Pateda, 1989:45) berpendapat bahwa makna ialah apa yang kita
artikan atau apa yang kita maksud. Poerwadarminta (dalam Pateda, 1989:45) mengatakan
makna : arti atau maksud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Pateda, 2001:82) kata
makna diartikan : (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan
kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu
bentuk kebahasaan. Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti (Aminuddin,
1988:53). Dari batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup
di dalamnya, yakni (1) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2)
penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan 9 makna
itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
Menurut pendapat Fatimah (1993:5) makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-
unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Menurut Palmer (dalamFatimah, 1993:5) makna
hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons (dalam Fatimah,
1993:5) menyebutkan bahwa mengkaji makna atau memberikan makna suatu kata ialah
memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang
membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Harimurti (2008:148) berpendapat makna
(meaning, linguistic meaning,sense) yaitu: (1) maksud pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa
dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, (3) hubungan,
dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau
antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya, (4) cara menggunakan lambang-lambang
bahasa. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna merupakan arti dari
suatu kata atau maksud pembicara yang membuat kata tersebut berbeda dengan kata-kata lain.
C. Jenis-jenis Makna
Makna suatu kata merupakan bahan yang dikaji dalam ilmu semantik. Makna kata
terbagi menjadi beberapa jenis. Seperti yang dikemukakan oleh Palmer (dalam Pateda,
2001:96) jenis makna terdiri dari: (i) makna kognitif (cognitive meaning), (ii) makna
ideasional (ideational meaning), (iii) makna denotasi (denotasional meaning), (iv) makna
proposisi (propositional meaning), sedangkan Shipley (dalam Pateda, 2001:96) berpendapat
bahwa makna mempunyai jenis: (i) makna emotif(emotif meaning), (ii) makna kognitif
(cognitive meaning) atau makna deskriptif(descriptive meaning), (iii) makna referensial
(referential meaning), (iv) makna pictorial (pictorial meaning), (v) makna kamus (dictionary
meaning), (vi) makna samping (fringe meaning), dan (vii) makna inti (core meaning). Leech
(dalam Chaer,1989:61) membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu (1) makna konseptual,
(2)makna konotatif, (3) makna stilistika, (4) makna afektif, (5) makna refleksi, (6) makna
kolokatif, (7) makna tematik.
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer (1989:61), yang membedakan jenis makna
menjadi beberapa kriteria sebagai berikut.
Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal,
berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna
referensial dan makna nonreferesial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah
kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotative dan makna konotatif, berdasarkan
ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan
makna khusus. Lalu berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya
makna-makna asosiasif, kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis makna memang
sangat beragam. Keberagaman makna tampak dari masing-masing pendapat.
Pateda (2001:97) membagi jenis-jenis makna menjadi dua puluh sembilan
yaitu makna afektif merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca
terhadap penggunaan kata atau kalimat, makna deskriptif (descriptive meaning) yang biasa
disebut pula makna kognitif (cognitive meaning) atau makna referensial (referential meaning)
adalah makna yang terkandung di dalam setiap kata, makna ekstensi adalah makna yang
mencakup semua ciri objek atau konsep (Kridalaksana, 2008:148), makna emotif adalah
makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai terhadap
apa yang dipikirkan atau dirasakan, makna gereflekter yaitu makna kata yang sering
berhubungan dengan kata atau ungkapan tabu, makna gramatikal adalah makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat, makna ideasional adalah makna yang
muncul akibat penggunaan kata yang memiliki konsep, makna intensi adalah makna yang
menekankan maksud pembicara, makna khusus adalah makna kata atau istilah yang
pemakaiannya terbatas pada bidang tertentu, makna kiasan adalah pemakaian kata yang
maknanya tidak sebenarnya, makna kognitif adalah makna yang ditunjukan oleh acuannya,
makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau
gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya.
Makna selanjutnya adalah makna kolokasi biasanya berhubungan dengan penggunaan
beberapa kata di dalam lingkungan yang sama, makna konseptual adalah makna yang sesuai
dengan konsepnya, makna konstruksi adalah makna yang terdapat di dalam suatu konstruksi
kebahasaan, makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan
konteks, makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk
leksem atau berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di
dalam kamus bahasa tertentu, makna lokusi, makna luas menunjukan bahwa makna yang
terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang dipertimbangkan, makna pictorial adalah
makna yang muncul akibat bayangan pendengar atau pembaca terhadap kata yang didengar
atau dibaca, makna proposisional adalah makna yang muncul apabila seseorang membatasi
pengertiannya tentang sesuatu, makna pusat adalah makna yang dimiliki setiap kata meskipun
kata tersebut tidak berada di dalam konteks kalimat, makna referensial adalah makna yang
langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata, makna sempit merupakan
makna yang berwujud sempit pada keseluruhan ujaran, makna stilistika adalah makna yang
timbul akibat pemakaian bahasa, makna tekstual adalah makna yang timbul setelah seseorang
membaca teks secara keseluruhan, makna tematis akan dipahami setelah dikomunikasikan
oleh pembicara atau penulis melalui urutan kata-kata, makna umum adalah makna yang
menyangkut keseluruhan atau semuanya, tidak menyangkut yang khusus atau tertentu, makna
denotatif adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara
suatu bahasa dan wujud di luar bahasa yang diterapi satuan bahasa itu secara tepat,
dan makna konotatif adalah makna yang muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai
bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca.
D. Makna Konotatif
Menurut Keraf (1994:29) makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus
dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Konotasi atau makna konotatif disebut juga
makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif sebagian terjadi
karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak
senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, dipihak lain kata yang dipilih itu
memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Makna konotatif
sebenarnya adalah makna denotasi yang mengalami penambahan. Hal ini sependapat dengan
pengertian konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:725) yakni konotasi adalah
tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah
kata, makna yang ditambahkan pada makna denotasi.
Aminuddin (2001:88) berpendapat makna konotatif adalah makna kata yang telah
mengalami penambahan terhadap makna dasarnya. Makna konotatif disebut juga dengan
makna tambahan. Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa
terhadap kata yang didengar atau dibaca.
Zgusta (dalam Aminuddin, 2001:112) berpendapat makna konotatif adalah makna semua
komponen pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai.
Harimurti (dalam Aminuddin, 2001:112) berpendapat aspek makna sebuah atau
sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan
pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak
memiliki rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral (Chaer, 1995:65). Dua buah kata atau
lebih yang mempunyai makna denotasi yang sama dapat menjadi berbeda makna
keseluruhannya akibat pandangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma
budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Misalnya dalam bahasa Jawa,
kata abdinipun, pembantu, pekathik, dan batur mempunyai makna denotasi yang sama, tetapi
kedua kata tersebut mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata abdinipun mempunyai nilai rasa
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kata pembantu, pekathik, dan batur. Makna konotatif
muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau
kata yang dibaca (Pateda, 2001:112).
Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat
digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai
lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif, dan jika digunakan sebagai
lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif. Misalnya, burung garuda
karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif
sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang
kejahatan. Padahal binatang buaya itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia
Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik. Makna konotatif adalah makna yang
bukan sebenarnya. Misalnya, kata
amplop dalam kalimat “diwenehi amplop wae ben urusanmu ndang rampung”, maka kata
amplop bermakna konotatif, yang mengandung arti berilah ia uang.
Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena uang dapat saja diisi di dalam amplop.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan makna konotatif adalah makna
yang tidak sebenarnya, makna yang telah mengalami penambahan pada makna dasarnya,
yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif. Makna
konotatif atau konotasi kata mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. makna
konotatif mengandung imajinasi, nilai rasa, dan
dimaksudkan untuk menggugah rasa.
Pada antologi cerkak majalah Djaka Lodang edisi bulan Mei-Juli 2009, terdapat kata-
kata yang mempunyai nilai rasa tertentu. Nilai rasa atau konotasi yang terdapat dalam
antologi cerkak majalah Djaka Lodang edisi bulan Mei-Juli 2009 tergantung pada konteks
kalimat, baik konotasi positif maupun konotasi negatif. Menurut pendapat Tarigan (1985:60)
ragam konotasi dibagi menjadi dua macam, yaitu konotasi baik dan konotasi tidak baik.
a). Konotasi baik
Kata-kata yang mempunyai konotasi baik dan oleh sebagian masyarakat dianggap memiliki
nilai rasa yang lebih enak, sopan, akrab, dan tinggi. Konotasi baik dibagi menjadi dua macam,
yaitu 1) konotasi tinggi, dan 2) konotasi ramah.
1. Konotasi Tinggi
Konotasi tinggi yaitu kata-kata sastra dan kata-kata klasik yang lebih indah dan anggun
terdengar oleh telinga umum. Kata-kata seperti itu mendapat konotasi atau nilai rasa tinggi.
Kata-kata klasik yang apabila orang mengetahui maknanya dan menggunakan pada konteks
yang tepat maka akan mempunyai nilai rasa yang tinggi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi
tinggi pada sebuah kata adalah sebagai berikut:
a. kata-katanya klasik
b. kata-kata yang menimbulkan rasa segan
2. Konotasi Ramah
Konotasi ramah yaitu kata-kata yang berasal dari dialek atau bahasa daerah karena dapat
memberikan kesan lebih akrab, dapat saling merasakan satu sama lain, tanpa ada rasa
canggung dalam bergaul. Kosa kata seperti ini merupakan kosa kata yang memiliki konotasi
ramah.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi ramah pada
sebuah kata adalah sebagai barikut:
a. kata-kata berasal dari dialek
b. kata-katanya tidak menimbulkan rasa canggung dalam bergaul.
1. Konotasi Berbahaya
Konotasi berbahaya yaitu kata-kata yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat
kepada hal-hal yang sifatnya magis. Pada saat tertentu dalam kehidupan masyarakat, kita
harus hati-hati mengucapkan suatu kata agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, hal-
hal yang mungkin mendatangkan bahaya. Pada kondisi tertentu penutur dilarang menuturkan
kata-kata yang dianggap tabu di sembarang tempat. Misalnya, jika si penutur sedang berada
ditengah hutan, maka secara tidak langsung dia telah diikat dengan aturan-aturan dalam bicara
dan mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang tidak enak seperti, hantu, harimau, dan kata-kata
kotor atau juga kata-kata yang menyombongkan diri dan takabur dilarang diucapkan dalam
kondisi ini, karena jika aturan itu dilanggar dipercaya akan ada balasan yang setimpal bagi
yang mengatakannya saat itu juga.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi berbahaya pada
sebuah kata adalah sebagai berikut:
a. Kata-katanya bersifat magis
b. Kata-kata yang dianggap tabu
4. Konotasi Kasar
Konotasi kasar yaitu kata-kata yang terdengar kasar dan mendapat nilai rasa kasar. Kata-kata
kasar dianggap kurang sopan apabila digunakan dalam pembicaraan dengan orang yang
disegani. Konotasi kasar biasanya juga dipergunakan oleh penutur yang sedang memiliki
tingkat emosional yang tinggi. Akibat tingkat emosional yang tinggi tersebut, seorang penutur
cenderung mengeluarkan kata-kata yang kasar.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa indikator konotasi
kasar pada sebuah kata adalah sebagai berikut:
a. Kata-katanya kasar
b. Digunakan oleh penutur yang sedang marah dan mempunyai tingkat emosi yang tinggi.
5. Konotasi Keras
Konotasi keras yaitu kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang mengandung suatu pernyataan
yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Ditinjau dari segi arti, maka kata ini
dapat disebut hiperbola, sedangkan dari segi nilai rasa atau konotasi dapat disebut konotasi
keras. Untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak masuk akal, dapat digunakan kiasan atau
perbandingan-perbandingan. Pada umumnya, setiap anggota masyarakat dalam pergaulan
sehari-hari berusahanmengendalikan diri. Akan tetapi, untuk menonjolkan diri, orang
seringkali tidak dapat mengendalikan diri dan cenderung menggunakan kata-kata yang
bersifat mengeraskan makna.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator konotasi keras pada
sebuah kata adalah sebagai berikut:
a. Kata-katanya berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal atau hiperbola
b. Kata-katanya bersifat mengeraskan makna.
Makna konotasi dalam sebuah cerkak dapat menambah efek keindahan. Ketepatan dan
kesesuaian kata yang digunakan pengarang dalam membuat cerkak dapat menimbulkan kesan
hidup dan membangkitkan imajinasi. Penggunaan makna konotasi mampu menghasilkan
imaji tambahan sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan cerkak lebih indah
dan nikmat untuk dibaca. Digunakannya kata-kata yang bermakna konotasi selain
memperindah juga akan memperkaya dan menyalurkan makna dengan baik. Makna konotasi
bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif)
karena sudah ada penambahan rasa dan nilai rasa tertentu (Alwasilah, 1985:147). Makna
konotasi sangat bergantung pada konteksnya.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna
konotatif adalah makna yang telah mengalami penambahan pada makna dasarnya, yakni
hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
PENUTUP
Simpulan
Proses morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4)
suplisi, dan (3) modifikasi kosong (Samsuri, 190—193). Namun, di dalam bahasa Indonesia
yang bersifat aglutinasi ini tidak ditemukan data proses morfologis yang berupa perubahan
intern, suplisi, dan modifikasi kosong. Jadi, proses morfologis dalam bahasa Indonesia hanya
melalui afiksasi dan reduplikasi.
3. Sintaksis
Morfologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari
seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan
dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk
bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata iti, baik fungsi gramatik maupun
fungsi semantic.
4. Semantik
Menurut Chomsky pada bukunya yang kedua (1965) menyatakan bahwa semantik
adalah merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis
dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
DAFTAR PUSTAKA